Prolog
Tak ada yang lebih nyaman selain penerbangan dalam cuara sore cerah di
mana awan-awan tak menghalangi pemandangan. Penerbangan dengan kode 999 itu
sudah mengudara selama dua jam sejak lepas landas dari King County
International Airport, Boeing Field, Seattle. Beberapa saat lalu pesawat
meninggalkan wilayah udara Kanada, untuk kembali masuk ke wilayah udara Amerika
Serikat negara bagian Alaska.
Kedua pilot dengan jam terbang yang belum cukup banyak itu sedang
menikmati camilan dalam dua menu berbeda. Satu-satunya kru kabin dalam
penerbangan baru saja keluar setelah menyerahkan segelas kopi hangat untuk sang
kopilot. Kru kabin kembali ke galley
dan menyajikan camilan ringan kepada enam penumpang yang tengah duduk di kabin
utama.
“Apa tipe pesawatnya? Dan kenapa mengambil tipe ini?” tanya seorang
penulis sambil membetulkan kacamata yang bertengger di hidungnya.
Manager perusahaan penerbangan menjawab, “Boeing BBJ 777-8 VIP. Mengapa
yang ini? Pertama, pesawat ini bisa terbang 21.000 km non-stop. Kedua, karena
ukurannya panjang, ada lebih banyak ruang yang bisa dimasukkan. Luas kabin
keseluruhan 300 meter persegi. Raja-raja di Timur Tengah suka yang
besar-besar.”
Arsitek yang mendesain interior kabin tertawa. “Dan saya juga memastikan
kualitas materialnya terbaik. Misalnya sprayer
untuk cebok di kamar mandi utama, selain warnanya emas, itu juga terbuat dari
emas betulan. Tapi jangan ditulis, ya. Off
the record aja. Bisa-bisa entar dicuri sama penumpang.”
Jepret! Seorang
videografer mengambil gambar sang pendesain kabin dengan latar jendela pesawat
yang dilapisi kayu berpelitur mengilap. Profil emas dan bantal-bantal empuk
berwarna putih gading menghiasi latar belakang. Sejejer botol sampanye dan
gelas-gelas tinggi sengaja disimpan di sebelahnya, tepat di samping vas bunga
ramping berisi alstroemeria berwarna
kuning.
“Dari segi keamanan,” lanjut penulis, “apakah pesawat ini didesain
dengan tingkat keamanan tinggi seperti Air Force One?”
Teknisi senior yang ikut dalam penerbangan menjawab, “Hampir mirip
dengan Air Force One. Kami punya teknologi anti deteksi radar, tapi karena
nantinya ini untuk charter, di
pesawat ini enggak ada fasilitas mid-air
fueling seperti yang Air Force One bisa lakukan.”
“Pangsa pasar kami VIP tertinggi dari berbagai negara,” tambah Manager. “Biasanya
untuk perjalanan kenegaraan atau liburan. Makanya kami menamai pesawat ini The
Flying Paradise. Tapi dari segi security
dan safety, kami menerapkan standar
keamanan nomor satu. FAA approved.
Pesawat ini dilengkapi sistem antiteroris, antipembajakan, antibom, dan lain
sebagainya.”
Seorang pemuda dengan jas perlente dan dasi desainer ternama, yang
sedari tadi menggulir Instagram, ikut bicara, “Makanya sekarang gue pake jas
kece ini. Biar raja-raja kaya ngerasa ganteng kayak gue.”
Obrolan tetap berlanjut ketika pramugara selesai menyajikan appetizer sore yang dihangatkan sepuluh
menit lalu. Segala jenis minuman beralkohol dihidangkan dan disiapkan kru kabin
dengan sangat profesional. Sang penulis yang masih berkutat dengan laptopnya
mencatat setiap pembicaraan, mencomot seporsi gyoza dan manggut-manggut setuju bahwa hidangannya lezat. Dia juga
menuliskan nikmatnya sajian ke dalam tulisan.
Sinar matahari masuk melalui jendela-jendela pesawat yang terbuka,
menyinari meja dengan warna keemasan, memberikan kehangatan bagi enam orang di
ketinggian 40.000 kaki di atas permukaan laut. Deru turbin pesawat tidak
terlalu bising karena mesinnya menggunakan General Electric GE9X, mampu meredam
deruman jet. Matahari tak akan pernah tenggelam hingga mereka mendarat. Lembayung
akan terus menemani perjalanan. Namun mereka akan dijamu makan malam khas
nusantara, setelah obrolan santai penuh informasi itu selesai.
“Ini akan menjadi private jet
terbesar di Indonesia begitu kita berhasil mendarat di Halim. BBJ-nya Jokowi
yang biru itu,” Manager menambahkan senyum meledek, “kalah. Itu 737 doang. Yang
ini, nih … Boeing 777. One of the biggest
aircraft we have.”
Penulis mencatatnya lagi.
Di tengah kedamaian yang mewah itu, sebuah jeritan tiba-tiba terdengar.
“AAARGH!” Kru kabin yang sedang mendorong troli piring kotor melompat mundur
saat melihat sesosok tubuh terjatuh dari galley.
Sosok itu mengalami kejang selama beberapa detik, mengeluarkan busa dari
mulutnya, lalu entakan tubuh itu berhenti diikuti napas dan detak jantung yang
menghilang.
Sesosok mayat tergeletak di atas karpet cokelat Maroko.
Bersamaan dengan kengerian di kabin utama, ketika semua orang terkejut
menyaksikan kematian teknisi junior dalam penerbangan, sebuah pesan masuk ke
kokpit. Pesan itu dicetak otomatis melalui sebuah printer kecil yang biasanya digunakan untuk melihat informasi cuaca
dan metode approach.
Pesan itu sederhana, tetapi membuat kedua pilot berpandangan dengan
ngeri.
“Satu penumpang sudah tumbang. Sisa
sembilan orang. Sebuah bom ditanam di roda belakang. Akan meledak saat
suspensinya mendapat tekanan. Pilihan kalian hanya dua: turuti kemauan saya,
atau selamanya terbang. Kalau kalian memilih untuk tak pernah mendarat, wah
kebetulan. Semua orang dalam penerbangan ini laki-laki yang bisa ajak
bersenang-senang. Laki-laki yang akan bisa saling merangsang. Jadi, pikirkan
dengan matang.”
To be continued ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar