Selasa, 18 Mei 2021

The Flying Paradise 25

25 The Soul

 



“Depati Amir is closed,” ujar Mike sambil meremas lagi chart-nya dengan kuat. “Fuck.”

Laurence menghela napas sambil mengeluarkan lagi catatannya dan menghitung alternatif baru. “Jadi, kita cobakan Palembang?”

“Enggak ada pilihan lain.”

“Aku masih meragukan jumlah bahan bakar. Aku merasakan kita tidak akan sampaikan ke sana.”

Rahang Mike mengeras. Sang kapten tampak berpikir dengan keras.

The Flying Paradise tidak mendapat izin mendarat di Pangkalpinang. Selain karena landasan terlalu pendek untuk pesawat sebesar Boeing 777 melakukan belly landing, pun karena dua ujung landasan dipenuhi rumah-rumah warga. Tidak seperti bandara di Bali di mana dua ujung landasan mengarah ke laut. Di Pangkalpinang, pesawat overrun sedikit saja bisa menabrak puluhan rumah penduduk.

Palembang adalah alternatif paling masuk akal. Selain landasannya lebih panjang dibandingkan Pangkalpinang, bandara itu juga punya fasilitas pendaratan darurat yang lebih lengkap. Di kedua ujungnya masih ada lahan kosong yang cukup untuk menghentikan pesawat kalau-kalau keluar dari landasan. Tidak ada rumah warga sepanjang beratus-ratus meter dari kedua ujung landasan.

“Will we make it?” tanya Mike lemas.

Dengan berat hati Laurence menjawab. “No.”

“Kalau begitu kita ditching di Sungai Musi.”

Laurence menoleh. “Apakah kamu meyakinkan?”

“Kamu punya pilihan lain?”

Laurence tak punya pilihan lain. Pangkalpinang seharusnya menjadi satu-satunya bandara yang masuk akal untuk didarati, tetapi kalau bandaranya tutup dan merasa tak sanggup didatangi pesawat berbadan lebar yang mendarat tanpa roda, memang hanya Palembang pilihannya. Namun jika Palembang pun tidak akan sampai …

… sungai Musi adalah pilihan terakhir.

Laurence terpaksa setuju.

“Boleh aku mencium kamu?” tanya Laurence tiba-tiba. Pandangannya mulai mengabur. “Aku tidak tahu apakah kita akan selamat atau tidak. Namun aku ingin sekali merasakan kecupan dari bibir kamu sebelum aku mati.”

Suara Laurence bergetar karena tenggorokannya tercekat. Parau itu terdengar memilukan.

Mike menoleh ke sebelahnya sambil mengamati Laurence. Sang kopilot mencintai dirinya, dan tak mengharapkan apa pun selain bisa bersama dengan Mike. Karena pendaratan di atas air jauh lebih berisiko dibandingkan darat, wajar jika Laurence menganggap kemungkinan tak selamat itu nyata.

Jadi, Mike melepas sabuk pengaman, berdiri di depan panel, dan membuka tangannya. “Come here. And kiss me.”

Bahu Laurence berguncang karena permintaannya dikabulkan. Napasnya memburu untuk beberapa saat, seolah-olah tak percaya Mike benar-benar berdiri untuk mengecup bibirnya. Dengan tangan gemetar, senyum yang sangat lebar, tetapi pandangan kabur karena air mata memenuhi tatapannya, Laurence melepas sabuk pengaman dan berdiri.

Mereka berciuman selama beberapa saat. Bibir ketemu bibir. Laurence merengkuh Mike ke dalam pelukannya, dan Mike membalas rangkulan itu dengan intim. Laurence melesakkan bibirnya ke dalam mulut Mike, menikmati setiap sentuhan surga yang bisa dia rasakan sebelum nyawanya melayang.

“Terima kasih,” bisik Laurence di antara kecupan yang dalam itu.

Ketika mereka melepaskan kecupan, Mike masih sempat-sempatnya mengecup kening Laurence dengan lembut dan berbisik, “You deserve someone better. You deserve someone who will love you truly.”

Laurence menggelengkan kepala. “I just want a kiss from you.”

“I’ll give you more than a kiss if you can help me survive in this incident.” Mike mengecup lagi pipi Andre berkali-kali. Tangannya menangkup wajah Andre, seperti tak mau melepaskannya. “I’ll give you more than a kiss if you believe in yourself, and you do everything you could to save yourself.”

“I love you,” bisik Laurence dengan suara bergetar.

“And I want to love you.”

Kemudian kecupan kedua pun bersemi. Cumbuan yang membuat Laurence yakin untuk tetap survive, apa pun yang terjadi. Cumbuan yang membuat Laurence bahagia karena rasa cintanya diterima oleh Mike dengan sangat baik, meski sang kapten belum mencintainya saat ini.

DOR!!!




Sebuah tembakan senjata api terdengar dari kabin penumpang. Mike dan Laurence terentak kaget sambil melihat ke lobi depan. Pintu kokpit masih terbuka lebar, sengaja dibuka untuk proses pendaratan darurat nanti. Entah apa yang terjadi di kabin penumpang sana, tetapi teriakan ketakutan Harry bergaung lebih kencang dari sebelum-sebelumnya.

*  *  *

Andre merasa jantungnya mencelus, jatuh hingga ke dasar lantai. Napasnya langsung memburu, lututnya seketika gemetaran. Andre menggelengkan kepala ketika melihat ciuman mesra dua pilot di depannya. Dia berbalik, menangis, dada terasa sesak, dan berjalan menyusuri lorong samping conference room menuju common room.

Yang ada dalam dirinya adalah rasa sakit yang amat sangat. Sejenis rasa sakit di mana kematian bahkan tak bisa melebihinya. Udara mendengkus keluar dari hidung Andre. Pandangannya otomatis blur oleh air mata yang menggenang.

Andre berjalan sambil berpegangan ke dinding pesawat. Tak sanggup berjalan, tetapi dia harus berjalan.

Dia harus mati.

Dia tak sanggup lagi menghadapi dunia ini.

Sesampainya di common room, semua orang sedang berkumpul mendengarkan Maulana memberikan penjelasan tentang pendaratan darurat. Tentang pintu darurat mana yang bisa digunakan dan apa yang harus dilakukan.

Andre berjalan melewati Maulana, menghambur menuju meja dan mengambil pistol yang tergeletak di sana.

“Andre!”

Semua orang membelalak kaget saat Andre tiba-tiba mengarahkan pistol itu ke kepalanya.

Andre jatuh berlutut di atas lantai, menangis keras, bersiap menarik pelatuk hingga kepalanya pecah dan jiwanya pergi.

“Andre! Jangan!” Maulana berusaha mengambil pistol dari tangan Andre, tetapi teknisi itu langsung mengarahkannya kepada Maulana. Terpaksa Maulana menjauh mundur. “Andre! Kamu ngapain?! Kita sudah mau mendarat.”

“PERCUMA!” seru Andre dalam tangisnya. Sekarang, Andre mengarahkan pistol ke semua orang yang ada di common room. Supaya tak ada yang mendekatinya lalu menghentikannya dari menembak kepalanya sendiri.

“Andre, calm down!” Randian melepas sabuk pengaman dan berusaha berdiri. “Tenang dulu, Andre. Jangan gegabah.”

“DUDUK!” todong Andre ke Randian. Terpaksa, Randian duduk lagi di kursinya. “Percuma selamat kalau dunia ini tetap jahat sama saya.”

“Andre, tenang dulu,” pelas Randian serius. “Simpan dulu pistolnya, kita bicarakan baik-baik.”

“Biarin aja, lah. Si goblok itu emang mata-matanya, kan!” sahut Pamungkas sambil tertawa. “Dia yang punya gangguan jiwa sampe mau bunuh diri segala. Hahaha …!”

“Andre, tolong tenang dulu,” Maulana mengangkat tangannya ke arah todongan pistol Andre. “Apa pun masalah kamu, kita bisa obrolin dulu bareng-bareng.”

“Biarin aja lah dia bunuh diri! Enggak guna juga! Hahaha …!”

Napas Andre sudah seperti kerbau. “Iya, saya emang enggak berguna! Saya banci. Saya homo! Apa pun yang saya lakukan nggak berguna! Saya cuma orang goblok. Saya enggak berhak mencintai atau dicintai!”

“Andre, saya cinta kamu—”

“Berisik, bangsat!” Ceklek! Andre menarik pelatuk, siap menembak. “Dunia ini enggak pernah diciptakan untuk saya. Saya enggak seharusnya berada di sini!”

DOR!!!

Pistol itu diarahkan dengan cepat ke pelipis Andre ….

….

… pelurunya terbang melewati tengkorak dan kepala Andre.




Tubuh sang teknisi jatuh seketika ke atas lantai. Memelotot tak bernyawa. Membuat semua orang membeku di kursinya masing-masing. Harry berteriak keras sekali. Paling keras dari semua teriakan yang dia jeritkan sepanjang perjalanan.

*  *  *

“Oke, aku yang akan mengecek,” ujar Laurence, melompati panel keluar dari tempat duduknya.

“Jangan lama-lama, kita sudah descend.”

“Enggak akan sampe lima menit.” Laurence menghambur keluar kokpit menuju keributan yang sedang terjadi. Tubuhnya langsung limbung ke atas lantai saat tiba di common room dan menemukan Andre tergeletak tak bernyawa di atas lantai.

Laurence berlutut dua meter dari mayat Andre. Tangannya gemetar, air matanya keluar lagi, dadanya sesak.

“Lah, dia kan mata-matanya!” sahut Pamungkas. “Udah metong berarti!”

Maulana melepas sabuk pengaman dan langsung menghambur ke arah Laurence untuk memeluknya. Pertahanan Laurence jebol, dia menangis sekeras-kerasnya dengan tubuh berguncang.

“Siapa yang membunuh? Siapa yang membunuh?” ulangnya dalam isakan.

“Pembajaknya yang bunuh,” bisik Maulana, tetap mengusap-usap punggung Laurence untuk menenangkannya.

“Siapa pembajaknya? Siapa pembajaknya?”

“Kamu tenang dulu.”

Laurence berontak ingin menghampiri Andre, tetapi Maulana terus menahannya. Kristian bahkan turun dari kursinya untuk membantu Maulana yang kesulitan menahan Laurence. Sang kopilot meronta-ronta. Keberadaan pistol di sana membuat semua orang ragu membiarkan Laurence mendekati jasad Andre. Pistol itu tergeletak dekat dengan tangan Andre. Kalau Laurence tertekan melihat kematian Andre, bisa-bisa Laurence menarik pelatuk juga.

Di kursinya, Randian menangis dengan tubuh gemetar. Dia masih enggan berkedip ketika orang yang dicintainya bunuh diri di depan matanya. Bahkan, posisi Randian yang paling dekat dibandingkan yang lain. Itu pun Randian tidak sanggup berbuat apa-apa.

Randian hanya ingin meleleh dan ikutan mati saja. Bom yang ditanamkan pembajak di dalam diri Randian juga meledak. Sama seperti bom yang sudah meledak dalam diri Pamungkas, Harry, maupun Andre. Dalam kepala Randian hanya ada bayangan dirinya mengambil pistol itu dan juga menarik pelatuk mengarah ke kepalanya sendiri.




Namun Randian lebih kuat dibandingkan Andre. Randian menoleh ke orang yang paling dibencinya di ruangan ini sekarang.

Pamungkas.

Manager bangsat itu masih bisa-bisanya menuduh Andre mata-mata. Bahkan menuduh tak lama dari sang teknisi meregang nyawa. Randian mendengkus dengan napas memburu menatap Pamungkas. Tanpa bisa dikontrol, Randian berdiri dan menghampiri Pamungkas.

BUK!

Randian menonjok wajah Pamungkas hingga manager itu terpental dari sofa, tetapi tak sampai jatuh karena perutnya tertahan sabuk pengaman.

BUK! BUK!

Randian terus menghantam Pamungkas tanpa ampun. Sang manager hanya tertawa puas melihat Randian marah.

“Ayo … ayo … pukul saya! Pukul! Hahaha …!”

BUK!

Darah sudah mengucur dari dalam hidung dan sudut bibir Pamungkas. Sebuah goresan merah juga tercipta dari pelipis hingga pipi Pamungkas. Namun manager itu tetap tertawa.

Randian mengacungkan tangannya tinggi-tinggi, bersiap menghantamkan bogem mentah pamungkasnya. Bogem mentah yang sebisa mungkin membunuh manager bajingan itu. Kekuatannya sudah berkumpul di lengan Randian …

… tetapi Jordan melompat ke antara mereka. Jordan menghalanginya.

“Jangan. Enggak worth it,” kata Jordan sambil menelan ludah. “Saya sudah tahu siapa mata-matanya.”

“Dia mata-matanya!”

“Bukan,” jawab Jordan yakin. “Bukan dia. Malah, dia cuma korban dari mata-matanya. Saya sudah tahu. Jadi, mending simpan tenaga kamu buat mata-mata yang sebenarnya.”

“Tapi dia membunuh Andre!” jerit Randian.

“Hahaha …! Cemen lu! Hahaha …!” Pamungkas masih saja meledek.

“Dia bakal tetap masuk penjara, kok,” ujar Jordan yakin. “Enggak ada gunanya bunuh dia sekarang, karena dia enggak akan menderita. Kita fokus menyelamatkan diri dulu.”

“Dia harus mati sekarang!”

“Saya mau bantu Mas bunuh dia, tapi bukan di sini. Nanti, di darat. Kita tetap butuh dia untuk selamat dari insiden ini!”

“Bangsat!”

Randian masih tak terima. Dia masih ingin menghantam wajah Pamungkas hingga mampus, menggunakan otot-otot lengannya yang superbesar. Namun Jordan berhasil menenangkannya. Toh sedari tadi, Randianlah yang semangat untuk mengungkap mata-mata di balik insiden ini dan terhindar dari bom psikologis yang ditanamkan oleh sang penjahat.

Dus, Randian hanya meludahi Pamungkas di wajah dan berlalu ke kokpit. Sambil berlalu, Randian juga menarik Laurence dengan tangan-tangannya yang kokoh. Dia menyeret Laurence yang menangis karena kehilangan menuju kokpit.

Di belakangnya, Maulana, dan Kristian menggotong tubuh Andre ke ruang meeting kecil, membaringkannya ke sofa seberang jenazah Mora. Jordan mengambil plastik dan meraup pistol dengan hati-hati, meski dirinya ketakutan memegang senjata api itu. Jordan pergi ke galley dan menyembunyikan pistol dalam-dalam di salah satu kompartemen. Pokoknya jangan sampai siapa pun dapat menemukannya dengan mudah.

Setelahnya, Jordan menarik selimut lain dari kamar, memberikannya kepada Maulana yang kemudian membungkus tubuh Andre di atas sofa. Darah masih mengucur keluar dari kepala Andre. Mata Andre sudah ditutup dengan damai. Baik Andre maupun Mora dipasangkan sabuk pengaman yang menempel di sofa, agar tubuh mereka tidak terpelanting ke atas lantai saat pendaratan darurat terjadi.

Di kokpit, Randian mencoba usaha terakhir mengomunikasikan dua permintaan pembajak yang belum terpenuhi. Mike mewanti-wanti bahwa pesawat tetap akan mendarat di Sungai Musi seiyanya Randian berhasil membujuk maskapai untuk mengabulkan permintaan itu. Namun Randian tak menyerah.

“Ya udah gapapa! Misal kita mati, seenggaknya kita udah berusaha buat bertahan hidup. Jangan sampai kita mati karena enggak melakukan apa-apa.”

Mike tak dapat meminta bantuan Laurence karena first officer itu sedang terguncang. Laurence masih menangis di kursinya, tak kuasa menghadapi kehilangan yang tiba-tiba barusan. Meski dirinya tahu itu akan sia-sia, Mike pun memanggil radio ke flight dispatcher dan menyerahkannya kepada Randian.

Pembicaraan itu singkat. Intinya Randian dengan berang menyampaikan permintaan pembajak yang belum terpenuhi. Mike pun menyampaikan rencananya belly landing di Sungai Musi, yang berarti pesawat tak akan bisa digunakan lagi dalam bentuk apa pun. Kalau masih ada bagian yang bagus, bisa dipreteli. Namun jika pesawat tenggelam ke dasar sungai, kemungkinan besar tak ada lagi yang bisa diselamatkan.

Sepeninggal Randian dari kokpit, Mike mulai mematikan mesin dan menggunakan kemampuan pesawat untuk meluncur di udara tanpa daya dorong. Posisi pesawat di atas Pangkalpinang sekarang, mulai menurun dengan cara gliding, berharap bisa mencapai Palembang meskipun itu tidak mungkin. Indikator sisa bahan bakar di layar membuat Mike sangat pesimis. Sisa itu akan dia gunakan saat mendarat di atas air, agar pendaratan bisa terasa lebih mulus dan imbang. Agar hidrolik masih tetap bekerja dengan baik.

“Jakarta Center,” panggil Mike. “This is Delta Victor Niner Niner Niner, we’re positive to ditch on Musi River. Requesting assistance and … if possible, command all water vehicles to clear the area.”

Setelah komunikasi beberapa saat dengan radio, Mike menoleh ke arah Laurence dan mengulurkan tangannya. Kopilot itu awalnya masih merenung tak percaya. Kemudian, dia membalas juga uluran tangan Mike.

“It’s going to be alright, okay?”

“Andre meninggal.” Ketika mengatakan itu suara Laurence bergetar.

“Dan dia akan meninggal sebagai pahlawan, asal kita bisa mendaratkan ini dengan sempurna.”

“Tapi dia meninggal.”

“Dan kamu akan hidup,” balas Mike. “Hidup untuk mengenangnya, hidup untuk memberi tahu dunia bahwa Andre orang yang sangat baik.”

“Dari mana kamu tahu dia orang yang sangat baik.”

“Trust me, I know a lot.” Mike tersenyum. “Saya mengenal dia dalam sebuah insiden pesawat, dan dia tetap berjuang meski seluruh dunia jahat kepadanya. Saya mengenal dedikasinya, saya mengenal prestasinya, saya mengenal niat baiknya. Saya mengenal usahanya untuk bertahan hidup di tengah-tengah perlakuan yang enggak adil. Kalau dia harus pergi untuk selamanya … dia bukan sedang menyerah.

“Dia sedang menuju tempat yang lebih baik untuk dirinya.”

Genggaman tangan itu bergetar. Bukannya membaik, Laurence malah semakin terguncang. Dia menangis selama beberapa saat, kembali mengaburkan pandangannya dengan air mata.

“Take your time. But I really need your hand to help me land this plane,” ujar Mike lembut. “Kita lakukan ini untuk dua teknisi yang menyerahkan nyawanya untuk kita. Oke?”

Laurence mengangguk dalam tangis. “Boleh aku membacakan surat yang dia tulis untuk aku?”

“I’d love to hear that.” Mike melepas sabuk pengamannya, membungkuk melewati sebuah panel di dekat kakinya, lalu menarik kepala Laurence ke arahnya. Mike mengecup kepala Laurence dengan lembut. “Read it out loud. Saya juga mau mendengar ungkapan cintanya yang tulus.”

Laurence merogoh saku celananya, mengeluarkan selembar kertas yang sudah terlipat-lipat. Tulisan Andre terkaligrafi di atasnya. Tulisan yang dibuatnya ketika menelan obat penawar racun tanpa tahu apakah obat itu betulan obat, atau malah racun tambahan. Tulisan yang dibuat Andre ketika berpikir dirinya akan mati.

Yes, everything is going to be alright. I love you. And I thank you. I might be dead when you read this, but my love for you will stay infinite. Whatever results that’d happen to my body, I want to see you smile on the other side of the world. 



To be continued ....


<<< Part 24  |  The Flying Paradise  |  Part 26 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Nude 33

  ssendrawkwA emitefiL .33     Pada suatu pagi lima tahun lalu, Miza bangun lebih pagi dari biasanya meski semalaman tak bisa tidur. D...