Jumat, 16 Juli 2021

Nude 33

 ssendrawkwA emitefiL .33

 

 

Pada suatu pagi lima tahun lalu, Miza bangun lebih pagi dari biasanya meski semalaman tak bisa tidur. Dia menatap ranselnya yang sudah dipenuhi oleh impian dan rencana. (Dan baju-baju, alat mandi, alat kesehatan, alat safety, peta, jas hujan, tenda, dan lain-lain.) Satu ransel lagi dia siapkan juga untuk seseorang, tetapi sebuah insiden membuatnya harus menyingkirkan sebagian mimpinya itu.

Tak apa, batin Miza. Setengah mimpi yang tersisa tetap harus mengudara.

Miza memasukkan buku rencana perjalanan dan mengecek beberapa voucher hotel yang sudah dipesan sebelumnya. Semua atas nama Amizade Adhyastha, nama lengkapnya sendiri. Setelah mandi air hangat cukup lama—karena belum tentu dalam perjalanan satu bulan ke depan dia bisa ketemu kucuran shower senikmat ini—Miza menuruni tangga dengan bersemangat. Dua ayahnya sudah bangun juga, menyiapkan sarapan dan bekal makan siang untuk dibawa.

“Pagi, Pa! Pagi, Yah!” sapa Miza sambil langsung meneguk air putih dari dispenser.

“Semua sudah dicek belum?” tanya Dedy, ayah kandungnya.

“Udah, Pa.” Miza mengambil botol minum yang akan dibawanya, lalu mengisinya dengan air.

“Tiket-tiket? Uang tunai?” tanya Surya, suami ayah kandungnya. “Nanti kamu singgah di desa-desa enggak ada ATM, lho.”

“Aku pegang lima ratus ribu buat sekarang. Tapi di Tasik pasti ada ATM, lah. Entar ngambil di sana aja.”

Ayah kandung Miza, Dedy adalah seorang gay. Setelah bertahun-tahun menikah dengan ibunya Miza, Dedy menceraikan istrinya untuk kemudian menikahi lelaki idamannya, Surya. Karena Surya bekerja di sebuah organisasi pemerintah Belanda berbasis di Bandung, menangani tenaga kerja warga negara Belanda di Jawa Barat, Surya punya semacam hak istimewa untuk melegalkan pernikahannya dengan Dedy di Amsterdam. Keduanya memenangkan hak asuh atas Miza, sehingga selama empat tahun terakhir Miza tumbuh di sebuah keluarga non-konvensional Indonesia.

“Oh iya,” sahut Miza teringat sesuatu, “ransel satu lagi di mana?”

“Yang kamu pengin buang itu?” tanya Dedy.

Miza menyipitkan mata dengan canggung. “Enggak harfiah buang juga, sih. Sayang banget itu ada tenda sama perlengkapan lainnya di dalam tas—“

Enggak dibuang, lah,” potong Surya. “Papa simpan aja.”

Miza manggut-manggut. “Oke. Aku berangkat dari rumah jam 8-an, ya. Ke Cicaheum.”

“Mau diantar?”

“Boleh.”

Perpisahan itu nyatanya lebih berat dibandingkan apa yang mereka bayangkan. Mungkin karena Miza nyaris setiap hari menceritakan detail perjalanannya, Dedy dan Surya mengira akan mudah melepas bocah itu melanglang buana sendirian ke Nusa Tenggara. Hanya sebuah ransel berisi perlengkapan penuh dibawa Miza. Persis Dora the Explorer. Jadinya, pelukan mereka cukup lama di dalam mobil yang terparkir dekat gerbang masuk Terminal Cicaheum.

“Udah, Yah. Entar aku ketinggalan bus yang ke Banjar.” Miza menggerutu.

Dedy dan Surya dua-duanya menitikkan air mata. “Kamu hati-hati, ya Nak. Jangan percaya sama orang asing yang belum kamu kenal-kenal banget.”

“Iya.”

“Dan jangan lupa minum air putih, pokoknya kamu jangan sampai dehidrasi.”

“Iyaaa ....”

“Kalau banyak nyamuk di sekitar, Autannya dipake, ya. Papa masukin di pinggiran ransel—“

“Iyaaa ....”

“Jangan padukan baju merah sama celana ijo, pokoknya. Secara fashion itu enggak nyambung.”

Miza memutar bola mata lalu mengecup pipi kedua ayahnya. Dia turun dari mobil dan menyusuri rentetan bus yang akan bertolak ke semua tujuan di timurnya Kota Bandung. Miza merasa bersemangat sekali karena akhirnya dapat mewujudkan perjalanan ini. Sudah sejak lama rencana perjalanan disusun, tetapi inilah hari pertama Miza benar-benar melaksanakannya.

Tujuan pertama adalah bus menuju Banjar, Tasikmalaya. Miza celingukan untuk mencari apakah ada alternatif bus yang lebih baik—murah tapi nyaman. Namun pandangannya justru jatuh ke seseorang yang berdiri kira-kira sepuluh meter darinya. Miza kenal orang itu. Sosoknya memenuhi benak Miza berminggu-minggu terakhir, mulai dari pengalaman menyenangkan, hingga pengalaman paling pahit.

Nama bocah itu Stevan. Mengenakan celana pendek, topi, dan ransel besar yang Miza kenal betul.

Sialan, batin Miza. Itu ranselnya Miza yang pagi tadi seharusnya ada di belakang pintu, lalu Surya bilang “sudah disimpan”. Itu adalah ransel yang memang rencananya mau diberikan kepada Stevan. Miza tak bisa memungkiri bahwa ini adalah pemandangan yang membahagiakan bagi Miza. Sahabat terbaiknya, akan ikut dalam perjalanan ini.

Ternyata mimpi Miza tidak mengudara setengah saja.

Mimpi ini penuh.

Miza menelan ludah karena bingung harus berkata apa sekarang. Secara teknis, Miza seharusnya membenci sosok ini. Namun Miza tak sanggup berbohong bahwa dia rindu menghabiskan waktu bersamanya. Jadi ketika Stevan menghampirinya, Miza hanya sanggup bertanya singkat, “Ngapain?”

“Mau road trip,” jawab Stevan.

“Ke mana?”

“Ke Kupang.”

Sudut bibir Miza sudah ingin berkedut untuk tersenyum. Namun Miza mencoba menguasai harga dirinya. “Elo mau ngikutin, ya?”

Enggak,” jawab Stevan, sambil memiringkan kepala. “Aku enggak mau ngikutin. Aku mau jalan bareng sama kamu. Di samping kamu. Bukan di belakang.”

Beberapa minggu sebelumnya, saat Stevan berulang tahun, Miza menyiapkan kado kecil berupa rencana perjalanan mereka ke Nusa Tenggara. Miza menuliskan bahwa dia ingin menemani Stevan meraih impiannya dengan cara berjalan bersamanya, di sampingnya, bukan di depan atau di belakangnya.

Itu kata-kata gue, Bro, batin Miza GR.

“Kenapa elo tahu gue ada di sini?” tuntut Miza, tak mau terima.

Jutaan pertanyaan menghantui benaknya. Siapa yang berkomplot memberikan ransel itu kepadanya? Siapa yang memberitahunya bahwa Miza akan ada di sini pada jam segini? Mengapa dia bisa tahu kutipan di hadiah ulang tahun Stevan itu, karena Miza merasa sampai hari ini belum menyerahkan hadiahnya kepada Stevan.

“Karena aku tahu first stop kita bakal ke mana,” balas Stevan.

Miza tak terima. “Elo, kan lagi sibuk nyari gigolo. Itu yang terakhir gue denger.”

“Yaaa ... bener.” Stevan nyengir. “Terakhir. Which means, enggak akan ada lagi. Ter ... a ... khir.”

Miza masih tak terima. “Oh iya, elo lagi ngebet pengin jadiin kakak elo sendiri pacar elo. Gitu, kan? Ke mana dia sekarang?”

“Sama orang yang tepat buat dia,” jawab Stevan lagi, percaya diri. “Enggak tahu siapa, karena aku juga udah sadar, dia bukan ‘teman seperjalanan’-ku mengarungi hidup ini. Apalagi sekarang aku udah tujuh belas tahun. Aku harus jadi manusia dewasa. Aku bakal jalan bareng ‘teman seperjalanan’ yang tepat buat aku.”

“Siapa?”

“Kamu mau tahu namanya?”

Miza GR dan salah tingkah bukan main. Dia yakin sekali yang dimaksud itu dirinya, dan dia sungguh berbahagia mendengar Stevan sudah kembali ke kesadarannya. Namun karena gengsinya tinggi, Miza mengelak, “Enggak juga, sih. Terserah elo aja.”

“Namanya Miza,” jawab Stevan. “Orangnya baiiik, banget. Suka sama Linkin Park, Liverpool, sekaligus Michael Buble. Dia orang paling toleran yang pernah aku kenal. Dia berani nyelamatin sahabatnya dari jurang yang mematikan. Dia juga jujur, penuh kejutan, dan punya impian besar yang, hmmm ... aku nggak tahu harus balas budi kayak gimana andai dia ngajak aku gabung di impiannya itu. Dan, terakhir yang aku dengar, dia sayang sama aku.”

Miza menahan tawa. Karena, ya, benar gue sayang elo, batinnya. Namun bukan Miza namanya sebelum mengetes Stevan untuk kali terakhir. “Kenapa lo sepede ini, datang ke sini bawa ransel yang gue simpen di balik pintu, berlagak kalau gue bakal ngajak lo jalan?”

Stevan menghela napas panjang. “Enggak, aku enggak pede. Aku enggak butuh pede malah.” Dia mengeluarkan sebuah buku yang rencananya akan Miza berikan kepada Stevan pada perayaan ulang tahunnya kemarin. Miza tak tahu dari mana Stevan bisa mendapatkan kado itu. Namun dia lebih gembira karena Stevan sudah menerimanya. “Aku cuma ngikutin apa yang ada di buku ini. Peta harta karun. Petualangan yang enggak akan pernah aku lupakan. Barengan orang yang aku yakin bisa jaga aku meski kita harus lompat-lompat dari Bali, ke Lombok, ke Flores, ke Kupang, ke ... mana ini?”

Miza melihat pulau yang ditunjuk Stevan di buku. “Itu Waingapu.”

“Nah, iya, itu. Waingapu. Aku cuma pengin wujudin semua yang udah ditulis orang itu di sini. Balap sepeda di bekas bandara Lombok? Oke!”

Akhirnya Miza nggak tahan lagi. Dia merangkul Stevan dengan erat dan bertanya, “Elo ke mana aja, Van?”

“Kak?”

“Kenapa elo hilang dari gue?”

“Kakak?”

Kemudian Miza terbawa kembali ke 2020 di mana situasi dan kondisi sudah benar-benar berbeda. Sosok yang ada di hadapannya benar-benar mirip Stevan, tetapi itu bukan Stevan. Dengan canggung Miza melepaskan pelukan itu dan mencoba menyusut air di sudut matanya.

“Oh, sorry. Sampai mana kita tadi?”

Tommy mengerutkan alisnya. “A-aku tadi nanya ke Kakak, kunci kamar mau dibawa siapa? Aku atau Kak Miza?”

Miza menarik napas panjang dan segera memutuskan. “Elo aja yang pegang. Oke? Jangan hilang, ya.”

*  *  *

Tak terjadi apa-apa di kamar hotel semalam. Antara Tommy menyesalinya, atau mensyukurinya. Tommy tak ingin menjadi anak kurang ajar dengan meraba-raba alumni ganteng saat mereka tertidur. Padahal kesempatan itu ada. Dan besar. Persis kayak semua video porno prank straight di Twitter, di mana si pemilik akun menggerayangi kawan straight-nya sambil memvideo, lalu dia menjual videonya.

Tommy enggak kepikiran untuk bisnis prank straight, sih. Meskipun dia sudah punya tiga calon klien yang gantengnya luar biasa, dan pasti bisa dijual tinggi. Enggak, enggak, enggak. Membayangkan dirinya meraba straight yang sedang tidur pun sudah merasa sangat jahat. Tommy penasaran, dari mana para gay nekat ini punya keberanian untuk menggerepe orang yang sedang tidur? Kalau Reynhard kemarin, kan menunggu korbannya mabuk. Kalau orang-orang di Twitter ini, kan pas korbannya sedang tidur. Gimana kalau mereka terbangun, lalu awkward sepanjang masa?

Tommy enggak mau mengambil risiko itu. Tommy hanya menarik selimutnya lebih tinggi, memunggungi Miza, dan berdoa tidak kena sial atau apa. Meski pada akhirnya Tommy terpaksa harus berbalik ke arah Miza (karena pegal di satu posisi terus-terusan), lalu Tommy harus melihat siluet tampan itu tidur bertelanjang dada.

Pagi tadi akhirnya Tommy masturbasi di kamar mandi. Kucuran air shower dinyalakan deras, kelaminnya dikocok oleh sabun. Topik onaninya adalah Kak Miza. Semua rekaman Miza mulai dari dipergoki mandi tanpa pintu dikunci hingga semalaman tidur telanjang dada, diputar kembali oleh Tommy sambil berfantasi.

Selesai sarapan dan bersiap-siap, Tommy merasakan Miza agak lain. Seniornya itu melamun sepanjang pagi, memikirkan sesuatu. Ketika mereka bersiap untuk berkumpul di lobi, Miza tiba-tiba memeluknya sambil menangis. Cowok itu menyebutkan nama Stevan berkali-kali. Tommy harus menepuk-nepuk punggung Miza untuk membangunkannya dari khayalan. Setelah Miza sadar, sepanjang hari cowok itu tampak normal.

Perjalanan ke Pulau Madura ditempuh dalam waktu singkat. Menuju Pulau Maduranya sih hanya beberapa menit, tetapi setelah menyeberangi Jembatan Suramadu, masih ada dua jam lagi bagi mobil untuk tiba di tempat tujuan. Pemerintah Kabupaten Sumenep tertarik mengajak travelustration untuk berkeliling beberapa wisata pantai di Pulau Madura dan melukisnya ke dalam ilustrasi. Disokong oleh sponsor perusahaan-perusahaan lokal (kebanyakan garam), travelustration punya dana untuk sebuah kegiatan panjang selama tiga hari di Madura, seraya mempromosikan wisata lokal.

Posisi duduk di mobil terbagi menjadi seperti ini: Miza duduk di depan di samping sopir; Alvian, Ruli, Tommy di jok tengah; Qonita dan Sasha di jok belakang. Mungkin karena terpisah, fokus Miza sudah tak jatuh pada Tommy seorang. Miza melayani semua candaan atau pertanyaan dari anggota travelustration yang ikut serta. Tidak seperti perjalanan dari bandara ke hotel, di mana Miza dan Tommy duduk di jok paling belakang, saling berpegangan tangan sepanjang perjalanan.

Ruli orangnya kepo dan banyak omong. Sepanjang jalan dia mengoceh terus-menerus, membuat Alvian kesal. Tommy di lain sisi justru bersyukur Ruli banyak omong, karena berarti dirinya tak perlu mengatakan apa-apa dalam perjalanan. Tommy bisa tenggelam dalam musik melalui earphone sambil menatap ke luar jendela.

Semuanya begitu damai sampai akhirnya Shasha, yang duduk tepat di belakang Tommy mencolek bahunya. “Pst! Kamu lagi dengerin lagu apa?” tanyanya kepo.

Tommy melepas earphone dan mematikan lagunya melalui tombol yang tersedia pada kabel. Karena dia tahu setiap genre musik sering diasosiasikan dengan gender atau orientasi seksual tertentu, Tommy pun menjawab, “Avenged Sevenfold,” meski itu omong kosong. Tommy sebenarnya sedang mendengarkan Boy With Luv-nya BTS berulang-ulang, tetapi tak mau dianggap gay karena mendengarkan lagu-lagu Korea. Saat SMP, anak-anak cowok maskulin sering menyebutkan soal Avenged Sevenfold, dan Tommy merasa itu maskulin banget, jadinya kalau ditanya soal lagu ya itulah jawaban Tommy.

Seumur hidup Tommy belum pernah mendengarkan lagu Avenged Sevenfold.

“Judulnya apa?” tanya Shasha lagi, kepo.

Tommy jelas tak tahu jawabannya. “Yang terkenal itulah,” jawabnya. Kemudian Tommy lepaskan earphone satunya lagi supaya dianggap sudah tidak tertarik mendengarkan lagu.

“Yang judulnya Dear God?”

Tommy tidak tahu sama sekali. “Iya.”

“Aku kemarin video call-an sama Yana, Udin, sama Karyo, temen-temen kamulah,” kata Shasha.

Mereka bukan temanku, ya Tuhan ..., batin Tommy tak percaya. Namun Tommy tak punya kesempatan menyela karena Shasha mencerocos terus-menerus, bahkan ketika Ruli sedang heboh membahas kerbau yang dilihat di pinggir jalan tadi, “Pasti itu karapan sapi untuk ngaben, ya?” Mungkin Shasha sengaja memanfaatkan kehebohan itu untuk bicara dengan Tommy, karena Miza, Alvian, dan Qonita tentu saja langsung menanggapi komentar Ruli dengan berisik.

“Si Yana tuh pengin minta bantuan kamu,” bisik Shasha sambil cekikikan sendiri.

Tommy tidak terlalu dekat dengan Yana, tetapi dia cukup sering bertemu. Khususnya saat Tommy ada urusan dengan Karyo dan Baharudin, biasanya Yana mengekor di sekitar mereka. Orangnya ramah, sebenarnya. Jembatan antara Karyo dan Baharudin yang sifatnya berbeda. Kalau bertemu di koridor, Yana akan menyapa duluan (beberapa kali Tommy tak menggubrisnya karena takut orang-orang mengira Tommy bersahabat dengan trio banci). Mendengar Yana ingin meminta bantuannya bagi Tommy terdengar aneh.

“Bantuan apa?”

Shasha mengedikkan kepalanya ke arah Miza yang duduk di depan. Miza sedang menggelengkan kepala sambil menoleh ke arah Ruli. “Bukan ngaben kali, Rul. Ngamen!” Tawa Miza lebar sekali.

“Jangan bilang-bilang, tapi.”

Tommy memutar bola mata. Shasha tak bisa melihatnya karena Tommy sedang menghadap ke depan.

“Nanti aku bilang pas udah sepi, ya.”

Tommy sama sekali tidak menunggu momen itu. Namun Shasha benar-benar serius ingin meminta bantuan Tommy. Atau secara teknis, Yana yang meminta bantuan. Ketika mereka tiba di pantai pertama Kabupaten Sumenep, Pantai Slopeng Shasha langsung menarik Tommy menepi. Kebetulan Miza langsung memberikan komando jelas pada ketibaan mereka.

“Gue ma Alvian mau cari management lokal dulu. Kalian ambil foto sebanyak mungkin spot-spot yang bisa dipake buat ilustrasi. Qonita, elo observasi retail sekitar, ya.”

“Oke, Kak.”

Miza dan Alvian menghilang mencari kantor management pantai. Shasha langsung menarik Tommy ke sudut yang cukup jauh dari Ruli maupun Qonita. Cukup banyak orang berkunjung ke Pantai Slopeng siang itu, mungkin karena ini hari Sabtu. Pantainya memanjang lurus dengan pasir putih, tidak ada bebatuan granit maupun karang-karang yang menghalangi. Tommy terpukau dengan keindahannya, karena terakhir kali ke pantai Tommy mengunjungi Pangandaran. Bagi Tommy, Slopeng ini jauh lebih indah dibandingkan Pangandaran.

“Yana suka sama Kak Miza,” ujar Shasha tiba-tiba, ketika Tommy sedang asyik mengambil beberapa gambar. “Dia naksir pas travelustration demo ke kelas-kelas pas MOS.”

“Oh, ya?” balas Tommy malas-malasan.

Pertama, itu bukan urusannya. Kedua, Miza ini ganteng. Wajar kalau ada yang naksir. Kalau enggak ada yang naksir, baru itu nggak normal.

“Iya. Dia udah nge-like semua foto Miza di Instagram.”

That is creepy, batin Tommy. “Wow,” ungkapnya di mulut, kembali fokus mengambil foto. “Sangat berdedikasi.”

“Yana emang gay. Kayak kamu.”

Tommy tersinggung. Dengan sigap, Tommy menyergah, “Aku bukan gay, ya!” Hanya karena dulu pernah berbicara hati ke hati dengan Karyo dan Baharudian, bukan berarti Tommy akan mengaku ke semua orang bahwa dia gay. Apalagi ini, Shasha. Siapa coba Shasha dalam hidupnya? Misal dia tahu Tommy gay dari trio banci itu pun, Shasha enggak berhak menghakimi Tommy sebagai gay.

“Masa, sih?” Shasha menautkan alis, tak percaya. Dia bahkan menatap Tommy atas bawah.

“Kamu temenannya sama gay, sih. Ya iyalah dia bilangin semua orang gay,” ujar Tommy berkelit. Tommy masih pada misi awalnya masuk sekolah ini, jangan sampai terdeteksi gay oleh siapa pun. Miza yang semalam saja menunjukkan gejala-gejala, “I’m okay with gay people cause my best buddy was also gay,enggak membuat Tommy mengaku, “Yes, I’m gay too.

Bagi Tommy, keamanan dirinya di ujung tanduk kalau orang-orang tahu dia gay. Revan saja sudah berani menendangnya di tempat umum hanya karena menguping pembicaraan Tommy dengan Karyo dan Baharudin. Akan ada berapa orang yang menendang Tommy begitu seisi sekolah tahu dirinya gay?

Tommy mulai memantapkan hati untuk tidak berinteraksi dengan semua orang yang mempercayai bahwa Tommy gay.

Shasha tidak berusaha mendebat itu, karena dia punya misi lain. “Jadi, karena kamu sekamar sama Kak Miza, Yana mau minta bantuan. Tapi ini Yana, ya. Bukan aku. Aku sih ngecenginnya Kak Vian, bukan Kak Miza.”

“Bantuan apa?”

Shasha menarik napas panjang-panjang. Dia celingukan untuk memastikan tidak ada yang mendengarnya. Ada sih beberapa orang yang lewat di dekat mereka, tetapi Shasha enggak kenal. “Yana pengin kamu foto atau videoin Kak Miza pas lagi tidur.”

What?!” pekik Tommy terkejut. “Itu nggak sopan, woy!”

Please, katanya. Kalau perlu bayar, dia bayar, deh. Bukan fotoin aneh-aneh Kak Mizanya telanjang atau apa. Foto diam-diam aja. Pas lagi ganteng-gantengnya.”

Enggak, ah,” tolak Tommy. “Ngambil foto atau video diam-diam itu perbuatan kriminal,” lanjut Tommy, sambil berusaha keras melupakan fakta bahwa dia pernah merekam Jerome dan Sheena.

“Ayolah .... Entar aku nggak akan bilang-bilang, kok!”

“Bilang-bilang apa?” Tommy mulai gusar.

“Bilang ke orang-orang kalau kamu lagi pedekate sama Kak Miza. Sepanjang jalan kemaren pegangan terus. Dibikin sekamar, pula. Apalagi kalau bukan lagi pendekatan. Bener, enggak?”



To be continued ....


<<< Part 32  |  Nude  |  Part 34 >>>

12 komentar:

  1. kak, nanti ada part tommy sama guru antropologi lagi kan?

    BalasHapus
  2. Tanggal update nya melenceng terus ya :')

    BalasHapus
  3. Bang ini masih lanjut kan ya?

    BalasHapus
  4. Bang udah tanggal 20 nih bang ��

    BalasHapus
  5. Bang udah hampir sebulan bang, kapan nih mau update lagi

    BalasHapus
  6. Ini Uda 1 September bg, Uda telat brp Minggu ��

    BalasHapus
  7. mau beli yg paket 15000. tapi biaya adminnya 15500. Sedih banget :') nunggu gratis deh, mungkin updatenya setahun lagi karena masih banyak yg beli paket. Kak mario gak mungkin bisa update cepet karena menghargai yg udah beli :')

    BalasHapus
  8. Aku berharap banget cerita ini masih lanjut di sini :( sebagai readers miskin aku ikhlas aja deh nunggu yang gratis :(

    BalasHapus

Nude 33

  ssendrawkwA emitefiL .33     Pada suatu pagi lima tahun lalu, Miza bangun lebih pagi dari biasanya meski semalaman tak bisa tidur. D...