ydoleM naissuR .23
Satu-satunya tempat yang selalu
Revan hindari adalah rumah. Dia tak pernah bisa memahami segala jenis quote yang merujuk rumah sebagai tempat
terbaik di dunia ini. Kalau bisa kabur dari rumah, Revan sudah melakukannya
sejak dulu. Sayang sekali dia tidak bisa, dan tidak diizinkan.
Bukan berarti Revan tak pernah
mencoba. Dua tahun lalu saat masih kelas VIII, Revan kabur ke sebuah rumah
orang asing di daerah Dago. Dia pikir lokasi ini sudah cukup jauh dari rumahnya
di sekitaran Pasir Koja—apalagi saat itu dia berjalan kaki. Namun baru saja
sampai dan mengetuk satu pintu untuk menumpang tidur, pemilik rumah membawanya
ke polisi dan orangtua Revan pun datang menjemput. Sejak saat itu Revan tak
pernah percaya orang asing.
Kalau Revan harus berada di rumah,
dia akan mengunci diri sepanjang hari di dalam kamar. Baru keluar untuk makan,
mandi, dan buang air. Revan sudah lama tidak menonton TV atau bertegur sapa
dengan banyak anggota keluarganya. Apalagi dengan tetangganya, yang masih
keluarganya juga. Revan keturunan Sunda asli yang hobi sekali menetap
berdekatan dengan anggota keluarga. Sebanyak 60% warga RT 04 di mana Revan
tinggal, masih berhubungan darah dengan Revan.
Jadi, sepulang sekolah, Revan akan
mengembara tanpa arah keliling Bandung, mendengarkan musik dari ponselnya yang
di-flight mode, lalu menaiki angkot
pulang ke rumah ketika azan Isya berkumandang. Kalau dalam perjalanan dia
bertemu anak kecil yang tak diawasi orangtuanya, Revan menyempatkan diri untuk
mem-bully. Apalagi kalau dia bertemu rombongan anak SMP
yang kelihatan banci, Revan pasti
akan mem-bully.
Jumat malam itu, Revan terbawa
pikirannya hingga ke arah Soreang. Di Jalan Kopo yang ramai, Revan baru
menyadari bahwa azan Isya sudah lewat sejak satu jam yang lalu. Betisnya yang
kencang (karena keseringan berjalan) mulai terasa agak lelah. Revan pun duduk
di halte bus terdekat, berdampingan bersama tukang putu yang sedang
beristirahat juga.
Revan tak mau pulang. Apalagi dari
Kopo sini menuju Pasir Koja tinggal lurus saja mentok di pertigaan Pasir Koja,
maka rumahnya sudah dekat. Hari ini Jumat malam, memang. Lalu lintas sedang
padat-padatnya. Revan tetap malas menaiki angkot berikutnya yang lewat.
....
Namun Revan harus pulang.
Dia tahu dia harus pulang supaya
tetap bisa makan dan dapat uang jajan. Ada sepatu yang ingin dia beli
akhir-akhir ini, Revan sedang mengumpulkan uang untuk membelinya. Dengan sepatu
itu, mungkin dia bisa berjalan lebih jauh.
Karena lapar, Revan mencuri putu
yang sudah matang, lalu menendang gerobak tukang putu hingga terguling,
termasuk si penjualnya. “Kunaon air
maneh?!” teriak si penjual marah-marah, tetapi Revan hanya berlari puas
menjauhi halte, sambil menyumpal mulutnya dengan banyak sekali kue putu.
Sebelum tukang putu itu mengejarnya, Revan melompat masuk ke satu angkot yang
memang melaju menuju rumahnya. Dia duduk di dekat pintu, terengah-engah tetapi
merasa gembira.
Dia harus tertawa. Karena mungkin
tawa itu tak akan bisa berlanjut ketika dia tiba di rumah.
Butuh sekitar satu jam melewati
macetnya Jalan Kopo Bandung dan hobi menahun para sopir angkot yaitu ngetem di setiap muka gang. Revan
akhirnya sampai di rumahnya, menggenggam tali ransel kuat-kuat, sambil menarik
napas panjang. Belum juga dia tiba di rumahnya, gaung konser dari dalam rumah
Revan sudah terdengar hingga rumah ketiga.
“Nya
sok atuh sia lebok wé sorangan éta awéwé nepi ka péot! Sing seubeuh, tah! Améh
di naraka bisa jadi gegedugna sétan!”
“Manéh
euweuh sopan-sopanna pisan ngomong ka salaki! Hayang ditampiling deui, hah?!”
Suara itu sayup-sayup, tetapi
semacam itulah konser musiknya. Revan pura-pura tak tahu lagu apa yang sedang
ditampilkan. Anggap saja kamu sedang dengar lagu bahasa Rusia, dan kamu enggak mengerti, supaya Revan tak
perlu repot-repot menerjemahkannya untukmu.
Beberapa tetangganya ingin tahu
lagunya apa, jadi mereka menatap penasaran ke arah Revan yang sedang berjalan
pulang. Revan menunduk, pura-pura tuli, bergegas masuk ke rumah tanpa menoleh
ke belakang sekali pun.
Di ruang tamu, ada cukup banyak
orang yang hadir di konser. Tak satu pun dari orang itu berminat menikmati
konser. Semuanya sibuk masing-masing seolah-olah bising konser itu tak sampai
ke telinga mereka. Revan tinggal di rumah yang cukup besar, dengan jumlah
keluarga yang besar pula. Ada tiga keluarga tinggal berdesakan di rumah itu.
Nomor rumah sampai harus dibuat tiga agar beda kartu keluarga dan keterangan di
KTP.
Pamannya sedang menonton TV,
bibinya memetik kangkung, neneknya berusaha merayu sang paman untuk mengganti channel ke acara dangdut, dua sepupunya
mengerjakan PR, pamannya yang lain duduk di sofa sambil memainkan ponsel,
bibinya yang lain baru keluar dari kamar mandi. Ada tiga sepupunya yang lain
yang sedang menghabiskan keripik sambil main UNO di ruang makan.
Tepat di ruang keluarga lantai
dua, konser itu diadakan.
“Pan
aing ogé nempo maké panon aing sorangan!”
“He-euh,
éta téh ngaranna asumsi! Nyaho!”
“Asumsi
bujur sia siga munding, hah?! Sia bobogohan jeung awéwé éta, aing gé nyaho!”
“Tuluy
mun bobogohan, urusan jeung manéh naon?!”
“Sia
kan salaki aing!”
“Manéh
jadi pamajikan gé teu balég! Gawé teu becus! Teu bisa ngumbah wadah!”
“Émang
sia geus méré naon ka aing, hah?!”
Bahasa
Rusia, batin
Revan. Jadi ketika Revan tiba di anak tangga teratas, Revan berjalan melewati
para penyanyi menuju kamarnya sendiri. Dia menutup telinga, karena senandung
itu terlalu berisik. Mungkin setting-an
sound system-nya memaksimalkan echo dan bass. Salah satu penyanyi bahkan mengajak Revan bernyanyi, seperti
konser di mana bintangnya berseru, “Are
you readyyy ...?!”
“Tah
tingali éta budak balik peuting waé unggal poé! Sia téh jadi bapak di mana
tanggung jawabna!”
“Éta
gé tanggung jawab manéh, anjing!”
BRAK! Revan membanting pintu kamar dan
menguncinya.
Tanpa nyawa, Revan meletakkan
ransel ke atas kursi, melucuti tubuhnya hingga telanjang, masuk ke dalam
selimut, kemudian menangis. Tangisannya tak bersuara, bahkan kucing pun tak
akan menegakkan telinga misal ada di ruang yang sama. Namun tangisan itu pilu
dan menyakitkan, setidaknya bagi Revan.
Dua puluh menit kemudian, dalam
kondisi masih menangis, pintu kamar Revan diketuk.
“Van, buka,” kata pengetuk pintu,
lembut, tetapi menitah.
Revan mengabaikannya.
“Ayo, Van. Kamu harus buka.”
Itu bukan ayah ibunya. Itu
pamannya, yang tadi asyik menonton TV. Sang paman sejenis orang yang
berdedikasi. Kalau pintunya belum dibuka, dia tak akan pernah pergi sampai
mati. Jadi Revan turun dari atas tempat tidur, membuka kunci, lalu melompat
lagi ke balik selimutnya.
Sang paman masuk ke dalam kamar
dan mengunci pintu.
* * *
Tempat paling indah bagi Karyo
adalah rumahnya. Enggak
secara spesifik segala bagian dari rumah itu, tetapi setidaknya dia senang
berada di kamarnya sendiri. Pukul sembilan malam Jumat itu Karyo baru saja
pulang dari latihan dance. Para
senior membagi tugas kepada anggota baru untuk membentuk kelompok dan
menciptakan gerakan dance sendiri.
Kelompok yang menang punya kesempatan untuk dipilih oleh senior dan ikut tampil
di sebuah acara besar di Transtudio Mall. Karyo berlatih keras bersama
Baharudin, Yana, Azeza, dan Mishka. Mereka sudah menyelesaikan semua koreografi
untuk lagu Blackpink
yang di-mix selama lima menit.
Jadi ketika malam itu Karyo tiba
di rumahnya, dia merasa bahagia sekali. Lelah latihan membuat dirinya ingin
segera bergelung di bawah selimut dan melakukan rutinitas weekend favoritnya. Karena ini sudah cukup larut, ayah Karyo yang
kumisnya tebal itu sudah ada di rumah, duduk santai menonton TV.
“Assalamu ‘alaikum,” sapa Karyo
sambil menunduk, menenteng sepatu sekolahnya untuk disimpan di rak sepatu dekat
dapur.
“Dari mana kamu?” balas sayang
ayah.
“Latihan ekskul, Yah.”
“Ekskul macam apa jam segini masih
pulang?”
“E-ekskul bola, Yah. Sepak bola.
Mau ada pertandingan.”
Sang ayah manggut-manggut sambil
tersenyum. “Apa posisi kamu di sepak bola?”
Karyo tak tahu apa saja
posisi-posisi dalam sepak bola. Yang dia tahu hanya kiper. Sisanya blank. Main bola pun tak pernah atas
kemauannya sendiri. Selama SD, Karyo dipaksa main sepak bola oleh guru
olahraganya. Namun Karyo biasanya hanya duduk di pinggir lapangan sambil
menerima nasib bahwa dia sekadar banci semata.
“Yaaa ... yang giring bola, Yah,”
jawab Karyo hati-hati.
“Jadi striker kamu? Bagus! Kapan pertandingannya?”
“B-belum tau.” Karyo buru-buru
pergi melewati ruang tengah menuju kamarnya.
“Kabari Ayah kapan tandingnya.”
“I-iya.” Karyo pun menutup pintu
kamar lalu menguncinya. Karyo mengembuskan napas lega. Dia meletakkan ranselnya
di gantungan lalu segera mengganti bajunya. Setelah mandi dengan cepat, Karyo
buru-buru menata satu bagian kamarnya sehingga tampak sangat-sangat rapi.
Boneka Teddy Bear besar di satu sisi, tempat tidur dirapikan, semua bantal yang
sarungnya tidak match dengan sprei
dia singkirkan, buku-buku di rak dirapikan sesuai ketinggian, bahkan lukisan
yang miring pun Karyo betulkan posisinya.
Dengan hati-hati, Karyo mengintip
ke ruang tengah. Ayahnya sudah tidak ada di sana. Mungkin sudah tidur. Sambil
mendesah lega, Karyo mulai mengeluarkan ponselnya yang lain, yang dia beli
diam-diam tanpa diketahui keluarganya. Diletakkannya ponsel itu berdiri di
depan mug, lalu dibukanya aplikasi Blued. Karyo menyiarkan dirinya dalam sebuah
live aplikasi khusus gay. Dia beri judul broadcasting: B Pengen Crot,
diikuti tiga emotikon
cipratan air. Apa yang masuk ke dalam kamera adalah semua bagian kamar yang
sudah Karyo rapikan tadi.
“Halo, Guys! Welcome to my channel, ya!” Karyo menarik kotak perawatan
kulit yang sudah dia letakkan di atas meja. “Malam ini temenin aku bersihin
muka sambil ngobrol-ngobrol, ya.”
Sudah ada dua orang masuk ke
ruangan live Karyo.
“Halo, Arif_cad, welcome to my channel. Kalau mau
bagi-bagi beans, boleh kok!” Karyo
membuka kotak perawatan kulitnya sambil sesekali mengintip ke layar, apakah
sudah ada akun lain yang menonton penyiarannya. “Halo Rputra08, welcome to my channel. Malam ini aku mau
tutorial bersihin muka aku. Kalau kalian pengin aku pake bahasa Inggris, tell me ya. Aku bisa bahasa English,
kok. Halo Alex87_29! Welcome to my
channel. I waiting for beans lho .... Kasih semangka juga boleeeh.”
Sudah ada tujuh orang menonton live-nya. Salah satu penonton
mengirimkan pesan di forum live:
Buka.
“Apanya yang dibuka, nih? Bajuku?”
Karyo mengibaskan tangan. “Beans
dulu, minimal semangka. Nanti aku buka.”
Beberapa pesan di live
bermunculan.
Vcs.
Private
kuy
Buka
kontol
“Eits, don’t open-open, yah. I
wanted to face clean first.” Karyo membersihkan wajahnya dengan minyak
pembersih muka. Jumlah viewer-nya
naik turun, tetapi angkanya selalu konstan di sekitaran sebelas penonton.
Karena merasa kurang ramai
penonton, Karyo mengajak Baharudin dan Yana untuk melakukan video conference. Kebetulan dua-duanya sudah
tiba di rumah setelah latihan dance tadi.
Karyo tidak mematikan live di Blued.
Dia hanya menjejerkan ponselnya di samping ponsel rahasianya, di mana Karyo
juga melakukan video conference.
Ketika tiga wajah sudah muncul di
layar, tiba-tiba Yana berkata, “Eh, Cong,
alemong ... eike mawar ngajakin Shasha ke
sindang. Eike lagi gosip-gosip pedas ama
detseu. Bologna, Tinta?”
“Bolognaaa! Cus, masukin Shasha!”
Shasha adalah teman sekelas Yana
di IIS. Dia cewek, tapi temenannya dengan banci juga karena merasa selalu
terhibur. Shasha gabung di travelustration
karena gebetannya Kak Alvian anggota ekskul tersebut. Karyo teringat Shasha
pergi ke Madura, sama seperti Tommy dari teman sekelasnya. Shasha pergi ke
Madura pun karena Kak Alvian ikutan pergi ke Madura.
“Gosip apose, Nek?” tanya Karyo, mulai membersihkan wajah dengan kapas.
Matanya lalu menoleh ke ponsel yang sedang live.
“Guys, aku sambil conference call
sama best friend aku, ya. Jangan lupa
kasih beans minimal semangka.” Jumlah
viewer: 2 orang.
Wajah Shasha muncul beberapa saat
kemudian. Dia sebenarnya mengenakan kerudung, tetapi di layar, kerudungnya
sudah dibuka. Karyo dapat melihat Shasha sedang berjalan di lorong hotel yang
panjang, menuju sebuah area khusus yang ada sofa-sofanya.
“Heeeiii
Karyo, Udin!”
Shasha melambaikan tangan.
Karyo dan Baharudin menyapa
Shasha. Selama lima menit pertama mereka memberondong Shasha dengan pertanyaan
gimana rasanya naik pesawat, gimana Surabaya, gimana Kak Alvian (berhasil
deketin enggak),
bahkan gimana Kak Miza (makin ganteng
atau enggak?).
“Endolita bences kesayangan kita, Tomita,” kata Shasha,
mau tak mau berbahasa banci juga meski dia terlahir perempuan secara biologis.
“Kenapose?” tanya Yana.
“Detseu dari bandarita sampe hotel
nemplok terus sama Kak Miza. Mereka kan satu room ...! Cus, mebel si Tommy dibikin hamidun. Endeus!”
Baharudin membelalak terkejut,
mulutnya sampai menganga. “Kok, bisa sih?
Detseu pake susuk apose? Beruntung mulu, hernia deh eike.”
“Kebetulan aja, Girls,” kata
Karyo, mulai mengenakan masker sebelum tidur. Masker itu telah diracik oleh
Karyo ketika Shasha tadi meracau soal perjalanannya ke Surabaya. Karena kisah
Shasha lumayan panjang, Karyo sampai selesai membersihkan wajahnya dua tahap,
memasukkan bubuk masker, memberi air, dan mengaduknya dengan spatula. Sekarang
Karyo mulai mengaplikasikannya tipis-tipis. Sengaja Karyo menatap ke ponsel live-Blued untuk melihat pantulan diri,
karena gambarnya lebih bagus di sana dibandingkan video conference.
Jumlah viewer: 1
orang.
“Tinta, sih. Emang detseu botita lucknut!” ujar Baharudin sambil
mengibaskan poni. “Kalian juga tau kan,
Guys. Eike paling anti sama bencong
denial.”
“Jengong gitu, lah Din,” sergah Karyo. “Kan detseu udin ngaku detseu hemong. Detseu cuma enggak mau coming out aja.”
“Samosir aja, Shay. Sami mawon.”
“Tapi itu botita emberan lucky, sih,”
kata Yana. “Deket sama Arthur, deket sama
Kak Jerome, deket sama—“
“Kak Jerome?” sela Karyo
mengulang. “Hubungannya cuma sebagai tukang pijat, kan?”
“Tinta, Shaaay!” Yana tertawa,
diikuti Shasha mengibaskan tangan dan menutup mulutnya sambil tertawa.
Karyo berhenti memasang masker di wajahnya. Dahi dan pipi
kanannya sudah diberi masker, sisanya belum. Jumlah viewer di Blued: 0
orang.
“Apose maksudnya, Shay?” tanya Karyo tertarik.
Tak ada yang tahu Karyo naksir
Jerome selain Tommy. Karyo tak menceritakannya kepada Baharudin, Yana, atau
siapa pun. Mengapa Tommy tahu pun karena keceplosan saja. Selama
berminggu-minggu terakhir, Karyo menyimpan perasaannya sendiri di dalam hati.
Karyo jatuh cinta saat Jerome
pertama kali masuk kelas dan mengenalkan diri sebagai Ketua OSIS. Sejak saat
itu Karyo sembunyi-sembunyi memandang Jerome dari jauh dan mengaguminya
diam-diam. Kalau berpapasan di jalan, jantungnya berdegup sangat kencang.
Baginya, Jerome adalah cowok sempurna. Selain ganteng, orangnya juga baik,
ramah, lucu, dan menyenangkan.
Kadang-kadang, Karyo sengaja lewat
depan ruang OSIS untuk melihat apakah Jerome ada di dalam. Atau, Karyo tidak
langsung pulang ke rumah kalau dia melihat Jerome latihan basket di lapangan.
Pernah satu waktu Jerome masuk ke toilet, dan Karyo yang sebenarnya sedang OTW
kantin sengaja berbelok ke toilet hanya demi satu ruangan dengan Jerome. Karyo
sudah mem-follow semua akun sosial
media Jerome, punya nomor Whatsapp-nya meski tak pernah chat, hafal yang mana mobilnya, atau ransel yang selalu dipakai,
atau jam tangannya seperti apa, atau tipe ponselnya Jerome apa.
Terakhir kali Jerome tiba-tiba
menghampiri kelompok antropologinya, Karyo meninggal dunia di dalam hati saking
tak kuat menahan debaran jantung. Maka dari itu Karyo sempat ingin belajar
memijat dari Tommy.
“Jedeus ... tadi pas ke bandarita,” mulai Shasha, menceritakan kisahnya tentang
Jerome dan Tommy, “yang lain naik Grab,
detseu diantar sama Kak Jerome, dooong.
Alemooong!”
Baharudin membelalak terkejut. Dia
takjub karena selain berhasil menggaet Arthur, Tommy juga menggaet Ketua OSIS.
“Seriosa, Sha?” tanya Baharudin meyakinkan.
“Seriosa, Shay! Detseu adinda fotonya, malah,” jawab Yana mewakili. “Kamu kirim ke aku foto Tommy sama Jerome.
Entar aku forward ke mereka.”
“Dasar botita denial!” umpat Baharudin.
Karyo hanya bisa mengaduk-aduk
maskernya dengan spatula tanpa tujuan. Suatu perasaan tidak nyaman membelenggu
hatinya. Seolah-olah sesuatu yang berharga yang dia miliki dicuri oleh
seseorang. Dada Karyo sesak. Karyo tak sanggup mendengar cerita itu lebih lama
meski Shasha kelihatannya masih punya insight
soal Tommy dan Jerome. “Guys, wait,
aku out dulu, yes. Dipanggil Ayah! Bye!” Karyo keluar dari conference, kemudian terisak-isak dalam rasa cemburu.
Jumlah viewer di Blued: No
signal.
To be continued ....
ohh, pantesan si revan jadi homophobic. ternyata gara gara uncle nya suka ngunci kamarnya toh
BalasHapusaku mau nangis baca kisah nya revan.
BalasHapuskasian sih si Revan, kenapa omnya ngga Di tendang aja nyampe laut
BalasHapus