Senin, 29 Maret 2021

Kerkhoven 13

-13-
Slipdas

 

Tentu saja aku tidak langsung pergi.

Hal pertama yang kulakukan adalah mencari pijakan agar Dian tidak menggantung terus-menerus seperti itu. Dia pasti sangat kelelahan. Kutemukan sebuah meja cukup tinggi di seberang ruangan. Meski aku harus tertatih-tatih melewati barisan mayat, aku tetap melakukannya. Dian berteriak dengan sangat tegas, “A! Pergi, A! Jangan lama-lama di sini!”

Aku tak mendengarkan. Aku membawa meja itu ke bawah kaki Dian, sehingga cowok itu bisa berpijak.

“Siapa mayat-mayat ini?!” seruku panik. Bahkan, aku agak-agak ingin menangis.

“A, cepetan pergi dari sini, A. Ini bukan tempat yang aman buat Aa! Pergi dari desa ini!”

“Tapi jelasin dulu, siapa mereka? Dan kenapa tempat ini bahaya?”

Dian seharusnya tampak seksi. Dian memenuhi segala jenis fantasi BDSM yang pernah kubayangkan. Tubuh telanjangnya tampak semakin berotot karena kedua tangannya tertarik ke atas. Namun kali ini aku sedang enggan berpikir mesum. Aku ingin sekali menolong Dian, meskipun pahaku sendiri nyerinya bukan main. Aku tak sanggup memanjat ke atas meja atau melepaskan ikatan tangan Dian di atas sana.

“Mereka semua korban Corona!” seru Dian akhirnya. “Makanya, A! Burukeun! Kabur dari sini, keluar dari desa!”

Aku membelalak mendengarnya.

Korban Covid-19?!

Dibiarkan berjejer dalam satu ruangan, tak terkubur seperti ini?!

Tanpa pembungkus?!

WHAT THE FUCK?!

Apa gunanya aku isolasi dua minggu di kamar sebelah kalau di sini ada puluhan jenazah Covid-19?!

Dian seperti ingin menangis. “Cepat, A! Pergi dari sini. Jangan sampai Aa jadi korban berikutnya.”

“Tapi ... tapi kamu—”

“Jangan pikirin saya, A. Saya dihukum di sini supaya saya mati juga karena Corona. Gara-gara saya nyaris ngebocorin informasi penting ke Aa. Tapi Aa harus nyelamatin diri Aa sekarang! Cepat pergi, A!”

Aku malah menangis di tempat dan menggelengkan kepala. “Enggak bisa ...! Saya enggak bisa ninggalin kamu di sini, Mas!”

“Jangan peduliin saya, A! Aa harus peduliin diri Aa sendiri!”

“Kenapa harus saya aja yang meduliin diri saya sendiri?! Kenapa kamu juga enggak peduliin diri kamu sendiri?!”

Dian, masih dengan kedua tangan terikat ke atas, di mana wajahnya sekarang terhimpit ketiaknya sendiri, mencoba menjelaskan kepadaku dengan sabar. “Karena Aa satu-satunya harapan saya, A! Kalau Aa selamat, Aa bisa sebarkan yang sebenarnya soal desa ini ke luar. Negara kita mesti tahu yang sebenarnya!” Suara Dian bergetar. Kulihat tubuhnya berguncang hebat, dadanya kembang kempis. Dian menangis. “Baris empat, ketujuh dari kanan .... Itu keluarga saya semua, A! Keluarga saya sudah mati! Tolong, A .... Aa harus selamat! Cepat kabur dari sini, A!”

Aku ikutan menangis. “Tapi apa yang harus saya sampaikan, Mas? Saya enggak tahu apa-apa!”

“Apa pun! Dunia harus tahu!”

Lalu, dua pintu gudang yang ada di seberang ruangan, terdengar berisik. Seseorang sedang membuka gemboknya dari luar. Pintu itu akan dibuka.

“A ...! Tolong, A ...! Selamatkan diri Aa,” seru Dian terakhir kali.

....

Terakhir kali ..., karena aku terpaksa pergi dari gudang itu, kembali ke kamarku yang tadi di mana Nunung masih tergeletak tak sadarkan diri. Sambil menangis tersedu-sedu aku menyeret tubuhku di sepanjang dinding. Kupecahkan kaca jendela kamar, lalu aku merangkak keluar melewati garis kuning polisi yang membentang di sana sini.

Aku tak tahu lagi apa yang terjadi di dalam sana. Kudapati diriku berjalan tertatih-tatih melewati halaman rumput yang luas. Aku berada di satu sisi area gedung, sementara mobilku ada di sisi lain, terparkir bisu. Sekitar tiga orang menjaga mobilku. Satu orang duduk di atas kap mesin, dua orang lain berdiri dan bercakap-cakap. Sudah tak mungkin aku menggunakan mobilku. Selain kuncinya ada di kamar, kakiku juga tampaknya belum bisa digunakan dengan sempurna.

Jadi, aku berjalan dalam kegelapan, menyusuri pepohonan tinggi pinggir jalan yang juga kutemui sebelum bertemu gerbang pohon beringin. Suasana gelap sekali, tanpa penerangan sedikit pun. Di kejauhan sana aku melihat lampu-lampu rumah warga, tetapi ... rasanya jauh sekali. Dan Dian juga berharap aku bisa keluar dari desa ini.

Tapi bagaimana caranya?

Aku tak punya kendaraan, kakiku cedera, aku tak tahu harus pergi ke mana dalam kegelapan ....

....

Namun aku tak akan menyerah.

Sekitar dua atau tiga jam kemudian, aku akhirnya mencapai rumah Pak Kades. Kurasa aku tersesat beberapa kali di dalam hutan. Kakiku yang tak beralas berkali-kali menginjak kodok, dedaunan basah, batu kerikil yang menyakitkan, bahkan tanaman berduri. Hujan turun lagi saat itu. Cukup deras, seperti hari pertama. Tubuhku kedinginan, tetapi rasa sakitku menjadi bias. Pada saat yang sama aku melihat rumah Pak Kades.

Dan saat itu juga aku tahu aku sedang menjadi buronan.

“Euweuh! Geus leungit!”

“Anjing, leungit ka mana émangna?! Mobilna aya kénéh!”

“Teuing! Tapi si Nunung paéh. Sigana ku manéhanna!”

Aku tak mengerti satu pun yang mereka bicarakan. Namun yang kulihat ada empat orang laki-laki berbadan besar, membawa senter di satu tangan dan golok di tangan lain. Dari ekspresi wajah mereka yang risau, tampak jelas mereka sedang kehilangan sesuatu. Dan dengan nama Nunung disebutkan di sana, sudah pasti akulah yang dicari.

Tak ada Pak Munarman di halaman rumah itu. Keempat laki-laki itu langsung berlari ke arah Kerkhoven, sehingga aku bisa menyelinap keluar semak-semak berduri, lalu berjalan menyusuri jalan masuk desa dalam gelap.

Sambil menangis aku teringat lagi dua minggu lalu saat membuntuti Dian yang bertelanjang dada di sepanjang jalan ini. Hujan deras mengguyur kami, tetapi laki-laki itu tampak menawan dengan sehelai daun pisang raksasa menutupi kepalanya. Aku menangis karena laki-laki itu sekarang terikat di dalam gudang serai yang penuh mayat ... dan mayat keluarganya juga ada di sana.

Hujan deras yang muncul lagi di jalan ini mengaburkan isakanku. Air mataku bercampur dengan tetesan hujan yang mengalir di wajah. Aku berjalan pelan-pelan, di tengah jalan tanah merah yang berlubang dan berlumpur. Kukira semua orang pasti sedang heboh di Kerkhoven mencariku, jadi aku harus menggunakan kesempatan ini berjalan kaki melewati dua pohon beringin.

....

Tidak. Dugaanku salah.

Ketika aku sampai di area tebing di mana mobilku tak bisa lewat hari pertama ..., beberapa orang sudah menungguku. Air dari satu tebing mengalir seperti tempo hari, mencipta air terjun ke tebing curam di seberangnya. Awalnya aku tak bisa melihat mereka, karena suasana gelap. Lalu satu orang menyalakan senter, dan belasan lain menyalakannya juga.

Orang pertama yang menyalakan senter itu adalah Pak Munarman. Berdiri paling depan.

“Selamat malam Pak Rizki,” sapanya.

Aku membelalak terkejut. Tubuhku yang menggigil karena hujan, semakin gemetaran karena rasa panik. Tentu saja aku tak menjawab sapaan itu. Aku langsung mencoba mencari jalan keluar dari situasi ini.

Tak bisa. Di belakangku, empat laki-laki yang kulihat di rumah Pak Munarman sedang berjalan ke arahku sambil menyorotkan senter mereka. Beberapa orang lain juga membuntutinya.

Aku dikepung dari dua arah.

“Sudah habis ya efeknya, Pak?” tanya Pak Munarman sambil terkekeh. “Pisang goreng bikinan istri saya memang enak, apalagi kalau dicampur jamur spesial kayak yang Bapak makan dua minggu lalu. Bikin kita bisa berhalusinasi terus. Hahaha.”

Beberapa orang di belakang Pak Munarman tertawa.

“Masih hari ke-13 lho, Pak. Bapak belum selesai karantinanya.”

“Saya mau pergi!” jeritku, dengan suara serak dan merintih karena kebanyakan menangis. “Saya mau pulang.”

“Lho, bukannya Bapak mau lihat-lihat dulu desa kami?” Pak Munarman berjalan pelan-pelan ke arahku, “Atau Bapak sudah lihat semuanya?”

Melihat belasan orang mengepungku dengan golok di tangan mereka, kurasa aku sudah melihat semuanya. Ini adalah desa terkutuk!

“Padahal Nunung sudah masuk setiap hari ke kamar supaya ilusi itu tetap memanjakan Bapak. Dia pel lantainya yang berdebu, dia bersihkan semuanya, eh Bapak tetap kabur juga. Bapak takut hantunya ... atau Bapak takut Corona di ruang sebelah?”

Pak Munarman tertawa lagi, diikuti kekehan dari rombongannya.

“Kenapa?” tanyaku, dengan suara parau. “Kenapa Bapak melakukan itu ke saya?”

“Karena saya enggak suka wartawan!” sahutnya tegas. Suaranya menggelegar seperti petir di bawah hujan deras. “Saya enggak suka mereka ikut campur dan memperburuk nama desa ini! Kami menjaga desa ini sejak lama, namanya selalu baik sampai akhirnya Corona datang. Delapan puluh persen dari kami terkena Corona. Dokter-dokter yang kami tahan di Kerkhoven kami ancam agar tidak memberikan informasi ini ke Kemenkes .... Atau nyawa mereka melayang. Kayaknya mereka lebih sayang nyawa. Bagus, lah kalau begitu. Makanya mereka setia membantu kami mengecek siapa saja yang kena Corona.

“Termasuk saya. Positif juga. HAHAHA!” Pak Munarman tertawa kencang sekali.

Aku tak tahu apakah dari mulutnya yang menganga lebar itu keluar droplet yang akhirnya masuk ke mataku atau enggak. Tak ada yang mengenakan masker satu pun di sini. Mungkin aku sudah terinfeksi Covid-19 sedari kemarin. Namun saat ini aku tak peduli.

“Lalu yang Bapak inginkan itu apa?” tanyaku.

“Ya saya pengin Bapak mati, lah!” jawab Pak Munarman sambil mendengus geram. “Saya ingin mencegah informasi soal desa ini bocor ke luar. Paham?!”

Inikah yang Dian maksud tentang bahaya itu?

Aku mulai bisa mendapat gambaran penuh sekarang. Inilah rahasia desa yang Pak Munarman dan orang-orang ini sembunyikan dari luar. Inilah alasannya aku ditempatkan di ruang utama Kerkhoven yang penuh hantu, tepat di sebelah gudang serai berisi mayat-mayat Covid-19. Malah, serai-serai itu tampaknya digunakan untuk mengaburkan bau busuk mayat agar tidak tercium ke kamarku. Inilah alasannya Dian menjagaku. Bukan dari hantu-hantu, melainkan dari kejahatan kepala desa ini. Inilah juga alasannya semua hantu itu menatapku malam hari. Mereka meminta bantuan. Bukan ingin menggangguku.

Sepicik itukah seseorang demi nama baik desa tanpa kasus Corona sehingga melakukan semua ini? Atau mereka menyembunyikan sesuatu di dalam desa yang tak ingin diketahui publik semisal pemerintah melakukan invasi?

Pak Munarman mengacungkan goloknya tinggi-tinggi ke udara. Tetes hujan deras mengaburkan pandanganku akan mata golok itu, tetapi aku tahu dia sedang akan menghunuskannya ke arahku.

“MATI!” sahut Pak Munarman bersemangat.

Dan yang kulakukan adalah ...

... aku melompat.

Aku melompat ke tebing curam di sebelahku, meluncur dan memerosot di saluran air yang licin dan berlumpur. Aku ingat Dian berkata bahwa aliran air ini menuju Sungai Cimenong di bawah, yang kemudian mengalir ke Sukabumi.

Entahlah. Entah aku akan sampai ke sana, atau aku mati di jalan.

Yang pasti aku bisa terbebas dari golok itu. Kalau harus mati pun, aku mati di tanganku sendiri.

Aku merosot mengikuti aliran air terjun kecil itu. Kutabrak beberapa pohon dan tumbuhan di sepanjang jalan. Lalu, BYUR! Aku tenggelam ke sebuah aliran sungai yang deras dan berbatu.

Dan kepalaku membentur satu batu kali yang keras di dasarnya.



The end.


<<< Part 12  |  Kerkhoven

1 komentar:

Nude 33

  ssendrawkwA emitefiL .33     Pada suatu pagi lima tahun lalu, Miza bangun lebih pagi dari biasanya meski semalaman tak bisa tidur. D...