-11-Gang
- Dinten Katilu Belas -
Aku harus pergi hari ini juga,
simpulku. Harus. Aku tak peduli lagi pada liputanku. Lebih baik aku dipecat
dari kantor, daripada aku jadi gila beneran gara-gara semua kejadian ini.
Pagi
hari, aku terbangun di ruangan berbeda.
Bukan,
bukan berbeda. Ini justru ruangan sebenarnya.
Kamarku
tidak seperti kamar yang kulihat selama dua belas hari terakhir. Meja rias itu
tak pernah ada. Pun dua meja yang menampan lampu, hilang dari tempatnya. Sofa
dan kursi yang kukira adalah sofa antik nyatanya hanya sofa besi biasa yang
jelek.
Tempat tidur
berkelambu itu tak ada. Mungkin tak pernah ada. Aku terbangun di atas sebuah
dipan keras yang tidak nyaman. Kusingkap selimut tipis jelek warna
abu-abu—mungkin selimut rumah sakit—dan kutemukan bahwa tempat tidurku tidak
selebar dua belas hari terakhir.
Aku
turun dari tempat tidur untuk melihat apa yang ada di bawahnya. Kutemukan kasur
tipis buluk dibalut oleh seprai putih yang sudah belel dan warnanya pudar. Lalu
di bawahnya adalah tumpukan kayu yang menahan kaki-kaki besi hingga membentuk
rangka tempat tidur. Dan apa yang kutemukan dari tumpukan kayu itu?
Bahwa
kayu-kayu itu merupakan kayu bekas peti mati.
Kuhabiskan
sepanjang pagi menyusun semua pakaianku ke dalam koper. Jejeran lemari megah
yang biasanya kulihat ternyata hanya lemari butut dari kayu yang keropos. Kamar
ini tidak lebih keren dibandingkan kamar Dian di sebelah. Namun aku tak mau
menghabiskan waktu menyesali mengapa aku bisa dibutakan oleh ilusi yang
mengerikan. Aku fokus berbenah.
Laptop
kumasukkan dengan sembarang, pakaian kulemparkan tanpa kulipat, kutinggalkan
semua peralatan mandiku karena koperku jadi terlalu penuh. Kuletakkan semuanya
dekat pintu, siap diangkut.
Kemudian,
aku keluar dari kamar.
Lorong
yang berada tepat di bukaan pintuku tampak berbeda. Lorong itu lebih gelap dan kotor.
Debu menyeruak masuk saat aku membuka pintu, seolah-olah tak pernah ada manusia
yang melewatinya selama dua tahun terakhir. Aku langsung berlari ke kamar Dian
yang ...
...
yang pintunya terkuak sedikit.
Dian
tetap tak ada di dalamnya. Dan ruangan itu pun tampak lebih berantakan dari
sebelumnya.
Kamar
Dian seperti tidak pernah digunakan dalam dua abad terakhir. Berdebu, bersarang
laba-laba, kotor, beberapa perabotan kayu bekas terbakar dirapatkan berjejer ke
tembok ... satu-satunya yang bersih adalah sebuah kasur kecil yang mungkin
digunakan Dian selama menemaniku karantina. Bagian situ rapi, baru, dan tampak
normal.
Namun
tetap saja, tak ada Dian di dalamnya.
Aku
keluar lagi dan mulai berlari menyusuri lorong. Sepanjang kulewati setiap kamar
di kanan kiriku, beberapa pintu terkuak kecil maupun lebar. Dan semuanya tampak
seperti kamar-kamar yang diabaikan. Seolah-olah, tak pernah ada tamu lain yang
menginap di sana.
Aku
tiba di ujung lorong, di sebuah pintu yang ... terkunci. Aku mencoba menarik atau
mendorongnya dengan kuat. Pintu itu terkunci total. Gedung Kerkhoven ini
terdiri dari beberapa gedung memanjang yang setiap sayapnya memiliki rentetan
ruangan. Gedungku berada paling ujung, jauh dari lobi utama. Gedung sebelah ada
di hadapanku, menaiki tiga undakan berlantaikan tegel. Namun aku tetap tak bisa
keluar. Aku terkunci total.
Aku
mencoba masuk ke salah satu kamar kosong yang kukira terkunci karena sedang ada
yang karantina. Aku mencoba keluar lewat jendelanya, tetapi juga terkunci.
Bahkan seolah-olah tergembok dari luar.
Dua
menit kemudian aku menyadari sesuatu.
Bukan
hanya terkunci, seluruh gedung ini ... tersegel.
Ada
garis kuning polisi membentang di beberapa tempat yang menjadi jalan masuk. Aku
terkurung dalam gedung yang seharusnya tak boleh dimasuki secara hukum.
Memangnya apa yang terjadi dengan gedung ini?
Aku
berjalan mundur perlahan-lahan. Selain garis kuning polisi yang membentang di
mana-mana, kusadari juga bahwa langit-langit lorong nyaris runtuh. Sebagian
besar plafon sudah tak ada, bolong-bolong, menampilkan kuda-kuda atap yang
bersembunyi di baliknya. Dan dinding berwarna hitam. Terbakar.
Tanganku
bergetar sambil mengamati itu semua. Lututku gemetar seraya aku berjalan mundur
menjauhi pintu di ujung lorong.
Lalu,
sosok itu keluar satu per satu dari kamar paling ujung. Puluhan sosok yang
selalu mengamatiku setiap malam. Mereka melayang di atas lantai kotor dan
berdebu. Ekspresi mereka sama seperti setiap kali mereka mengamatiku di peti
mati. Aku tak bisa menebak mau mereka apa.
Jadi,
aku segera berbalik dan berlari, kembali ke kamarku. Menurut hematku, dari
balkon sana, aku bisa melompati pagar dan pergi meninggalkan gedung ini. Aku
bisa memecahkan kacanya yang besar itu, lalu berlari keluar. Ya. Aku bisa kabur
dari sana!
Aku
berlari semakin cepat. Rasanya seperti sedang dikejar. Karena, puluhan sosok
malam itu melayang semakin cepat membuntutiku. Setiap aku menoleh ke belakang,
kulihat mereka sedang menggapaikan tangannya ke arahku, lalu menggelengkan
kepala.
Dan, di
bawah sinar mentari, aku akhirnya bisa melihat kulit mereka melepuh.
Kulit
mereka menghitam karena gosong. Sebagian bahkan memiliki garis-garis bara api
dari dalam tubuhnya, seperti lava.
Mereka
semua seperti terbakar, tetapi tanpa api.
Mereka
tak bersuara. Mereka terus saja menggapaiku seperti zombi.
Mereka
ingin menarikku.
....
Tidak!
Tidak mau!
Thomas
bahkan berdiri di depan pintu kamarku sambil mengangkat tangannya ke arahku.
Dia juga menggelengkan kepala.
Akan
tetapi, aku tak peduli. Aku tak punya jalan lain. Aku harus berada di kamar dan
mendobrak jendela agar aku bisa pergi dari sini!
Aku
menganggap Thomas seperti hantu yang ada di TV. Mereka hanyalah makhluk halus
di mana aku bisa berjalan menembus tubuhnya. Memang benar. Aku bisa berlari menembus
tubuhnya. Aku menabrak Thomas Kerkhoven seperti menabrak bayangan holografis di
udara. Aku langsung membuka pintu, dan—
BUUUKKK!
Kepalaku
dipukul sesuatu.
Aku
pingsan.
Namun
sebelum pingsan, aku berhasil melihat siapa yang baru saja menghantamku dengan
sapu. Dia berdiri di pinggir pintu, mengarahkan gagang sapu tepat ke keningku,
lalu menghantamkannya sekeras mungkin.
Seluruh
duniaku langsung gelap tetapi sosok itu kulihat berdiri di samping tubuhku,
menggenggam gagang sapu dengan sangat erat. Dia memastikan aku pingsan.
....
Sosok itu adalah Nunung.
To be continued ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar