Selasa, 30 Maret 2021

The Flying Paradise 15

015 The Well

 


Tapi gimana kalau dia bilang ke Laurence?

Sial.

Meski Andre sudah meyakinkan diri untuk mengabaikan Maulana, pemikiran baru melesak masuk ke dalam kepala Andre. Bagaimana kalau Maulana bilang ke Laurence soal dirinya mengeluarkan uang untuk menikmati tubuh pramugara itu? Kejadiannya sudah lama, sih. Tapi, kan rendahan sekali kedengarannya.

Jangan sampai Laurence tahu, batin Andre. Dia harus mencari cara menolong Maulana, agar Maulana tidak berkata macam-macam ke Laurence.

“Memangnya, TV itu terkoneksi ke luar?” tanya Pamungkas, ketika dia membuntuti Andre menuruni tangga yang sangat kecil menuju bagian kargo di bawah kabin penumpang.

“Enggak,” jawab Andre. “Semua yang ada di layar diatur melalui komputer pesawat. Bukan dari luar. Enggak kayak mengirim pesan ke kokpit, lalu kokpit mencetaknya.”

“Yang berarti, seseorang harus masukin pesan itu ke komputer?” Pamungkas mengusap dagunya.

“Ya.”

“Memasukkan secara langsung?” tekan Pamungkas. “Ngetik di keyboard, pencet ini itu, lalu—”

“Kirim jarak jauh juga bisa. Komputer pesawat ini, kan punya jaringan khusus,” jawab Andre. “Bisa lewat bluetooth, remote control, dan lain-lain.”

“Itu berarti mata-matanya memang ada di pesawat ini. Dia mengontrol langsung pesan-pesan itu.”

Ke mana aja sih si anjing ini? batin Andre. Kan, memang sedari tadi sudah diumumkan ada penyusup di dalam penerbangan ini.

Andre dan Pamungkas tiba di ruang kargo. Andre menyalakan lampu dan terkejut melihat ada kotak-kotak kargo besar terikat ke atas lantai. Seingatnya, penerbangan ini tidak membawa apa-apa.

“Ini apa?”

Ceklek!

Tiba-tiba, sepucuk pistol ditodongkan ke punggung Andre. Pelatuknya siap menembak. Andre menelan ludah sambil mengangkat tangan perlahan-lahan.

Pamungkas mengarahkan pistol, mendekat, dan berbisik. “Maju terus dan abaikan apa yang kamu lihat ini.”

Andre maju perlahan-lahan ke arah wheel well yang berada di ujung ruangan. Dia masih terguncang melihat beberapa kotak kargo selama ini menumpangi penerbangan feri. Kotak kargonya besar, terikat dengan kuat ke lantai. Entah apa isinya. Dengan diarahkannya pistol ke punggung Andre, sudah pasti ini kargo yang sangat rahasia.

Apa ini kasus penyelundupan yang sama seperti sebuah maskapai BUMN pada masa lampau?

Andre tak mengatakan apa pun hingga mereka tiba di ujung ruangan. Matanya melirik setiap kotak kargo yang juga diselimuti kain terpal. Meskipun penasaran, Andre tetap melaksanakan tugasnya di bawah ini, untuk mengecek wheel well.

Karena wheel well tidak memiliki tekanan kabin, tidak ada akses signifikan ke dalamnya. Setiap dindingnya disegel rapat agar tidak ada udara yang bocor. Namun kru terbang masih dapat mengintip ke dalam wheel well kalau-kalau ada malafungsi dengan roda pesawat—baik itu kegagalan menurunkan roda, atau menaikkan roda. Ada sebuah jendela inspeksi kecil untuk melihat ke dalam wheel well. Sebuah saklar lampu juga disediakan dalam sebuah panel, karena dalam kondisi terbang begini wheel well tak memiliki pencahayaan cukup.

Cetrek! Kedua lampu wheel well dinyalakan. Andre mengintip ke roda darat sebelah kanan, atau yang berada dekat mesin nomor dua. Dua menit menginspeksi, tidak ada satu pun hal yang mencurigakan. Andre mengintip ke roda darat sebelah kiri, atau yang berada dekat mesin nomor satu.

Lebih dari dua menit menginspeksi secara visual, akhirnya Andre menemukan sesuatu.




“Ada,” gumam Andre.

“Ada?!” Pamungkas mengerutkan alis dan mendorong Andre agak menyingkir dari jendela inspeksi itu. Pamungkas mengintip dan menemukan juga apa yang Andre lihat.

Sebuah benda seukuran kotak perkakas, menempel kuat ke tiang suspensi pesawat. Tidak ada jam digital di atasnya, seperti semua bom yang Andre bayangkan. Namun di atas kotak itu ada sebuah detonator yang memiliki lampu indikator merah yang mengedip-ngedip. Benda tersebut tak ada di roda darat sebelah kanan. Dan seharusnya memang tak ada di roda darat mana pun.

Fakta bahwa benda itu bisa menempel selama taxi dan takeoff membuat Andre ngeri. Seseorang memasangnya dengan sangat kuat di sana. Berarti bom itu enggak main-main.

“Bangsat!” umpat Pamungkas dengan resah. Manager marketing itu kini mondar-mandir di ruang kargo sambil mengusap-usap rahangnya. “Kita bisa masuk ke sana?”

Andre menggeleng. “Kan, sudah saya bilang, di dalam sana tidak ada tekanan udara.”

“Ya kasih, lah tekanan udaranya! Kamu, kan teknisi di sini. Pake otakmu buat mikir!” sergah Pamungkas bernada tinggi. “Saya tahu, kok tekanan udara di kabin bisa kita atur-atur!”

Memang ya, bodoh dan ngotot itu teman baik, batin Andre. Dengan sabar, Andre menjelaskan, “Setiap wheel well di semua pesawat tidak memiliki tekanan udara, Pak. Tidak ada device untuk menciptakannya, dan sebaiknya tidak ada. Pintu roda ini tidak tersegel rapat seperti pintu kabin yang punya banyak lapisan pengaman. Pintu wheel well bahkan harus bisa dibuka dengan gravitasi dalam keadaan darurat. Jadi, mohon maaf saya enggak bisa bantu.”

Pamungkas mendengus kesal. Dia mondar-mandir lagi. “Apa kita bisa matikan dari sini?”

“Misal tangan saya bisa masuk, saya enggak tahu cara matiinnya, Pak,” jawab Andre. “Tapi bukannya tujuan kita ke sini untuk mengecek ada tidaknya bom?”

“Ya sudah, kamu foto bomnya sekarang juga!” Andre mengeluarkan ponsel dan memotret sebanyak mungkin penampakan bom di atas suspensi roda pendaratan. Setelah itu, Andre mematikan lampu wheel well karena merasa misi ini sudah selesai.

Tools-nya tidak terpakai. Awalnya Andre kira dia harus memasukkan tangan ke dalam wheel well untuk melakukan sesuatu. Apakah bisa melakukan itu? Bisa, kok. Dalam keadaan darurat, misal roda pesawat mengunci di dalam, terjebak enggak bisa keluar, seseorang bisa memasukkan satu tangan melalui sebuah lubang (yang tidak Andre beri tahukan kepada Pamungkas) lalu menarik satu tuas agar roda bisa turun saat pendaratan.

Namun hal tersebut biasanya dilakukan saat pendaratan, di mana tidak diperlukan lagi tekanan udara.

Setelah misi dijalankan, keduanya kembali menyusuri kargo menuju tangga. Sebelum menaiki tangga, Pamungkas menghentikan Andre.

“Apa yang kamu lihat di sini, harus kamu lupakan,” ujar Pamungkas tegas. “Begitu saya tahu kamu menyebarkannya ke seseorang, saya giling kontolmu sama kamu-kamunya.”

Andre diam sejenak. Dia ingin mengangguk dan menuruti saja kata-kata itu. Namun, suasana hatinya sedang berani saat ini. Jadi, Andre berbalik dan mengangguk. “Boleh,” katanya sambil tersenyum, “tapi dengan satu syarat.”

Pamungkas terkejut bawahannya itu menego perintahnya. Namun karena kerahasiaan kargo ini penting, Pamungkas pun mendengarkan kata-kata Andre. “Apa syaratnya?”

“Saya yakin Maulana bukan mata-mata, Pak. Jadi, bebaskan Maulana sesegera mungkin. Atau, saya minta Mas Jordan menulis apa yang ada di bawah ini.”

*  *  *

Jordan merasa, semua kejadian ini harus dia tulis di dalam laptopnya. Misal pesawat betulan kecelakaan dan semua orang mati, setidaknya Jordan punya narasi yang bisa dibaca siapa pun saat kru penyelamat menemukan laptopnya. Kalau bisa, sebelum pesawat meledak, Jordan meletakkan laptopnya di bagian belakang pesawat. Katanya, itu bagian teraman dalam sebuah pesawat.

Jordan menempati sebuah kamar tamu mungil yang terdiri dari ranjang ukuran queen, meja, dan kursi. Kristian tiduran di atas ranjang, mengecek hasil jepretannya. Selama sepuluh menit mereka duduk dalam diam, sibuk dengan kegiatan masing-masing.




Suara ketukan tuts keyboard bergaung di dalam kabin kamar tidur. Berirama seperti roda kereta api melintasi sambungan rel. Kristian yang mendengarnya tampak khawatir. Dia meletakkan kamera di atas tempat tidur, lalu menghampiri Jordan di kursi kerja. Kristian menyusupkan lengannya melewati bahu, meletakkan dagunya di puncak kepala Jordan.

“Semangat amat nulisnya. Ngetik apa, sih?”

“Everything,” jawab Jordan pendek. Dia masih sibuk mengetikkan apa yang ada dalam kepalanya, seolah-olah kalimat itu panjang tak pernah bertemu koma dan titik.

“Kita pasti selamat.” Kristian menarik tangan Jordan dari keyboard, lalu mengusap-usap punggung tangan kekasihnya itu.

Jordan menarik napas panjang karena Kristian menjeda momennya. Namun Jordan tahu, dia membutuhkan itu. Dia butuh beristirahat dari kekacauan ini. Sudah sejak berjam-jam tadi Jordan terguncang pada fakta bahwa dia berada dalam penerbangan yang dibajak. Tak pernah dia bermimpi adegan mengerikan dalam film terjadi kepada dirinya. Adrenalin sudah membolak-balik suasana hatinya. Maka dari itu tangannya tak bisa berhenti mengetik.

Setelah Kristian menarik tangannya dari keyboard, Jordan dapat merasakan tangannya bergetar seperti tremor.

“Kita, kan sudah meringkus mata-matanya,” bisik Kristian yakin.

“Kamu yakin pramugara itu mata-matanya?” balas Jordan.

Kristian mengangguk. “Semua alasan yang aku sebutin jelas, kan? Tuduhanku valid.”

Jordan tetap merasa ada yang tak beres. “Tapi, dari mana kamu tahu itu semua?”

“Ya tahu aja. Kan, memang kelihatan.”

Tok, tok, tok!

Pintu kamar diketuk. Namun karena mereka tak menguncinya, si pengetuk pun mencoba membuka pintu. “Boleh saya masuk?” Itu Randian.

Jordan dan Kristian mengangguk. Randian masuk dan menutup pintu, lalu duduk di atas tempat tidur setelah menyingkirkan kamera dan memory card ke bagian lain tempat tidur.

“Tega kalian ninggalin saya sama Harry. Dia mulai maksa saya rekam video TikTok buat late post. Katanya, video pembajakan pesawat kayak begini bisa viral di internet. Harus kita bikin sekarang.”

Kristian terkekeh. “Setuju, sih,” katanya. “Maka dari itu, saya sembunyi-sembunyi ngambil gambar pas kru enggak lihat.”

“Kamu ngambil gambar?” Jordan berbalik menatap Kristian. “Kapan?”

“Ada beberapa kamera yang saya simpan di kabin. Disimpannya sebelum berangkat, sih. Tapi setelah kejadian Mora, saya tambahin beberapa kamera kecil.” Kristian tersenyum menang. “Menurut saya, seseorang enggak mati tiba-tiba kayak gitu. Tanpa alasan yang jelas. Makanan bukan, udara bukan. Saya sempat ngira matinya pura-pura, tapi nadi di tangannya emang enggak berdetak. Berarti, ada yang salah sama kru terbang ini.”

“Wow …. Kamu langsung nuduh kru, Kris?” tanya Jordan.

“Iya, lah. Masa kita? Buat apa?”

Jordan enggak bisa sepenuhnya setuju. Karena kenyataannya, lebih banyak pembajakan pesawat dilakukan penumpang dibandingkan kru terbang.

“Terus, dapat gambar bagus?” tanya Randian.

Kristian mengangkat bahu. “Belum. Baru mau dicek. Ini mau pinjam laptop Jordan sebenernya. Kalau Wi-Fi muncul, lumayan bisa upload ke cloud. Jadi misal ada apa-apa sama kita di sini, media bisa diselamatkan di internet.”

“Wow. Good idea!” Randian mengacungkan jempol.

“Tapi Wi-Fi masih dimatikan. Sementara upload-nya lama. Kalau saya sempat resize dulu sih bisa upload lebih cepat.”

“Nyantai aja. Saya tahu, kok nyalain Wi-Fi gimana.” Randian mengangkat kedua alisnya.

“Wah, bisa tuh! Kasih tahu aja kalau Mas bisa nyalain Wi-Fi. Saya butuh sekitar 1 jam buat upload. Sejauh ini Wi-Fi-nya kenceng banget. Tapi kalau enggak bisa, saya upload pas kita di Shanghai aja.”

Randian terkekeh. “Iya kalau kita bisa mendarat.”

Jordan mengerutkan alisnya. “Tapi Pak Pamungkas bilang bakal minta bantuan militer Cina.”

“Bantuan semacam …?” kata-kata Randian menggantung, kata-katanya terdengar meremehkan. “Paling military assistance. Yang berarti ada jet fighter nemenin penerbangan kita sampai mendarat. Ingat kejadian lima tahun lalu? Pesawat Nusantara Skyways dibajak ama pilotnya sendiri, mau dijatuhin di Kalimantan. Pas mereka lagi trouble setelah pilotnya dilumpuhkan, bantuan militer cuma nemenin terbang. Mana ada militer atau agen masuk ke pesawat kayak di film-film.”

Jujur saja, Jordan sudah berpikir kejadiannya akan seperti itu. Seorang agen FBI ganteng, mungkin setampan Joe Taslim, mengenakan pakaian serba hitam melompat ke atas pesawat, masuk ke dalam kabin melalui pintu rahasia, lalu melumpuhkan pembajaknya. (Meski sebenarnya pembajak sudah diborgol, sih sekarang.) Kemudian Joe Taslim akan pergi ke bagian roda pesawat, memutuskan kabel bom warna biru dengan tang, dan mereka semua selamat.

Namun, Jordan teringat Pamungkas pasti enggak akan setuju Joe Taslim masuk ke sini. Karena nanti “media” mengendusnya, dan ini menjadi “image buruk” bagi perusahaan. Apalagi kalau itu betulan Joe Taslim. Selain Liputan 6 SCTV, pasti Insert TransTV akan meliputnya juga.

“Sebenarnya apa, sih yang menjadi motivasi pembajak ngebajak pesawat ini? Apa nilai pentingnya?” tanya Jordan.

Namun, pertanyaannya belum dapat terjawab karena pintu tiba-tiba terbuka. Harry membukanya. Supermodel itu membelalak. “Ternyata kalian semua di sini!” serunya.

“Ssst!” desis Randian sambil menarik Harry masuk. “Enggak usah keras-keras.”

Sekarang kabin kamar tidur yang enggak besar-besar amat itu berisi empat orang. Harry melompat ke atas tempat tidur, membuat beberapa bagian kamera Kristian berlompatan ke udara. “Gue cari-cari kalian, you know! Sepi amat ini pesawat. Apa kalian sudah terjun pake parasut ….”

“Emang kita bisa terjun pake parasut?” tanya Jordan tak percaya.

Harry mengangkat bahu. “Enggak tahu. Kita coba aja.”

Randian memutar bola mata. “We’re at 40.000 feet, Dumbass. Mana ada oksigen di ketinggian ini.”

Harry mengangkat bahu lagi. “Ya udah … pas 30.000, kek?”

Jordan yang memutar bola mata sekarang. Sebenarnya, Jordan salut karena Harry orang yang percaya diri. Enggak tahu apa-apa pun, dia tetap mengutarakan pendapatnya. Enggak peduli itu benar, salah, kedengaran konyol, atau cerdas. Yang penting hantam saja dengan opini.

“Apa yang kalian bahas?” tanya Harry. Dari saku celananya ada M&M’s. Dia melahapnya dengan cara melempar ke udara lalu menangkapnya dengan mulut. Tujuh percobaan pertama, tidak ada yang masuk.

“Kita lagi bahas motivasi pembajak ngebajak pesawat ini.”

“Oh, gue tahu,” jawab Harry. Melempar satu permen, tapi tak berhasil masuk. “Korupsi.”

“Korupsi?” ulang Jordan dan Kristian.

Harry mengangguk. “Yavadvipa Jet kan banyak di-support partai politik yang korupsi. Jadi sponsor juga.”

Randian mengonfirmasi. “Yep. That’s right. Dan ini belum termasuk kesalahan-kesalahan fatal yang mereka sembunyikan dari publik. Transparansi keuangan, penyelundupan barang dan manusia, pengadaan barang dan jasa yang fiktif, bawa kabur kriminal ke luar negeri, sampai problem di serikat pekerjanya. Meski ini namanya The Flying Paradise, tapi gaji karyawan jauh banget dari paradise.”

“Iya. Daddy suka bilang begitu.” Harry melempar lagi M&M’s. Enggak masuk lagi. Sekitar sebelas M&M’s bertebaran di atas tempat tidur karena Harry mengambil yang baru, dibandingkan melahap yang sudah jatuh.

“Daddy?”

Harry mengangguk. “Pamungkas kan daddy gue,” jawab Harry enteng. Dia melempar lagi M&M’s, kali ini permen itu masuk. “Yaaayyy!!!” serunya sambil mengacungkan tinju ke udara. “Masuk!”

“Jadi kamu ada hubungan spesial sama Pamungkas?” tanya Kristian, mendadak tertarik. Kedua alisnya bertaut.

Jordan lebih tertarik lagi mengapa Kristian tertarik pada fakta itu. Harusnya biasa saja, kan? Kecuali memang Kristian dan Harry ada hubungan gelap. Seperti dugaan Jordan ketika menemukan mereka keluar dari master bedroom dengan rambut basah. (Memangnya mereka photoshoot di dalam kolam renang?)

Ck! Sepesawat ini isinya homo semua. Enggak usah kaget,” ujar Harry. “Si Maulana itu kucing. Dia udah ngentot ama nyaris semua orang di pesawat ini.”

Jordan tak mau bereaksi. Bahkan, tak ada yang bereaksi. Baik itu Kristian maupun Randian. Entah mereka menutupi sesuatu, atau mereka memutuskan respons atas informasi itu enggak penting.

“Pasti motif si Maulana jadi pembajak tuh karena ada orang yang pake jasa dia, terus bayarnya kurang,” lanjut Harry.

Jordan memutar bola mata.

“Karena lisensinya AOC-nya Niaga Tidak Berjadwal,” lanjut Randian mengubah topik pembicaraan sebelum Harry menjadi narasumber utama, “atau maskapai charter, di mana penerbangannya enggak teregistrasi di airport secara rutin, Yavadvipa Jet bisa terbang kapan aja dan ke mana aja. Kalau ada sesuatu yang darurat, prioritas, atau rahasia, maskapai ini sering disewa orang-orang kaya, politikus, mafia, kriminal, dan lain-lain. Itulah alasannya duit ngalir terus sampai bisa beli Boeing BBJ Triple Seven brand new. Dalam maskapai ini, ada banyak rahasia-rahasia kotor negara yang akan mengacaukan stabilitas keamanan nasional kalau sampai bocor ke tangan publik.”

Jordan menyipitkan mata. Ingin sekali bertanya mengapa Randian bisa tahu banyak perihal informasi tersebut. “Lalu kenapa penerbangan ini yang dibajak?”

“Itu saya enggak tahu,” jawab Randian.

“Mungkin karena ada guenya,” kata Harry, melempar lagi M&M’s, tetapi enggak masuk. Kali ini Harry membuka kamera depan ponselnya, merekam setiap aksi menyantap M&M’s lewat udara itu. “Kalau brand ambassador-nya mati, kan nanti orang-orang sedih. Brand ambassador nilainya tinggi.”

Sekarang Jordan menyipitkan mata menatap manusia sepercaya diri Harry. Semakin sini semakin percaya diri. Seolah-olah dirinya penting, paling ganteng, paling punya nilai tinggi di mata terorisme. Ya memang ganteng, sih. Tapi, kan orangnya menyebalkan. Jenis-jenis yang kalau dibajak di sebuah pesawat sendirian, Jordan ikhlas kalau pesawatnya meledak dengan Harry berada di dalamnya.

“Apa ini alasannya Pamungkas menjaga betul image perusahaan?” tanya Jordan.

Randian mengangguk. “Misal pesawat selamat, kita semua hidup, tapi insiden mengundang penyelidikan KNKT dan negara, maskapai bakalan mampus. Pamungkas bisa jadi mati ditembak pembunuh bayaran. Makanya, saya percaya dia lebih milih terbang selamanya daripada mendarat.”

Jordan mulai merasa ngeri. Jadi mereka akan selamanya terbang? Kristian menangkap kecemasan di wajah kekasihnya. Dia meraih tangan Jordan, menggenggamnya dengan erat. “Kita akan mendarat,” jawab Kristian yakin.

“Kenapa kamu yakin?”

“Percaya aja sama aku,” bisiknya.

Karena tampaknya semua orang sudah tahu Jordan dan Kristian gay juga, pun karena Jordan ingin mengklaim Kristian sebagai pacarnya di depan Harry—supaya Harry enggak macam-macam, Jordan mencium Kristian di bibir.

Kristian terkejut dan agak mengelak. “Aku … aku ke toilet dulu. Bentar.” Lalu, Kristian pun menghilang dari ruangan.



To be continued ....


<<< Part 14  |  The Flying Paradise  |  Part 16 >>>

The Flying Paradise 14

014 The Hole

 


Sembilan jam sejak keberangkatan dari Seattle. The Flying Paradise sudah memasuki wilayah udara Jepang. Beberapa saat lalu melewati Hokkaido, tetapi masalah belum terpecahkan. Kondisi terakhir, Maulana menjadi tersangka.

Tak ada yang bisa terlelap dalam penerbangan itu. (Kecuali Harry, tentu.) Setiap orang berkumpul di common room dan berseteru dengan Pamungkas yang bersikukuh tak meminta bantuan. Mike melamun menatap langit di depannya yang terus-menerus lembayung.

“Maaf,” ujar Mike pelan. Kata-kata itu ditujukan kepada Laurence yang kini sudah duduk di sebelahnya. “Saya hanya merasa … merasa perlu menyalahkan seseorang.”

Laurence tak menjawab.

“Mungkin karena saya tertekan, hal sekecil apa pun membuat saya curiga,” lanjut Mike. “Kamu enggak pantas diperlakukan seperti itu hanya karena dugaan saya semata. Dugaan yang belum terbukti.”

Laurence masih tak menjawab.

Tak lama berselang, panggilan akses masuk menyala. Seseorang ingin masuk ke dalam kokpit. Karena dalam penerbangan ini semua orang bisa jadi penjahat, Mike tak repot-repot menanyakan siapa yang ada di balik pintu. Dia membukanya, menoleh, dan menemukan Randian berdiri di sana sambil tersenyum. Sebagai arsitek yang mendesain interior kabin, Randian memang tahu cara memohon akses masuk ke dalam kokpit.

“Boleh bicara sebentar?” tanyanya.

“Silakan masuk,” balas Mike.

“Empat mata.” Randian meremas selangkangannya sendiri.

Mike menghela napas dan menimang-nimang. Setelahnya, dia menekan tombol PA (public announcement) untuk mengumumkan, “Flight engineer is required in the cockpit. Thank you.”

Setelah Andre muncul, Mike pun berdiri dari kursinya. Mike keluar dari kokpit, membiarkan Andre menjadi kru yang menemani Laurence. Randian sempat berbisik, “Kok, kamu nyuruh dia yang jaga?”

Mike mengerutkan alisnya. “Siapa lagi harusnya? Pamungkas?”

“Penumpang lain enggak bisa?”

“Enggak, lah. Harus kru terbang. Kalau Maulana diborgol, ya tinggal Andre. Kenapa emangnya?”

Randian berdecak. “Oke, aku ceritain nanti. Tapi kita harus bicara di tempat tertutup.”

Mike menarik napas panjang dan memutuskan membawa Randian ke ruang kru. Sebuah ruangan yang berada tepat di bawah lobi. Dari samping lavatory depan, ada akses ke bagian bawah kabin di mana terdapat tempat tidur dan penyimpanan peralatan pribadi kru. Tidak ada siapa-siapa di sana. Sengaja Mike bawa ke sini karena dia tahu mengapa Randian memanggilnya.




Setelah menutup pintu, Mike pun mengecup bibir Randian sekali dan duduk di atas salah satu tempat tidur. “Apa? Sange?”

Randian terkekeh. “Bener. Tapi ada hal yang mau kubicarain, sih.”

“Alah. Untuk apa saya dengerin? Whatsapp dari saya aja enggak digubris,” balas Mike.

“Kan udah saya bilang, Mas. Saya lagi ada sesuatu kemarin. Toh, saya akhirnya muncul kan semalam buat nemenin kamu?”

“Iya. Setelah tiga hari saya ajak ketemuan, tapi ditolak terus. Sampai-sampai saya coli sendirian. Maulana enggak mau datang. Kamu enggak mau datang.”

Randian menghela napas sambil menghampiri Mike dan mengecup keningnya. “Iya, maaf. Saya beneran ada kegiatan tiga hari terakhir. Ada proyek. Seperti yang saya jelaskan ke kamu malam kemarin.”

Randian adalah laki-laki lain yang secara berkala bercinta dengan Mike. Hubungan Mike dan Randian sebatas sanggama semata. Tidak ada cinta terlibat di dalamnya. Mike tahu Randian mencintai seseorang. Mike pun hanya mencintai istrinya meski dia keluyuran dengan laki-laki lain. Ketika dirinya tiba di Amerika dan mengetahui Randian maupun Maulana ada di sana, dia pikir perjalanan dinas kali ini akan menyenangkan. Ternyata dua-duanya tak mengunjungi kamar Mike untuk bersetubuh.

Randian muncul pada malam terakhir, bertengkar dengan Mike karena dirinya menghilang, lalu mereka berciuman. Sayangnya, karena terlalu lelah, tak ada penetrasi seksual hingga pagi. Karena sebal, Mike mengurung kemaluan Randian dalam sebuah penis cage berbahan silikon yang keras. Meski Randian berotot besar dan tampak sangat maskulin, perjanjian di antara mereka jelas: Mike boleh menghukum Randian sesuka hati.

“Mas juga jahat, ngurung kontol saya pas saya tidur,” bisik Randian dengan suara dalam, sambil melumat bibir Mike beberapa saat.

“Itu hukuman buat kamu yang enggak muasin saya.” Mike memegang rahang Randian dengan kokoh, lalu membalas lumatan itu. Setelah tekanan yang didapatnya selama penerbangan, ciuman penuh gairah itu membuat suasana hati Mike lebih baik. Untuk sejenak, Mike juga ingin bersenang-senang sebelum kembali pusing memikirkan cara selamat dari pembajakan.

Randian meraba selangkangan Mike dan menemukan pilot itu sudah ereksi. “Tuh, kan curang.” Dia lalu memelorotkan celananya dan menunjukkan kelamin yang terkurung oleh silikon. Randian juga ingin ereksi, tetapi chastity menahannya. “Bukain dong, Mas.”

“Malas,” jawab Mike sambil melengos.

Please, lah. Hari ini lumayan banyak berondong lucu yang bikin saya sange, tapi saya enggak bisa ngaceng gara-gara Mas ngurung kontol saya. Come on.”

“Itu, kan hukuman kamu!” Mike mendengus. “Saya buka pas kita mendarat.”

“Waduh, Mas jahat banget, sih ….” Randian mundur dan berkacak pinggang. Tungkainya masih tak dibalut celana, kemaluannya masih berkedut-kedut minta dibebaskan. “Tadi pas saya keracunan dan diare, saya sampe nusuk-nusuk pantat saya pake jari biar bisa ngeluarin semua. Tahu enggak apa yang terjadi?”

“Apa?”

“Saya keenakan, Mas!” Randian geleng-geleng kepala. “Saya malah jadi nusuk-nusuk pantat pake jari, horny, tapi kontol saya dikurung sama Mas. Ayolah, Mas …. Saya kasih lubang, deh. Sama saya kasih informasi soal orang yang patut dicurigai.”

Mike tidak begitu peduli pada informasi itu. Matanya fokus pada kemaluan Randian yang terkurung. Tak adanya sentuhan seksual selama di Amerika, membuat Mike mendambakan seks. Mendambakan menggenjot tubuh seseorang dengan kemaluannya.

Mike menatap arlojinya. “Lima menit, ya. Karena saya harus kembali ke flight deck.”

“Tapi setelah itu dibuka, ya?”

Mike mengangguk.

Kedua orang di dalam kabin istirahat kru itu bukanlah gay. Keduanya biseksual yang enggak mementingkan sesi foreplay romantis seperti sering dilakukan pasangan gay. Kalau tujuannya bersetebuh, ya bersetebuh saja. Tidak perlu menjilati ini-itu penuh nafsu untuk membangkitkan gairah. Setiap mereka bertemu, penis Mike selalu langsung berkunjung ke pantat Randian begitu celana dibuka.

“Bugil!” titah Mike seraya dirinya mengambil koper dan mengeluarkan kondom maupun gel. Ketika Mike berbalik, Randian sudah tak dibalut oleh sehelai benang pun. Satu-satunya yang masih dikenakan adalah kurungan penis itu.

“Buka?” tanya Randian.

“Enggak, lah,” jawab Mike sambil terkekeh kecil. “Nanti aja.”

“Yaaahhh ….”

Mike mendorong tubuh Randian ke atas tempat tidur mungil dan sempit, yang sebenarnya hanya ranjang tipis seukuran 2 meter saja. Dia menarik Randian ke tepi tempat tidur, mengangkat kedua kakinya ke bahu, dan mulai melepaskan celana. Penis Mike langsung teracung tegak dan keras, dikelilingi jembut yang dipotong rapi. Mike mengenakan kondom dan membaluri batang penisnya itu dengan gel. Kemudian, Mike menusukkan penisnya ke lubang pantat Randian.

“Aaaaaargh …!” Randian melolong sambil membelalak. “Fuck! Anjing! Enak! Argh!” Randian sampai mengulurkan tangannya memegang tubuh Mike, agar pilot itu terus menggenjotnya tanpa henti.

Seperti yang sudah-sudah, tak ada adegan panas yang mereka lakukan kecuali aktivitas seksual persis di film porno. Mike menggenjot Randian. Randian memainkan puting Mike untuk memberikan stimulasi. Begitu terus selama lima menit genjotan berlangsung.

Bedanya kali ini, Mike mulai kepikiran dengan informasi yang ingin disampaikan Randian.

“Apa informasinya?” tanya Mike, masih dalam posisi menggenjot.

Randian yang sedang asyik menggigit bibir dan memilin-milin puting Mike, membuka matanya. Dada Randian yang besar dan berotot bergerak naik turun mengikuti irama. “Informasi?”

“Kamu bilang ada informasi.”

“Aaahhh ….” Randian mendesah terlebih dahulu sebelum lanjut berkata, “Ya …. Ya …. Ada. Aaahhh …. Andre itu pelakunya.”

Mike berhenti sejenak dari menggenjot. Dia mengerutkan alis. “Andre?”

Plak! Randian menampar dada Mike. “Enggak usah berhenti, Mas! Lanjut!”

Perlahan-lahan, Mike menggenjot Randian kembali. “Kenapa Andre?”

“Aaahhh …. Dia …. dia mencurigakan.” Randian menjatuhkan tangannya melewati kepala, berhenti memilin puting Mike dan memilih menikmati saja genjotan itu. Ketika matanya terbuka, Randian melanjutkan, “Dia nyembunyiin sesuatu.”

“Maksudnya?”

Plok! Plok! Plok!

“Saya …. Saya coba ngajak dia ngobrol tadi. Tapi … tapi dia enggak jawab semua pertanyaan saya.”

“Itu bukan bukti.”

“Dan dia teknisi.” Randian mendongak sambil tersenyum lebar. Dadanya masih bergelayut naik turun. “Siapa lagi di pesawat ini yang tahu tentang pesawat selain dia?”

“Saya tahu banyak hal tentang pesawat. Bukan berarti saya membajaknya.”

“Tapi Mas kan di kokpit terus. Gimana caranya ngawasin situasi kalau sepanjang jalan di dalam kokpit? Harus penumpang dong. Makanya Laurence sudah pasti bukan pelakunya.” Randian kembali merebahkan tubuhnya ke atas ranjang, melengkungkan punggung menikmati hantaman Mike di dalam tubuhnya.

Mike membiarkan jeda mengisi udara di sekitarnya, memberikannya waktu untuk berpikir. Namun tetap saja, itu bukan bukti kuat. Siapa pun tetap bisa membajak pesawat ini. Mike tahu dia tidak boleh membatasi kemungkinan.

“Aaahhh …. Karena saya di common room terus, Mas,” lanjut Randian, “saya ngeh kok dia sering enggak ada di ruangan. Entah dia lagi di mana.”

“Teknisi memang harusnya enggak bareng penumpang.”

“Lah, terus ke mana?” tanya Randian. “Menyusun strategi? Mengeksekusi rencana? Mengirimkan pesan-pesan? Dia kan tahu cara ngotak-ngatik TV. Saya lihat dia ngebenerin satu TV pas awal penerbangan.”

Genjotan Mike memelan karena kini kepalanya berpusar lagi pada masalah penerbangan. Namun Mike tak berhenti menggenjot pantat Randian.

“Andre adalah orang pertama yang minum obat penawar itu,” lanjut Randian. “Itu karena dia tahu, memang itulah obatnya.”

Mike belum dapat memercayai kata-kata Randian. Sejauh ini, Maulana masih menjadi tersangka kuat mata-mata pembajak. Berspekulasi tanpa bukti tidak akan membawa mereka kepada jawaban. Yang ada malah mereka mengulur-ulur waktu.

Akhirnya, Mike menggenjot pantat Randian lebih cepat sekarang.

“Anjing … anjing … ah … ah … ah … Mas. Jangan cepat-cepat! Aaahhh … saya jadi mau … aaahhh … keluar.”

Memang itu tujuannya, batin Mike. Pun supaya dirinya bisa orgasme juga.

“Anjing! Saya mau keluar! Bukain, Mas. Bukain!”

Mike tidak membuka kurungan itu. Randian sudah menggoyang-goyang kelaminnya yang terkurung, yang tak bisa ereksi karena kurungan itu sempit, hanya cukup mewadahi penis ketika layu.

Plok-plok-plok-plok-plok-plok!

“Anjing! Mas! Ini keenakan, Mas! MAS!”

Lalu sperma Randian merembes keluar dari penis cage. Randian orgasme dalam kondisi ereksi tertahan, terkurung, dan tidak diberikan stimulan. Namun Randian tetap menggelinjang keenakan sampai meremas ranjang kru dengan kuat. Lolongan keenakannya seperti lolongan serigala.

Mike menggunakan kesempatan itu untuk orgasme juga. Mike orgasme di dalam pantat Randian karena dia tahu dirinya mengenakan kondom. Tubuh Mike bergetar seperti kesetrum sambil melesakkan kemaluannya lebih dalam ke tubuh Randian.

Setelah kenikmatan itu tersalurkan, perlahan-lahan Mike mengeluarkan penisnya dari pantat Randian. Betapa kagetnya sang pilot saat melihat kondom itu terkoyak-koyak. Bahkan, spermanya tidak berada di dalam kondom. Sperma itu sudah berceceran keluar. Ke dalam lubang rektum Randian.

“Kenapa?” tanya Randian, melihat wajah cemas Mike.

Mike tidak menjawabnya. Dia langsung melompat ke kopernya dan mengecek persediaan kondom yang disimpannya di saku paling atas. Mata Mike membelalak saat dia menemukan satu keanehan.

“Kenapa, sih?” Randian menghampiri Mike.

Sebanyak lima bungkus kondom yang Mike miliki … semuanya berlubang. Setidaknya empat atau lima lubang seukuran jarum. Dan Mike tidak menyadari itu sedikit pun.

*  *  *

Atas dasar desakan semua orang, Pamungkas pun menyerah. Dia sudah terpojok di common room, diancam ini-itu, bahkan disiram segelas sampanye oleh Harry yang ngamuk-ngamuk, “Tahu enggak gue tadi lihat ular kadut di langit-langit?!”

Tepat ketika Randian kembali entah dari mana (wajahnya seperti ketakutan), Pamungkas pun berkata, “Oke, saya akan melakukan prosedur keadaan darurat.”

Selama Randian tak berada di common room, tiga orang penumpang mendesak Pamungkas untuk meminta bantuan otoritas terkait. Yang namanya Jordan itu ngotot. Kristian juga menyerang Pamungkas dengan berbagai fakta yang dia ketahui, membuat posisi Pamungkas sulit. Belum lagi Harry.

Pamungkas sayang kepada Harry. Melihatnya gusar dan ketakutan dalam penerbangan, membuat Pamungkas bersimpati.

Sebelum Randian yang baru bergabung itu ikutan mencecarnya, Pamungkas memutuskan untuk mengesampingkan egonya. Mungkin dia bisa memikirkan cara lain untuk publikasi insiden ini. Sesuatu yang tidak akan membuat buruk nama perusahaan. Dan mungkin, dia bisa berkoordinasi dengan entah siapa agar kargo terlarang di pesawat ini tetap berada di bawah radar.

“Jadi apa yang akan kita lakukan?” tanya Jordan, bersiap menulis di laptopnya.

“Bisa tolong jangan ditulis?” tanya Pamungkas. “Berat bagi saya untuk mengesampingkan ego menyelamatkan image perusahaan. Kalian juga paham perjuangan saya untuk mengambil keputusan ini. Jadi, tolong, jangan ubah pikiran saya hanya karena Bapak mencatatnya.”

Jordan menghela napas pasrah dan menutup laptopnya. “Oke.”

“Karena kita akan landing di Cina, maka kita akan meminta pendampingan dari militer Cina,” mulai Pamungkas. “Pilot akan meminta bantuan kepada otoritas agar ada yang mengawasi penerbangan ini hingga mendarat. Kalau saya bisa melobi mereka agar ini tetap confidential, that would be good. Kalau enggak pun, ya sudah. Biarkan itu menjadi urusan saya.”

“Lalu gimana dengan pembajaknya?” tanya Jordan.

“Kita, kan sudah memborgol mata-matanya di ruang meeting,” balas Pamungkas. “Kita semua sudah sepakat semua ciri-ciri mengarah ke Maulana. Saya tentang pun, kalian tetap menuduhnya. Ya sudah, berarti mata-matanya sudah kita tahan, toh?”

Pamungkas tak menyukai fakta Maulana diborgol di dalam ruang meeting. Dalam diskusi alot beberapa saat lalu, Pamungkas berusaha membela Maulana. Namun semua bukti tampak memberatkannya. Bahkan Pamungkas tak bisa menutup mata pada kemungkinan Maulana membuka switch masker oksigen. Memang sih bisa jadi Laurence yang melakukannya, tetapi sekarang semua tuduhan terlalu berat ke Maulana dibandingkan Laurence. Sementara, borgol hanya ada satu pasang.




“Maksud saya, sembilan juta dolarnya,” ungkap Jordan. “Perusahaan mau ngasih?”

“Seperti yang saya bilang, misal perusahaan mau ngasih pun, belum ada informasi lanjutan dari pembajaknya.”

“Karena mata-matanya sudah kita tangkap, ya kita kasih tahu aja bahwa kita mau ngasih uangnya. Dia enggak perlu tahu perusahaan Bapak bakal ngasih uangnya atau enggak. Yang penting Maulana bisa ngirim pesan ke si pembajak. Nyalakan Wi-Fi lima menit, biarin dia kirim pesan, matiin lagi Wi-Fi-nya,” usul Jordan.

Mendengar kata Wi-Fi, air muka Harry berubah gembira. “Wi-Fi!” serunya. “Setengah jam aja. Gue mau bikin story pesan kematian di IG. Please.”

“Kita tidak akan menyalakan Wi-Fi!” tegas Pamungkas. “Kalau Wi-Fi adalah caranya berkomunikasi dengan si pembajak, sekalian saja kita putus dan kita desak Maulana mau mereka apa.”

“Gimana dengan bom?” Randian nimbrung dalam percakapan. “Sudah dicek belum bomnya ada atau enggak di bawah?”

“Ada,” dusta Pamungkas.

Jordan mengerutkan alisnya. “Kapan ngeceknya?”

“Tadi.” Pamungkas mengangkat bahu. “Tadi sempat ngecek, kok. Sebelum ribut-ribut ini terjadi. Memang ada.”

Lalu, pada saat bersamaan, Andre masuk ke dalam common room. Kokpit sudah dihuni oleh Mike, sehingga Andre bisa meninggalkannya. Teknisi itu duduk di kursi paling jauh di common room. Sambil melipat tangan di depan dada, Andre berkata, “Oh, ya? Caranya gimana, Pak?”

Semua orang menoleh.

“Salut saya kalau Bapak bisa ngecek.” Andre tersenyum. “Prosedurnya rumit, udah gitu wheel well-nya gelap, dan saya sih enggak merasa sudah ngecek ke bawah. Pilotnya aja enggak sempat mengecek wheel well dari dalam, tapi manager marketing sudah melakukannya.”

Sekarang semua pandangan beralih ke arah Pamungkas. Manager marketing itu menelan ludah.

“Oke, oke. Setelah ini saya akan ngecek!” tegas Pamungkas sambil berdiri dan menuang segelas anggur. Rahangnya mengeras, pandangannya kesal, dia teguk anggur sekali telan. “Setelah saya ke kokpit untuk mengizinkan pilot meminta bantuan, saya akan ke bawah bersama Andre untuk mengecek wheel well. Puas?”

“Saya ikut!” ujar Kristian. “Saya mau ambil foto.”

“Hanya yang berwenang!” tegas Pamungkas. Dia menuang lagi anggur lain dan meneguknya dengan kilat. “And stop taking pictures, for fuck sake!” Pamungkas terdengar murka. Kristian sampai mengelak karena kaget. “Ini sudah bukan waktunya interview. Stop taking pictures. Stop writing. Okay?!

Pamungkas pun pergi ke toilet.

Sejak kembali pulih dari keracunan makanan (ya, obat itu memang obat penawar) Kristian tak berhenti mengambil gambar. Dengan situasi di mana langit-langit dipenuhi masker oksigen, The Flying Paradise lebih kelihatan seperti … The Flying Hell.

“Oke. Saya mau nyimpan kamera dulu,” desah Kristian sambil membereskan lagi kamera dan lensanya ke dalam tas. Kemudian, Kristian berdiri.

“Nitip simpan di kamar.” Jordan menyerahkan laptopnya.

Harry menyipitkan mata. “Jadi kita enggak akan nyalain Wi-Fi?”

Tak ada yang menjawab pertanyaan Harry. Pada saat yang sama, Andre pun berlalu dari common room menuju ruang meeting kecil. Beberapa peralatan yang bisa digunakan untuk mengecek wheel well ada di sana.

*  *  *

Obrolan itu hanya beberapa menit. Bagi Andre, obrolan itu sangat berarti.

Ketika Mike memintanya menemani Laurence di kokpit, Andre senang bukan main. Dia duduk di jumpseat dan menatap tengkuk Laurence dari belakang. Pilot muda itu, yang awalnya berwajah pahit karena sempat dituduh mata-mata, akhirnya tersenyum sambil menoleh ke belakang.

“What?” sergahnya sambil terkekeh.

Andre menggelengkan kepala. “Gapapa. Udah, lihat ke depan aja.”

“Untuk apa?” Laurence malah memutar tubuhnya ke belakang. “Pesawatnya autopilot. Aku hanya memerlukan untuk melaporkan setiap waypoint. Bagaimana kabar kamu? Masihkah menyakit perut?”

Andre menggeleng sambil tersenyum. “Lebih baik.”

“Penerbangan ini menggila,” ujar Laurence. “Dan aku bisakan mempahami perasaan kamu. Apalagi dengan kehadirannya si brengsek itu, pasti memberatkanmu. Namun kamu harus mempersabar diri. Begitu kita mendaratkan di Shanghai, aku menginginkan kamu ada di kamar aku.”

“Kenapa?”

“Untuk memelukkan kamu dan membilang semua akan baik-baik saja.”

Tak pernah Andre se-GR itu seumur hidupnya. Seolah-olah Andre kembali ke masa SMA di mana setiap gebetannya mengajak ngobrol: perutnya mulas dan mukanya memerah. Campuran antara senang, gembira, jatuh cinta, berdebar-debar, dan gugup menjadi satu. Andre enggak berani menatap Laurence. Dia mengepal-ngepalkan tangan menghilangkan gugup sambil menatap panel di antara pilot. Karena dia tahu Laurence masih menatapnya, Andre tak berani membalas pandangan mata itu.

“Terima kasih atas suratnya. It is beautiful,” ujar Laurence.

“Terima kasih atas suratmu,” balas Andre, merujuk pada tulisan pendek di atas kertas cokelat yang diberikan Laurence kepadanya di bawah pesawat. “It is powerful.”

“You are powerful. You can face this.”

Iya, sama kamu, batin Andre.

Begitu Mike kembali ke kokpit, suasana hati Andre melonjak gembira. Bahkan, dia tidak takut pada apa pun. Tidak takut pada pembajak, tidak takut pada bom, tidak takut pada Pamungkas …, dan tidak takut pada Randian. Kalau Andre harus tersenyum untuk Laurence, dia akan melakukannya.

Itulah alasan Andre berani menantang Pamungkas ketika semua orang sedang berdiskusi di common room. Toh, memang kenyataannya Pamungkas belum mengecek, kok. Di pesawat ini, hanya Andre yang tahu caranya mengecek wheel well. Maulana ditahan. Mora sudah almarhum. Apa, sih yang Pamungkas pahami soal teknis pesawat? Minggu lalu saja, Pamungkas mengatakan buntut pesawat yang mengacung tinggi itu fungsinya untuk marketing. Untuk menyimpan logo maskapai, beriklan, membuat identitas banner supaya ketahuan itu pesawatnya siapa.

Itu namanya vertical stabilizer, anjing! Fungsinya untuk menstabilkan orientasi pesawat kanan dan kiri dalam penerbangan.

Saking berbunga-bunganya hati Andre, ketika Pamungkas menentukan Andre dan manager itu yang turun ke bawah, Andre tak masalah. Ya sudah, lah. Pada beberapa kesempatan, Andre akan menjadi orang paling dibutuhkan dalam penerbangan ini. Mora sudah mati. Kalau Andre mati juga, bisa mampus satu pesawat pas masalah-masalah teknis bermunculan.

Andre menghampiri ruang meeting kecil. Di sana, terdapat beberapa tools yang sengaja Andre simpan agar bisa dijangkau dengan mudah kalau ada apa-apa. Ada perkakas, senter, tuas, dan lain sebagainya. Andre membuka ruang meeting kecil dan menemukan Maulana sedang duduk, mengunyah sebungkus roti. Roti yang disajikan oleh Andre tadi karena Maulana belum makan.

Maulana mendongak dan merasa lega karena seseorang masuk.

“Andre!” sahutnya, ingin berdiri, tetapi satu tangannya terborgol ke meja. “Aku bukan mata-matanya, Ndre!”




Andre mengangkat bahu. “Bukan kuasaku, Kak Maul. Yang pegang kunci Pak Mungkas.”

“Tapi aku bukan mata-matanya!” sentak Maulana, nyaris menangis. “Untuk apa aku jadi mata-matanya, hah? Apa tujuanku melakukan itu? Cuma karena aku enggak keracunan, terus aku jadi tersangkanya?”

Andre menghela napas. “Aku cuma bicara jujur aja, Kak. Kan, aku memang enggak lihat Kakak nyicipin makanannya sebelum aku. Tahu-tahu Kak Maul datang dan nyuruh aku nyobain.”

“Tapi aku enggak ngelakuin apa-apa, Andre!”

Andre enggak mendengarkan. Hatinya sedang fokus berbunga-bunga karena Laurence, dan tugas dia adalah mengambil perkakas. Dia akan fokus ke sana saja. “Permisi, aku mau ngambil tools di sana.”

“Kalau kamu enggak bantuin aku, kubocorin ke orang-orang kalau kamu gay.”

“Percuma. Semua orang udah tahu setiap manusia di pesawat ini homo, Kak. Satu-satunya straight di pesawat udah almarhum.” Andre melirik sejenak ke arah Mora yang masih terbujur kaku dalam posisi sama, diselimuti selimut di seluruh tubuhnya.

“Tapi seluruh teman-teman kamu belum tahu, kan? Atau ibu kamu?”

Andre mengernyitkan kening. Enggak percaya Maulana akan memerasnya seperti itu.

Ya, pada suatu waktu, Andre pernah menggunakan jasa Maulana untuk memuaskan hasrat seksualnya. Reputasi Maulana sebagai “kucing” di dunia gay lumayan tersohor. Bahkan reputasi Maulana sebagai kru kabin yang “bisa dijamah” terkenal di antara para pelanggan homo. Dalam beberapa penerbangan, Andre menemukan Maulana sedang digilir oleh tamu yang menyewa pesawat. Maka dari itu, Andre berani mengumpulkan uang untuk bisa menikmati Maulana semalaman, merasakan kenikmatan dari tubuh seorang laki-laki menarik.

Karena, gini … Andre bukan tipe Aquarius yang bertualang ke sana kemari urusan seks. Dia jenis Aquarius yang fokus menjadi orang pintar, kutu buku, memperbanyak network untuk kepentingan sendiri, dan mempertahankan pride bahwa dia orang terbaik di ruangan. Prestasinya banyak. Termasuk, menurut Andre, dipilih sebagai teknisi senior (ketika umurnya baru 26 tahun) sebuah Boeing 777 untuk diwawancara dalam penerbangan feri.

Urusan seks? Nihil.

Ada, sih. Tapi sama sekali enggak membanggakan, jadi Andre enggak pernah menghitungnya. Dia betulan ingin memiliki seorang laki-laki untuk dirinya sendiri. Kalau dia membayar jasa itu, dia bisa melakukan apa pun kepada barang beliannya. Maulanalah yang dia pilih karena memang wajah Maulana manis, imut, ganteng, badannya bagus, dan ketika Maulana melihat Andre, tiba-tiba pramugara itu memberikan diskon. Katanya, Andre imut.

Malam bersama Maulana adalah malam yang tak bisa Andre lupakan. Semalaman dia boleh menjilat dan mengendus tubuh Maulana. Atau, memainkan kemaluan Maulana sesuka hati. Atau memeluknya sambil tidur. Atau berciuman. Pokoknya, Andre pulang dengan perasaan sangat gembira.

Namun itu hanya terjadi sekali. Setelah itu, Randian masuk ke dalam sejarah hidupnya. Dan kehidupan seks Andre berubah.

Makanya, ketika Mora bilang bahwa Maulana bersaksi Laurence gay, Andre percaya 100%.

Sayangnya, saat ini, Andre sedang tak mau terlibat drama. Dia hanya ingin mengambil tools untuk mengecek wheel well, dan hanya itu.

Suasana hatinya yang sangat baik tak ingin dikacaukan lagi. Dalam kepalanya hanya ada Laurence, Laurence, dan Laurence. Misal Maulana mau memberi tahu semua orang soal dia gay? Silakan. Dipecat dari perusahaan gara-gara dia homo? Silakan. Toh Andre ingin meninggalkan maskapai ini sejak lama.

Setelah obrolan manis dengan Laurence di kokpit tadi, Andre merasa tujuan hidupnya sudah terpenuhi.

Jadi, Andre hanya tersenyum dan bilang, “Permisi.” Kemudian Andre membungkuk di atas tubuh Maulana, menggapai sekotak tools yang berada di bawah kursi itu.

“Andre, please,” pelas Maulana. “Aku bukan mata-mata.”

Andre mengambil tools-nya dan pergi dari ruangan.

Laurence, Laurence, Laurence.



To be continued ....


<<< Part 13  |  The Flying Paradise  |  Part 15 >>>

Nude 33

  ssendrawkwA emitefiL .33     Pada suatu pagi lima tahun lalu, Miza bangun lebih pagi dari biasanya meski semalaman tak bisa tidur. D...