tropriA erutrapeD .03
Sudah lebih dari dua minggu sejak
Jerome putus dari Sheena. Jerome yang mengakhiri hubungan itu, yang disambut
baik oleh Sheena. Pada akhirnya keduanya mengakui bahwa hubungan itu tercipta
dari rasa penasaran seksual masing-masing. Keduanya menyukai seks. Dan keduanya
bisa saling memfasilitasi. Sayangnya, ketika performa Jerome menurun
akhir-akhir ini, Sheena dengan inisiatif mendapatkan pengganti.
“Sorry kalau aku bohong,” ujar Sheena pada hari mereka mengakhiri
hubungan, mencoba tersenyum lebar. “Tapi aku enggak melihat hubungan kita ini
punya masa depan.”
“Iyalah kagak ada. Orang elonya
juga ngentot ama cowok lain,” sahut Jerome defensif.
Lokasinya di kafe lokal yang
menyajikan cappuccino dengan crème brûlée sebagai topping, dibakar menggunakan torch. Meja dan kursinya dari kayu yang
dipelitur keemasan, ditemani hiasan-hiasan dinding seperti pigura atau
benda-benda seni dari kayu lainnya. Di sebuah meja bar panjang, beberapa roaster coffee raksasa dipajang untuk
menunjukkan bahwa mereka serius meracik kopi khas mereka sendiri. Jerome dan
Sheena duduk di bar tersebut, ditemani dua cangkir kopi yang masih mengepul
panas, di depan selusin toples berisi kopi-kopi dari berbagai daerah.
“Aku sama orang lain juga ada
alasannya,” bela Sheena untuk dirinya sendiri. “Kamu terlalu sibuk sama
kegiatanmu, sampai-sampai itu kontol enggak bisa nusuk lagi.”
“Ck!” Jerome berdecak dan menghela
napas. “Elo kayak yang
tolol aja jadi orang. Kan elo
juga tahu gue anak OSIS. Kemarin tuh MOS, yang berarti gue sibuk total sama penyambutan
murid baru. Elo
pernah sekolah enggak,
sih?”
“Kamu enggak kerja sendirian. Pasukanmu
banyak. Kenapa OSIS jadi alasan?”
“Dan basket!” sergah Jerome
buru-buru. “Gue ada persiapan tanding basket, jadinya waktu luang gue beneran
tinggal sedikit.”
“Apa hubungannya OSIS dan basket
sama kontol kamu?” Satu alis Sheena terangkat dengan licik. Dia menyesap
kopinya perlahan-lahan, merasa sudah menang. “Jerome. Kamu ini ganteng. Just move on. Cari cewek lain. Satu
sekolahmu itu pasti mau kok ngangkang buat kamu.”
“Cewek-cewek di sekolah gue bukan
cewek lonte kayak elo.”
Sheena tertawa. “Yeah, right. Seolah-olah kamu macarin
aku bukan karena aku bisa jadi lonte
buat kamu.” Sheena pun berdiri dan mengambil tasnya. “Bye, bye, loser! Kopinya kamu yang bayar, yes.”
Jerome tak pernah berkomunikasi
lagi dengan Sheena sejak saat itu. Apalagi dia dan Sheena tidak berada di satu
sekolah yang sama. Minggu pertama sejak putus, Jerome benar-benar tegar. Segala
perasaan baper dan bucin dia sanggah dengan cara bersenang-senang
atau fokus dalam kegiatan. Namun lama kelamaan dia tak bisa mengabaikan
perasaan rindu itu. Ya, dia memacari Sheena karena cewek itu bersedia
ditelanjangi lalu diajak bercinta. Namun tetap saja, ketidakhadiran Sheena
dalam hidup Jerome mengubah banyak sekali hal.
Ada alasan utama mengapa Jerome
tidak memacari cewek dari sekolahnya sendiri. Pertama, image. Kedua, image.
Ketiga, image. Pertama, image anak berprestasi yang bisa melalui
tiga tahun sekolah dengan cara fokus pada pendidikan. Kedua, image sebagai jomlo. Kalau semua cewek
mengira Jerome jomlo, maka banyak cewek yang mengejar. Dan Jerome menikmati
dikejar-kejar atau digilai cewek-cewek. Ketiga, image sebagai anak baik. Orang-orang mana percaya kalau dibilang
Jerome doyan ngeseks.
Image
anak saleh itu sudah melekat dengan kuat sejak awal. Sudah dua tahun terakhir
Jerome sukses membohongi publik sebagai anak yang menyenangkan, padahal di
dalam kamar, kemaluannya hobi mencari lubang.
Selama dua minggu terakhir pula,
sejak putus, kegiatan Jerome sedang padat-padatnya. Pertama, menyambut
pemilihan Ketua OSIS yang baru. Jerome selalu pulang menjelang magrib dari
sekolah gara-gara rapat bertele-tele yang dilangsungkan nyaris setiap hari.
Kedua, latihan basket yang semakin gencar, gara-gara kekalahan sekolahnya
melawan SMA negeri di Rajamantri Kulon. Menyambut pertandingan berikutnya
melawan SMA kristen di Jalan Dago, pelatih mengadakan latihan sebanyak empat
kali seminggu, termasuk hari Sabtu. Dan ini semua belum termasuk yang ketiga:
pemantapan menyambut ujian nasional.
Orangtua Jerome agak disiplin
perihal pendidikan anaknya. Apalagi sang ayah sedang akan berangkat menjadi
kepala daerah di Sulawesi sana, image
seluruh keluarga harus terlihat sangat-sangat baik. Nyonya Yulia pernah
berkata, “Misal nilai kamu jelek pun, ya udah. Kita bisa sogok sekolahnya buat
ngasih nilai bagus. Tapi kamu juga tetep harus belajar rajin, supaya enggak bego-bego banget misal ada
wartawan wawancara kamu.”
Maka dari itu, tiga kali seminggu,
akan datang mentor pribadi yang mengajari Jerome mata pelajaran-mata pelajaran
sulit seperti matematika, fisika, dan kimia. Yang artinya, dalam seminggu
penuh, Jerome baru bisa menyentuh kasur lebih dari pukul sepuluh malam,
kelelahan, tidak ada waktu untuk bersenang-senang dengan selangkangan.
Jerome bahkan tak meng-hire Tommy untuk memijatnya lagi, karena
alasan yang cukup jelas: (1) again, enggak ada waktu, dan (2) kayaknya
masih canggung untuk bertemu.
Jerome akui dia malu bukan main
saat membiarkan adik kelasnya itu mengocok kemaluannya hingga orgasme. Jerome
ingin menolak treatment tersebut,
tetapi sebagian dirinya justru sangat menginginkan dibuat enak. Jujur saja,
Jerome tidak merasa jijik sedikit pun saat Tommy membuatnya tak berdaya melalui
handjob. Namun Jerome belum punya
cukup keberanian untuk berbicara lagi dengan Tommy, takutnya topik soal handjob itu muncul.
Masalahnya, Jumat ini, Jerome
sudah tak tahan lagi. Gara-gara tak orgasme selama lebih dari dua minggu,
gairah seksualnya memuncak. Saking menggeloranya, cewek sejelek apa pun Jerome
rela deh mengajak bercinta yang penting kemaluannya punya lubang untuk
digesek-gesekkan.
Ingin rasanya Jerome bertanya
kepada kawan-kawannya, siapakah cewek di sekolah yang “bisa dipake”. Namun
Jerome tak bisa mengambil risiko tersebut. Karena siapa pun cewek itu, sudah
pasti akan bilang-bilang ke teman ceweknya, dan ujung-ujungnya semua orang
tahu. Lewat Tinder? Bunuh diri. Buka Tinder di sekolah sama saja terkoneksi
dengan semua pemakai Tinder di sekitarnya.
Gara-gara dilema tersebut, Jerome
kepikiran untuk menghubungi Tommy lagi. Selain karena Jerome ingin dipijat
lagi, ada alasan lain yang Jerome simpan rapat-rapat dari semua orang. Jerome
masih belum tahu jawaban dari anomali ini. Dia mengira, mungkin gara-gara
pijatan sensual terakhir itulah yang membuat pikiran Jerome kacau. Namun kalau
sampai berulang-ulang, Jerome harus mempertanyakan dirinya lagi secara lebih
mendalam.
Jerome kepikiran Tommy terus.
Sekali dua kali memimpikannya dalam tidur, tapi lebih seringnya Jerome
melamunkan Tommy saat punya waktu luang sedikit saja.
Jerome menghabiskan dua minggu
terakhir untuk mengabaikan kegelisahan itu. Setiap sosok Tommy bertelanjang
dada memijat kelaminnya muncul dalam kepala, Jerome langsung menggelengkan
kepala dan mencoba membayangkan hal lain. Namun bayangan tersebut kembali lagi
pada waktu lain.
Pada satu titik, Jerome
bertanya-tanya, apakah dia mulai jadi homo?
Jerome yakin tidak. Karena setelah
jutaan kali satu ruangan dengan pemain basket di sekolahnya, melihat tubuh
telanjang dan kelamin-kelamin mungil itu menggantung dengan bebas, tak sekali
pun Jerome tertarik. Lebih seringnya, Jerome jijik melihat penis orang lain.
Hiii. Mau muntah rasanya.
Namun mengapa Jerome merasa bahwa
Tommy ini ... beda?
Jerome memutuskan untuk mengajak
Tommy mengobrol setelah sekian lama. Pada istirahat pertama hari Jumat itu,
Jerome menemukan Tommy sedang sibuk di depan ruang ekskul travelustration bersama beberapa murid.
“Heeei, Bro!” sapa Jerome ramah
kepada Alvian, salah satu tetua travelustration
yang juga teman sekelas Jerome.
“Lagi mau ke mana Bro!”
Alvian membalas salam tos
persahabatan dari Jerome. “Biasa, ada trip.
Gue mau ke Madura buat observasi. Beberapa anak ikut. Elo udah istirahat?”
“Lah ini gue lewat sini mau ke kantin
buat jajan.”
“Bareng gue, lah. Gue bentar
lagi.” Alvian pun menghambur masuk ke dalam ruang ekskul, mengambil sesuatu.
Jerome mengamati Tommy yang sedang
duduk di kursi depan ruangan, sibuk mencatat sesuatu. Tommy mencuri pandang ke
arah Jerome, tetapi karena Jerome sedang mengamatinya, Tommy langsung
melemparkan pandangan ke arah lain dengan salah tingkah. Lucu banget sih lu jadi bocah, batin Jerome tanpa sadar.
“Tom!” panggil Jerome sambil
tersenyum akrab dan ramah (senyum topengnya selama berada di sekolah). “Sini.”
Tommy menelan ludah lalu
meletakkan catatannya di atas kursi. “Iya, Kak?” Dia menghampiri Jerome, yang
langsung merangkulnya ke tempat yang agak jauh dari ruang ekskul itu.
“Siang ini elo makan di mana?”
“Makan?” Tommy menautkan alisnya
bingung. “Abis jumatan paling aku—“
“Ah, iya jumatan!” potong Jerome
sambil menepuk jidatnya. Jerome menarik napas dan mencoba mempertimbangkan
sesuatu. “Elo
mau nggak gue ajak kabur jumatan buat makan bareng ama gue? Berdua doang?”
Tommy menunduk dan mencoba
memutuskan.
“Gue yang bayarin,” tambah Jerome
sambil menepuk bahu Tommy. “Nyantai aja.”
Dengan terpaksa, Tommy mengangguk.
“Bo-boleh, Kak.”
“Oke. Gue tungguin elo di belakang sekolah jam
setengah dua belas. Biasanya anak-anak yang bolos jumatan, kabur dari situ.”
“Jer!” panggil Alvian dari depan
ruang ekskul. “Yoh!”
Tak pernah sebelumnya Jerome
sedeg-degan ini mengajak bertemu Tommy. Perasaan itu aneh. Seolah-olah ada
obligasi bagi Jerome untuk tidak membuat bocah itu sedih maupun kecewa. Padahal
biasanya Jerome tak peduli. Biasanya Jerome tinggal transfer uang saja, maka
apa pun yang terjadi pada Tommy, bocah itu harus tetap profesional.
Kali ini, Jerome seperti membawa
sebuah guci kaca yang gampang pecah. Dan Jerome harus membawanya sambil
berlari.
Pukul setengah dua belas, Jerome
sudah berada di belakang sekolah bersama beberapa murid yang mau mabal jumatan.
Mereka semua sudah melompati pagar belakang, menyusuri selokan besar, lalu
berlari ke jalan raya untuk kabur dari jumatan. Ketika Tommy akhirnya datang,
Jerome tak dapat menahan diri untuk tersenyum. Bocah
mungil itu benar-benar lugu, pikir Jerome. Tommy membawa peci jumatan
padahal sudah jelas mereka akan bolos dari salat mingguan itu.
Jerome membawa Tommy ke sebuah
kafe kecil yang menyediakan makan siang penuh. Hati Jerome, entah mengapa,
diliputi perasaan senang bisa duduk berdua dengan Tommy. Padahal, ini kali
pertama mereka melakukannya. Selama ini Tommy hanya berkutat di kaki Jerome
untuk memijat.
Tak ada obrolan apa pun selama
keduanya menghabiskan makan siang. Tommy tidak curiga, karena sewajarnya
seperti inilah hubungan antara dia dan Jerome. Yang agak aneh adalah Jerome
mengajaknya makan siang, tetapi sisanya benar-benar Jerome banget. Yang Tommy
tak ketahui adalah Jerome mengamati Tommy sepanjang makan siang, memetakan
perasaannya yang membingungkan dalam kepala. Jerome bahkan diam-diam mengambil
foto Tommy melalui handphone-nya.
Atau mengobservasi bagaimana caranya Tommy menghabiskan nasi soto ayam yang
dipesannya. Atau bagaimana Tommy menyeruput jus stroberinya. Atau bagaimana
Tommy mengecek ponselnya. Intinya semua gerak-gerik Tommy tak luput Jerome
perhatikan.
Gue
enggak
naksir ama nih bocah, kan?
batin Jerome mulai ketakutan. Masalahnya, gestur yang sama tak pernah Jerome
lakukan kepada Sheena. Kalau sedang makan bareng Sheena, yang ada dalam kepala
Jerome adalah tubuh telanjang Sheena, payudara menggembung Sheena, pantat
montok Sheena, bibir vagina Sheena yang mengggemaskan itu, atau hamparan kulit
mulus Sheena yang serta merta membuat Jerome ngaceng setiap makan bareng.
Enggak pernah Jerome memperhatikan
bagaimana Sheena mengambil ponselnya di atas meja.
Atas rasa gelisah itu, Jerome
mulai bertanya langsung. “Elo
punya pacar?”
Tommy mengangkat alisnya, kaget
ditanya seperti itu. “Enggak,
Kak. Kenapa?”
Jerome menggeleng. “Nanya aja.”
Ada secercah perasaan senang
mendengar jawaban itu. Entah karena apa.
“Tapi elo pacaran ama cewek, kan? Misal elo pacaran?” tanya Jerome lagi,
benar-benar to the point.
“Iyalah, Kak!” balas Tommy segera.
Ada secercah perasaan kecewa
mendengar jawaban itu. Entah karena apa. Mungkin karena selama ini Jerome
mengira Tommy seorang gay. Sifatnya
yang pendiam sesekali terlihat feminin. Dan aura feminitas itu terpancar jelas
saat memijat Jerome tempo hari, karena Jerome yakin seyakin-yakinnya tak
mungkin dia ereksi kalau Tommy tidak punya energi feminin di dalamnya.
“Siapa aja yang elo ceritain soal mijit gue
kemarin?” tanya Jerome sekali lagi, menusuk.
Tommy terkesiap sambil
menggelengkan kepalanya. “Enggak,
kok Kak. Aku enggak
bilang siapa-siapa!”
“Serius?”
Tommy manggut-manggut serius. Dia
bahkan menunduk dengan sedih karena Jerome menunjukkan ketidakpercayaannya
barusan. “Selain diajarin mijit, bapakku juga ngajarin confidentiality. Apa yang pasien sampaikan ke aku enggak boleh sampe bocor ke orang
lain, bahkan meski itu keluarga terdekatnya. Kecuali informasinya penting untuk
penanganan medis lanjutan, misal ternyata pasien harus mendapat penanganan
dokter, Bapak pasti menjelaskan dengan rinci ke keluarga pasien. Tapi kalau
pijat vitalitas sih enggak pernah dibolehin.”
Jerome merasa bersalah membuat
bocah itu merasa ketakutan, sampai-sampai harus menjelaskan dengan panjang
lebar.
Yang Jerome inginkan hanyalah menghabiskan
waktu bersama bocah itu sore ini. Jerome bersedia kabur dari rapat OSIS maupun
latihan basket. Kebetulan juga hari ini bukan harinya mentoring. Jerome ingin membawa Tommy ke sebuah hotel, jauh dari
siapa pun maupun keluarganya, lalu memaksanya memijat hingga tengah malam.
Kalau Jerome sampai dikocok lagi kemaluannya, Jerome dengan senang hati
menyodorkan kelamin itu.
Entahlah. Perasaan ingin memiliki
bocah ini sebagai apa pun benar-benar kuat dari dalam hati Jerome.
“Hari ini elo pijat gue lagi, ya!” sahut
Jerome menegaskan, bahkan tanpa menunggu persetujuan Tommy. “Dan karena besok
Sabtu, elo ikut
nginep bareng gue, supaya paginya bisa pijat gue lagi.”
“Aduh, enggak bisa, Kak.”
Jerome terkejut mendengar
penolakan itu. Ini kali pertama Tommy mengatakan tidak pada keputusan Jerome.
“Gue bayar dobel!” tegas Jerome.
“Bukan itu—“
“Triple!” tawar Jerome lagi.
Tommy mendesah dan tetap
menggeleng. “Aku ke Madura, Kak sore ini. Balik lagi Minggu.”
Perasaan kecewa itu melanda hati
Jerome. Ingin rasanya Jerome menggebrak meja dan tak terima rencana Tommy hari
ini—yang sebenarnya bukan urusan Jerome. Namun yang bisa Jerome lakukan
hanyalah menggenggam struk kafe kuat-kuat dengan rahang mengeras. Jerome tak
menyukai fakta bahwa Tommy harus pergi ke luar kota weekend ini.
“Kenapa harus lo?” tuntut Jerome
mendesak.
“Karena enggak semua orang bisa.”
“Alah, anak-anak travelustration kan banyak. Sebagian ada
yang anak OSIS. Entar gue minta mereka gantiin elo.”
“Justru yang OSIS enggak bisa, kan Kak? Persiapan
pemilihan Ketua OSIS baru?”
“Tapi elo kan anak baru. Kenapa kepilih?”
Tommy mengangkat bahu.
“Gue cari orang lain deh yang bisa
gantiin lo.”
“Emang bisa, Kak?” tanya Tommy.
“Tiket pesawatnya udah dibeli, kan. Tadi Kak Vian bilang udah check in online juga, jadi udah enggak bisa ganti nama penumpang.”
Anjing! umpat Jerome dalam hati.
Jerome dan Tommy kembali ke
sekolah sebelum pukul satu siang. Jerome tak bisa berkutik lagi. Tampaknya
Tommy memang harus pergi ke Madura. Ketika Jerome menemani Tommy kembali ke
sekolah, mobil yang akan membawa mereka ke bandara sudah siap di depan gerbang.
“Tom! Cepetan!” panggil Alvian
dari jauh.
“Misi, Kak. Aku mau ambil
barang-barangku dulu,” ujar Tommy pamit, berlari ke dalam sekolah untuk
mengambil perlengkapannya.
Bel sekolah sudah berbunyi
sebenarnya, tanda masuk pelajaran terakhir hari itu. Namun Jerome memutuskan
untuk menghampiri Alvian yang sedang berkumpul bersama tiga orang lain. Sebuah
Toyota Agya terparkir di dekat gerbang, pintu bagasi di belakangnya terbuka,
sedang dimasuki beberapa ransel penuh.
Alvian tampak sedang berdiskusi
dengan sang sopir, yang Jerome asumsikan taksi online. Di sekitar mobil ada dua murid kelas XI, masing-masing
cowok dan cewek, dan satu murid baru kelas X, cewek.
“Cuma bentar aja, kan Pak,” ujar
Alvian memohon. “Cuma ke bandara aja. Please.”
“Aduh, maaf A. Peraturan dari
Grab-nya, euy. Cuma bisa empat orang.
Punten pisan.”
“Enggak akan kita bilang-bilang, kok.
Lihat, nih! Kurus-kurus gini.”
“Ya tetep aja, A. Peraturannya
empat orang aja.”
“Berapa orang yang berangkat, Al?”
sapa Jerome sambil mengintervensi. Jerome merangkul Alvian dengan akrab.
“Enam orang, Jer. Kak Miza OTW
langsung dari rumahnya. Kami berlima di sini, barengan si Tommy, dari sekolah.
Tapi mobilnya kagak cukup dipake lima penumpang—“
“Hapunten ya A, ini mah
dari Grab-nya enggak
boleh lebih dari empat,” potong si sopir ikut campur.
“Ya udahlah, gue naik ojek aja,”
kata Alvian mengalah. “Toh di-reimburse
juga.”
Jerome mendadak punya ide. “Elo naik ini aja. Biar si Tommy
entar bareng ama gue.”
“Emang elo mau ke bandara juga?”
“Iya. Gue mau jemput bokap,” bual
Jerome.
Alvian menjitak Jerome. “Elah, lu
kenapa enggak bilang
dari tadi? Tahu gitu gue nggak perlu pesen Grab. Gue bisa naik Pajero elo. Apa
gue cancel aja yang ini?”
“Aduh A, jangan atuh A,” seloroh sopir taksi online itu ikut campur lagi. “Saya kan
udah jemput ke sini.”
“Iya, kagak usah. Lo semua sekarang
naik ini aja. Entar gue ama si Tommy nyusul!” usul Jerome, memainkan alisnya
dengan jenaka, sambil menepuk-nepuk bahu Alvian.
“Atau tiga anak ini duluan ke
bandara, lalu gue, elo, sama si Tommy naik mobil lo?”
“Enggak. Elo naik ini aja. Kasihan mereka entar
linglung di bandaranya kalau pas nyampe enggak ada elo buat bimbing,” kilah Jerome.
Enak
aje lu ikut mobil gue, Tong! balas
Jerome dalam hati. Gue mau berduaan,
keleus.
Alvian tampak tak suka ide itu,
tetapi dia tetap mengalah. “Ya udah, gue duluan. Berarti si Tommy entar ama lo,
ya! Awas jangan sampai enggak ke
bandara!”
“Iyeee ... pasti nyampe, kok!”
Ketika Tommy tiba di depan
gerbang, taksi online pesanan itu
sudah tidak ada di sana. Tommy memelotot ngeri. Jangan-jangan dia ditinggalkan
oleh rombongan! Bahkan, saking hancurnya hati Tommy karena ditinggalkan, Tommy
berlutut di atas aspal dan merutuki diri, mengapa harus ikut makan siang bareng
Jerome tadi? Kan jadinya telat. Mungkin
ini karma karena bolos salat jumat, batin Tommy.
Tiba-tiba sebuah Pajero Sport
perunggu berhenti di depan Tommy yang sedang terpuruk karena ditinggalkan. Kaca
jendela mobil itu terbuka. Wajah Jerome tampak dari dalam.
“Masuk!” titahnya.
“Ke mana?”
“Ke bandara, lah. Elo mau ke bandara, kan?”
“T-tapi ....”
“Jangan banyak omong. Masuk!”
Jerome yang menyetir mobil itu
kali ini, karena tak setiap hari Jerome diantar jemput oleh Pak Yanto. Dengan
patuh Tommy masuk ke kursi penumpang di sebelah Jerome. Pajero pun melaju
melalui lalu lintas Kota Bandung yang padat.
“Pesawat jam berapa?” tanya Jerome
ketus.
“Jam empat, Kak.”
“Nyantai dong kalau gitu!” Jerome
pun memelankan laju kendaraannya, membuat Tommy ketar-ketir takut ketinggalan
pesawat.
Ini kali pertama Tommy naik
pesawat, jadi dia tak mau mengacaukannya.
“Pijitin tangan gue!” titah
Jerome, mengulurkan tangan kiri yang sedari tadi digunakan untuk mengganti
persneling.
Tommy hanya bisa menurut dengan
patuh. Dipijatnya tangan kiri Jerome sepanjang perjalanan menuju bandara.
Jerome merasa lebih baik sekarang, setelah sebelumnya kecewa karena Tommy tak
bisa menemaninya malam ini. Sesekali Jerome menggenggam tangan Tommy, tak
memberikannya ruang itu memijat.
“Kak, lepasin,” bisik Tommy.
Jerome pun melepaskan genggaman
tangan itu, lalu Tommy bisa memijat lagi.
Itu menjadi perpisahan yang tak
keruan bagi Jerome. Dia mengantarkan Tommy ke bandara, membiarkannya masuk ke
terminal keberangkatan, seolah-olah orang terpentingnya akan pergi
selama-lamanya. Ada perasaan kehilangan yang muncul dalam hati Jerome, yang tak
bisa dia jelaskan apa.
Malam harinya, Jerome mencoba masturbasi untuk menghilangkan hasrat seksual menggebu-gebu dalam dirinya. Dia menggulir Twitter untuk menonton semua video cewek-cewek lokal mempertontonkan dada dan selangkangannya. Mungkin sekitar 30-40 menit Jerome berkubang bersama video porno Twitter.
Herannya, Jerome orgasme dan memuntahkan sperma justru ketika dia keluar dari Twitter, masuk ke gallery, dan menatap foto-foto Tommy yang dia ambil saat makan siang.
To be continued ....