retsaoC relloR .13
Ternyata, naik pesawat seperti
naik roller coaster. Setidaknya
itulah yang Tommy rasakan saat mereka terbang barusan. Mungkin terjadi sekitar
10-20 detik, ketika perut serasa ditarik ke bawah oleh gravitasi, dan seluruh gedung
menjauhinya perlahan-lahan. Selama sepersekian detik, Tommy merasa mual.
Telinganya juga pengang. Namun lama kelamaan, kabin besi berisi 70-an penumpang
itu terasa stabil. Rasanya seperti menaiki mobil, melewati jalan tol yang mulus
tanpa lalu lintas.
“Gapapa?” tanya Miza, yang duduk di samping Tommy.
Tommy menggeleng. “Gapapa.”
“Kalau kira-kira enggak enak badan, elo tidur aja. Lumayan satu
setengah jam.”
Tommy mengangguk.
Dia tidak berencana tidur,
tentunya. Ini pengalaman pertama naik pesawat terbang, Tommy harus menikmati
dan merasakan sensasinya. Ketika masih duduk di ruang tunggu, Tommy meremas
tepian bajunya kuat-kuat karena gugup. Seperti banyak first time flyer lainnya, semua pikiran buruk menghantui Tommy.
Bagaimana kalau pesawat jatuh? Bagaimana kalau pesawatnya meledak? Bagaimana
kalau pesawatnya dibajak teroris? Namun Miza mendadak menghampiri Tommy dan
duduk di sebelahnya, sambil meletakkan tangan di atas lutut.
“Elo aman, kok,” katanya. “Enggak usah takut.”
“Kita disediain parasut enggak, sih Kak?” bisik Tommy
cemas.
Miza terkekeh. “Terus kalau
disediain parasut, elo
tahu cara makenya?”
“Tinggal tarik tali, terus
ngembang kan parasutnya?”
“Pas kapan narik talinya?” Miza
mengangkat satu alis. “Tali yang mana? Gimana cara mendaratnya? Di mana lokasi
pendaratannya?”
Tommy tak bisa menjawab semua
pertanyaan itu. Jangankan memakai parasut, menaiki pesawat terbang saja baru
akan terjadi dalam enam puluh menit ke depan. Semua semangatnya karena akan
menaiki pesawat meleleh seketika saat Tommy benar-benar berada di bandara. Dia
duduk di terminal keberangkatan domestik Bandara Internasional Husein
Sastranegara Bandung, di dekat jendela kaca yang sangat besar, di mana Tommy
bisa melihat jejeran pesawat bermesin baling-baling sedang terparkir. Saat Tommy
tiba barusan, sebuah pesawat Air Asia berwarna merah baru saja terbang di
hadapannya.
Lalu semua pikiran buruk itu
berdatangan, membuatnya merasa sangat gugup.
“Kemungkinan sebuah pesawat jatuh
itu satu berbanding empat juta,” kata Miza kemudian. “Kesempatan elo naik pesawat seumur hidup,
belum tentu empat juta kali. Yang kerja jadi pramugari aja enggak terbang sampe empat juta
kali seumur hidupnya. Jadi masih banyak persentase elo mendarat lagi dengan selamat
dibandingkan elo
pulang-pulang tinggal nama.”
“Tapi, kan masih ada persentase
pesawatnya jatuh!” kilah Tommy panik.
“Ada. Tapi statistik bahkan
bilang, dari semua pesawat yang jatuh, lebih dari 80% penumpangnya selamat.
Yang justru membuat persentase elo meninggal karena naik pesawat makin kecil lagi.”
Miza memberikan senyum yang menenangkan. “Hari ini ada jutaan orang terbang
pake pesawat di seluruh dunia. Elo
cek berita hari ini, ada berapa orang yang mati karena pesawat?”
Tommy tahu jawabannya adalah nol
manusia. Bahkan hari kemarin. Atau lusa kemarin. Dalam seminggu terakhir, tidak
ada satu pun kecelakaan pesawat yang terjadi di belahan Bumi mana pun, apalagi
yang merenggut nyawa penumpang.
Tapi,
kan bisa jadi penerbanganku yang inilah yang kecelakaan berikutnya, batin Tommy negatif.
“Tarik napas dalam-dalam dan
hadapi aja, Tom. Di situlah sebuah perjalanan dimulai. Kaki elo harus mau melangkah ke
ketidakpastian, keluar dari zona nyaman, menemukan hal baru dalam hidup. Enggak ada gunanya elo tetep duduk di tempat karena
takut nyawa ilang. Elo
duduk di rumah aja nyawa bisa ilang, kok. Kan umur enggak ada yang tahu. Selalu ingat
Tom, hidup ini sebuah perjalanan, bukan jaga toko. Semua orang bakal ketemu ending masing-masing. Jadi mending
perjalanan menuju ending elo diisi
sama pengalaman-pengalaman kece kayak
begini.” Miza menunjuk pesawat terbang.
Tommy menengadah dan mengamati
jejeran pesawat yang terparkir rapi itu. Dia belum seratus persen menyetujui
kata-kata Miza. Bagi Tommy hidup yang sempurna adalah bekerja jadi PNS, punya
istri dan anak dua, diam di rumah bersama keluarga, meninggal umur 70 tahun
karena penyakit tua. Namun kata-kata Miza ada benarnya, dan Tommy mulai berani
membuka perspektifnya ke arah sana.
Miza tiba-tiba mengulurkan tangan,
dan menunjukkan telapak tangannya. “Kalau elo masih ngerasa takut, gapapa. Itu wajar. Rasa takut diciptakan
semesta supaya kita selalu waspada.” Miza kemudian mengambil tangan Tommy
dengan satu tangannya yang lain, dan meletakkan tangan itu di atas tangannya
sendiri. Miza menggenggamnya. “Elo
cuma perlu pegang tangan gue ini entar di penerbangan setiap kali elo merasa butuh bantuan gue. Maka
gue bakal selalu siap sedia buat elo.”
Semua pikiran buruk itu pada
akhirnya sirna ketika Tommy benar-benar masuk ke dalam pesawat. Yang ikut dalam
perjalanan travelustration ini ada
Tommy, Miza, Alvian (senior kelas XII), Ruli (kelas XI), Qonita (kelas XI), dan
Shasha (kelas X). Suasana kabin pesawat seperti di dalam bus, dengan masing-masing
dua pasang kursi setiap baris, dipisahkan oleh satu koridor panjang di bagian
tengah. Tommy duduk bersama Miza, Alvian bersama Ruli, dan Qonita bersama
Shasha. Pengaturan tersebut juga berlaku untuk kamar hotel nantinya.
Tommy agak mempertanyakan mengapa
Miza tidak sekamar atau duduk bareng Alvian, yang merupakan senior tertinggi
setelah Miza. Namun Tommy tidak berencana protes, karena kayaknya oke juga bisa
sekamar dengan sosok pemuda tampan yang berpengetahuan luas.
Tommy beusaha menjadi penumpang
yang baik. Ketika demo keselamatan dipraktikkan, Tommy mengamatinya dengan
saksama. Dia juga membaca kartu petunjuk keselamatan, baik yang bahasa
Indonesia, maupun yang bahasa Inggris. Lama-lama Tommy jadi keasyikan sendiri
menikmati penerbangan itu.
Benar
kata Miza, pikir
Tommy dalam hati. Kalau waktunya mati, duduk di sofa rumah pun kita bisa mati.
Meninggal gara-gara pesawat hanya satu dari miliaran kemungkinan saja.
Namun, setelah dua puluh menit
mengudara dan Tommy menghabiskan makanan yang disajikan pramugari, tak ada apa
pun yang menarik dalam perjalanan. Tommy duduk dekat jendela, sehingga dia bisa
melihat ke luar, ke hamparan awan-awan yang berkumpul seperti gula-gula kapas
berwarna putih.
“Kita mau masuk musim hujan,” ujar
Miza di tengah berisiknya suara baling-baling di luar. “Pemandangannya bakalan
kebanyakan awan-awan.”
Tepat ketika Miza selesai
berbicara, pesawat tiba-tiba bergoyang. Seolah-olah Tommy sedang naik perahu
kecil di atas danau, lalu perahunya oleng. Atau seperti menaiki mobil melewati
jalanan berlubang.
Tommy membelalak ketakutan dan
buru-buru memegang tangan Miza di sampingnya. Tangan itu digenggam dengan erat
seraya memejamkan mata. Goyangan yang terjadi berlangsung sekitar 15 detik
saja, tetapi cukup membuat Tommy ketakutan.
“Dan itu namanya turbulens,” kata
Miza sambil tersenyum lebar. “Santuy
aja, Bro. Elo
bisa buka mata elo.”
Tommy membuka matanya
perlahan-lahan. Pandangannya diedarkan ke sekeliling dengan hati-hati.
Tampaknya seluruh bagian pesawat masih tersambung. Penumpang juga enggak ada yang hilang. Namun meski
Tommy tahu dia baik-baik saja, dia tak melepaskan genggaman tangan itu.
“Coba elo tidur aja, supaya nggak nervous. Penerbangannya masih sekitar
satu jam lagi ke Surabaya.”
Tommy mengangkat bahu. “Kayaknya
aku enggak bisa
tidur.”
“Mau gue bantu turunin sandaran
kursinya?”
Tommy menggeleng. “Bukan.
Maksudnya, aku enggak
tahu apa aku bisa tidur.”
Miza mencoba mencari ide. “Oke.
Gue biasanya bikin orang tidur dengan cerita membosankan gue tentang perjalanan
Ketapang-Pontianak, yang menurut orang enggak ada bagian menarik, tapi
menurut gue sih memorable.” Lalu Miza
memiringkan tubuhnya condong ke arah Tommy, menawarkan bahunya yang lebar itu
di depan wajah Tommy. “Elo
bisa coba rebahin kepala elo
di bahu gue, sambil gue cerita, kita lihat apa elo ketiduran atau nggak.”
Tommy tak yakin dirinya bisa
melakukan itu. Bersandar di bahu Miza kan jadinya kayak orang pacaran—meski
Tommy pengin banget melakukannya. Tommy menegakkan tubuh dan memindai seisi
kabin. Nyaris semua orang sedang tertidur pulas. Alvian dan Ruli yang duduk di
seberang mereka bahkan merebahkan sandaran kursi, tertidur lelap dengan mulut
menganga. Dua-duanya. Qonita dan Shasha pun sama. Dan puluhan penumpang lain
yang tampaknya memilih tidur daripada menatap awan-awan di luar jendela. Ada
beberapa orang yang mengobrol, tetapi mereka duduknya jauh sekali dari tempat
Tommy duduk. Pramugari sudah berhenti bolak balik keliling kabin.
Tommy merasa lebih nyaman untuk
merebahkan kepalanya sekarang. Dengan tangan yang masih menggenggam, Tommy
menemukan wajahnya menempel di bahu Miza, menghidu aroma khas cowok cerdas ini.
“Jadi suatu hari, gue traveling ke tempat yang orang jarang
datangin buat wisata: Ketapang,” mulai Miza.
Tommy mencoba mendengarkan dengan
saksama, meski kemudian dia lebih tertarik mengamati sosok Miza di sampingnya
ini. Sebagian dari cerita panjang Miza itu tak Tommy dengarkan. Mata Tommy
sibuk mengamati hasta lengan Miza yang kokoh dan bertulang besar. Lalu
bagaimana perutnya kembang kempis karena bernapas. Lalu celana jinsnya, belel
tapi keren. Apa pun gestur animatif yang dilakukan tangan Miza yang satunya
lagi, Tommy mengamatinya dengan tertarik tetapi tak mendengarkan cerita Miza
sedikit pun.
Dia bisa jadi merindukan Arthur
yang telah bersikap begitu manis kepadanya. Atau Jerome yang bertingkah aneh
sebelum kepergiannya. Namun kehadiran Miza mampu menggantikan posisi-posisi
menyenangkan itu. Seolah-olah Tommy tak akan kehabisan stok cowok-cowok ganteng
yang bersedia perhatian kepadanya.
Tommy tidak tahu apa yang begitu
istimewa darinya. Baginya, dia adalah apa yang orang-orang katakan tentangnya.
Banci, tidak menarik, banci, tidak pintar, banci, dan tidak populer. Kata banci
harus disebutkan tiga kali karena sepanjang tumbuh kembangnya hanya itulah yang
bergaung dari mulut orang-orang tentangnya. Panggilan tersebut terdengar
menyakitkan. Seolah-olah menjadi banci sama dengan menjijikkan. Sehingga Tommy
bertekad untuk mengubah dirinya, atau “menyembuhkan” dirinya, demi membuat
orang-orang berkata lain tentangnya.
Tak apalah disebut pendiam, asal
jangan disebut banci. Tak apa kalau suatu hari Tommy harus memaksa diri pacaran
dengan cewek, asal jangan disebut banci.
Akan tetapi perlakuan-perlakuan
manis seperti ini, haruskah Tommy lalui begitu saja?
Tidak bisa. Tommy seorang Scorpio.
Hal-hal intim dan sensual tak mungkin dia lalui begitu saja. Tekadnya mengubah
diri sangatlah kuat seperti halnya semua Scorpio yang jago bertransformasi.
Namun sebagai Scorpio pula, setiap hal selalu dapat disimpan sebagai rahasia.
Mengubah penampilan atau gestur menjadi cowok straight, tidak berarti Tommy berubah menjadi straight. Identitas dirinya sebagai gay masih disimpan Tommy dalam-dalam di sebuah ruang gelap dalam
hatinya. Yang kalau dibangkitkan seperti saat ini, seperti saat Miza memintanya
merebahkan kepala di bahunya, bagian rahasia tersebut tak akan malu-malu untuk
keluar dan menunjukkan diri.
Tommy tetap tak akan mengaku gay meski sekarang sedang menikmati bahu
Miza. Tommy pun tak akan pernah menolak semua kesempatan yang akan membuatnya
bahagia.
Tommy tertidur di bahu Miza pada
akhirnya, dibangunkan oleh sang empunya bahu beberapa menit sebelum mendarat.
Namun genggaman tangan itu tak pernah lepas hingga akhirnya pesawat parkir
dengan sempurna dan lampu tanda sabuk keselamatan telah dipadamkan. Tommy tak
paham mengapa Miza bersedia menggenggam tangan Tommy selama itu. Padahal Tommy
sudah berhenti ketakutan sejak Miza memintanya merebahkan kepala di bahunya.
Perjalanan menuju hotel cukup
jauh. Pesawat mendarat di Sidoarjo, lalu rombongan menaiki taksi menuju sebuah
hotel di utara Surabaya, dekat dengan Jembatan Suramadu. Sebelum check in, mereka menyantap makan malam
di sebuah warung tenda pinggir jalan dekat hotel, sambil membahas rencana
perjalanan esok hari. Mereka akan beristirahat malam ini, sebelum observasi
dilakukan pagi-pagi sekali di pulau seberang. Apalagi ketika mereka tiba di
resepsionis hotel, waktu sudah menunjukkan pukul 22.47.
Tommy membuntuti Miza menyusuri
koridor di lantai delapan hotel. Kebetulan mereka tidak satu lantai bersama
yang lain, sehingga keduanya turun duluan dari lift. Tommy mulai merasa gugup
lagi. Dia akan satu kamar bersama founder
travelustration, yang sudah traveling
ke mana-mana, berpengetahuan luas, dan sepanjang sore ini tampak begitu
menawan. Tommy tak mau menyebutkan lagi soal paras Miza, tapi apa mau dikata,
memang cowok itu ganteng seperti artis Thailand yang tersohor. Ditambah bekas
cukuran jambang dan kumis, postur tubuh tegap dan jangkung, dan lengan-lengan
yang kokoh itu, Tommy tak yakin bisa tidur dengan tenang malam ini.
Tommy hanya berharap, ranjangnya
diletakkan agak berjauhan dari ranjangnya Miza, supaya Tommy tak punya alasan
kuat untuk sange atau mengagumi Miza
dalam gelap sepanjang malam.
Ketika Tommy dan Miza memasuki
kamar, shit, ranjangnya hanya satu,
ukuran King.
“Elo gapapa kan seranjang ama gue?” tanya Miza, menatap King Size bed
yang dilapisi bedcover dan bedsheet putih bersih. Ada empat bantal
ditumpuk di kepala tempat tidur. “Katanya hotel lagi penuh. Twin bedroom kepake semua ama yang lagi meeting dari Kementerian Perhubungan di
Surabaya.”
“Gapapa, kok Kak,” jawab Tommy.
Jelas
apa-apa! jerit
Tommy dalam hati.
Sekarang Tommy merasa canggung
harus melakukan apa. Tommy meletakkan ranselnya di lemari, duduk di sebuah
sofa, lalu pura-pura main ponsel. Dia mengamati pergerakan Miza di dalam kamar
yang tampaknya tak pernah kehabisan ide mau ngapain.
Miza meletakkan semua peralatannya
di lemari juga, menyimpan laptop di atas meja, melepas kemejanya dan
menyampirkannya di kursi, melepas sepatu sembari mengatakan sedikit
pengalamannya di Surabaya dulu, masuk kamar mandi untuk membereskan peralatan
mandinya, menelepon seseorang di Surabaya untuk koordinasi penyewaan mobil
besok, menelepon Alvian di kamarnya untuk minta dikirimkan email dari sponsor,
memanaskan air dan menyedut teh kamomil, bahkan berdiri di depan jendela sambil
menatap keluar dan menyesap tehnya dengan nikmat. “Tuh, Suramadunya kelihatan
dari sini. Elo
bisa lihat enggak
lampu-lampunya?”
Tommy menoleh dan menemukan apa
yang Miza maksud. Namun Tommy lebih takjub karena Miza ini energinya banyak
sekali. Semua yang dia lakukan barusan durasinya sama dengan Tommy duduk-duduk
di sofa sambil menggulir Instagram.
Sesekali Tommy mendapati dirinya
terpana mengamati Miza. Ada bagian dari dirinya yang ingin sekali menghabiskan
waktu panjang bersama sosok jangkung itu. Bahkan, Tommy merasa iri karena si
“kembaran” Tommy pernah menghabiskan dua minggu dalam sebuah perjalanan darat
bersama Miza. Bayangkan itu, Tommy belum kenal, tapi sudah iri. Karena pasti
rasanya asyik sekali bertualang bersama cowok yang tahu segalanya, dan bersedia
menggenggam tanganmu saat kamu ketakutan.
“Ceritain dong soal sobat Kakak
itu,” kata Tommy akhirnya, memberanikan diri. Tommy bangkit dari sofa untuk
mengambil secangkir seduhan teh kamomil lain yang disiapkan oleh Miza tadi.
“Yang mirip sama aku.”
“Stevan?” ulang Miza.
“Ya,” jawab Tommy. Lalu
menambahkan dalam hati, aku pengin tahu
apa yang Stevan lakukan sehingga berhasil gabung dalam perjalanan asyik bersama
Kak Miza.
“Dia ... agak keras kepala,” kata
Miza, mulai memelankan kecepatan bicaranya. Suaranya juga tidak sekeras tadi.
“Punya satu obsesi yang kuat, yang selalu dia wujudkan sesegera mungkin, enggak mau sabar menunggu hasil
terbaik. Dan dia gampang terpengaruh sama apa kata orang. Itu semua ditambah
dia enggak bisa
dikasih tahu apa yang salah yang dia lakukan. Malah dia ngotot ngebuktiin bahwa
dia benar, padahal ujung-ujungnya salah.”
Hm.
Tidak terdengar seperti orang yang keren, batin Tommy. Dia membayangkan Stevan ini
sama kerennya dengan Miza. Pintar, berprestasi, tahu banyak hal, jago olahraga,
jago menyelesaikan masalah, baik, perhatian, berdedikasi, de el el, de el el.
Jeda selama lima menit dalam
hening. Tommy tak tahu harus bertanya apa lagi, karena jawaban Miza tadi
terdengar tidak menyenangkan. Maksudnya, sosok Stevan itu kok bukan orang yang
oke, gitu. Tommy jadi penasaran mengapa Miza ingin sekali bertemu Stevan
kembali?
Miza tiba-tiba meletakkan
cangkirnya di atas meja. Kemudian menggeliat dan melucuti kausnya dari tubuh.
Tommy membelalak kaget seraya melempar pandangan ke arah lain. Kenapa
Miza harus buka baju di depan aku?! pekik Tommy dalam hati.
Kemaluan Tommy, seperti dugaan,
langsung menghangat dan mengeras.
“Gue mau mandi dulu,” kata Miza.
“Oke. Kakak duluan aja.”
Miza menghilang di kamar mandi,
melakukan sesuatu dengan botol-botol yang dibawanya, lalu beberapa saat kemudian
Tommy mendengar kucuran air shower.
Mendapati fakta bahwa seorang cowok menarik sedang mandi saja membuat Tommy
panas dingin. Tommy memutuskan untuk membuka ranselnya dan menyiapkan saja
peralatan mandinya. Siapa tahu setelah
mandi nanti, dia
bisa langsung menghantam kasur dan tidur. Kalau perlu Tommy tidur duluan supaya
tidak tergoda melecehkan Miza dalam tidurnya.
Lemari tempat menyimpan ransel
berada tepat di depan kamar mandi. Betapa terkejutnya Tommy saat mendapati
pintu kamar mandi terbuka setengah. Dari luar, Tommy dapat melihat pantulan
cermin besar yang ada di dalam, menampilkan sosok telanjang Miza sedang
menyabuni seluruh tubuhnya. Yang kelihatan memang punggung dan pantat Miza
saja, sih. Namun tetap saja. Miza. Telanjang. Mandi.
Tommy tidak jadi mengambil
peralatannya. Dengan panik dia duduk di atas tempat tidur, berusaha untuk tidak
bersikap kurang ajar. Miza keluar beberapa saat kemudian, membalut bawah
perutnya dengan handuk setelah mengeringkan rambutnya yang basah.
Tommy tak ingin Miza berpikiran
yang bukan-bukan, sehingga Tommy dengan segera mengklarifikasi, “T-tadi aku
lagi ngambil baju. Maaf, Kak aku enggak sengaja lihat ....”
“Emang gue buka pintunya,” jawab
Miza, sambil mengaduk ransel mencari celana.
“K-kenapa?”
“Ya siapa tahu elo mau pipis. Jangan sampe lah
kebutuhan buang air elo
keganggu cuma gara-gara gue lagi pake kamar mandi buat mandi. Iya enggak?”
Logikanya benar, sih. Tapi kan enggak gitu juga, batin Tommy. Enggak ketika aku homo, gitu.
“Satu lagi, yang belum gue ceritain,” ujar Miza, mengenakan celana pendek di balik handuk, lalu melepaskan handuk itu dan merapikan celananya. Miza berdiri di depan tempat tidur, setengah telanjang menghadap Tommy, membuat bocah itu panas dingin lagi. “Stevan gay. Dan dia terobsesi lihat cowok telanjang. Siapa tahu elo punya keinginan yang sama, gue enggak mau ngehalangin keinginan elo itu dari terkabulkan.”
To be continued ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar