Senin, 29 Maret 2021

The Flying Paradise Prolog

Prolog


 

Tak ada yang lebih nyaman selain penerbangan dalam cuara sore cerah di mana awan-awan tak menghalangi pemandangan. Penerbangan dengan kode 999 itu sudah mengudara selama dua jam sejak lepas landas dari King County International Airport, Boeing Field, Seattle. Beberapa saat lalu pesawat meninggalkan wilayah udara Kanada, untuk kembali masuk ke wilayah udara Amerika Serikat negara bagian Alaska.

Kedua pilot dengan jam terbang yang belum cukup banyak itu sedang menikmati camilan dalam dua menu berbeda. Satu-satunya kru kabin dalam penerbangan baru saja keluar setelah menyerahkan segelas kopi hangat untuk sang kopilot. Kru kabin kembali ke galley dan menyajikan camilan ringan kepada enam penumpang yang tengah duduk di kabin utama.

“Apa tipe pesawatnya? Dan kenapa mengambil tipe ini?” tanya seorang penulis sambil membetulkan kacamata yang bertengger di hidungnya.

Manager perusahaan penerbangan menjawab, “Boeing BBJ 777-8 VIP. Mengapa yang ini? Pertama, pesawat ini bisa terbang 21.000 km non-stop. Kedua, karena ukurannya panjang, ada lebih banyak ruang yang bisa dimasukkan. Luas kabin keseluruhan 300 meter persegi. Raja-raja di Timur Tengah suka yang besar-besar.”

Arsitek yang mendesain interior kabin tertawa. “Dan saya juga memastikan kualitas materialnya terbaik. Misalnya sprayer untuk cebok di kamar mandi utama, selain warnanya emas, itu juga terbuat dari emas betulan. Tapi jangan ditulis, ya. Off the record aja. Bisa-bisa entar dicuri sama penumpang.”

Jepret! Seorang videografer mengambil gambar sang pendesain kabin dengan latar jendela pesawat yang dilapisi kayu berpelitur mengilap. Profil emas dan bantal-bantal empuk berwarna putih gading menghiasi latar belakang. Sejejer botol sampanye dan gelas-gelas tinggi sengaja disimpan di sebelahnya, tepat di samping vas bunga ramping berisi alstroemeria berwarna kuning.

“Dari segi keamanan,” lanjut penulis, “apakah pesawat ini didesain dengan tingkat keamanan tinggi seperti Air Force One?”

Teknisi senior yang ikut dalam penerbangan menjawab, “Hampir mirip dengan Air Force One. Kami punya teknologi anti deteksi radar, tapi karena nantinya ini untuk charter, di pesawat ini enggak ada fasilitas mid-air fueling seperti yang Air Force One bisa lakukan.”

“Pangsa pasar kami VIP tertinggi dari berbagai negara,” tambah Manager. “Biasanya untuk perjalanan kenegaraan atau liburan. Makanya kami menamai pesawat ini The Flying Paradise. Tapi dari segi security dan safety, kami menerapkan standar keamanan nomor satu. FAA approved. Pesawat ini dilengkapi sistem antiteroris, antipembajakan, antibom, dan lain sebagainya.”

Seorang pemuda dengan jas perlente dan dasi desainer ternama, yang sedari tadi menggulir Instagram, ikut bicara, “Makanya sekarang gue pake jas kece ini. Biar raja-raja kaya ngerasa ganteng kayak gue.”

Obrolan tetap berlanjut ketika pramugara selesai menyajikan appetizer sore yang dihangatkan sepuluh menit lalu. Segala jenis minuman beralkohol dihidangkan dan disiapkan kru kabin dengan sangat profesional. Sang penulis yang masih berkutat dengan laptopnya mencatat setiap pembicaraan, mencomot seporsi gyoza dan manggut-manggut setuju bahwa hidangannya lezat. Dia juga menuliskan nikmatnya sajian ke dalam tulisan.

Sinar matahari masuk melalui jendela-jendela pesawat yang terbuka, menyinari meja dengan warna keemasan, memberikan kehangatan bagi enam orang di ketinggian 40.000 kaki di atas permukaan laut. Deru turbin pesawat tidak terlalu bising karena mesinnya menggunakan General Electric GE9X, mampu meredam deruman jet. Matahari tak akan pernah tenggelam hingga mereka mendarat. Lembayung akan terus menemani perjalanan. Namun mereka akan dijamu makan malam khas nusantara, setelah obrolan santai penuh informasi itu selesai. 

“Ini akan menjadi private jet terbesar di Indonesia begitu kita berhasil mendarat di Halim. BBJ-nya Jokowi yang biru itu,” Manager menambahkan senyum meledek, “kalah. Itu 737 doang. Yang ini, nih … Boeing 777. One of the biggest aircraft we have.”

Penulis mencatatnya lagi.

Di tengah kedamaian yang mewah itu, sebuah jeritan tiba-tiba terdengar. “AAARGH!” Kru kabin yang sedang mendorong troli piring kotor melompat mundur saat melihat sesosok tubuh terjatuh dari galley. Sosok itu mengalami kejang selama beberapa detik, mengeluarkan busa dari mulutnya, lalu entakan tubuh itu berhenti diikuti napas dan detak jantung yang menghilang.

Sesosok mayat tergeletak di atas karpet cokelat Maroko.

Bersamaan dengan kengerian di kabin utama, ketika semua orang terkejut menyaksikan kematian teknisi junior dalam penerbangan, sebuah pesan masuk ke kokpit. Pesan itu dicetak otomatis melalui sebuah printer kecil yang biasanya digunakan untuk melihat informasi cuaca dan metode approach.

Pesan itu sederhana, tetapi membuat kedua pilot berpandangan dengan ngeri.

“Satu penumpang sudah tumbang. Sisa sembilan orang. Sebuah bom ditanam di roda belakang. Akan meledak saat suspensinya mendapat tekanan. Pilihan kalian hanya dua: turuti kemauan saya, atau selamanya terbang. Kalau kalian memilih untuk tak pernah mendarat, wah kebetulan. Semua orang dalam penerbangan ini laki-laki yang bisa ajak bersenang-senang. Laki-laki yang akan bisa saling merangsang. Jadi, pikirkan dengan matang.”



To be continued ....


The Flying Paradise  |  Part 01 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Nude 33

  ssendrawkwA emitefiL .33     Pada suatu pagi lima tahun lalu, Miza bangun lebih pagi dari biasanya meski semalaman tak bisa tidur. D...