Jumat, 16 Juli 2021

Nude 32

 

ydoleM naissuR .23

 

 

 

 

Satu-satunya tempat yang selalu Revan hindari adalah rumah. Dia tak pernah bisa memahami segala jenis quote yang merujuk rumah sebagai tempat terbaik di dunia ini. Kalau bisa kabur dari rumah, Revan sudah melakukannya sejak dulu. Sayang sekali dia tidak bisa, dan tidak diizinkan.

Bukan berarti Revan tak pernah mencoba. Dua tahun lalu saat masih kelas VIII, Revan kabur ke sebuah rumah orang asing di daerah Dago. Dia pikir lokasi ini sudah cukup jauh dari rumahnya di sekitaran Pasir Koja—apalagi saat itu dia berjalan kaki. Namun baru saja sampai dan mengetuk satu pintu untuk menumpang tidur, pemilik rumah membawanya ke polisi dan orangtua Revan pun datang menjemput. Sejak saat itu Revan tak pernah percaya orang asing.

Kalau Revan harus berada di rumah, dia akan mengunci diri sepanjang hari di dalam kamar. Baru keluar untuk makan, mandi, dan buang air. Revan sudah lama tidak menonton TV atau bertegur sapa dengan banyak anggota keluarganya. Apalagi dengan tetangganya, yang masih keluarganya juga. Revan keturunan Sunda asli yang hobi sekali menetap berdekatan dengan anggota keluarga. Sebanyak 60% warga RT 04 di mana Revan tinggal, masih berhubungan darah dengan Revan.

Jadi, sepulang sekolah, Revan akan mengembara tanpa arah keliling Bandung, mendengarkan musik dari ponselnya yang di-flight mode, lalu menaiki angkot pulang ke rumah ketika azan Isya berkumandang. Kalau dalam perjalanan dia bertemu anak kecil yang tak diawasi orangtuanya, Revan menyempatkan diri untuk mem-bully. Apalagi kalau dia bertemu rombongan anak SMP yang kelihatan banci, Revan pasti akan mem-bully.

Jumat malam itu, Revan terbawa pikirannya hingga ke arah Soreang. Di Jalan Kopo yang ramai, Revan baru menyadari bahwa azan Isya sudah lewat sejak satu jam yang lalu. Betisnya yang kencang (karena keseringan berjalan) mulai terasa agak lelah. Revan pun duduk di halte bus terdekat, berdampingan bersama tukang putu yang sedang beristirahat juga.

Revan tak mau pulang. Apalagi dari Kopo sini menuju Pasir Koja tinggal lurus saja mentok di pertigaan Pasir Koja, maka rumahnya sudah dekat. Hari ini Jumat malam, memang. Lalu lintas sedang padat-padatnya. Revan tetap malas menaiki angkot berikutnya yang lewat.

....

Namun Revan harus pulang.

Dia tahu dia harus pulang supaya tetap bisa makan dan dapat uang jajan. Ada sepatu yang ingin dia beli akhir-akhir ini, Revan sedang mengumpulkan uang untuk membelinya. Dengan sepatu itu, mungkin dia bisa berjalan lebih jauh.

Karena lapar, Revan mencuri putu yang sudah matang, lalu menendang gerobak tukang putu hingga terguling, termasuk si penjualnya. “Kunaon air maneh?!” teriak si penjual marah-marah, tetapi Revan hanya berlari puas menjauhi halte, sambil menyumpal mulutnya dengan banyak sekali kue putu. Sebelum tukang putu itu mengejarnya, Revan melompat masuk ke satu angkot yang memang melaju menuju rumahnya. Dia duduk di dekat pintu, terengah-engah tetapi merasa gembira.

Dia harus tertawa. Karena mungkin tawa itu tak akan bisa berlanjut ketika dia tiba di rumah.

Butuh sekitar satu jam melewati macetnya Jalan Kopo Bandung dan hobi menahun para sopir angkot yaitu ngetem di setiap muka gang. Revan akhirnya sampai di rumahnya, menggenggam tali ransel kuat-kuat, sambil menarik napas panjang. Belum juga dia tiba di rumahnya, gaung konser dari dalam rumah Revan sudah terdengar hingga rumah ketiga.

“Nya sok atuh sia lebok wé sorangan éta awéwé nepi ka péot! Sing seubeuh, tah! Améh di naraka bisa jadi gegedugna sétan!”

“Manéh euweuh sopan-sopanna pisan ngomong ka salaki! Hayang ditampiling deui, hah?!”

Suara itu sayup-sayup, tetapi semacam itulah konser musiknya. Revan pura-pura tak tahu lagu apa yang sedang ditampilkan. Anggap saja kamu sedang dengar lagu bahasa Rusia, dan kamu enggak mengerti, supaya Revan tak perlu repot-repot menerjemahkannya untukmu.

Beberapa tetangganya ingin tahu lagunya apa, jadi mereka menatap penasaran ke arah Revan yang sedang berjalan pulang. Revan menunduk, pura-pura tuli, bergegas masuk ke rumah tanpa menoleh ke belakang sekali pun.

Di ruang tamu, ada cukup banyak orang yang hadir di konser. Tak satu pun dari orang itu berminat menikmati konser. Semuanya sibuk masing-masing seolah-olah bising konser itu tak sampai ke telinga mereka. Revan tinggal di rumah yang cukup besar, dengan jumlah keluarga yang besar pula. Ada tiga keluarga tinggal berdesakan di rumah itu. Nomor rumah sampai harus dibuat tiga agar beda kartu keluarga dan keterangan di KTP.

Pamannya sedang menonton TV, bibinya memetik kangkung, neneknya berusaha merayu sang paman untuk mengganti channel ke acara dangdut, dua sepupunya mengerjakan PR, pamannya yang lain duduk di sofa sambil memainkan ponsel, bibinya yang lain baru keluar dari kamar mandi. Ada tiga sepupunya yang lain yang sedang menghabiskan keripik sambil main UNO di ruang makan.

Tepat di ruang keluarga lantai dua, konser itu diadakan.

“Pan aing ogé nempo maké panon aing sorangan!”

“He-euh, éta téh ngaranna asumsi! Nyaho!”

“Asumsi bujur sia siga munding, hah?! Sia bobogohan jeung awéwé éta, aing gé nyaho!”

“Tuluy mun bobogohan, urusan jeung manéh naon?!”

“Sia kan salaki aing!”

“Manéh jadi pamajikan gé teu balég! Gawé teu becus! Teu bisa ngumbah wadah!”

“Émang sia geus méré naon ka aing, hah?!”

Bahasa Rusia, batin Revan. Jadi ketika Revan tiba di anak tangga teratas, Revan berjalan melewati para penyanyi menuju kamarnya sendiri. Dia menutup telinga, karena senandung itu terlalu berisik. Mungkin setting-an sound system-nya memaksimalkan echo dan bass. Salah satu penyanyi bahkan mengajak Revan bernyanyi, seperti konser di mana bintangnya berseru, “Are you readyyy ...?!”

“Tah tingali éta budak balik peuting waé unggal poé! Sia téh jadi bapak di mana tanggung jawabna!”

“Éta gé tanggung jawab manéh, anjing!”

BRAK! Revan membanting pintu kamar dan menguncinya.

Tanpa nyawa, Revan meletakkan ransel ke atas kursi, melucuti tubuhnya hingga telanjang, masuk ke dalam selimut, kemudian menangis. Tangisannya tak bersuara, bahkan kucing pun tak akan menegakkan telinga misal ada di ruang yang sama. Namun tangisan itu pilu dan menyakitkan, setidaknya bagi Revan.

Dua puluh menit kemudian, dalam kondisi masih menangis, pintu kamar Revan diketuk.

“Van, buka,” kata pengetuk pintu, lembut, tetapi menitah.

Revan mengabaikannya.

“Ayo, Van. Kamu harus buka.”

Itu bukan ayah ibunya. Itu pamannya, yang tadi asyik menonton TV. Sang paman sejenis orang yang berdedikasi. Kalau pintunya belum dibuka, dia tak akan pernah pergi sampai mati. Jadi Revan turun dari atas tempat tidur, membuka kunci, lalu melompat lagi ke balik selimutnya.

Sang paman masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu.

*  *  *

Tempat paling indah bagi Karyo adalah rumahnya. Enggak secara spesifik segala bagian dari rumah itu, tetapi setidaknya dia senang berada di kamarnya sendiri. Pukul sembilan malam Jumat itu Karyo baru saja pulang dari latihan dance. Para senior membagi tugas kepada anggota baru untuk membentuk kelompok dan menciptakan gerakan dance sendiri. Kelompok yang menang punya kesempatan untuk dipilih oleh senior dan ikut tampil di sebuah acara besar di Transtudio Mall. Karyo berlatih keras bersama Baharudin, Yana, Azeza, dan Mishka. Mereka sudah menyelesaikan semua koreografi untuk lagu Blackpink yang di-mix selama lima menit.

Jadi ketika malam itu Karyo tiba di rumahnya, dia merasa bahagia sekali. Lelah latihan membuat dirinya ingin segera bergelung di bawah selimut dan melakukan rutinitas weekend favoritnya. Karena ini sudah cukup larut, ayah Karyo yang kumisnya tebal itu sudah ada di rumah, duduk santai menonton TV.

“Assalamu ‘alaikum,” sapa Karyo sambil menunduk, menenteng sepatu sekolahnya untuk disimpan di rak sepatu dekat dapur.

“Dari mana kamu?” balas sayang ayah.

“Latihan ekskul, Yah.”

“Ekskul macam apa jam segini masih pulang?”

“E-ekskul bola, Yah. Sepak bola. Mau ada pertandingan.”

Sang ayah manggut-manggut sambil tersenyum. “Apa posisi kamu di sepak bola?”

Karyo tak tahu apa saja posisi-posisi dalam sepak bola. Yang dia tahu hanya kiper. Sisanya blank. Main bola pun tak pernah atas kemauannya sendiri. Selama SD, Karyo dipaksa main sepak bola oleh guru olahraganya. Namun Karyo biasanya hanya duduk di pinggir lapangan sambil menerima nasib bahwa dia sekadar banci semata.

“Yaaa ... yang giring bola, Yah,” jawab Karyo hati-hati.

“Jadi striker kamu? Bagus! Kapan pertandingannya?”

“B-belum tau.” Karyo buru-buru pergi melewati ruang tengah menuju kamarnya.

“Kabari Ayah kapan tandingnya.”

“I-iya.” Karyo pun menutup pintu kamar lalu menguncinya. Karyo mengembuskan napas lega. Dia meletakkan ranselnya di gantungan lalu segera mengganti bajunya. Setelah mandi dengan cepat, Karyo buru-buru menata satu bagian kamarnya sehingga tampak sangat-sangat rapi. Boneka Teddy Bear besar di satu sisi, tempat tidur dirapikan, semua bantal yang sarungnya tidak match dengan sprei dia singkirkan, buku-buku di rak dirapikan sesuai ketinggian, bahkan lukisan yang miring pun Karyo betulkan posisinya.

Dengan hati-hati, Karyo mengintip ke ruang tengah. Ayahnya sudah tidak ada di sana. Mungkin sudah tidur. Sambil mendesah lega, Karyo mulai mengeluarkan ponselnya yang lain, yang dia beli diam-diam tanpa diketahui keluarganya. Diletakkannya ponsel itu berdiri di depan mug, lalu dibukanya aplikasi Blued. Karyo menyiarkan dirinya dalam sebuah live aplikasi khusus gay. Dia beri judul broadcasting: B Pengen Crot, diikuti tiga emotikon cipratan air. Apa yang masuk ke dalam kamera adalah semua bagian kamar yang sudah Karyo rapikan tadi.

“Halo, Guys! Welcome to my channel, ya!” Karyo menarik kotak perawatan kulit yang sudah dia letakkan di atas meja. “Malam ini temenin aku bersihin muka sambil ngobrol-ngobrol, ya.”

Sudah ada dua orang masuk ke ruangan live Karyo.

“Halo, Arif_cad, welcome to my channel. Kalau mau bagi-bagi beans, boleh kok!” Karyo membuka kotak perawatan kulitnya sambil sesekali mengintip ke layar, apakah sudah ada akun lain yang menonton penyiarannya. “Halo Rputra08, welcome to my channel. Malam ini aku mau tutorial bersihin muka aku. Kalau kalian pengin aku pake bahasa Inggris, tell me ya. Aku bisa bahasa English, kok. Halo Alex87_29! Welcome to my channel. I waiting for beans lho .... Kasih semangka juga boleeeh.”

Sudah ada tujuh orang menonton live-nya. Salah satu penonton mengirimkan pesan di forum live:

Buka.

“Apanya yang dibuka, nih? Bajuku?” Karyo mengibaskan tangan. “Beans dulu, minimal semangka. Nanti aku buka.”

Beberapa pesan di live bermunculan.

Vcs.

Private kuy

Buka kontol

“Eits, don’t open-open, yah. I wanted to face clean first.” Karyo membersihkan wajahnya dengan minyak pembersih muka. Jumlah viewer-nya naik turun, tetapi angkanya selalu konstan di sekitaran sebelas penonton.

Karena merasa kurang ramai penonton, Karyo mengajak Baharudin dan Yana untuk melakukan video conference. Kebetulan dua-duanya sudah tiba di rumah setelah latihan dance tadi. Karyo tidak mematikan live di Blued. Dia hanya menjejerkan ponselnya di samping ponsel rahasianya, di mana Karyo juga melakukan video conference.

Ketika tiga wajah sudah muncul di layar, tiba-tiba Yana berkata, “Eh, Cong, alemong ... eike mawar ngajakin Shasha ke sindang. Eike lagi gosip-gosip pedas ama detseu. Bologna, Tinta?”

“Bolognaaa! Cus, masukin Shasha!”

Shasha adalah teman sekelas Yana di IIS. Dia cewek, tapi temenannya dengan banci juga karena merasa selalu terhibur. Shasha gabung di travelustration karena gebetannya Kak Alvian anggota ekskul tersebut. Karyo teringat Shasha pergi ke Madura, sama seperti Tommy dari teman sekelasnya. Shasha pergi ke Madura pun karena Kak Alvian ikutan pergi ke Madura.

“Gosip apose, Nek?” tanya Karyo, mulai membersihkan wajah dengan kapas. Matanya lalu menoleh ke ponsel yang sedang live. “Guys, aku sambil conference call sama best friend aku, ya. Jangan lupa kasih beans minimal semangka.” Jumlah viewer: 2 orang.

Wajah Shasha muncul beberapa saat kemudian. Dia sebenarnya mengenakan kerudung, tetapi di layar, kerudungnya sudah dibuka. Karyo dapat melihat Shasha sedang berjalan di lorong hotel yang panjang, menuju sebuah area khusus yang ada sofa-sofanya.

“Heeeiii Karyo, Udin!” Shasha melambaikan tangan.

Karyo dan Baharudin menyapa Shasha. Selama lima menit pertama mereka memberondong Shasha dengan pertanyaan gimana rasanya naik pesawat, gimana Surabaya, gimana Kak Alvian (berhasil deketin enggak), bahkan gimana Kak Miza (makin ganteng atau enggak?).

“Endolita bences kesayangan kita, Tomita,” kata Shasha, mau tak mau berbahasa banci juga meski dia terlahir perempuan secara biologis.

“Kenapose?” tanya Yana.

“Detseu dari bandarita sampe hotel nemplok terus sama Kak Miza. Mereka kan satu room ...! Cus, mebel si Tommy dibikin hamidun. Endeus!”

Baharudin membelalak terkejut, mulutnya sampai menganga. “Kok, bisa sih? Detseu pake susuk apose? Beruntung mulu, hernia deh eike.”

“Kebetulan aja, Girls,” kata Karyo, mulai mengenakan masker sebelum tidur. Masker itu telah diracik oleh Karyo ketika Shasha tadi meracau soal perjalanannya ke Surabaya. Karena kisah Shasha lumayan panjang, Karyo sampai selesai membersihkan wajahnya dua tahap, memasukkan bubuk masker, memberi air, dan mengaduknya dengan spatula. Sekarang Karyo mulai mengaplikasikannya tipis-tipis. Sengaja Karyo menatap ke ponsel live-Blued untuk melihat pantulan diri, karena gambarnya lebih bagus di sana dibandingkan video conference.

Jumlah viewer: 1 orang.

“Tinta, sih. Emang detseu botita lucknut!” ujar Baharudin sambil mengibaskan poni. “Kalian juga tau kan, Guys. Eike paling anti sama bencong denial.”

Jengong gitu, lah Din,” sergah Karyo. “Kan detseu udin ngaku detseu hemong. Detseu cuma enggak mau coming out aja.”

“Samosir aja, Shay. Sami mawon.”

Tapi itu botita emberan lucky, sih,” kata Yana. “Deket sama Arthur, deket sama Kak Jerome, deket sama—

“Kak Jerome?” sela Karyo mengulang. “Hubungannya cuma sebagai tukang pijat, kan?”

“Tinta, Shaaay!” Yana tertawa, diikuti Shasha mengibaskan tangan dan menutup mulutnya sambil tertawa.

Karyo berhenti memasang masker di wajahnya. Dahi dan pipi kanannya sudah diberi masker, sisanya belum. Jumlah viewer di Blued: 0 orang.

Apose maksudnya, Shay?” tanya Karyo tertarik.

Tak ada yang tahu Karyo naksir Jerome selain Tommy. Karyo tak menceritakannya kepada Baharudin, Yana, atau siapa pun. Mengapa Tommy tahu pun karena keceplosan saja. Selama berminggu-minggu terakhir, Karyo menyimpan perasaannya sendiri di dalam hati.

Karyo jatuh cinta saat Jerome pertama kali masuk kelas dan mengenalkan diri sebagai Ketua OSIS. Sejak saat itu Karyo sembunyi-sembunyi memandang Jerome dari jauh dan mengaguminya diam-diam. Kalau berpapasan di jalan, jantungnya berdegup sangat kencang. Baginya, Jerome adalah cowok sempurna. Selain ganteng, orangnya juga baik, ramah, lucu, dan menyenangkan.

Kadang-kadang, Karyo sengaja lewat depan ruang OSIS untuk melihat apakah Jerome ada di dalam. Atau, Karyo tidak langsung pulang ke rumah kalau dia melihat Jerome latihan basket di lapangan. Pernah satu waktu Jerome masuk ke toilet, dan Karyo yang sebenarnya sedang OTW kantin sengaja berbelok ke toilet hanya demi satu ruangan dengan Jerome. Karyo sudah mem-follow semua akun sosial media Jerome, punya nomor Whatsapp-nya meski tak pernah chat, hafal yang mana mobilnya, atau ransel yang selalu dipakai, atau jam tangannya seperti apa, atau tipe ponselnya Jerome apa.

Terakhir kali Jerome tiba-tiba menghampiri kelompok antropologinya, Karyo meninggal dunia di dalam hati saking tak kuat menahan debaran jantung. Maka dari itu Karyo sempat ingin belajar memijat dari Tommy.

“Jedeus ... tadi pas ke bandarita,” mulai Shasha, menceritakan kisahnya tentang Jerome dan Tommy, “yang lain naik Grab, detseu diantar sama Kak Jerome, dooong. Alemooong!”

Baharudin membelalak terkejut. Dia takjub karena selain berhasil menggaet Arthur, Tommy juga menggaet Ketua OSIS. “Seriosa, Sha?” tanya Baharudin meyakinkan.

“Seriosa, Shay! Detseu adinda fotonya, malah,” jawab Yana mewakili. “Kamu kirim ke aku foto Tommy sama Jerome. Entar aku forward ke mereka.”

Dasar botita denial!” umpat Baharudin.

Karyo hanya bisa mengaduk-aduk maskernya dengan spatula tanpa tujuan. Suatu perasaan tidak nyaman membelenggu hatinya. Seolah-olah sesuatu yang berharga yang dia miliki dicuri oleh seseorang. Dada Karyo sesak. Karyo tak sanggup mendengar cerita itu lebih lama meski Shasha kelihatannya masih punya insight soal Tommy dan Jerome. “Guys, wait, aku out dulu, yes. Dipanggil Ayah! Bye!” Karyo keluar dari conference, kemudian terisak-isak dalam rasa cemburu.

Jumlah viewer di Blued: No signal.



To be continued ....


<<< Part 31  |  Nude  |  Part 33 >>>

3 komentar:

  1. ohh, pantesan si revan jadi homophobic. ternyata gara gara uncle nya suka ngunci kamarnya toh

    BalasHapus
  2. aku mau nangis baca kisah nya revan.

    BalasHapus
  3. kasian sih si Revan, kenapa omnya ngga Di tendang aja nyampe laut

    BalasHapus

Nude 33

  ssendrawkwA emitefiL .33     Pada suatu pagi lima tahun lalu, Miza bangun lebih pagi dari biasanya meski semalaman tak bisa tidur. D...