Selasa, 30 Maret 2021

The Flying Paradise 15

015 The Well

 


Tapi gimana kalau dia bilang ke Laurence?

Sial.

Meski Andre sudah meyakinkan diri untuk mengabaikan Maulana, pemikiran baru melesak masuk ke dalam kepala Andre. Bagaimana kalau Maulana bilang ke Laurence soal dirinya mengeluarkan uang untuk menikmati tubuh pramugara itu? Kejadiannya sudah lama, sih. Tapi, kan rendahan sekali kedengarannya.

Jangan sampai Laurence tahu, batin Andre. Dia harus mencari cara menolong Maulana, agar Maulana tidak berkata macam-macam ke Laurence.

“Memangnya, TV itu terkoneksi ke luar?” tanya Pamungkas, ketika dia membuntuti Andre menuruni tangga yang sangat kecil menuju bagian kargo di bawah kabin penumpang.

“Enggak,” jawab Andre. “Semua yang ada di layar diatur melalui komputer pesawat. Bukan dari luar. Enggak kayak mengirim pesan ke kokpit, lalu kokpit mencetaknya.”

“Yang berarti, seseorang harus masukin pesan itu ke komputer?” Pamungkas mengusap dagunya.

“Ya.”

“Memasukkan secara langsung?” tekan Pamungkas. “Ngetik di keyboard, pencet ini itu, lalu—”

“Kirim jarak jauh juga bisa. Komputer pesawat ini, kan punya jaringan khusus,” jawab Andre. “Bisa lewat bluetooth, remote control, dan lain-lain.”

“Itu berarti mata-matanya memang ada di pesawat ini. Dia mengontrol langsung pesan-pesan itu.”

Ke mana aja sih si anjing ini? batin Andre. Kan, memang sedari tadi sudah diumumkan ada penyusup di dalam penerbangan ini.

Andre dan Pamungkas tiba di ruang kargo. Andre menyalakan lampu dan terkejut melihat ada kotak-kotak kargo besar terikat ke atas lantai. Seingatnya, penerbangan ini tidak membawa apa-apa.

“Ini apa?”

Ceklek!

Tiba-tiba, sepucuk pistol ditodongkan ke punggung Andre. Pelatuknya siap menembak. Andre menelan ludah sambil mengangkat tangan perlahan-lahan.

Pamungkas mengarahkan pistol, mendekat, dan berbisik. “Maju terus dan abaikan apa yang kamu lihat ini.”

Andre maju perlahan-lahan ke arah wheel well yang berada di ujung ruangan. Dia masih terguncang melihat beberapa kotak kargo selama ini menumpangi penerbangan feri. Kotak kargonya besar, terikat dengan kuat ke lantai. Entah apa isinya. Dengan diarahkannya pistol ke punggung Andre, sudah pasti ini kargo yang sangat rahasia.

Apa ini kasus penyelundupan yang sama seperti sebuah maskapai BUMN pada masa lampau?

Andre tak mengatakan apa pun hingga mereka tiba di ujung ruangan. Matanya melirik setiap kotak kargo yang juga diselimuti kain terpal. Meskipun penasaran, Andre tetap melaksanakan tugasnya di bawah ini, untuk mengecek wheel well.

Karena wheel well tidak memiliki tekanan kabin, tidak ada akses signifikan ke dalamnya. Setiap dindingnya disegel rapat agar tidak ada udara yang bocor. Namun kru terbang masih dapat mengintip ke dalam wheel well kalau-kalau ada malafungsi dengan roda pesawat—baik itu kegagalan menurunkan roda, atau menaikkan roda. Ada sebuah jendela inspeksi kecil untuk melihat ke dalam wheel well. Sebuah saklar lampu juga disediakan dalam sebuah panel, karena dalam kondisi terbang begini wheel well tak memiliki pencahayaan cukup.

Cetrek! Kedua lampu wheel well dinyalakan. Andre mengintip ke roda darat sebelah kanan, atau yang berada dekat mesin nomor dua. Dua menit menginspeksi, tidak ada satu pun hal yang mencurigakan. Andre mengintip ke roda darat sebelah kiri, atau yang berada dekat mesin nomor satu.

Lebih dari dua menit menginspeksi secara visual, akhirnya Andre menemukan sesuatu.




“Ada,” gumam Andre.

“Ada?!” Pamungkas mengerutkan alis dan mendorong Andre agak menyingkir dari jendela inspeksi itu. Pamungkas mengintip dan menemukan juga apa yang Andre lihat.

Sebuah benda seukuran kotak perkakas, menempel kuat ke tiang suspensi pesawat. Tidak ada jam digital di atasnya, seperti semua bom yang Andre bayangkan. Namun di atas kotak itu ada sebuah detonator yang memiliki lampu indikator merah yang mengedip-ngedip. Benda tersebut tak ada di roda darat sebelah kanan. Dan seharusnya memang tak ada di roda darat mana pun.

Fakta bahwa benda itu bisa menempel selama taxi dan takeoff membuat Andre ngeri. Seseorang memasangnya dengan sangat kuat di sana. Berarti bom itu enggak main-main.

“Bangsat!” umpat Pamungkas dengan resah. Manager marketing itu kini mondar-mandir di ruang kargo sambil mengusap-usap rahangnya. “Kita bisa masuk ke sana?”

Andre menggeleng. “Kan, sudah saya bilang, di dalam sana tidak ada tekanan udara.”

“Ya kasih, lah tekanan udaranya! Kamu, kan teknisi di sini. Pake otakmu buat mikir!” sergah Pamungkas bernada tinggi. “Saya tahu, kok tekanan udara di kabin bisa kita atur-atur!”

Memang ya, bodoh dan ngotot itu teman baik, batin Andre. Dengan sabar, Andre menjelaskan, “Setiap wheel well di semua pesawat tidak memiliki tekanan udara, Pak. Tidak ada device untuk menciptakannya, dan sebaiknya tidak ada. Pintu roda ini tidak tersegel rapat seperti pintu kabin yang punya banyak lapisan pengaman. Pintu wheel well bahkan harus bisa dibuka dengan gravitasi dalam keadaan darurat. Jadi, mohon maaf saya enggak bisa bantu.”

Pamungkas mendengus kesal. Dia mondar-mandir lagi. “Apa kita bisa matikan dari sini?”

“Misal tangan saya bisa masuk, saya enggak tahu cara matiinnya, Pak,” jawab Andre. “Tapi bukannya tujuan kita ke sini untuk mengecek ada tidaknya bom?”

“Ya sudah, kamu foto bomnya sekarang juga!” Andre mengeluarkan ponsel dan memotret sebanyak mungkin penampakan bom di atas suspensi roda pendaratan. Setelah itu, Andre mematikan lampu wheel well karena merasa misi ini sudah selesai.

Tools-nya tidak terpakai. Awalnya Andre kira dia harus memasukkan tangan ke dalam wheel well untuk melakukan sesuatu. Apakah bisa melakukan itu? Bisa, kok. Dalam keadaan darurat, misal roda pesawat mengunci di dalam, terjebak enggak bisa keluar, seseorang bisa memasukkan satu tangan melalui sebuah lubang (yang tidak Andre beri tahukan kepada Pamungkas) lalu menarik satu tuas agar roda bisa turun saat pendaratan.

Namun hal tersebut biasanya dilakukan saat pendaratan, di mana tidak diperlukan lagi tekanan udara.

Setelah misi dijalankan, keduanya kembali menyusuri kargo menuju tangga. Sebelum menaiki tangga, Pamungkas menghentikan Andre.

“Apa yang kamu lihat di sini, harus kamu lupakan,” ujar Pamungkas tegas. “Begitu saya tahu kamu menyebarkannya ke seseorang, saya giling kontolmu sama kamu-kamunya.”

Andre diam sejenak. Dia ingin mengangguk dan menuruti saja kata-kata itu. Namun, suasana hatinya sedang berani saat ini. Jadi, Andre berbalik dan mengangguk. “Boleh,” katanya sambil tersenyum, “tapi dengan satu syarat.”

Pamungkas terkejut bawahannya itu menego perintahnya. Namun karena kerahasiaan kargo ini penting, Pamungkas pun mendengarkan kata-kata Andre. “Apa syaratnya?”

“Saya yakin Maulana bukan mata-mata, Pak. Jadi, bebaskan Maulana sesegera mungkin. Atau, saya minta Mas Jordan menulis apa yang ada di bawah ini.”

*  *  *

Jordan merasa, semua kejadian ini harus dia tulis di dalam laptopnya. Misal pesawat betulan kecelakaan dan semua orang mati, setidaknya Jordan punya narasi yang bisa dibaca siapa pun saat kru penyelamat menemukan laptopnya. Kalau bisa, sebelum pesawat meledak, Jordan meletakkan laptopnya di bagian belakang pesawat. Katanya, itu bagian teraman dalam sebuah pesawat.

Jordan menempati sebuah kamar tamu mungil yang terdiri dari ranjang ukuran queen, meja, dan kursi. Kristian tiduran di atas ranjang, mengecek hasil jepretannya. Selama sepuluh menit mereka duduk dalam diam, sibuk dengan kegiatan masing-masing.




Suara ketukan tuts keyboard bergaung di dalam kabin kamar tidur. Berirama seperti roda kereta api melintasi sambungan rel. Kristian yang mendengarnya tampak khawatir. Dia meletakkan kamera di atas tempat tidur, lalu menghampiri Jordan di kursi kerja. Kristian menyusupkan lengannya melewati bahu, meletakkan dagunya di puncak kepala Jordan.

“Semangat amat nulisnya. Ngetik apa, sih?”

“Everything,” jawab Jordan pendek. Dia masih sibuk mengetikkan apa yang ada dalam kepalanya, seolah-olah kalimat itu panjang tak pernah bertemu koma dan titik.

“Kita pasti selamat.” Kristian menarik tangan Jordan dari keyboard, lalu mengusap-usap punggung tangan kekasihnya itu.

Jordan menarik napas panjang karena Kristian menjeda momennya. Namun Jordan tahu, dia membutuhkan itu. Dia butuh beristirahat dari kekacauan ini. Sudah sejak berjam-jam tadi Jordan terguncang pada fakta bahwa dia berada dalam penerbangan yang dibajak. Tak pernah dia bermimpi adegan mengerikan dalam film terjadi kepada dirinya. Adrenalin sudah membolak-balik suasana hatinya. Maka dari itu tangannya tak bisa berhenti mengetik.

Setelah Kristian menarik tangannya dari keyboard, Jordan dapat merasakan tangannya bergetar seperti tremor.

“Kita, kan sudah meringkus mata-matanya,” bisik Kristian yakin.

“Kamu yakin pramugara itu mata-matanya?” balas Jordan.

Kristian mengangguk. “Semua alasan yang aku sebutin jelas, kan? Tuduhanku valid.”

Jordan tetap merasa ada yang tak beres. “Tapi, dari mana kamu tahu itu semua?”

“Ya tahu aja. Kan, memang kelihatan.”

Tok, tok, tok!

Pintu kamar diketuk. Namun karena mereka tak menguncinya, si pengetuk pun mencoba membuka pintu. “Boleh saya masuk?” Itu Randian.

Jordan dan Kristian mengangguk. Randian masuk dan menutup pintu, lalu duduk di atas tempat tidur setelah menyingkirkan kamera dan memory card ke bagian lain tempat tidur.

“Tega kalian ninggalin saya sama Harry. Dia mulai maksa saya rekam video TikTok buat late post. Katanya, video pembajakan pesawat kayak begini bisa viral di internet. Harus kita bikin sekarang.”

Kristian terkekeh. “Setuju, sih,” katanya. “Maka dari itu, saya sembunyi-sembunyi ngambil gambar pas kru enggak lihat.”

“Kamu ngambil gambar?” Jordan berbalik menatap Kristian. “Kapan?”

“Ada beberapa kamera yang saya simpan di kabin. Disimpannya sebelum berangkat, sih. Tapi setelah kejadian Mora, saya tambahin beberapa kamera kecil.” Kristian tersenyum menang. “Menurut saya, seseorang enggak mati tiba-tiba kayak gitu. Tanpa alasan yang jelas. Makanan bukan, udara bukan. Saya sempat ngira matinya pura-pura, tapi nadi di tangannya emang enggak berdetak. Berarti, ada yang salah sama kru terbang ini.”

“Wow …. Kamu langsung nuduh kru, Kris?” tanya Jordan.

“Iya, lah. Masa kita? Buat apa?”

Jordan enggak bisa sepenuhnya setuju. Karena kenyataannya, lebih banyak pembajakan pesawat dilakukan penumpang dibandingkan kru terbang.

“Terus, dapat gambar bagus?” tanya Randian.

Kristian mengangkat bahu. “Belum. Baru mau dicek. Ini mau pinjam laptop Jordan sebenernya. Kalau Wi-Fi muncul, lumayan bisa upload ke cloud. Jadi misal ada apa-apa sama kita di sini, media bisa diselamatkan di internet.”

“Wow. Good idea!” Randian mengacungkan jempol.

“Tapi Wi-Fi masih dimatikan. Sementara upload-nya lama. Kalau saya sempat resize dulu sih bisa upload lebih cepat.”

“Nyantai aja. Saya tahu, kok nyalain Wi-Fi gimana.” Randian mengangkat kedua alisnya.

“Wah, bisa tuh! Kasih tahu aja kalau Mas bisa nyalain Wi-Fi. Saya butuh sekitar 1 jam buat upload. Sejauh ini Wi-Fi-nya kenceng banget. Tapi kalau enggak bisa, saya upload pas kita di Shanghai aja.”

Randian terkekeh. “Iya kalau kita bisa mendarat.”

Jordan mengerutkan alisnya. “Tapi Pak Pamungkas bilang bakal minta bantuan militer Cina.”

“Bantuan semacam …?” kata-kata Randian menggantung, kata-katanya terdengar meremehkan. “Paling military assistance. Yang berarti ada jet fighter nemenin penerbangan kita sampai mendarat. Ingat kejadian lima tahun lalu? Pesawat Nusantara Skyways dibajak ama pilotnya sendiri, mau dijatuhin di Kalimantan. Pas mereka lagi trouble setelah pilotnya dilumpuhkan, bantuan militer cuma nemenin terbang. Mana ada militer atau agen masuk ke pesawat kayak di film-film.”

Jujur saja, Jordan sudah berpikir kejadiannya akan seperti itu. Seorang agen FBI ganteng, mungkin setampan Joe Taslim, mengenakan pakaian serba hitam melompat ke atas pesawat, masuk ke dalam kabin melalui pintu rahasia, lalu melumpuhkan pembajaknya. (Meski sebenarnya pembajak sudah diborgol, sih sekarang.) Kemudian Joe Taslim akan pergi ke bagian roda pesawat, memutuskan kabel bom warna biru dengan tang, dan mereka semua selamat.

Namun, Jordan teringat Pamungkas pasti enggak akan setuju Joe Taslim masuk ke sini. Karena nanti “media” mengendusnya, dan ini menjadi “image buruk” bagi perusahaan. Apalagi kalau itu betulan Joe Taslim. Selain Liputan 6 SCTV, pasti Insert TransTV akan meliputnya juga.

“Sebenarnya apa, sih yang menjadi motivasi pembajak ngebajak pesawat ini? Apa nilai pentingnya?” tanya Jordan.

Namun, pertanyaannya belum dapat terjawab karena pintu tiba-tiba terbuka. Harry membukanya. Supermodel itu membelalak. “Ternyata kalian semua di sini!” serunya.

“Ssst!” desis Randian sambil menarik Harry masuk. “Enggak usah keras-keras.”

Sekarang kabin kamar tidur yang enggak besar-besar amat itu berisi empat orang. Harry melompat ke atas tempat tidur, membuat beberapa bagian kamera Kristian berlompatan ke udara. “Gue cari-cari kalian, you know! Sepi amat ini pesawat. Apa kalian sudah terjun pake parasut ….”

“Emang kita bisa terjun pake parasut?” tanya Jordan tak percaya.

Harry mengangkat bahu. “Enggak tahu. Kita coba aja.”

Randian memutar bola mata. “We’re at 40.000 feet, Dumbass. Mana ada oksigen di ketinggian ini.”

Harry mengangkat bahu lagi. “Ya udah … pas 30.000, kek?”

Jordan yang memutar bola mata sekarang. Sebenarnya, Jordan salut karena Harry orang yang percaya diri. Enggak tahu apa-apa pun, dia tetap mengutarakan pendapatnya. Enggak peduli itu benar, salah, kedengaran konyol, atau cerdas. Yang penting hantam saja dengan opini.

“Apa yang kalian bahas?” tanya Harry. Dari saku celananya ada M&M’s. Dia melahapnya dengan cara melempar ke udara lalu menangkapnya dengan mulut. Tujuh percobaan pertama, tidak ada yang masuk.

“Kita lagi bahas motivasi pembajak ngebajak pesawat ini.”

“Oh, gue tahu,” jawab Harry. Melempar satu permen, tapi tak berhasil masuk. “Korupsi.”

“Korupsi?” ulang Jordan dan Kristian.

Harry mengangguk. “Yavadvipa Jet kan banyak di-support partai politik yang korupsi. Jadi sponsor juga.”

Randian mengonfirmasi. “Yep. That’s right. Dan ini belum termasuk kesalahan-kesalahan fatal yang mereka sembunyikan dari publik. Transparansi keuangan, penyelundupan barang dan manusia, pengadaan barang dan jasa yang fiktif, bawa kabur kriminal ke luar negeri, sampai problem di serikat pekerjanya. Meski ini namanya The Flying Paradise, tapi gaji karyawan jauh banget dari paradise.”

“Iya. Daddy suka bilang begitu.” Harry melempar lagi M&M’s. Enggak masuk lagi. Sekitar sebelas M&M’s bertebaran di atas tempat tidur karena Harry mengambil yang baru, dibandingkan melahap yang sudah jatuh.

“Daddy?”

Harry mengangguk. “Pamungkas kan daddy gue,” jawab Harry enteng. Dia melempar lagi M&M’s, kali ini permen itu masuk. “Yaaayyy!!!” serunya sambil mengacungkan tinju ke udara. “Masuk!”

“Jadi kamu ada hubungan spesial sama Pamungkas?” tanya Kristian, mendadak tertarik. Kedua alisnya bertaut.

Jordan lebih tertarik lagi mengapa Kristian tertarik pada fakta itu. Harusnya biasa saja, kan? Kecuali memang Kristian dan Harry ada hubungan gelap. Seperti dugaan Jordan ketika menemukan mereka keluar dari master bedroom dengan rambut basah. (Memangnya mereka photoshoot di dalam kolam renang?)

Ck! Sepesawat ini isinya homo semua. Enggak usah kaget,” ujar Harry. “Si Maulana itu kucing. Dia udah ngentot ama nyaris semua orang di pesawat ini.”

Jordan tak mau bereaksi. Bahkan, tak ada yang bereaksi. Baik itu Kristian maupun Randian. Entah mereka menutupi sesuatu, atau mereka memutuskan respons atas informasi itu enggak penting.

“Pasti motif si Maulana jadi pembajak tuh karena ada orang yang pake jasa dia, terus bayarnya kurang,” lanjut Harry.

Jordan memutar bola mata.

“Karena lisensinya AOC-nya Niaga Tidak Berjadwal,” lanjut Randian mengubah topik pembicaraan sebelum Harry menjadi narasumber utama, “atau maskapai charter, di mana penerbangannya enggak teregistrasi di airport secara rutin, Yavadvipa Jet bisa terbang kapan aja dan ke mana aja. Kalau ada sesuatu yang darurat, prioritas, atau rahasia, maskapai ini sering disewa orang-orang kaya, politikus, mafia, kriminal, dan lain-lain. Itulah alasannya duit ngalir terus sampai bisa beli Boeing BBJ Triple Seven brand new. Dalam maskapai ini, ada banyak rahasia-rahasia kotor negara yang akan mengacaukan stabilitas keamanan nasional kalau sampai bocor ke tangan publik.”

Jordan menyipitkan mata. Ingin sekali bertanya mengapa Randian bisa tahu banyak perihal informasi tersebut. “Lalu kenapa penerbangan ini yang dibajak?”

“Itu saya enggak tahu,” jawab Randian.

“Mungkin karena ada guenya,” kata Harry, melempar lagi M&M’s, tetapi enggak masuk. Kali ini Harry membuka kamera depan ponselnya, merekam setiap aksi menyantap M&M’s lewat udara itu. “Kalau brand ambassador-nya mati, kan nanti orang-orang sedih. Brand ambassador nilainya tinggi.”

Sekarang Jordan menyipitkan mata menatap manusia sepercaya diri Harry. Semakin sini semakin percaya diri. Seolah-olah dirinya penting, paling ganteng, paling punya nilai tinggi di mata terorisme. Ya memang ganteng, sih. Tapi, kan orangnya menyebalkan. Jenis-jenis yang kalau dibajak di sebuah pesawat sendirian, Jordan ikhlas kalau pesawatnya meledak dengan Harry berada di dalamnya.

“Apa ini alasannya Pamungkas menjaga betul image perusahaan?” tanya Jordan.

Randian mengangguk. “Misal pesawat selamat, kita semua hidup, tapi insiden mengundang penyelidikan KNKT dan negara, maskapai bakalan mampus. Pamungkas bisa jadi mati ditembak pembunuh bayaran. Makanya, saya percaya dia lebih milih terbang selamanya daripada mendarat.”

Jordan mulai merasa ngeri. Jadi mereka akan selamanya terbang? Kristian menangkap kecemasan di wajah kekasihnya. Dia meraih tangan Jordan, menggenggamnya dengan erat. “Kita akan mendarat,” jawab Kristian yakin.

“Kenapa kamu yakin?”

“Percaya aja sama aku,” bisiknya.

Karena tampaknya semua orang sudah tahu Jordan dan Kristian gay juga, pun karena Jordan ingin mengklaim Kristian sebagai pacarnya di depan Harry—supaya Harry enggak macam-macam, Jordan mencium Kristian di bibir.

Kristian terkejut dan agak mengelak. “Aku … aku ke toilet dulu. Bentar.” Lalu, Kristian pun menghilang dari ruangan.



To be continued ....


<<< Part 14  |  The Flying Paradise  |  Part 16 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Nude 33

  ssendrawkwA emitefiL .33     Pada suatu pagi lima tahun lalu, Miza bangun lebih pagi dari biasanya meski semalaman tak bisa tidur. D...