Senin, 29 Maret 2021

Kerkhoven 12

-12-
Magajizn

 

Tentu saja aku terbangun dalam keadaan terikat.

Aku merasakan pusing teramat sangat di dalam kepalaku. Sehingga, ketika aku sadar, aku masih belum sanggup membuka mata. Aku hanya mengerutkan wajahku ke dalam, mencoba menahan rasa sakit tersebut. Lama kelamaan, rasa pusing itu memudar. Aku bisa membuka mataku perlahan-lahan.

Pupil mataku langsung menyesuaikan dengan pencahayaan yang minim. Tampaknya hari mulai memasuki malam. Kulihat ada noda cairan di kausku, tepat di bawah leher. Mungkin aku dicekoki sesuatu ke mulut—entahlah. Karena, perutku terasa agak mulas.

Aku berada di kamarku. Tanpa ilusi. Aku diikat ke sebuah kursi besi menggunakan tali rafia. Ikatannya cukup kencang, meski menurutku sia-sia karena aku bisa berontak dengan sangat kuat agar talinya putus. Apalagi tali ini diikatkan ke kursinya juga. Kursi besi yang mulai keropos.

Aku berada di dinding kamar yang menempel ke balkon.

Oh, balkon itu tak ada.

Ketika aku menengok ke luar, ke tempat yang seharusnya balkon, di sana hanya ada teras bertegel yang sudah dipenuhi rumput. Tak ada pagar, tak ada pot tanaman, tak ada meja dan kursi untuk minum teh. Yang ada malah rumput dengan bebungaan kuning yang bunganya sempat Dian bawa masuk ke dalam kamar.

Aku kembali memindai seisi kamar.

Tak ada siapa-siapa di dalamnya. Tak ada manusia, tak ada hantu. Hari mulai gelap. Azan magrib bersahut-sahutan di luar sana. Kusadari ada satu jalur basah dari pintu masuk kamar ke pintu kamar sebelah. Seolah-olah seseorang mengepel lantai, tetapi hanya di jalur antar dua pintu saja. Sisanya tetap kotor dan berdebu.

Eh, bukan. Kurasa itu bukan pel.

Kurasa seseorang menggeret sesuatu yang berat dan basah melewati kedua pintu itu, meninggalkan jejak.

Aku mencoba melepaskan diri dari ikatan tali rafia itu selama sepuluh menit. Sampai talinya benar-benar tipis karena tertarik, tetapi tali itu tak putus juga.

Yang mengikatku benar-benar bodoh. Tak bisakah dia menggunakan tali tambang saja?

Aku tak bisa melanjutkan pemberontakan di atas kursi, karena pintu kamarku terbuka. Nunung masuk sambil menarik sesuatu di dalam kantung plastik besar. Dia tampaknya kelelahan menarik benda itu, makanya dia meninggalkan jejak basah antara dua pintu.

Nunung mengabaikanku. Dia melihatku sebentar dengan tatapan bengis, lalu berlalu begitu saja ke ruang sebelah. Dia menyimpan sesuatu di sana, untuk waktu yang cukup lama. Kugunakan kesempatan ini untuk mendorong tubuhku sekali lagi, menjauhi sandaran kursi. Aku mencoba mengoyak ikatan rafia yang mulai menipis dengan sisa tenaga yang kupunya. Rasanya perih sekali. Rasanya seperti ada kawat-kawat tipis yang mencoba mengikatku di seluruh tubuh.

Tasss!

Satu tali berhasil putus!

Kebetulan, tali itu tadinya mengikat lengan atasku. Jadi, aku bisa mengeluarkan kedua lenganku—meski susah payah—dan akhirnya mengeluarkan tubuhku dari seluruh ikatan itu.

Sayangnya, aku tak menyadari ....

... Nunung sudah berdiri di sampingku dengan sebuah sekop besi besar di tangan.

Ketika aku mengeluarkan kakiku yang terikat ke kaki kursi, Nunung melayangkan sekop itu. Aku sempat menyadarinya beberapa milidetik, sehingga aku membungkuk untuk menghindar. Namun sekop itu tetap mengenai tubuhku.

DONG!

“AAARGH!” Sekop Nunung mengenai pundak dan punggungku. Rasanya perih seperti diperas. Aku tersungkur ke atas lantai dengan satu kaki masih terikat ke kursi. Jadinya, kursi itu ikut jatuh bersamaku.

BUK! BUK!

“AAAAAARGH!” Karena aku terkapar di atas lantai, Nunung menghantamkan kepala sekop ke pahaku. Rasanya sakiiit ... sekali. Mataku memelotot, teriakanku kencang, mulutku menganga, seolah-olah nyawaku akan keluar.

Namun aku masih punya tenaga untuk melawan. Kakiku yang masih terikat ke kursi, yang kebetulan bukan sasaran sekop barusan, langsung kuangkat dan kuhantamkan ke tubuh Nunung. Perempuan bertubuh mungil itu langsung tersungkur ke atas lantai juga. Kugunakan kesempatan itu untuk melepaskan kakiku dari kursi, meski rasanya paha, pundak, dan punggungku masih snut-snutan.

Aku tak sanggup berdiri. Aku mencoba bangkit, tetapi tungkaiku terasa nyeri. Sehingga, aku hanya bisa menyeret tubuhku pelan-pelan. Nunung sudah kembali berdiri dan mengarahkan sekopnya ke arahku. Meski seluruh tubuhku kesakitan, aku masih punya sisa tenaga untuk menghindar.

DUK! DUK! DUK!

Kali ini mata sekop itu tidak mengenai tubuhku. Nunung menghunuskannya ke arahku, tetapi aku berhasil menghindar dan menghindar, sehingga lantailah yang menjadi korbannya. Satu kali aku sempat menahan sekop itu dengan tanganku, lalu kudorong Nunung hingga dia terjatuh dan kepalanya membentur salah satu kursi besi. Sekop itu terlepas dari tangan Nunung.

Kuraih langsung meja terdekat, dan kucoba sekali lagi untuk berdiri sambil berpegangan. Kali ini berhasil, meski jalanku agak terpincang-pincang. Setiap aku melangkah, aku mengerang kesakitan. Aku mencoba menghampiri balkon—

BUK!

Nunung melempariku dengan sesuatu. Entah batu, entah apa. Rasanya keras sekali, menghantam tepat ke belakang kepalaku.

Aku terjatuh lagi ke atas lantai, tetapi sekarang dalam posisi merangkak. Bagaimana pun, aku tetap tak berdaya karena rasa pusing tadi menghantamku lagi setelah benda keras itu memukul kepalaku.

Aku terduduk di atas lantai, masih berusaha bangkit dan melawan, tetapi tenagaku hampir habis. Kurasa sesuatu memang masuk melalui mulutku, sehingga aku kehilangan banyak energi.

Sambil memegang kepalanya, Nunung juga berhasil bangkit. Dia mendengus seperti kerbau. Diraihnya sekop yang tergeletak di atas lantai, lalu berlari dan bermaksud menghantamku lagi dengan benda itu.

Aku mati.

....

Aku bisa mati.

Masalahnya, aku tak bisa bergerak lagi. Aku masih bisa memulihkan diri, tetapi butuh waktu. Posisiku sekarang terduduk dalam perlindungan minim. Sekop itu bisa saja dihantamkan ke kepalaku hingga aku mati. Akan sangat mudah melakukannya.

Nunung sudah berada satu meter dariku, mengangkat sekopnya tinggi-tinggi, dan akan menghantamkannya ke kepalaku ...

....

... tetapi dia tak melakukannya.

Sekop itu tetap teracung di udara. Membeku seperti manekin.

Aku mendongak untuk melihat wajah Nunung. Dia tidak sedang melihat ke arahku. Dia sedang melihat ke sesuatu di belakangku. Ekspresinya sama seperti setiap kali dia sungkan berbicara denganku sehari-hari. Matanya memelotot.

Ketakutan.

Aku menoleh untuk melihat apa yang sebenarnya dia lihat selama ini di belakangku.

Tentu saja.

Puluhan orang itu. Dipimpin Thomas Kerkhoven tepat di belakangku.

Sosok-sosok itu berdiri tanpa ekspresi, memandang Nunung dengan tatapan mengintimidasi. Thomaslah yang membuat Nunung tak berani menatap wajahku. Bukan karena Nunung bersikap sopan seperti kebanyakan orang Sunda. Sekarang, aku jadi paham, satu-satunya momen ketika Nunung berani menatap wajahku tempo hari, adalah saat Thomas berada di balkon. Tidak berada di ruangan yang sama dengan kami.

Ya. Nunung takut kepada Thomas.

Dan kepada rombongan jiwa-jiwa yang terbakar di gedung ini.

....

Mungkinkah saat sosok-sosok halus itu mengejarku di lorong bukan karena ingin menangkapku? Mungkinkah karena mereka ingin mencegahku masuk ke kamar agar tidak diserang Nunung?

....

Prang!

Nunung menjatuhkan sekopnya ke atas lantai, menciptakan bunyi berisik di seantero kamar. Dia berjalan termundur-mundur. Kemudian, Nunung berlari, tetapi ...

... dia terpeleset lantai basah yang dia ciptakan sendiri.

Tubuh Nunung oleng, langsung jatuh seperti ada kulit pisang membuat kakinya licin. Kepalanya mengantam mata sekop yang dia jatuhkan.

....

Nunung pingsan. Entah mati. Bagian belakang kepalanya berdarah. Mata Nunung terpejam.

Aku mengatur napasku untuk menenangkan diri. Mataku masih membelalak tak percaya, menyaksikan perempuan itu pingsan oleh ulahnya sendiri. Setelah dadaku berdegup dengan normal, aku bangkit perlahan-lahan, kembali berpegangan pada meja. Aku berbalik, berdiri menghadap puluhan sosok yang sudah mati lebih dari seratus tahun lalu. Ekspresi mereka masih sama. Seperti malam-malam gelap di dalam peti mati, menatapku tanpa emosi.

Aku tahu mereka membantuku. Aku tahu mereka melindungiku. Jadi, dengan mata agak berkaca-kaca, aku tersenyum kepada mereka.

Untuk kali pertama, mereka menunjukkan ekspresi mereka.

Semuanya tersenyum. Dan, mengangguk.

....

Hal berikutnya yang kutahu, aku harus berlari ke kamar tamu sebelah karena aku teringat tiga puluhan hantu ini meminta tolong kepadaku terkait ruangan tersebut. Aku bisa saja memecahkan kaca jendela dan kabur melalui balkon, tetapi mereka baru saja menolongku dari Nunung yang berpotensi membunuhku. Kurasa tak ada salahnya membantu mereka sebelum aku benar-benar kabur dari sini.

Aku berjalan ke ambang pintu terlarang. Ini kali pertama aku akan masuk. Aroma lemongrass tercium sangat kuat dari sini. Namun ruangan itu kosong. Tak ada apa pun di dalamnya.

Oh, kecuali jejak seretan basah yang diciptakan Nunung.

Dari pintu tempatku berdiri, jejak basah itu terlukis hingga ke pintu berikutnya yang ada di seberang ruangan. Aku berjalan terpincang-pincang, berpegangan pada dinding, menuju pintu itu. Pintunya tak terkunci, mungkin untuk memudahkan mobilitas Nunung. Semakin dekat dengan pintu, aroma serainya semakin pekat.

Aku membuka pintu ruangan sebelah dengan gemetar. Aku tak tahu apa yang akan terjadi berikutnya, tetapi perasaanku tidak enak ....

....

Pintu terbuka. Aku berdiri di ambang pintu, dan membeku.

Ruangan yang kulihat adalah sebuah gudang besar, mungkin enam kali kamar yang kutinggali selama tiga belas hari terakhir. Seperti pabrik. Di satu sudut, tampak bertumpuk-tumpuk batang daun serai, seolah-olah ini adalah gudangnya serai. Namun yang membuatku terpana adalah ...

... puluhan mayat-mayat yang dijejerkan seperti ikan asin di atas lantai. Setiap mayat itu hanya diselimuti oleh sarung, atau kain terpal, atau kantung plastik. Sebagian di antaranya mengeluarkan cairan. Mungkin itu cairan yang membasahi lantai.

Aku sampai terduduk di atas lantai, tak percaya dengan pemandangan di hadapanku. Jadi ... jadi selama dua minggu terakhir aku tidur bersebelahan dengan puluhan mayat? Mayat apa ini? Kenapa mereka tidak dikubur? Kenapa mereka disimpan di dalam gudang serai?

“Kabur ...!” Aku mendengar seseorang berseru dengan suara parau.

Kuedarkan pandangan ke segala arah, tetapi aku tak dapat menemukan siapa pun. Yang kutemukan hanyalah mayat-mayat yang tergeletak begitu saja tanpa nyawa. Mayat yang wajahnya bahkan tak ditutupi apa pun, sehingga lalat beterbangan di sekitarnya.

“Cepat pergi dari sini! Kabur!” Suara itu lagi. Terdengar seperti merintih, tetapi ditujukan kepadaku. Apakah salah satu mayat itu berbicara kepadaku. “Pergi, A! Bahaya!”

Kutemukan dari mana sumbernya.

Dian.

....

Dia sedang tergantung di salah satu dinding dekatku, sehingga aku tak melihatnya sedari tadi. Kedua tangannya terjulur ke atas kepala, diikat ke kuda-kuda atap. Kakinya tak menapak ke tanah. Dian menggantung kelelahan sekitar satu meter di atas permukaan lantai. Telanjang, hanya mengenakan celana panjang yang sudah sobek. Keringat membasahi seluruh tubuhnya. Dan tubuh yang indah itu ... penuh dengan luka.

“Cepat kabur, A! Mereka sebentar lagi datang! Pergi jauh dari desa ini! Cepat!” serunya panik.



To be continued ....


<<< Part 11  |  Kerkhoven  |  Part 13 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Nude 33

  ssendrawkwA emitefiL .33     Pada suatu pagi lima tahun lalu, Miza bangun lebih pagi dari biasanya meski semalaman tak bisa tidur. D...