25 The Soul
“Depati Amir is closed,” ujar
Mike sambil meremas lagi chart-nya
dengan kuat. “Fuck.”
Laurence menghela napas sambil mengeluarkan lagi catatannya dan menghitung
alternatif baru. “Jadi, kita cobakan Palembang?”
“Enggak ada pilihan lain.”
“Aku masih meragukan jumlah bahan bakar. Aku merasakan kita tidak akan
sampaikan ke sana.”
Rahang Mike mengeras. Sang kapten tampak berpikir dengan keras.
The Flying Paradise tidak
mendapat izin mendarat di Pangkalpinang. Selain karena landasan terlalu pendek
untuk pesawat sebesar Boeing 777 melakukan belly
landing, pun karena dua ujung landasan dipenuhi rumah-rumah warga. Tidak
seperti bandara di Bali di mana dua ujung landasan mengarah ke laut. Di
Pangkalpinang, pesawat overrun
sedikit saja bisa menabrak puluhan rumah penduduk.
Palembang adalah alternatif paling masuk akal. Selain landasannya lebih
panjang dibandingkan Pangkalpinang, bandara itu juga punya fasilitas pendaratan
darurat yang lebih lengkap. Di kedua ujungnya masih ada lahan kosong yang cukup
untuk menghentikan pesawat kalau-kalau keluar dari landasan. Tidak ada rumah
warga sepanjang beratus-ratus meter dari kedua ujung landasan.
“Will we make it?” tanya
Mike lemas.
Dengan berat hati Laurence menjawab. “No.”
“Kalau begitu kita ditching di
Sungai Musi.”
Laurence menoleh. “Apakah kamu meyakinkan?”
“Kamu punya pilihan lain?”
Laurence tak punya pilihan lain. Pangkalpinang seharusnya menjadi
satu-satunya bandara yang masuk akal untuk didarati, tetapi kalau bandaranya
tutup dan merasa tak sanggup didatangi pesawat berbadan lebar yang mendarat
tanpa roda, memang hanya Palembang pilihannya. Namun jika Palembang pun tidak
akan sampai …
… sungai Musi adalah pilihan terakhir.
Laurence terpaksa setuju.
“Boleh aku mencium kamu?” tanya Laurence tiba-tiba. Pandangannya mulai
mengabur. “Aku tidak tahu apakah kita akan selamat atau tidak. Namun aku ingin
sekali merasakan kecupan dari bibir kamu sebelum aku mati.”
Suara Laurence bergetar karena tenggorokannya tercekat. Parau itu
terdengar memilukan.
Mike menoleh ke sebelahnya sambil mengamati Laurence. Sang kopilot
mencintai dirinya, dan tak mengharapkan apa pun selain bisa bersama dengan Mike.
Karena pendaratan di atas air jauh lebih berisiko dibandingkan darat, wajar
jika Laurence menganggap kemungkinan tak selamat itu nyata.
Jadi, Mike melepas sabuk pengaman, berdiri di depan panel, dan membuka
tangannya. “Come here. And kiss me.”
Bahu Laurence berguncang karena permintaannya dikabulkan. Napasnya
memburu untuk beberapa saat, seolah-olah tak percaya Mike benar-benar berdiri
untuk mengecup bibirnya. Dengan tangan gemetar, senyum yang sangat lebar,
tetapi pandangan kabur karena air mata memenuhi tatapannya, Laurence melepas sabuk
pengaman dan berdiri.
Mereka berciuman selama beberapa saat. Bibir ketemu bibir. Laurence
merengkuh Mike ke dalam pelukannya, dan Mike membalas rangkulan itu dengan
intim. Laurence melesakkan bibirnya ke dalam mulut Mike, menikmati setiap
sentuhan surga yang bisa dia rasakan sebelum nyawanya melayang.
“Terima kasih,” bisik Laurence di antara kecupan yang dalam itu.
Ketika mereka melepaskan kecupan, Mike masih sempat-sempatnya mengecup
kening Laurence dengan lembut dan berbisik, “You
deserve someone better. You deserve someone who will love you truly.”
Laurence menggelengkan kepala. “I
just want a kiss from you.”
“I’ll give you more than a kiss if
you can help me survive in this incident.” Mike mengecup
lagi pipi Andre berkali-kali. Tangannya menangkup wajah Andre, seperti tak mau
melepaskannya. “I’ll give you more than a
kiss if you believe in yourself, and you do everything you could to save
yourself.”
“I love you,” bisik
Laurence dengan suara bergetar.
“And I want to love you.”
Kemudian kecupan kedua pun bersemi. Cumbuan yang membuat Laurence yakin
untuk tetap survive, apa pun yang
terjadi. Cumbuan yang membuat Laurence bahagia karena rasa cintanya diterima
oleh Mike dengan sangat baik, meski sang kapten belum mencintainya saat ini.
DOR!!!
Sebuah tembakan senjata api terdengar dari kabin penumpang. Mike dan
Laurence terentak kaget sambil melihat ke lobi depan. Pintu kokpit masih
terbuka lebar, sengaja dibuka untuk proses pendaratan darurat nanti. Entah apa
yang terjadi di kabin penumpang sana, tetapi teriakan ketakutan Harry bergaung
lebih kencang dari sebelum-sebelumnya.
* * *
Andre merasa jantungnya mencelus, jatuh hingga ke dasar lantai. Napasnya
langsung memburu, lututnya seketika gemetaran. Andre menggelengkan kepala ketika
melihat ciuman mesra dua pilot di depannya. Dia berbalik, menangis, dada terasa
sesak, dan berjalan menyusuri lorong samping conference room menuju common
room.
Yang ada dalam dirinya adalah rasa sakit yang amat sangat. Sejenis rasa
sakit di mana kematian bahkan tak bisa melebihinya. Udara mendengkus keluar
dari hidung Andre. Pandangannya otomatis blur oleh air mata yang menggenang.
Andre berjalan sambil berpegangan ke dinding pesawat. Tak sanggup
berjalan, tetapi dia harus berjalan.
Dia harus mati.
Dia tak sanggup lagi menghadapi dunia ini.
Sesampainya di common room,
semua orang sedang berkumpul mendengarkan Maulana memberikan penjelasan tentang
pendaratan darurat. Tentang pintu darurat mana yang bisa digunakan dan apa yang
harus dilakukan.
Andre berjalan melewati Maulana, menghambur menuju meja dan mengambil
pistol yang tergeletak di sana.
“Andre!”
Semua orang membelalak kaget saat Andre tiba-tiba mengarahkan pistol itu
ke kepalanya.
Andre jatuh berlutut di atas lantai, menangis keras, bersiap menarik
pelatuk hingga kepalanya pecah dan jiwanya pergi.
“Andre! Jangan!” Maulana berusaha mengambil pistol dari tangan Andre,
tetapi teknisi itu langsung mengarahkannya kepada Maulana. Terpaksa Maulana
menjauh mundur. “Andre! Kamu ngapain?! Kita sudah mau mendarat.”
“PERCUMA!” seru Andre dalam tangisnya. Sekarang, Andre mengarahkan
pistol ke semua orang yang ada di common
room. Supaya tak ada yang mendekatinya lalu menghentikannya dari menembak
kepalanya sendiri.
“Andre, calm down!”
Randian melepas sabuk pengaman dan berusaha berdiri. “Tenang dulu, Andre.
Jangan gegabah.”
“DUDUK!” todong Andre ke Randian. Terpaksa, Randian duduk lagi di
kursinya. “Percuma selamat kalau dunia ini tetap jahat sama saya.”
“Andre, tenang dulu,” pelas Randian serius. “Simpan dulu pistolnya, kita
bicarakan baik-baik.”
“Biarin aja, lah. Si goblok itu emang mata-matanya, kan!” sahut
Pamungkas sambil tertawa. “Dia yang punya gangguan jiwa sampe mau bunuh diri
segala. Hahaha …!”
“Andre, tolong tenang dulu,” Maulana mengangkat tangannya ke arah
todongan pistol Andre. “Apa pun masalah kamu, kita bisa obrolin dulu
bareng-bareng.”
“Biarin aja lah dia bunuh diri! Enggak guna juga! Hahaha …!”
Napas Andre sudah seperti kerbau. “Iya, saya emang enggak berguna! Saya
banci. Saya homo! Apa pun yang saya lakukan nggak berguna! Saya cuma orang
goblok. Saya enggak berhak mencintai atau dicintai!”
“Andre, saya cinta kamu—”
“Berisik, bangsat!” Ceklek!
Andre menarik pelatuk, siap menembak. “Dunia ini enggak pernah diciptakan untuk
saya. Saya enggak seharusnya berada di sini!”
DOR!!!
Pistol itu diarahkan dengan cepat ke pelipis Andre ….
….
… pelurunya terbang melewati tengkorak dan kepala Andre.
Tubuh sang teknisi jatuh seketika ke atas lantai. Memelotot tak
bernyawa. Membuat semua orang membeku di kursinya masing-masing. Harry berteriak
keras sekali. Paling keras dari semua teriakan yang dia jeritkan sepanjang
perjalanan.
* * *
“Oke, aku yang akan mengecek,” ujar Laurence, melompati panel keluar
dari tempat duduknya.
“Jangan lama-lama, kita sudah descend.”
“Enggak akan sampe lima menit.” Laurence menghambur keluar kokpit menuju
keributan yang sedang terjadi. Tubuhnya langsung limbung ke atas lantai saat
tiba di common room dan menemukan
Andre tergeletak tak bernyawa di atas lantai.
Laurence berlutut dua meter dari mayat Andre. Tangannya gemetar, air
matanya keluar lagi, dadanya sesak.
“Lah, dia kan mata-matanya!” sahut Pamungkas. “Udah metong berarti!”
Maulana melepas sabuk pengaman dan langsung menghambur ke arah Laurence
untuk memeluknya. Pertahanan Laurence jebol, dia menangis sekeras-kerasnya
dengan tubuh berguncang.
“Siapa yang membunuh? Siapa yang membunuh?” ulangnya dalam isakan.
“Pembajaknya yang bunuh,” bisik Maulana, tetap mengusap-usap punggung
Laurence untuk menenangkannya.
“Siapa pembajaknya? Siapa pembajaknya?”
“Kamu tenang dulu.”
Laurence berontak ingin menghampiri Andre, tetapi Maulana terus
menahannya. Kristian bahkan turun dari kursinya untuk membantu Maulana yang
kesulitan menahan Laurence. Sang kopilot meronta-ronta. Keberadaan pistol di
sana membuat semua orang ragu membiarkan Laurence mendekati jasad Andre. Pistol
itu tergeletak dekat dengan tangan Andre. Kalau Laurence tertekan melihat
kematian Andre, bisa-bisa Laurence menarik pelatuk juga.
Di kursinya, Randian menangis dengan tubuh gemetar. Dia masih enggan berkedip
ketika orang yang dicintainya bunuh diri di depan matanya. Bahkan, posisi
Randian yang paling dekat dibandingkan yang lain. Itu pun Randian tidak sanggup
berbuat apa-apa.
Randian hanya ingin meleleh dan ikutan mati saja. Bom yang ditanamkan
pembajak di dalam diri Randian juga meledak. Sama seperti bom yang sudah
meledak dalam diri Pamungkas, Harry, maupun Andre. Dalam kepala Randian hanya
ada bayangan dirinya mengambil pistol itu dan juga menarik pelatuk mengarah ke
kepalanya sendiri.
Namun Randian lebih kuat dibandingkan Andre. Randian menoleh ke orang
yang paling dibencinya di ruangan ini sekarang.
Pamungkas.
Manager bangsat itu masih bisa-bisanya menuduh Andre mata-mata. Bahkan
menuduh tak lama dari sang teknisi meregang nyawa. Randian mendengkus dengan
napas memburu menatap Pamungkas. Tanpa bisa dikontrol, Randian berdiri dan
menghampiri Pamungkas.
BUK!
Randian menonjok wajah Pamungkas hingga manager itu terpental dari sofa,
tetapi tak sampai jatuh karena perutnya tertahan sabuk pengaman.
BUK! BUK!
Randian terus menghantam Pamungkas tanpa ampun. Sang manager hanya
tertawa puas melihat Randian marah.
“Ayo … ayo … pukul saya! Pukul! Hahaha …!”
BUK!
Darah sudah mengucur dari dalam hidung dan sudut bibir Pamungkas. Sebuah
goresan merah juga tercipta dari pelipis hingga pipi Pamungkas. Namun manager
itu tetap tertawa.
Randian mengacungkan tangannya tinggi-tinggi, bersiap menghantamkan
bogem mentah pamungkasnya. Bogem mentah yang sebisa mungkin membunuh manager
bajingan itu. Kekuatannya sudah berkumpul di lengan Randian …
… tetapi Jordan melompat ke antara mereka. Jordan menghalanginya.
“Jangan. Enggak worth it,”
kata Jordan sambil menelan ludah. “Saya sudah tahu siapa mata-matanya.”
“Dia mata-matanya!”
“Bukan,” jawab Jordan yakin. “Bukan dia. Malah, dia cuma korban dari
mata-matanya. Saya sudah tahu. Jadi, mending simpan tenaga kamu buat mata-mata
yang sebenarnya.”
“Tapi dia membunuh Andre!” jerit Randian.
“Hahaha …! Cemen lu! Hahaha …!” Pamungkas masih saja meledek.
“Dia bakal tetap masuk penjara, kok,” ujar Jordan yakin. “Enggak ada
gunanya bunuh dia sekarang, karena dia enggak akan menderita. Kita fokus
menyelamatkan diri dulu.”
“Dia harus mati sekarang!”
“Saya mau bantu Mas bunuh dia, tapi bukan di sini. Nanti, di darat. Kita
tetap butuh dia untuk selamat dari insiden ini!”
“Bangsat!”
Randian masih tak terima. Dia masih ingin menghantam wajah Pamungkas
hingga mampus, menggunakan otot-otot lengannya yang superbesar. Namun Jordan
berhasil menenangkannya. Toh sedari tadi, Randianlah yang semangat untuk mengungkap
mata-mata di balik insiden ini dan terhindar dari bom psikologis yang
ditanamkan oleh sang penjahat.
Dus, Randian hanya meludahi Pamungkas di wajah dan berlalu ke kokpit.
Sambil berlalu, Randian juga menarik Laurence dengan tangan-tangannya yang kokoh.
Dia menyeret Laurence yang menangis karena kehilangan menuju kokpit.
Di belakangnya, Maulana, dan Kristian menggotong tubuh Andre ke ruang meeting kecil, membaringkannya ke sofa
seberang jenazah Mora. Jordan mengambil plastik dan meraup pistol dengan hati-hati,
meski dirinya ketakutan memegang senjata api itu. Jordan pergi ke galley dan menyembunyikan pistol
dalam-dalam di salah satu kompartemen. Pokoknya jangan sampai siapa pun dapat
menemukannya dengan mudah.
Setelahnya, Jordan menarik selimut lain dari kamar, memberikannya kepada
Maulana yang kemudian membungkus tubuh Andre di atas sofa. Darah masih mengucur
keluar dari kepala Andre. Mata Andre sudah ditutup dengan damai. Baik Andre
maupun Mora dipasangkan sabuk pengaman yang menempel di sofa, agar tubuh mereka
tidak terpelanting ke atas lantai saat pendaratan darurat terjadi.
Di kokpit, Randian mencoba usaha terakhir mengomunikasikan dua
permintaan pembajak yang belum terpenuhi. Mike mewanti-wanti bahwa pesawat
tetap akan mendarat di Sungai Musi seiyanya Randian berhasil membujuk maskapai
untuk mengabulkan permintaan itu. Namun Randian tak menyerah.
“Ya udah gapapa! Misal kita mati, seenggaknya kita udah berusaha buat
bertahan hidup. Jangan sampai kita mati karena enggak melakukan apa-apa.”
Mike tak dapat meminta bantuan Laurence karena first officer itu sedang terguncang. Laurence masih menangis di
kursinya, tak kuasa menghadapi kehilangan yang tiba-tiba barusan. Meski dirinya
tahu itu akan sia-sia, Mike pun memanggil radio ke flight dispatcher dan menyerahkannya kepada Randian.
Pembicaraan itu singkat. Intinya Randian dengan berang menyampaikan
permintaan pembajak yang belum terpenuhi. Mike pun menyampaikan rencananya belly landing di Sungai Musi, yang
berarti pesawat tak akan bisa digunakan lagi dalam bentuk apa pun. Kalau masih
ada bagian yang bagus, bisa dipreteli. Namun jika pesawat tenggelam ke dasar
sungai, kemungkinan besar tak ada lagi yang bisa diselamatkan.
Sepeninggal Randian dari kokpit, Mike mulai mematikan mesin dan
menggunakan kemampuan pesawat untuk meluncur di udara tanpa daya dorong. Posisi
pesawat di atas Pangkalpinang sekarang, mulai menurun dengan cara gliding, berharap bisa mencapai
Palembang meskipun itu tidak mungkin. Indikator sisa bahan bakar di layar
membuat Mike sangat pesimis. Sisa itu akan dia gunakan saat mendarat di atas
air, agar pendaratan bisa terasa lebih mulus dan imbang. Agar hidrolik masih
tetap bekerja dengan baik.
“Jakarta Center,”
panggil Mike. “This is Delta Victor Niner
Niner Niner, we’re positive to ditch on Musi River. Requesting assistance and …
if possible, command all water vehicles to clear the area.”
Setelah komunikasi beberapa saat dengan radio, Mike menoleh ke arah
Laurence dan mengulurkan tangannya. Kopilot itu awalnya masih merenung tak
percaya. Kemudian, dia membalas juga uluran tangan Mike.
“It’s going to be alright, okay?”
“Andre meninggal.” Ketika mengatakan itu suara Laurence bergetar.
“Dan dia akan meninggal sebagai pahlawan, asal kita bisa mendaratkan ini
dengan sempurna.”
“Tapi dia meninggal.”
“Dan kamu akan hidup,” balas Mike. “Hidup untuk mengenangnya, hidup
untuk memberi tahu dunia bahwa Andre orang yang sangat baik.”
“Dari mana kamu tahu dia orang yang sangat baik.”
“Trust me, I know a lot.” Mike
tersenyum. “Saya mengenal dia dalam sebuah insiden pesawat, dan dia tetap
berjuang meski seluruh dunia jahat kepadanya. Saya mengenal dedikasinya, saya
mengenal prestasinya, saya mengenal niat baiknya. Saya mengenal usahanya untuk
bertahan hidup di tengah-tengah perlakuan yang enggak adil. Kalau dia harus
pergi untuk selamanya … dia bukan sedang menyerah.
“Dia sedang menuju tempat yang lebih baik untuk dirinya.”
Genggaman tangan itu bergetar. Bukannya membaik, Laurence malah semakin
terguncang. Dia menangis selama beberapa saat, kembali mengaburkan pandangannya
dengan air mata.
“Take your time. But I really need
your hand to help me land this plane,” ujar Mike lembut.
“Kita lakukan ini untuk dua teknisi yang
menyerahkan nyawanya untuk kita. Oke?”
Laurence mengangguk dalam tangis. “Boleh aku membacakan surat yang dia
tulis untuk aku?”
“I’d love to hear that.” Mike
melepas sabuk pengamannya, membungkuk melewati sebuah panel di dekat kakinya,
lalu menarik kepala Laurence ke arahnya. Mike mengecup kepala Laurence dengan
lembut. “Read it out loud. Saya juga
mau mendengar ungkapan cintanya yang tulus.”
Laurence merogoh saku celananya, mengeluarkan selembar kertas yang sudah terlipat-lipat. Tulisan Andre terkaligrafi di atasnya. Tulisan yang dibuatnya ketika menelan obat penawar racun tanpa tahu apakah obat itu betulan obat, atau malah racun tambahan. Tulisan yang dibuat Andre ketika berpikir dirinya akan mati.
Yes, everything is going to be alright. I love you. And I thank you. I might be dead when you read this, but my love for you will stay infinite. Whatever results that’d happen to my body, I want to see you smile on the other side of the world.
To be continued ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar