Selasa, 18 Mei 2021

The Flying Paradise 24

24 The Death

 



Ada satu alasan yang membuat Laurence bersikukuh untuk tak memborgol Mike meski semua orang berkata lain. “Siapa yang akan menerbangkannya pesawat?” balas Laurence.

“Tapi dia ngelakuinnya dengan sengaja!” sergah Randian.

Mike tak berkomentar apa-apa. Dia hanya duduk menatap ke depan, ke langit luas yang akhirnya berubah gelap menjadi malam setelah berjam-jam terbang mengejar petang. Kedua tangan Mike dilipat di depan dada. Pandangannya kosong.

Laurence memahami betul apa yang sedang Mike rasakan. Ketika Mike menceritakan apa yang terjadi, lutut Laurence ikutan gemetar. Dirinya syok bukan main, bersimpati bahwa apa yang terjadi kepada Mike bukanlah situasi mudah.

“Dengan Kapten melakukan manuver itu, meyakinkan saya bahwa Kapten adalah mata-matanya,” ungkap Randian sambil mendengus. “Enggak lihat, nih tangan saya luka-luka begini? Lagian semuanya masuk akal, sekarang. Pesan Covid itu muncul pas kita semua ada di common room, ninggalin Kapten sendirian di kokpit. Pasti dia yang ngirim pesannya.”

Randian menyugar rambutnya atas pencerahan itu. Selama ini ternyata sang pembajak adalah orang yang memimpin penerbangan.

“Dia bukan mata-mata,” ujar Laurence, mencoba sabar. “Dia hanya mendapatkan tekanan.”

“Iya. Dapat tekanan terus jadi mata-mata, kan?!” tuduh Randian.

Kristian di belakangnya memegang bahu Randian untuk menenangkannya. “Kita bisa mendaratkan pesawat oleh satu pilot enggak?” tanyanya. “Maksudnya hanya Mas Laurence aja.”

Secara teknis bisa. Namun Laurence tak mau kehilangan Mike di sampingnya. Misal memang Mike mata-mata, ya sudah Mike harus berada di sini bersamanya untuk mendaratkan pesawat. Misal pesawat harus meledak, Laurence akan lebih bahagia jika dia meledak bersama orang yang dicintainya.

“Tidak akan memungkinkan,” jawab Laurence membual.

Maulana yang kini duduk di jumpseat menoleh sambil mengerutkan alis. Mungkin karena Maulana tahu bahwa jawaban Laurence itu bohong.

“Tapi saya sering lihat di film-film, pesawatnya didaratkan oleh satu orang. Dibantu menara kontrol malah,” ujar Kristian tak percaya.

“Itu kan film-film,” balas Laurence. “Memangnya sama apa yang terjadi di film dan di sini?”

“Gimana kalau Kapten diborgol di sini?” usul Maulana. “Beliau tetap diborgol, tetapi berada di kokpit jadi masih bisa mendaratkan pesawat dengan aman.”

“Apa jaminannya dia akan mendaratkan pesawat dengan aman? Barusan aja pesawat dia putar-putar sampai saya kebanting-banting. Kamu juga, Maul!”

“Saya dan Andre akan ada di jumpseat untuk menjaga. Kalau Kapten melakukan manuver berbahaya, saya yang akan menahannya. Yang penting, kedua pilot ada di dalam kokpit. Gimana, Mas?”

Jeda sejenak, menunggu Randian yang gusar memberi jawaban. Randian berkacak pinggang, menatap ke kegelapan malam. Tampak jelas Randian tak setuju. Mungkin baginya, kalau semua orang sudah kebagian diborgol di ruang meeting kecil, Randian baru puas.

“Perjalanan kita sudah dekat,” lanjut Maulana. “Kita sudah di atas Kalimatan sekarang. Saya percaya kita butuh dua orang pilot untuk melakukan belly landing di Halim. Manuver yang dilakukan Kapten sudah terekam di blackbox. Mata-mata atau bukan, Kapten akan mendapat konsekuensinya nanti di darat. Yang terpenting sekarang kita punya dua pilot untuk mendarat darurat di Jakarta, karena nanti kita enggak akan mendarat pakai roda.”

“Blackbox?” ulang Kristian tak mengerti. “Bukannya itu kita harus kecelakaan dulu, baru dicari?”

“Di dalam blackbox tuh ada dua hal, Mas,” jawab Maulana. “CVR dan FDR. Cockpit Voice Recorder merekam segala jenis suara di kokpit, kayak misalnya obrolan kita sekarang ini sedang direkam oleh CVR. Lalu Flight Data Recorder merekam semua pergerakan pesawat dari terbang sampai mendarat. Jadi kalau ada manuver berbahaya yang dilakukan oleh Kapten Mike, akan mendapat konsekuensinya nanti di darat.”




Jeda kembali muncul. Semua orang menunggu respons Randian, sang arsitek yang berambisi menemukan siapa mata-mata sebenarnya.

“Oke,” jawab Randian dengan berat hati. “Kapten ada di kokpit, tapi diawasi oleh Mas Maul dan Mas Andre.”

Sebuah suara peringatan mendadak muncul di dalam kokpit. Suara itu benar-benar mengganggu. Tombol kotak berwarna merah lampunya menyala. Baik Laurence dan Mike menoleh ke arah tombol peringatan itu, kemudian berpandangan dengan cemas.

“Ada apa?” tanya Randian.

Tak ada pilot yang menjawab. Keduanya tiba-tiba memencet layar mencari penyebab sistem peringatan berbunyi. Tak butuh waktu lama bagi Laurence untuk berseru, “Fuel valves!”

“Apa artinya?” desak Randian.

Tak ada yang menjawab pertanyaan itu. Mike memerintahkan Laurence untuk mengecek bahan bakar, “Monitor fuel!”

Laurence mengeluarkan kertas, memencet salah satu layar, mengurutkan jarinya ke sebuah informasi sisa bahan bakar di layar, lalu menghitung sesuatu di atas kertas. “Fuck,” desahnya.

“Fuel dump is activated!” ujar Mike dengan panik, mengamati satu penemuan darurat lain. Dengan segera Mike mematikan satu tombol yang tanpa mereka sadari di kokpit menyala sedari tadi. “Apa yang kamu dapat?”

“We don’t have enough fuel now.” Laurence mengusap mukanya.

“Apa? Apa yang terjadi?” tanya Randian, membungkuk dan mencoba pintar mengamati setiap layar di kokpit padahal dia tak mengerti.

Something is wrong with the fuel valves. Sistem buangkan bahan bakar menyalakan dan activated-kan selama menit-menit.” Laurence menarik napas panjang sambil menoleh ke Mike, ke Randian di sampingnya lalu ke layar di depannya. “Kita tidak akan mencapaikan Halim. Kita harus mendaratkan pesawat darurat saat ini juga.”

Mike menarik napas panjang, menimang-nimang mengambil keputusan. “Calculate radius glide. Kita gunakan bahan bakar untuk approach. Airport mana yang bisa dituju?”

Laurence mengangguk dan kembali menghitung sesuatu di atas kertas. Sesekali Laurence membungkuk untuk mengecek peta, jarak, sekaligus sisa bahan bakar yang bisa dikonsumsi. Semua orang di dalam kokpit menunggu dengan tegang. Laurence masih menarik garis, menghitung, dan memprediksi.

“We won’t make it to Batam or Surabaya—the nearest possible runway for belly landing,” ujar Laurence. “Pontianak …, Sampit …, Pangkalan Bun …, Palangkaraya are way too short. Tanjung Pandan is immensely impossible.”

“Pangkalpinang?” tanya Mike, menatap sebuah chart kertas bergambarkan peta hitam putih dengan garis-garis waypoint dan keterangan airport.

Laurence menggelengkan kepala. “Too risky. Runway is only two point six kilos. Residence on both end of the runway. I’ve been there. Not enough Runway Safety Area.”

“Is it the longest on the radius?”

Laurence menelan ludah sambil menjawab, “Unfortunately, yes.”

Mike mengotak-atik chart. “Palembang?”

Laurence menghitung lagi. “Only on good luck.”

Mike meremas chart di tangannya, mencoba sabar meski rasanya ingin marah sekali. Setelah menarik napas panjang dan mengambil keputusan cepat, Mike pun berkata, “Saya butuh Andre untuk mengecek sistem di avionics dan semua panel yang ada di bawah. Cek mengapa sistem valve rusak atau apa yang men-trigger fuel dump. Beri tahu penumpang untuk persiapan pendaratan darurat.” Mike menoleh ke arah Randian di belakangnya. “Silakan kalau masih mau menahan saya.”

Randian mengeraskan rahang sejenak, lalu berbalik keluar dari kokpit. Dia berseru, “FUCK!”

Kristian dan Maulana membuntuti di belakangnya.

Setelah menarik napas panjang, Mike pun menghubungi menara kontrol, “Pan-pan-pan! This is Delta Victor Niner Niner Niner, we got serious situation on board. Requesting immediate assistance for emergency landing at Whiskey India Papa Kilo ….”

*  *  *

Tak ada yang mampu bersuara setelah Maulana mengumumkan rencana Kapten di kabin. Semua duduk dalam diam, bergelung dalam pemikiran masing-masing yang berbahaya. Andre berlalu ke kabin depan untuk mengecek avionics. Sementara, Maulana masih berdiri di tengah ruangan dan berbicara atas nama kemanusiaan.

“Saya enggak suka Harry,” mulai Maulana. “Karena saya cinta sama Pak Mungkas, dan Harry adalah cowok yang mengganggu kesempatan saya untuk sama Pak Mungkas. Kalau ada kesempatan memborgol Harry sepanjang penerbangan, saya akan melakukannya. Tapi sayangnya, saya manusia. Kita enggak tahu apakah pesawat akan meledak seluruhnya, atau gimana. Namun dalam kondisi darurat seperti ini, sebagai manusia, saya enggak setuju Harry tetap diborgol ketika kita akan melakukan pendaratan darurat. Setiap penumpang berhak untuk berlari dengan bebas menyelamatkan diri ketika pesawat berhenti dengan sempurna.”

“Mau kamu apa? Bebasin Harry?” ledek Pamungkas.

“Ya, itu mau saya,” tegas Maulana, mencoba tegar. “Saya juga ingin menghajarnya, membuatnya babak belur, atau menghancurkan hidupnya. Tapi saya akan melakukannya dalam kondisi di mana dia punya kuasa untuk melawan. Bukan membiarkannya mati dalam insiden pesawat dan dia enggak punya kuasa atas dirinya sendiri. Itu enggak manusiawi.”

“Iya, bebasin aja,” ujar Randian sambil bersandar di sofanya. “Jelas-jelas dia harmless.”

Pamungkas merogoh saku jasnya, meletakkan pistol di atas meja karena itu benda pertama yang dia raih. Kemudian, mengeluarkan kunci borgol dan melemparkannya ke arah Maulana. “Noh!” Kunci borgol itu mendarat di dada Maulana. “Hahaha …!” Pamungkas tertawa dengan puas.

Maulana menggelengkan kepala sambil berlalu untuk membuka borgol Harry. Pada saat yang sama, pesan terakhir pembajak masuk ke salah satu layar di common room, seperti sebelumnya.


Congrats. Sebentar lagi mencium tanah (atau tinggal di bawah tanah, ya?) Terima kasih banyak atas 9 juta dolarnya, meski saya belum menerima reshuffle jabatan dan tiga kebobrokan perusahaan diungkap di media. Kalau dua ini sudah terpenuhi, bom pasti saya matikan. Kalau tidak dipenuhi juga, saya bantu memenuhi permintaan ketiga, tetapi terserah saya mau mengungkap kebobrokan yang mana. Omong-omong soal mata-mata, saya pilih orang yang punya gangguan jiwa. Orang yang tidak peduli pada nyawanya. Jadi, sampai jumpa di sisi lain dunia!


Pamungkas memutar bola mata sambil melorotkan tubuhnya di atas sofa. Apalagi ketika semua orang menoleh ke arahnya secara otomatis, mengingat sosok itu tampak punya gangguan jiwa saat ini.

Randian menoleh ke semua orang di ruangan. “Apa masih perlu memenuhi permintaan itu?” tanyanya tiba-tiba.

Kristian mengangkat bahu. “Kita mau mendarat darurat juga, kan?”

Sesaat kemudian Harry muncul dari depan, berlari ketakutan. Napasnya ngos-ngosan. Dengan panik, Harry langsung duduk di salah satu sofa, mengencangkan sabuk pengaman. Bahkan, Harry mengambil life vest di bawah sofa dan dia kenakan ke lehernya. Wuuuzzz! Jaket penyelamat itu mengembang dengan sempurna, seolah-olah pesawat akan mendarat di atas air.

“Gue enggak mau ke sana lagi. Gue enggak mau ke sana lagi,” ulang Harry terus-terusan sambil memeluk dirinya sendiri. Model ganteng itu betulan trauma diborgol bersama sesosok jenazah.

Pesawat tiba-tiba berguncang kuat, menjatuhkan beberapa gelas yang dirapikan Maulana setelah tukikan pesawat yang terakhir. Ketinggian pesawat menurun tiba-tiba, seolah-olah ada yang menghempas pesawat dari langit. Mungkin sekadar turbulensi, tetapi turbulensi itu begitu kuat. Area udara di atas perairan Bangka Belitung terhitung menantang, seperti yang pernah terjadi pada flight QZ8501 Indonesia AirAsia, Surabaya – Singapura. Namun tetap saja, turbulensi barusan keterlaluan.




Rasanya seperti perut ditarik ke atas, jantung diremas tiba-tiba, dan mual-mual muncul setelahnya. Seperti naik Hysteria di Dufan, ketika orang-orang dibanting dari ketinggian.

Harry menjerit dengan suara falseto, seperti perempuan. Empat orang yang lain berpegangan ke sofa masing-masing.

“Mungkin kita harus memenuhi dua permintaan itu!” cetus Randian. “Supaya kita enggak dipermainkan terus.”

“Aaaaaargh!” Harry masih menjerit.

“Alaaah … dia juga bakal tetep ngumumin kebobrokan maskapai, kok. Hahaha ….” Pamungkas tertawa. Caranya tertawa makin menunjukkan sosoknya punya gangguan jiwa.

“Tapi kalau kita penuhin, kita bisa selamat dengan aman. Apalagi kalau akhirnya sama aja. Akhirnya kebobrokan maskapai dikuak juga.”

“Maskapai pasti enggak mau, kan?” tanya Kristian, ke arah Pamungkas.

Pamungkas hanya terkekeh tanpa alasan.

“Kalau si mata-mata ini memang kena gangguan jiwa,” ujar Randian, melirik sejenak ke arah Pamungkas, “di mana dia enggak peduli nyawanya. Maka dia enggak peduli nyawa orang lain. Yang artinya, usaha apa pun menyelamatkan diri di sini, bisa dia gagalkan kalau dia mau. Kecuali, kita memenuhi permintaan pembajak, siapa tahu seenggaknya bom di roda pesawat dimatikan. Iya, enggak?”

“Kenapa kamu ngotot, Mas?” Kristian menatap Randian dengan mata menyipit.

“Ya karena saya enggak mau diam aja!” balasnya sengit. “Dari tadi kalian di sini kemakan sama permainan psikologis penjahatnya! Yang satu jadi gila ketawa-ketawa terus, yang dua jadi diam kayak patung, yang satu jerit-jerit enggak ada gunanya …. Inilah yang diinginkan pembajak, woi!”

“Aaaaaargh!” Harry masih menjerit.

“Ya terus apa yang bisa kita lakukan? Kita bahkan bukan perwakilan maskapai,” balas Kristian.

“Kita desak maskapai untuk mengabulkan permintaan itu.”

Tidak ada respons apa pun dari Kristian. Kata-kata Randian menggantung di udara, ditemani jeritan Harry yang semakin panik.

Kristian menoleh ke arah Jordan yang masih duduk sambil memeluk lututnya. Ketakutan dan tertekan. Kristian melihat Jordan merapalkan sesuatu dengan suara yang kecil sekali. “Kamu ngomong apa, sih Sayang?”

Jordan tak menjawab pertanyaan itu. Dia tetap mendesis seperti ular, merapalkan sebuah kalimat dengan suara yang sangat kecil. Kristian membungkuk untuk mendengar apa yang Jordan ulang-ulang sedari tadi.

“Aku tahu siapa pembajaknya …. Aku tahu siapa pembajaknya …. Aku tahu siapa pembajaknya ….”

*  *  *

Pikiran Andre tak dapat lepas dari fakta bahwa Laurence mencintai Mike. Sepanjang waktu, kata-kata menyakitkan itu menggerogoti organ dalam Andre. Membuatnya hidup tak bernyawa. Membuatnya bergerak karena ada darah mengalir, bukan karena ada jiwa di dalamnya.

Andre sudah mati rasa.

Ketika Maulana menunjuknya untuk mengecek avionics, Andre sudah tak peduli apakah pesawat akan meledak atau selamat. Dia ingin Laurence tetap selamat, karena dia mencintainya. Namun dia tak peduli dirinya sendiri. Tak peduli semua orang di dalam pesawat. Tak peduli pada 395 juta dolar melayang bersama interior kabin yang sama mahalnya.

Sejak Andre kecil, dia sudah tahu dirinya berbeda. Dia tumbuh seperti kebanyakan gay lain di dunia. Dirundung karena tampak seperti perempuan, dihujat karena menjadi homoseksual. Meski Andre lahir menjadi anak yang pintar, fakta bahwa dia gay akan terus-menerus menurunkan derajatnya sebagai manusia.

Ayahnya cukup keras sejak awal bahwa laki-laki harus main bola dan kelereng. Kalau Andre tidak pulang ke rumah dengan kulit gosong karena main layangan, Andre belum boleh pulang. Kalau baju Andre masih bersih dan wangi karena tidak bermain bola, ayahnyalah yang akan menjewer kupingnya dan menggusur Andre ke selokan terdekat yang bau. Semua demi menanamkan pikiran kepada Andre bahwa dia laki-laki, dan harus menjadi laki-laki. Tumbuh di keluarga Andre berarti tumbuh dalam satu definisi jelas bahwa laki-laki seperti ini, perempuan seperti itu. Tidak ada wilayah abu-abu di antaranya. Dan tidak boleh berbagi.

Ibunya sama saja. Setelah mendengar Andre kecil diteriaki bencong oleh kawan-kawannya, sang ibu membakar semua koleksi boneka Andre di kamar. Ibunya tak mau anak laki-lakinya tumbuh seperti perempuan, sehingga semua baju-baju berwarna cerah disumbangkan ke panti asuhan. Andre hanya punya baju hitam, biru, dan warna-warna yang dianggap maskulin. Sepulang sekolah, Andre harus diam di rumah, tidak boleh bermain dengan teman-teman perempuannya di sekitar. Setelah maghrib baru boleh keluar untuk pergi ke pengajian. Pulangnya, belajar lagi.

Bukan masa kecil yang menyenangkan, tentu. Dan Andre sudah mati-matian keluar dari lingkungan yang beracun tersebut. Setelah SMP dikirim ke pesantren, SMA Andre kabur dari rumah untuk belajar teknik penerbangan tanpa memberi tahu keluarganya. Andre sekolah pada siang hari, bekerja di sebuah kafe sepulang sekolah untuk membiayai pendidikannya. Itu tahun terberat bagi Andre. Hidup sendiri, menyewa orangtua wali, mencari nafkah agar bisa terus belajar.

Karena jadwalnya begitu sibuk agar bisa bertahan hidup, Andre tak punya kesempatan untuk mencintai. Dia tentu punya cowok-cowok yang ditaksir sejak SMA. Apalagi karena Andre masuk SMK penerbangan, yang isinya kebanyakan cowok, ada daftar tertentu berisi cowok-cowok yang Andre sukai. Namun tak pernah sekali pun dia punya kesempatan untuk mencintai.

Bahkan, ketika Andre kuliah lalu bekerja di maskapai sebagai teknisi. Andre terlalu sibuk mencari uang, sekaligus menjadi pribadi yang tampak maskulin agar bisa membaur dengan masyarakat. Semua cowok yang dia pikir dia cintai, tak pernah dia dapatkan. Selain dia minder atas profesinya, tidak semua cowok itu gay juga.

Kebahagiaan atas cinta tak pernah berkunjung dalam garis hidup Andre.

Bahkan, Laurence sekali pun.




Malam ketika dia akhirnya mengobrol intim bersama sang pilot, lalu saat Laurence memeluknya, membiarkan Andre menjadi dirinya sendiri, Andre betulan mendapatkan orgasme. Tentu saja bukan orgasme berupa air mani keluar dari kemaluannya. Orgasme karena cowok yang dia taksir menerima dirinya apa adanya. Menerima dirinya yang menangis tiba-tiba, malah menawarkan sebuah pelukan yang hangat.

Semua diperindah dengan ciuman itu. Dan, sentuhan-sentuhan seksual yang sudah lama Andre rindukan. Di tengah pengalaman pahitnya diperkosa terus-menerus oleh Randian, ketika Andre menemukan Laurence ereksi gara-gara dirinya, jantung Andre berdebar bukan main.

Apa Laurence tertarik secara seksual kepadaku?

Ya, Laurence tertarik secara seksual kepadanya. Laurence membiarkan Andre merasuki tubuhnya yang indah seperti malaikat. Laurence menikmati semua sentuhan ikhlas penuh cinta dari Andre. Dan bagi Andre, itu adalah hadiah terbesar yang pernah diterimanya dalam hidup.

Andre merasa, untuk kali pertama dalam hidupnya, dia berhak berada di dunia ini. Dia berhak menginjakkan kaki di atas tanah. Berhak mencintai. Berhak berbahagia. Berhak hidup dengan senyuman di dalam hatinya. Berhak pula untuk dicintai.

Untuk kali pertama, Andre paham apa yang orang-orang maksud dengan surga.

….

Namun ternyata, Laurence mencintai orang lain. Dan meski ini bukan hal yang salah, setiap orang berhak mencintai siapa pun, tetap saja Andre merasa jatuh lagi ke dalam lubang gelap yang sama. Sejak pernyataan Laurence di depan orang-orang, Andre merasa tak ada lagi alasan baginya untuk melanjutkan hidup.

Mungkin setelah mendarat dia mati saja? Toh keburukannya soal kecelakaan pesawat dulu itu sudah diungkap ke media, meski tidak dijelaskan siapa orangnya. Hanya saja Andre yakin, setelah ini akan ada penyelidikan besar-besaran dari KNKT dan negara, yang pasti akan berimbas ke penerbangan di Maluku di mana Andre terlibat dalam penjatuhan pesawat.

Andre tiba di avionics dan sebuah kabin khusus berisi panel-panel penting untuk maintenance. Dari situasi yang Andre analisis, tak ada apa pun yang aneh dengan semua panel ini. Tak ada kerusakan fuel valve maupun fuel dumping. Semua tampak sangat normal.

Andre mengecek ulang semua panel yang tampak mencurigakan. Dia menarik buku ceklis maintenance yang berada di sebuah rak kecil. Dengan kilat, Andre mengecek satu per satu switch dan tombol, juga setiap indikator. Entah dia terlewat, atau memang tak ada masalah apa-apa sedari tadi. Dalam lima menit Andre menutup buku manual dan menyimpulkan semua fungsi pesawat dalam kondisi aman.

Andre naik lagi ke kabin penumpang, bermaksud memberi tahu kokpit bahwa masalah bahan bakar sudah diamankan. Pintu kokpit terbuka sejak dia meninggalkannya beberapa saat lalu, ketika Mike menjelaskan kebutuhan pemeriksaan di avionics.  

Namun ketika Andre berdiri di pintu kokpit …, pemandangan yang paling tak diinginkannya terjadi.

….

Mike dan Laurence sedang berciuman. 



To be continued ....


<<< Part 23  |  The Flying Paradise  |  Part 25 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Nude 33

  ssendrawkwA emitefiL .33     Pada suatu pagi lima tahun lalu, Miza bangun lebih pagi dari biasanya meski semalaman tak bisa tidur. D...