Jumat, 16 Juli 2021

Nude 31

 retsaoC relloR .13

 


Ternyata, naik pesawat seperti naik roller coaster. Setidaknya itulah yang Tommy rasakan saat mereka terbang barusan. Mungkin terjadi sekitar 10-20 detik, ketika perut serasa ditarik ke bawah oleh gravitasi, dan seluruh gedung menjauhinya perlahan-lahan. Selama sepersekian detik, Tommy merasa mual. Telinganya juga pengang. Namun lama kelamaan, kabin besi berisi 70-an penumpang itu terasa stabil. Rasanya seperti menaiki mobil, melewati jalan tol yang mulus tanpa lalu lintas.

Gapapa?” tanya Miza, yang duduk di samping Tommy.

Tommy menggeleng. “Gapapa.”

“Kalau kira-kira enggak enak badan, elo tidur aja. Lumayan satu setengah jam.”

Tommy mengangguk.

Dia tidak berencana tidur, tentunya. Ini pengalaman pertama naik pesawat terbang, Tommy harus menikmati dan merasakan sensasinya. Ketika masih duduk di ruang tunggu, Tommy meremas tepian bajunya kuat-kuat karena gugup. Seperti banyak first time flyer lainnya, semua pikiran buruk menghantui Tommy. Bagaimana kalau pesawat jatuh? Bagaimana kalau pesawatnya meledak? Bagaimana kalau pesawatnya dibajak teroris? Namun Miza mendadak menghampiri Tommy dan duduk di sebelahnya, sambil meletakkan tangan di atas lutut.

Elo aman, kok,” katanya. “Enggak usah takut.”

“Kita disediain parasut enggak, sih Kak?” bisik Tommy cemas.

Miza terkekeh. “Terus kalau disediain parasut, elo tahu cara makenya?”

“Tinggal tarik tali, terus ngembang kan parasutnya?”

“Pas kapan narik talinya?” Miza mengangkat satu alis. “Tali yang mana? Gimana cara mendaratnya? Di mana lokasi pendaratannya?”

Tommy tak bisa menjawab semua pertanyaan itu. Jangankan memakai parasut, menaiki pesawat terbang saja baru akan terjadi dalam enam puluh menit ke depan. Semua semangatnya karena akan menaiki pesawat meleleh seketika saat Tommy benar-benar berada di bandara. Dia duduk di terminal keberangkatan domestik Bandara Internasional Husein Sastranegara Bandung, di dekat jendela kaca yang sangat besar, di mana Tommy bisa melihat jejeran pesawat bermesin baling-baling sedang terparkir. Saat Tommy tiba barusan, sebuah pesawat Air Asia berwarna merah baru saja terbang di hadapannya.

Lalu semua pikiran buruk itu berdatangan, membuatnya merasa sangat gugup.

“Kemungkinan sebuah pesawat jatuh itu satu berbanding empat juta,” kata Miza kemudian. “Kesempatan elo naik pesawat seumur hidup, belum tentu empat juta kali. Yang kerja jadi pramugari aja enggak terbang sampe empat juta kali seumur hidupnya. Jadi masih banyak persentase elo mendarat lagi dengan selamat dibandingkan elo pulang-pulang tinggal nama.”

“Tapi, kan masih ada persentase pesawatnya jatuh!” kilah Tommy panik.

“Ada. Tapi statistik bahkan bilang, dari semua pesawat yang jatuh, lebih dari 80% penumpangnya selamat. Yang justru membuat persentase elo meninggal karena naik pesawat makin kecil lagi.” Miza memberikan senyum yang menenangkan. “Hari ini ada jutaan orang terbang pake pesawat di seluruh dunia. Elo cek berita hari ini, ada berapa orang yang mati karena pesawat?”

Tommy tahu jawabannya adalah nol manusia. Bahkan hari kemarin. Atau lusa kemarin. Dalam seminggu terakhir, tidak ada satu pun kecelakaan pesawat yang terjadi di belahan Bumi mana pun, apalagi yang merenggut nyawa penumpang.

Tapi, kan bisa jadi penerbanganku yang inilah yang kecelakaan berikutnya, batin Tommy negatif.

“Tarik napas dalam-dalam dan hadapi aja, Tom. Di situlah sebuah perjalanan dimulai. Kaki elo harus mau melangkah ke ketidakpastian, keluar dari zona nyaman, menemukan hal baru dalam hidup. Enggak ada gunanya elo tetep duduk di tempat karena takut nyawa ilang. Elo duduk di rumah aja nyawa bisa ilang, kok. Kan umur enggak ada yang tahu. Selalu ingat Tom, hidup ini sebuah perjalanan, bukan jaga toko. Semua orang bakal ketemu ending masing-masing. Jadi mending perjalanan menuju ending elo diisi sama pengalaman-pengalaman kece kayak begini.” Miza menunjuk pesawat terbang.

Tommy menengadah dan mengamati jejeran pesawat yang terparkir rapi itu. Dia belum seratus persen menyetujui kata-kata Miza. Bagi Tommy hidup yang sempurna adalah bekerja jadi PNS, punya istri dan anak dua, diam di rumah bersama keluarga, meninggal umur 70 tahun karena penyakit tua. Namun kata-kata Miza ada benarnya, dan Tommy mulai berani membuka perspektifnya ke arah sana.

Miza tiba-tiba mengulurkan tangan, dan menunjukkan telapak tangannya. “Kalau elo masih ngerasa takut, gapapa. Itu wajar. Rasa takut diciptakan semesta supaya kita selalu waspada.” Miza kemudian mengambil tangan Tommy dengan satu tangannya yang lain, dan meletakkan tangan itu di atas tangannya sendiri. Miza menggenggamnya. “Elo cuma perlu pegang tangan gue ini entar di penerbangan setiap kali elo merasa butuh bantuan gue. Maka gue bakal selalu siap sedia buat elo.”

Semua pikiran buruk itu pada akhirnya sirna ketika Tommy benar-benar masuk ke dalam pesawat. Yang ikut dalam perjalanan travelustration ini ada Tommy, Miza, Alvian (senior kelas XII), Ruli (kelas XI), Qonita (kelas XI), dan Shasha (kelas X). Suasana kabin pesawat seperti di dalam bus, dengan masing-masing dua pasang kursi setiap baris, dipisahkan oleh satu koridor panjang di bagian tengah. Tommy duduk bersama Miza, Alvian bersama Ruli, dan Qonita bersama Shasha. Pengaturan tersebut juga berlaku untuk kamar hotel nantinya.

Tommy agak mempertanyakan mengapa Miza tidak sekamar atau duduk bareng Alvian, yang merupakan senior tertinggi setelah Miza. Namun Tommy tidak berencana protes, karena kayaknya oke juga bisa sekamar dengan sosok pemuda tampan yang berpengetahuan luas.

Tommy beusaha menjadi penumpang yang baik. Ketika demo keselamatan dipraktikkan, Tommy mengamatinya dengan saksama. Dia juga membaca kartu petunjuk keselamatan, baik yang bahasa Indonesia, maupun yang bahasa Inggris. Lama-lama Tommy jadi keasyikan sendiri menikmati penerbangan itu.

Benar kata Miza, pikir Tommy dalam hati. Kalau waktunya mati, duduk di sofa rumah pun kita bisa mati. Meninggal gara-gara pesawat hanya satu dari miliaran kemungkinan saja.

Namun, setelah dua puluh menit mengudara dan Tommy menghabiskan makanan yang disajikan pramugari, tak ada apa pun yang menarik dalam perjalanan. Tommy duduk dekat jendela, sehingga dia bisa melihat ke luar, ke hamparan awan-awan yang berkumpul seperti gula-gula kapas berwarna putih.

“Kita mau masuk musim hujan,” ujar Miza di tengah berisiknya suara baling-baling di luar. “Pemandangannya bakalan kebanyakan awan-awan.”

Tepat ketika Miza selesai berbicara, pesawat tiba-tiba bergoyang. Seolah-olah Tommy sedang naik perahu kecil di atas danau, lalu perahunya oleng. Atau seperti menaiki mobil melewati jalanan berlubang.

Tommy membelalak ketakutan dan buru-buru memegang tangan Miza di sampingnya. Tangan itu digenggam dengan erat seraya memejamkan mata. Goyangan yang terjadi berlangsung sekitar 15 detik saja, tetapi cukup membuat Tommy ketakutan.

“Dan itu namanya turbulens,” kata Miza sambil tersenyum lebar. “Santuy aja, Bro. Elo bisa buka mata elo.”

Tommy membuka matanya perlahan-lahan. Pandangannya diedarkan ke sekeliling dengan hati-hati. Tampaknya seluruh bagian pesawat masih tersambung. Penumpang juga enggak ada yang hilang. Namun meski Tommy tahu dia baik-baik saja, dia tak melepaskan genggaman tangan itu.

“Coba elo tidur aja, supaya nggak nervous. Penerbangannya masih sekitar satu jam lagi ke Surabaya.”

Tommy mengangkat bahu. “Kayaknya aku enggak bisa tidur.”

“Mau gue bantu turunin sandaran kursinya?”

Tommy menggeleng. “Bukan. Maksudnya, aku enggak tahu apa aku bisa tidur.”

Miza mencoba mencari ide. “Oke. Gue biasanya bikin orang tidur dengan cerita membosankan gue tentang perjalanan Ketapang-Pontianak, yang menurut orang enggak ada bagian menarik, tapi menurut gue sih memorable.” Lalu Miza memiringkan tubuhnya condong ke arah Tommy, menawarkan bahunya yang lebar itu di depan wajah Tommy. “Elo bisa coba rebahin kepala elo di bahu gue, sambil gue cerita, kita lihat apa elo ketiduran atau nggak.”

Tommy tak yakin dirinya bisa melakukan itu. Bersandar di bahu Miza kan jadinya kayak orang pacaran—meski Tommy pengin banget melakukannya. Tommy menegakkan tubuh dan memindai seisi kabin. Nyaris semua orang sedang tertidur pulas. Alvian dan Ruli yang duduk di seberang mereka bahkan merebahkan sandaran kursi, tertidur lelap dengan mulut menganga. Dua-duanya. Qonita dan Shasha pun sama. Dan puluhan penumpang lain yang tampaknya memilih tidur daripada menatap awan-awan di luar jendela. Ada beberapa orang yang mengobrol, tetapi mereka duduknya jauh sekali dari tempat Tommy duduk. Pramugari sudah berhenti bolak balik keliling kabin.

Tommy merasa lebih nyaman untuk merebahkan kepalanya sekarang. Dengan tangan yang masih menggenggam, Tommy menemukan wajahnya menempel di bahu Miza, menghidu aroma khas cowok cerdas ini.

“Jadi suatu hari, gue traveling ke tempat yang orang jarang datangin buat wisata: Ketapang,” mulai Miza.

Tommy mencoba mendengarkan dengan saksama, meski kemudian dia lebih tertarik mengamati sosok Miza di sampingnya ini. Sebagian dari cerita panjang Miza itu tak Tommy dengarkan. Mata Tommy sibuk mengamati hasta lengan Miza yang kokoh dan bertulang besar. Lalu bagaimana perutnya kembang kempis karena bernapas. Lalu celana jinsnya, belel tapi keren. Apa pun gestur animatif yang dilakukan tangan Miza yang satunya lagi, Tommy mengamatinya dengan tertarik tetapi tak mendengarkan cerita Miza sedikit pun.

Dia bisa jadi merindukan Arthur yang telah bersikap begitu manis kepadanya. Atau Jerome yang bertingkah aneh sebelum kepergiannya. Namun kehadiran Miza mampu menggantikan posisi-posisi menyenangkan itu. Seolah-olah Tommy tak akan kehabisan stok cowok-cowok ganteng yang bersedia perhatian kepadanya.

Tommy tidak tahu apa yang begitu istimewa darinya. Baginya, dia adalah apa yang orang-orang katakan tentangnya. Banci, tidak menarik, banci, tidak pintar, banci, dan tidak populer. Kata banci harus disebutkan tiga kali karena sepanjang tumbuh kembangnya hanya itulah yang bergaung dari mulut orang-orang tentangnya. Panggilan tersebut terdengar menyakitkan. Seolah-olah menjadi banci sama dengan menjijikkan. Sehingga Tommy bertekad untuk mengubah dirinya, atau “menyembuhkan” dirinya, demi membuat orang-orang berkata lain tentangnya.

Tak apalah disebut pendiam, asal jangan disebut banci. Tak apa kalau suatu hari Tommy harus memaksa diri pacaran dengan cewek, asal jangan disebut banci.

Akan tetapi perlakuan-perlakuan manis seperti ini, haruskah Tommy lalui begitu saja?

Tidak bisa. Tommy seorang Scorpio. Hal-hal intim dan sensual tak mungkin dia lalui begitu saja. Tekadnya mengubah diri sangatlah kuat seperti halnya semua Scorpio yang jago bertransformasi. Namun sebagai Scorpio pula, setiap hal selalu dapat disimpan sebagai rahasia. Mengubah penampilan atau gestur menjadi cowok straight, tidak berarti Tommy berubah menjadi straight. Identitas dirinya sebagai gay masih disimpan Tommy dalam-dalam di sebuah ruang gelap dalam hatinya. Yang kalau dibangkitkan seperti saat ini, seperti saat Miza memintanya merebahkan kepala di bahunya, bagian rahasia tersebut tak akan malu-malu untuk keluar dan menunjukkan diri.

Tommy tetap tak akan mengaku gay meski sekarang sedang menikmati bahu Miza. Tommy pun tak akan pernah menolak semua kesempatan yang akan membuatnya bahagia.

Tommy tertidur di bahu Miza pada akhirnya, dibangunkan oleh sang empunya bahu beberapa menit sebelum mendarat. Namun genggaman tangan itu tak pernah lepas hingga akhirnya pesawat parkir dengan sempurna dan lampu tanda sabuk keselamatan telah dipadamkan. Tommy tak paham mengapa Miza bersedia menggenggam tangan Tommy selama itu. Padahal Tommy sudah berhenti ketakutan sejak Miza memintanya merebahkan kepala di bahunya.

Perjalanan menuju hotel cukup jauh. Pesawat mendarat di Sidoarjo, lalu rombongan menaiki taksi menuju sebuah hotel di utara Surabaya, dekat dengan Jembatan Suramadu. Sebelum check in, mereka menyantap makan malam di sebuah warung tenda pinggir jalan dekat hotel, sambil membahas rencana perjalanan esok hari. Mereka akan beristirahat malam ini, sebelum observasi dilakukan pagi-pagi sekali di pulau seberang. Apalagi ketika mereka tiba di resepsionis hotel, waktu sudah menunjukkan pukul 22.47.

Tommy membuntuti Miza menyusuri koridor di lantai delapan hotel. Kebetulan mereka tidak satu lantai bersama yang lain, sehingga keduanya turun duluan dari lift. Tommy mulai merasa gugup lagi. Dia akan satu kamar bersama founder travelustration, yang sudah traveling ke mana-mana, berpengetahuan luas, dan sepanjang sore ini tampak begitu menawan. Tommy tak mau menyebutkan lagi soal paras Miza, tapi apa mau dikata, memang cowok itu ganteng seperti artis Thailand yang tersohor. Ditambah bekas cukuran jambang dan kumis, postur tubuh tegap dan jangkung, dan lengan-lengan yang kokoh itu, Tommy tak yakin bisa tidur dengan tenang malam ini.

Tommy hanya berharap, ranjangnya diletakkan agak berjauhan dari ranjangnya Miza, supaya Tommy tak punya alasan kuat untuk sange atau mengagumi Miza dalam gelap sepanjang malam.

Ketika Tommy dan Miza memasuki kamar, shit, ranjangnya hanya satu, ukuran King.

Elo gapapa kan seranjang ama gue?” tanya Miza, menatap King Size bed yang dilapisi bedcover dan bedsheet putih bersih. Ada empat bantal ditumpuk di kepala tempat tidur. “Katanya hotel lagi penuh. Twin bedroom kepake semua ama yang lagi meeting dari Kementerian Perhubungan di Surabaya.”

Gapapa, kok Kak,” jawab Tommy.

Jelas apa-apa! jerit Tommy dalam hati.

Sekarang Tommy merasa canggung harus melakukan apa. Tommy meletakkan ranselnya di lemari, duduk di sebuah sofa, lalu pura-pura main ponsel. Dia mengamati pergerakan Miza di dalam kamar yang tampaknya tak pernah kehabisan ide mau ngapain.

Miza meletakkan semua peralatannya di lemari juga, menyimpan laptop di atas meja, melepas kemejanya dan menyampirkannya di kursi, melepas sepatu sembari mengatakan sedikit pengalamannya di Surabaya dulu, masuk kamar mandi untuk membereskan peralatan mandinya, menelepon seseorang di Surabaya untuk koordinasi penyewaan mobil besok, menelepon Alvian di kamarnya untuk minta dikirimkan email dari sponsor, memanaskan air dan menyedut teh kamomil, bahkan berdiri di depan jendela sambil menatap keluar dan menyesap tehnya dengan nikmat. “Tuh, Suramadunya kelihatan dari sini. Elo bisa lihat enggak lampu-lampunya?”

Tommy menoleh dan menemukan apa yang Miza maksud. Namun Tommy lebih takjub karena Miza ini energinya banyak sekali. Semua yang dia lakukan barusan durasinya sama dengan Tommy duduk-duduk di sofa sambil menggulir Instagram.

Sesekali Tommy mendapati dirinya terpana mengamati Miza. Ada bagian dari dirinya yang ingin sekali menghabiskan waktu panjang bersama sosok jangkung itu. Bahkan, Tommy merasa iri karena si “kembaran” Tommy pernah menghabiskan dua minggu dalam sebuah perjalanan darat bersama Miza. Bayangkan itu, Tommy belum kenal, tapi sudah iri. Karena pasti rasanya asyik sekali bertualang bersama cowok yang tahu segalanya, dan bersedia menggenggam tanganmu saat kamu ketakutan.

“Ceritain dong soal sobat Kakak itu,” kata Tommy akhirnya, memberanikan diri. Tommy bangkit dari sofa untuk mengambil secangkir seduhan teh kamomil lain yang disiapkan oleh Miza tadi. “Yang mirip sama aku.”

“Stevan?” ulang Miza.

“Ya,” jawab Tommy. Lalu menambahkan dalam hati, aku pengin tahu apa yang Stevan lakukan sehingga berhasil gabung dalam perjalanan asyik bersama Kak Miza.

“Dia ... agak keras kepala,” kata Miza, mulai memelankan kecepatan bicaranya. Suaranya juga tidak sekeras tadi. “Punya satu obsesi yang kuat, yang selalu dia wujudkan sesegera mungkin, enggak mau sabar menunggu hasil terbaik. Dan dia gampang terpengaruh sama apa kata orang. Itu semua ditambah dia enggak bisa dikasih tahu apa yang salah yang dia lakukan. Malah dia ngotot ngebuktiin bahwa dia benar, padahal ujung-ujungnya salah.”

Hm. Tidak terdengar seperti orang yang keren, batin Tommy. Dia membayangkan Stevan ini sama kerennya dengan Miza. Pintar, berprestasi, tahu banyak hal, jago olahraga, jago menyelesaikan masalah, baik, perhatian, berdedikasi, de el el, de el el.

Jeda selama lima menit dalam hening. Tommy tak tahu harus bertanya apa lagi, karena jawaban Miza tadi terdengar tidak menyenangkan. Maksudnya, sosok Stevan itu kok bukan orang yang oke, gitu. Tommy jadi penasaran mengapa Miza ingin sekali bertemu Stevan kembali?

Miza tiba-tiba meletakkan cangkirnya di atas meja. Kemudian menggeliat dan melucuti kausnya dari tubuh. Tommy membelalak kaget seraya melempar pandangan ke arah lain. Kenapa Miza harus buka baju di depan aku?! pekik Tommy dalam hati.

Kemaluan Tommy, seperti dugaan, langsung menghangat dan mengeras.

“Gue mau mandi dulu,” kata Miza.

“Oke. Kakak duluan aja.”

Miza menghilang di kamar mandi, melakukan sesuatu dengan botol-botol yang dibawanya, lalu beberapa saat kemudian Tommy mendengar kucuran air shower. Mendapati fakta bahwa seorang cowok menarik sedang mandi saja membuat Tommy panas dingin. Tommy memutuskan untuk membuka ranselnya dan menyiapkan saja peralatan mandinya. Siapa tahu setelah mandi nanti, dia bisa langsung menghantam kasur dan tidur. Kalau perlu Tommy tidur duluan supaya tidak tergoda melecehkan Miza dalam tidurnya.

Lemari tempat menyimpan ransel berada tepat di depan kamar mandi. Betapa terkejutnya Tommy saat mendapati pintu kamar mandi terbuka setengah. Dari luar, Tommy dapat melihat pantulan cermin besar yang ada di dalam, menampilkan sosok telanjang Miza sedang menyabuni seluruh tubuhnya. Yang kelihatan memang punggung dan pantat Miza saja, sih. Namun tetap saja. Miza. Telanjang. Mandi.

Tommy tidak jadi mengambil peralatannya. Dengan panik dia duduk di atas tempat tidur, berusaha untuk tidak bersikap kurang ajar. Miza keluar beberapa saat kemudian, membalut bawah perutnya dengan handuk setelah mengeringkan rambutnya yang basah.

Tommy tak ingin Miza berpikiran yang bukan-bukan, sehingga Tommy dengan segera mengklarifikasi, “T-tadi aku lagi ngambil baju. Maaf, Kak aku enggak sengaja lihat ....”

“Emang gue buka pintunya,” jawab Miza, sambil mengaduk ransel mencari celana.

“K-kenapa?”

“Ya siapa tahu elo mau pipis. Jangan sampe lah kebutuhan buang air elo keganggu cuma gara-gara gue lagi pake kamar mandi buat mandi. Iya enggak?”

Logikanya benar, sih. Tapi kan enggak gitu juga, batin Tommy. Enggak ketika aku homo, gitu.

“Satu lagi, yang belum gue ceritain,” ujar Miza, mengenakan celana pendek di balik handuk, lalu melepaskan handuk itu dan merapikan celananya. Miza berdiri di depan tempat tidur, setengah telanjang menghadap Tommy, membuat bocah itu panas dingin lagi. “Stevan gay. Dan dia terobsesi lihat cowok telanjang. Siapa tahu elo punya keinginan yang sama, gue enggak mau ngehalangin keinginan elo itu dari terkabulkan.”


To be continued ....


<<< Part 30  |  Nude  |  Part 32 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Nude 33

  ssendrawkwA emitefiL .33     Pada suatu pagi lima tahun lalu, Miza bangun lebih pagi dari biasanya meski semalaman tak bisa tidur. D...