Senin, 29 Maret 2021

Kerkhoven 11

-11-
Gang

 

- Dinten Katilu Belas -

Aku harus pergi hari ini juga, simpulku. Harus. Aku tak peduli lagi pada liputanku. Lebih baik aku dipecat dari kantor, daripada aku jadi gila beneran gara-gara semua kejadian ini.

Pagi hari, aku terbangun di ruangan berbeda.

Bukan, bukan berbeda. Ini justru ruangan sebenarnya.

Kamarku tidak seperti kamar yang kulihat selama dua belas hari terakhir. Meja rias itu tak pernah ada. Pun dua meja yang menampan lampu, hilang dari tempatnya. Sofa dan kursi yang kukira adalah sofa antik nyatanya hanya sofa besi biasa yang jelek.

Tempat tidur berkelambu itu tak ada. Mungkin tak pernah ada. Aku terbangun di atas sebuah dipan keras yang tidak nyaman. Kusingkap selimut tipis jelek warna abu-abu—mungkin selimut rumah sakit—dan kutemukan bahwa tempat tidurku tidak selebar dua belas hari terakhir.

Aku turun dari tempat tidur untuk melihat apa yang ada di bawahnya. Kutemukan kasur tipis buluk dibalut oleh seprai putih yang sudah belel dan warnanya pudar. Lalu di bawahnya adalah tumpukan kayu yang menahan kaki-kaki besi hingga membentuk rangka tempat tidur. Dan apa yang kutemukan dari tumpukan kayu itu?

Bahwa kayu-kayu itu merupakan kayu bekas peti mati.

Kuhabiskan sepanjang pagi menyusun semua pakaianku ke dalam koper. Jejeran lemari megah yang biasanya kulihat ternyata hanya lemari butut dari kayu yang keropos. Kamar ini tidak lebih keren dibandingkan kamar Dian di sebelah. Namun aku tak mau menghabiskan waktu menyesali mengapa aku bisa dibutakan oleh ilusi yang mengerikan. Aku fokus berbenah.

Laptop kumasukkan dengan sembarang, pakaian kulemparkan tanpa kulipat, kutinggalkan semua peralatan mandiku karena koperku jadi terlalu penuh. Kuletakkan semuanya dekat pintu, siap diangkut.

Kemudian, aku keluar dari kamar.

Lorong yang berada tepat di bukaan pintuku tampak berbeda. Lorong itu lebih gelap dan kotor. Debu menyeruak masuk saat aku membuka pintu, seolah-olah tak pernah ada manusia yang melewatinya selama dua tahun terakhir. Aku langsung berlari ke kamar Dian yang ...

... yang pintunya terkuak sedikit.

Dian tetap tak ada di dalamnya. Dan ruangan itu pun tampak lebih berantakan dari sebelumnya.

Kamar Dian seperti tidak pernah digunakan dalam dua abad terakhir. Berdebu, bersarang laba-laba, kotor, beberapa perabotan kayu bekas terbakar dirapatkan berjejer ke tembok ... satu-satunya yang bersih adalah sebuah kasur kecil yang mungkin digunakan Dian selama menemaniku karantina. Bagian situ rapi, baru, dan tampak normal.

Namun tetap saja, tak ada Dian di dalamnya.

Aku keluar lagi dan mulai berlari menyusuri lorong. Sepanjang kulewati setiap kamar di kanan kiriku, beberapa pintu terkuak kecil maupun lebar. Dan semuanya tampak seperti kamar-kamar yang diabaikan. Seolah-olah, tak pernah ada tamu lain yang menginap di sana.

Aku tiba di ujung lorong, di sebuah pintu yang ... terkunci. Aku mencoba menarik atau mendorongnya dengan kuat. Pintu itu terkunci total. Gedung Kerkhoven ini terdiri dari beberapa gedung memanjang yang setiap sayapnya memiliki rentetan ruangan. Gedungku berada paling ujung, jauh dari lobi utama. Gedung sebelah ada di hadapanku, menaiki tiga undakan berlantaikan tegel. Namun aku tetap tak bisa keluar. Aku terkunci total.

Aku mencoba masuk ke salah satu kamar kosong yang kukira terkunci karena sedang ada yang karantina. Aku mencoba keluar lewat jendelanya, tetapi juga terkunci. Bahkan seolah-olah tergembok dari luar.

Dua menit kemudian aku menyadari sesuatu.

Bukan hanya terkunci, seluruh gedung ini ... tersegel.

Ada garis kuning polisi membentang di beberapa tempat yang menjadi jalan masuk. Aku terkurung dalam gedung yang seharusnya tak boleh dimasuki secara hukum. Memangnya apa yang terjadi dengan gedung ini?

Aku berjalan mundur perlahan-lahan. Selain garis kuning polisi yang membentang di mana-mana, kusadari juga bahwa langit-langit lorong nyaris runtuh. Sebagian besar plafon sudah tak ada, bolong-bolong, menampilkan kuda-kuda atap yang bersembunyi di baliknya. Dan dinding berwarna hitam. Terbakar.

Tanganku bergetar sambil mengamati itu semua. Lututku gemetar seraya aku berjalan mundur menjauhi pintu di ujung lorong.

Lalu, sosok itu keluar satu per satu dari kamar paling ujung. Puluhan sosok yang selalu mengamatiku setiap malam. Mereka melayang di atas lantai kotor dan berdebu. Ekspresi mereka sama seperti setiap kali mereka mengamatiku di peti mati. Aku tak bisa menebak mau mereka apa.

Jadi, aku segera berbalik dan berlari, kembali ke kamarku. Menurut hematku, dari balkon sana, aku bisa melompati pagar dan pergi meninggalkan gedung ini. Aku bisa memecahkan kacanya yang besar itu, lalu berlari keluar. Ya. Aku bisa kabur dari sana!

Aku berlari semakin cepat. Rasanya seperti sedang dikejar. Karena, puluhan sosok malam itu melayang semakin cepat membuntutiku. Setiap aku menoleh ke belakang, kulihat mereka sedang menggapaikan tangannya ke arahku, lalu menggelengkan kepala.

Dan, di bawah sinar mentari, aku akhirnya bisa melihat kulit mereka melepuh.

Kulit mereka menghitam karena gosong. Sebagian bahkan memiliki garis-garis bara api dari dalam tubuhnya, seperti lava.

Mereka semua seperti terbakar, tetapi tanpa api.

Mereka tak bersuara. Mereka terus saja menggapaiku seperti zombi.

Mereka ingin menarikku.

....

Tidak! Tidak mau!

Thomas bahkan berdiri di depan pintu kamarku sambil mengangkat tangannya ke arahku. Dia juga menggelengkan kepala.

Akan tetapi, aku tak peduli. Aku tak punya jalan lain. Aku harus berada di kamar dan mendobrak jendela agar aku bisa pergi dari sini!

Aku menganggap Thomas seperti hantu yang ada di TV. Mereka hanyalah makhluk halus di mana aku bisa berjalan menembus tubuhnya. Memang benar. Aku bisa berlari menembus tubuhnya. Aku menabrak Thomas Kerkhoven seperti menabrak bayangan holografis di udara. Aku langsung membuka pintu, dan—

BUUUKKK!

Kepalaku dipukul sesuatu.

Aku pingsan.

Namun sebelum pingsan, aku berhasil melihat siapa yang baru saja menghantamku dengan sapu. Dia berdiri di pinggir pintu, mengarahkan gagang sapu tepat ke keningku, lalu menghantamkannya sekeras mungkin.

Seluruh duniaku langsung gelap tetapi sosok itu kulihat berdiri di samping tubuhku, menggenggam gagang sapu dengan sangat erat. Dia memastikan aku pingsan.

....

Sosok itu adalah Nunung.



To be continued ....


<<< Part 10  |  Kerkhoven  |  Part 12 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Nude 33

  ssendrawkwA emitefiL .33     Pada suatu pagi lima tahun lalu, Miza bangun lebih pagi dari biasanya meski semalaman tak bisa tidur. D...