Rabu, 02 Juni 2021

Nude 30

 tropriA erutrapeD .03

 

Sudah lebih dari dua minggu sejak Jerome putus dari Sheena. Jerome yang mengakhiri hubungan itu, yang disambut baik oleh Sheena. Pada akhirnya keduanya mengakui bahwa hubungan itu tercipta dari rasa penasaran seksual masing-masing. Keduanya menyukai seks. Dan keduanya bisa saling memfasilitasi. Sayangnya, ketika performa Jerome menurun akhir-akhir ini, Sheena dengan inisiatif mendapatkan pengganti.

Sorry kalau aku bohong,” ujar Sheena pada hari mereka mengakhiri hubungan, mencoba tersenyum lebar. “Tapi aku enggak melihat hubungan kita ini punya masa depan.”

“Iyalah kagak ada. Orang elonya juga ngentot ama cowok lain,” sahut Jerome defensif.

Lokasinya di kafe lokal yang menyajikan cappuccino dengan crème brûlée sebagai topping, dibakar menggunakan torch. Meja dan kursinya dari kayu yang dipelitur keemasan, ditemani hiasan-hiasan dinding seperti pigura atau benda-benda seni dari kayu lainnya. Di sebuah meja bar panjang, beberapa roaster coffee raksasa dipajang untuk menunjukkan bahwa mereka serius meracik kopi khas mereka sendiri. Jerome dan Sheena duduk di bar tersebut, ditemani dua cangkir kopi yang masih mengepul panas, di depan selusin toples berisi kopi-kopi dari berbagai daerah.

“Aku sama orang lain juga ada alasannya,” bela Sheena untuk dirinya sendiri. “Kamu terlalu sibuk sama kegiatanmu, sampai-sampai itu kontol enggak bisa nusuk lagi.”

“Ck!” Jerome berdecak dan menghela napas. “Elo kayak yang tolol aja jadi orang. Kan elo juga tahu gue anak OSIS. Kemarin tuh MOS, yang berarti gue sibuk total sama penyambutan murid baru. Elo pernah sekolah enggak, sih?”

“Kamu enggak kerja sendirian. Pasukanmu banyak. Kenapa OSIS jadi alasan?”

“Dan basket!” sergah Jerome buru-buru. “Gue ada persiapan tanding basket, jadinya waktu luang gue beneran tinggal sedikit.”

“Apa hubungannya OSIS dan basket sama kontol kamu?” Satu alis Sheena terangkat dengan licik. Dia menyesap kopinya perlahan-lahan, merasa sudah menang. “Jerome. Kamu ini ganteng. Just move on. Cari cewek lain. Satu sekolahmu itu pasti mau kok ngangkang buat kamu.”

“Cewek-cewek di sekolah gue bukan cewek lonte kayak elo.”

Sheena tertawa. “Yeah, right. Seolah-olah kamu macarin aku bukan karena aku bisa jadi lonte buat kamu.” Sheena pun berdiri dan mengambil tasnya. “Bye, bye, loser! Kopinya kamu yang bayar, yes.”

Jerome tak pernah berkomunikasi lagi dengan Sheena sejak saat itu. Apalagi dia dan Sheena tidak berada di satu sekolah yang sama. Minggu pertama sejak putus, Jerome benar-benar tegar. Segala perasaan baper dan bucin dia sanggah dengan cara bersenang-senang atau fokus dalam kegiatan. Namun lama kelamaan dia tak bisa mengabaikan perasaan rindu itu. Ya, dia memacari Sheena karena cewek itu bersedia ditelanjangi lalu diajak bercinta. Namun tetap saja, ketidakhadiran Sheena dalam hidup Jerome mengubah banyak sekali hal.

Ada alasan utama mengapa Jerome tidak memacari cewek dari sekolahnya sendiri. Pertama, image. Kedua, image. Ketiga, image. Pertama, image anak berprestasi yang bisa melalui tiga tahun sekolah dengan cara fokus pada pendidikan. Kedua, image sebagai jomlo. Kalau semua cewek mengira Jerome jomlo, maka banyak cewek yang mengejar. Dan Jerome menikmati dikejar-kejar atau digilai cewek-cewek. Ketiga, image sebagai anak baik. Orang-orang mana percaya kalau dibilang Jerome doyan ngeseks. Image anak saleh itu sudah melekat dengan kuat sejak awal. Sudah dua tahun terakhir Jerome sukses membohongi publik sebagai anak yang menyenangkan, padahal di dalam kamar, kemaluannya hobi mencari lubang.

Selama dua minggu terakhir pula, sejak putus, kegiatan Jerome sedang padat-padatnya. Pertama, menyambut pemilihan Ketua OSIS yang baru. Jerome selalu pulang menjelang magrib dari sekolah gara-gara rapat bertele-tele yang dilangsungkan nyaris setiap hari. Kedua, latihan basket yang semakin gencar, gara-gara kekalahan sekolahnya melawan SMA negeri di Rajamantri Kulon. Menyambut pertandingan berikutnya melawan SMA kristen di Jalan Dago, pelatih mengadakan latihan sebanyak empat kali seminggu, termasuk hari Sabtu. Dan ini semua belum termasuk yang ketiga: pemantapan menyambut ujian nasional.

Orangtua Jerome agak disiplin perihal pendidikan anaknya. Apalagi sang ayah sedang akan berangkat menjadi kepala daerah di Sulawesi sana, image seluruh keluarga harus terlihat sangat-sangat baik. Nyonya Yulia pernah berkata, “Misal nilai kamu jelek pun, ya udah. Kita bisa sogok sekolahnya buat ngasih nilai bagus. Tapi kamu juga tetep harus belajar rajin, supaya enggak bego-bego banget misal ada wartawan wawancara kamu.”

Maka dari itu, tiga kali seminggu, akan datang mentor pribadi yang mengajari Jerome mata pelajaran-mata pelajaran sulit seperti matematika, fisika, dan kimia. Yang artinya, dalam seminggu penuh, Jerome baru bisa menyentuh kasur lebih dari pukul sepuluh malam, kelelahan, tidak ada waktu untuk bersenang-senang dengan selangkangan.

Jerome bahkan tak meng-hire Tommy untuk memijatnya lagi, karena alasan yang cukup jelas: (1) again, enggak ada waktu, dan (2) kayaknya masih canggung untuk bertemu.

Jerome akui dia malu bukan main saat membiarkan adik kelasnya itu mengocok kemaluannya hingga orgasme. Jerome ingin menolak treatment tersebut, tetapi sebagian dirinya justru sangat menginginkan dibuat enak. Jujur saja, Jerome tidak merasa jijik sedikit pun saat Tommy membuatnya tak berdaya melalui handjob. Namun Jerome belum punya cukup keberanian untuk berbicara lagi dengan Tommy, takutnya topik soal handjob itu muncul.

Masalahnya, Jumat ini, Jerome sudah tak tahan lagi. Gara-gara tak orgasme selama lebih dari dua minggu, gairah seksualnya memuncak. Saking menggeloranya, cewek sejelek apa pun Jerome rela deh mengajak bercinta yang penting kemaluannya punya lubang untuk digesek-gesekkan.

Ingin rasanya Jerome bertanya kepada kawan-kawannya, siapakah cewek di sekolah yang “bisa dipake”. Namun Jerome tak bisa mengambil risiko tersebut. Karena siapa pun cewek itu, sudah pasti akan bilang-bilang ke teman ceweknya, dan ujung-ujungnya semua orang tahu. Lewat Tinder? Bunuh diri. Buka Tinder di sekolah sama saja terkoneksi dengan semua pemakai Tinder di sekitarnya.

Gara-gara dilema tersebut, Jerome kepikiran untuk menghubungi Tommy lagi. Selain karena Jerome ingin dipijat lagi, ada alasan lain yang Jerome simpan rapat-rapat dari semua orang. Jerome masih belum tahu jawaban dari anomali ini. Dia mengira, mungkin gara-gara pijatan sensual terakhir itulah yang membuat pikiran Jerome kacau. Namun kalau sampai berulang-ulang, Jerome harus mempertanyakan dirinya lagi secara lebih mendalam.

Jerome kepikiran Tommy terus. Sekali dua kali memimpikannya dalam tidur, tapi lebih seringnya Jerome melamunkan Tommy saat punya waktu luang sedikit saja.

Jerome menghabiskan dua minggu terakhir untuk mengabaikan kegelisahan itu. Setiap sosok Tommy bertelanjang dada memijat kelaminnya muncul dalam kepala, Jerome langsung menggelengkan kepala dan mencoba membayangkan hal lain. Namun bayangan tersebut kembali lagi pada waktu lain.

Pada satu titik, Jerome bertanya-tanya, apakah dia mulai jadi homo?

Jerome yakin tidak. Karena setelah jutaan kali satu ruangan dengan pemain basket di sekolahnya, melihat tubuh telanjang dan kelamin-kelamin mungil itu menggantung dengan bebas, tak sekali pun Jerome tertarik. Lebih seringnya, Jerome jijik melihat penis orang lain. Hiii. Mau muntah rasanya.

Namun mengapa Jerome merasa bahwa Tommy ini ... beda?

Jerome memutuskan untuk mengajak Tommy mengobrol setelah sekian lama. Pada istirahat pertama hari Jumat itu, Jerome menemukan Tommy sedang sibuk di depan ruang ekskul travelustration bersama beberapa murid.

“Heeei, Bro!” sapa Jerome ramah kepada Alvian, salah satu tetua travelustration yang juga teman sekelas Jerome. “Lagi mau ke mana Bro!”

Alvian membalas salam tos persahabatan dari Jerome. “Biasa, ada trip. Gue mau ke Madura buat observasi. Beberapa anak ikut. Elo udah istirahat?”

“Lah ini gue lewat sini mau ke kantin buat jajan.”

“Bareng gue, lah. Gue bentar lagi.” Alvian pun menghambur masuk ke dalam ruang ekskul, mengambil sesuatu.

Jerome mengamati Tommy yang sedang duduk di kursi depan ruangan, sibuk mencatat sesuatu. Tommy mencuri pandang ke arah Jerome, tetapi karena Jerome sedang mengamatinya, Tommy langsung melemparkan pandangan ke arah lain dengan salah tingkah. Lucu banget sih lu jadi bocah, batin Jerome tanpa sadar.

“Tom!” panggil Jerome sambil tersenyum akrab dan ramah (senyum topengnya selama berada di sekolah). “Sini.”

Tommy menelan ludah lalu meletakkan catatannya di atas kursi. “Iya, Kak?” Dia menghampiri Jerome, yang langsung merangkulnya ke tempat yang agak jauh dari ruang ekskul itu.

“Siang ini elo makan di mana?”

“Makan?” Tommy menautkan alisnya bingung. “Abis jumatan paling aku—“

“Ah, iya jumatan!” potong Jerome sambil menepuk jidatnya. Jerome menarik napas dan mencoba mempertimbangkan sesuatu. “Elo mau nggak gue ajak kabur jumatan buat makan bareng ama gue? Berdua doang?”

Tommy menunduk dan mencoba memutuskan.

“Gue yang bayarin,” tambah Jerome sambil menepuk bahu Tommy. “Nyantai aja.”

Dengan terpaksa, Tommy mengangguk. “Bo-boleh, Kak.”

“Oke. Gue tungguin elo di belakang sekolah jam setengah dua belas. Biasanya anak-anak yang bolos jumatan, kabur dari situ.”

“Jer!” panggil Alvian dari depan ruang ekskul. “Yoh!”

Tak pernah sebelumnya Jerome sedeg-degan ini mengajak bertemu Tommy. Perasaan itu aneh. Seolah-olah ada obligasi bagi Jerome untuk tidak membuat bocah itu sedih maupun kecewa. Padahal biasanya Jerome tak peduli. Biasanya Jerome tinggal transfer uang saja, maka apa pun yang terjadi pada Tommy, bocah itu harus tetap profesional.

Kali ini, Jerome seperti membawa sebuah guci kaca yang gampang pecah. Dan Jerome harus membawanya sambil berlari.

Pukul setengah dua belas, Jerome sudah berada di belakang sekolah bersama beberapa murid yang mau mabal jumatan. Mereka semua sudah melompati pagar belakang, menyusuri selokan besar, lalu berlari ke jalan raya untuk kabur dari jumatan. Ketika Tommy akhirnya datang, Jerome tak dapat menahan diri untuk tersenyum. Bocah mungil itu benar-benar lugu, pikir Jerome. Tommy membawa peci jumatan padahal sudah jelas mereka akan bolos dari salat mingguan itu.

Jerome membawa Tommy ke sebuah kafe kecil yang menyediakan makan siang penuh. Hati Jerome, entah mengapa, diliputi perasaan senang bisa duduk berdua dengan Tommy. Padahal, ini kali pertama mereka melakukannya. Selama ini Tommy hanya berkutat di kaki Jerome untuk memijat.

Tak ada obrolan apa pun selama keduanya menghabiskan makan siang. Tommy tidak curiga, karena sewajarnya seperti inilah hubungan antara dia dan Jerome. Yang agak aneh adalah Jerome mengajaknya makan siang, tetapi sisanya benar-benar Jerome banget. Yang Tommy tak ketahui adalah Jerome mengamati Tommy sepanjang makan siang, memetakan perasaannya yang membingungkan dalam kepala. Jerome bahkan diam-diam mengambil foto Tommy melalui handphone-nya. Atau mengobservasi bagaimana caranya Tommy menghabiskan nasi soto ayam yang dipesannya. Atau bagaimana Tommy menyeruput jus stroberinya. Atau bagaimana Tommy mengecek ponselnya. Intinya semua gerak-gerik Tommy tak luput Jerome perhatikan.

Gue enggak naksir ama nih bocah, kan? batin Jerome mulai ketakutan. Masalahnya, gestur yang sama tak pernah Jerome lakukan kepada Sheena. Kalau sedang makan bareng Sheena, yang ada dalam kepala Jerome adalah tubuh telanjang Sheena, payudara menggembung Sheena, pantat montok Sheena, bibir vagina Sheena yang mengggemaskan itu, atau hamparan kulit mulus Sheena yang serta merta membuat Jerome ngaceng setiap makan bareng.

Enggak pernah Jerome memperhatikan bagaimana Sheena mengambil ponselnya di atas meja.

Atas rasa gelisah itu, Jerome mulai bertanya langsung. “Elo punya pacar?”

Tommy mengangkat alisnya, kaget ditanya seperti itu. “Enggak, Kak. Kenapa?”

Jerome menggeleng. “Nanya aja.”

Ada secercah perasaan senang mendengar jawaban itu. Entah karena apa.

“Tapi elo pacaran ama cewek, kan? Misal elo pacaran?” tanya Jerome lagi, benar-benar to the point.

“Iyalah, Kak!” balas Tommy segera.

Ada secercah perasaan kecewa mendengar jawaban itu. Entah karena apa. Mungkin karena selama ini Jerome mengira Tommy seorang gay. Sifatnya yang pendiam sesekali terlihat feminin. Dan aura feminitas itu terpancar jelas saat memijat Jerome tempo hari, karena Jerome yakin seyakin-yakinnya tak mungkin dia ereksi kalau Tommy tidak punya energi feminin di dalamnya.

“Siapa aja yang elo ceritain soal mijit gue kemarin?” tanya Jerome sekali lagi, menusuk.

Tommy terkesiap sambil menggelengkan kepalanya. “Enggak, kok Kak. Aku enggak bilang siapa-siapa!”

“Serius?”

Tommy manggut-manggut serius. Dia bahkan menunduk dengan sedih karena Jerome menunjukkan ketidakpercayaannya barusan. “Selain diajarin mijit, bapakku juga ngajarin confidentiality. Apa yang pasien sampaikan ke aku enggak boleh sampe bocor ke orang lain, bahkan meski itu keluarga terdekatnya. Kecuali informasinya penting untuk penanganan medis lanjutan, misal ternyata pasien harus mendapat penanganan dokter, Bapak pasti menjelaskan dengan rinci ke keluarga pasien. Tapi kalau pijat vitalitas sih enggak pernah dibolehin.”

Jerome merasa bersalah membuat bocah itu merasa ketakutan, sampai-sampai harus menjelaskan dengan panjang lebar.

Yang Jerome inginkan hanyalah menghabiskan waktu bersama bocah itu sore ini. Jerome bersedia kabur dari rapat OSIS maupun latihan basket. Kebetulan juga hari ini bukan harinya mentoring. Jerome ingin membawa Tommy ke sebuah hotel, jauh dari siapa pun maupun keluarganya, lalu memaksanya memijat hingga tengah malam. Kalau Jerome sampai dikocok lagi kemaluannya, Jerome dengan senang hati menyodorkan kelamin itu.

Entahlah. Perasaan ingin memiliki bocah ini sebagai apa pun benar-benar kuat dari dalam hati Jerome.

“Hari ini elo pijat gue lagi, ya!” sahut Jerome menegaskan, bahkan tanpa menunggu persetujuan Tommy. “Dan karena besok Sabtu, elo ikut nginep bareng gue, supaya paginya bisa pijat gue lagi.”

“Aduh, enggak bisa, Kak.”

Jerome terkejut mendengar penolakan itu. Ini kali pertama Tommy mengatakan tidak pada keputusan Jerome. “Gue bayar dobel!” tegas Jerome.

“Bukan itu—“

“Triple!” tawar Jerome lagi.

Tommy mendesah dan tetap menggeleng. “Aku ke Madura, Kak sore ini. Balik lagi Minggu.”

Perasaan kecewa itu melanda hati Jerome. Ingin rasanya Jerome menggebrak meja dan tak terima rencana Tommy hari ini—yang sebenarnya bukan urusan Jerome. Namun yang bisa Jerome lakukan hanyalah menggenggam struk kafe kuat-kuat dengan rahang mengeras. Jerome tak menyukai fakta bahwa Tommy harus pergi ke luar kota weekend ini.

“Kenapa harus lo?” tuntut Jerome mendesak.

“Karena enggak semua orang bisa.”

“Alah, anak-anak travelustration kan banyak. Sebagian ada yang anak OSIS. Entar gue minta mereka gantiin elo.”

“Justru yang OSIS enggak bisa, kan Kak? Persiapan pemilihan Ketua OSIS baru?”

“Tapi elo kan anak baru. Kenapa kepilih?”

Tommy mengangkat bahu.

“Gue cari orang lain deh yang bisa gantiin lo.”

“Emang bisa, Kak?” tanya Tommy. “Tiket pesawatnya udah dibeli, kan. Tadi Kak Vian bilang udah check in online juga, jadi udah enggak bisa ganti nama penumpang.”

Anjing! umpat Jerome dalam hati.

Jerome dan Tommy kembali ke sekolah sebelum pukul satu siang. Jerome tak bisa berkutik lagi. Tampaknya Tommy memang harus pergi ke Madura. Ketika Jerome menemani Tommy kembali ke sekolah, mobil yang akan membawa mereka ke bandara sudah siap di depan gerbang.

“Tom! Cepetan!” panggil Alvian dari jauh.

“Misi, Kak. Aku mau ambil barang-barangku dulu,” ujar Tommy pamit, berlari ke dalam sekolah untuk mengambil perlengkapannya.

Bel sekolah sudah berbunyi sebenarnya, tanda masuk pelajaran terakhir hari itu. Namun Jerome memutuskan untuk menghampiri Alvian yang sedang berkumpul bersama tiga orang lain. Sebuah Toyota Agya terparkir di dekat gerbang, pintu bagasi di belakangnya terbuka, sedang dimasuki beberapa ransel penuh.

Alvian tampak sedang berdiskusi dengan sang sopir, yang Jerome asumsikan taksi online. Di sekitar mobil ada dua murid kelas XI, masing-masing cowok dan cewek, dan satu murid baru kelas X, cewek.

“Cuma bentar aja, kan Pak,” ujar Alvian memohon. “Cuma ke bandara aja. Please.”

“Aduh, maaf A. Peraturan dari Grab-nya, euy. Cuma bisa empat orang. Punten pisan.”

Enggak akan kita bilang-bilang, kok. Lihat, nih! Kurus-kurus gini.”

“Ya tetep aja, A. Peraturannya empat orang aja.”

“Berapa orang yang berangkat, Al?” sapa Jerome sambil mengintervensi. Jerome merangkul Alvian dengan akrab.

“Enam orang, Jer. Kak Miza OTW langsung dari rumahnya. Kami berlima di sini, barengan si Tommy, dari sekolah. Tapi mobilnya kagak cukup dipake lima penumpang—“

Hapunten ya A, ini mah dari Grab-nya enggak boleh lebih dari empat,” potong si sopir ikut campur.

“Ya udahlah, gue naik ojek aja,” kata Alvian mengalah. “Toh di-reimburse juga.”

Jerome mendadak punya ide. “Elo naik ini aja. Biar si Tommy entar bareng ama gue.”

“Emang elo mau ke bandara juga?”

“Iya. Gue mau jemput bokap,” bual Jerome.

Alvian menjitak Jerome. “Elah, lu kenapa enggak bilang dari tadi? Tahu gitu gue nggak perlu pesen Grab. Gue bisa naik Pajero elo. Apa gue cancel aja yang ini?”

“Aduh A, jangan atuh A,” seloroh sopir taksi online itu ikut campur lagi. “Saya kan udah jemput ke sini.”

“Iya, kagak usah. Lo semua sekarang naik ini aja. Entar gue ama si Tommy nyusul!” usul Jerome, memainkan alisnya dengan jenaka, sambil menepuk-nepuk bahu Alvian.

“Atau tiga anak ini duluan ke bandara, lalu gue, elo, sama si Tommy naik mobil lo?”

Enggak. Elo naik ini aja. Kasihan mereka entar linglung di bandaranya kalau pas nyampe enggak ada elo buat bimbing,” kilah Jerome.

Enak aje lu ikut mobil gue, Tong! balas Jerome dalam hati. Gue mau berduaan, keleus.

Alvian tampak tak suka ide itu, tetapi dia tetap mengalah. “Ya udah, gue duluan. Berarti si Tommy entar ama lo, ya! Awas jangan sampai enggak ke bandara!”

“Iyeee ... pasti nyampe, kok!”

Ketika Tommy tiba di depan gerbang, taksi online pesanan itu sudah tidak ada di sana. Tommy memelotot ngeri. Jangan-jangan dia ditinggalkan oleh rombongan! Bahkan, saking hancurnya hati Tommy karena ditinggalkan, Tommy berlutut di atas aspal dan merutuki diri, mengapa harus ikut makan siang bareng Jerome tadi? Kan jadinya telat. Mungkin ini karma karena bolos salat jumat, batin Tommy.

Tiba-tiba sebuah Pajero Sport perunggu berhenti di depan Tommy yang sedang terpuruk karena ditinggalkan. Kaca jendela mobil itu terbuka. Wajah Jerome tampak dari dalam.

“Masuk!” titahnya.

“Ke mana?”

“Ke bandara, lah. Elo mau ke bandara, kan?”

“T-tapi ....”

“Jangan banyak omong. Masuk!”

Jerome yang menyetir mobil itu kali ini, karena tak setiap hari Jerome diantar jemput oleh Pak Yanto. Dengan patuh Tommy masuk ke kursi penumpang di sebelah Jerome. Pajero pun melaju melalui lalu lintas Kota Bandung yang padat.

“Pesawat jam berapa?” tanya Jerome ketus.

“Jam empat, Kak.”

“Nyantai dong kalau gitu!” Jerome pun memelankan laju kendaraannya, membuat Tommy ketar-ketir takut ketinggalan pesawat.

Ini kali pertama Tommy naik pesawat, jadi dia tak mau mengacaukannya.

“Pijitin tangan gue!” titah Jerome, mengulurkan tangan kiri yang sedari tadi digunakan untuk mengganti persneling.

Tommy hanya bisa menurut dengan patuh. Dipijatnya tangan kiri Jerome sepanjang perjalanan menuju bandara. Jerome merasa lebih baik sekarang, setelah sebelumnya kecewa karena Tommy tak bisa menemaninya malam ini. Sesekali Jerome menggenggam tangan Tommy, tak memberikannya ruang itu memijat.

“Kak, lepasin,” bisik Tommy.

Jerome pun melepaskan genggaman tangan itu, lalu Tommy bisa memijat lagi.

Itu menjadi perpisahan yang tak keruan bagi Jerome. Dia mengantarkan Tommy ke bandara, membiarkannya masuk ke terminal keberangkatan, seolah-olah orang terpentingnya akan pergi selama-lamanya. Ada perasaan kehilangan yang muncul dalam hati Jerome, yang tak bisa dia jelaskan apa.

Malam harinya, Jerome mencoba masturbasi untuk menghilangkan hasrat seksual menggebu-gebu dalam dirinya. Dia menggulir Twitter untuk menonton semua video cewek-cewek lokal mempertontonkan dada dan selangkangannya. Mungkin sekitar 30-40 menit Jerome berkubang bersama video porno Twitter.

Herannya, Jerome orgasme dan memuntahkan sperma justru ketika dia keluar dari Twitter, masuk ke gallery, dan menatap foto-foto Tommy yang dia ambil saat makan siang.



To be continued ....


<<< Part 29  |  Nude  |  Part 31 >>>

Nude 33

  ssendrawkwA emitefiL .33     Pada suatu pagi lima tahun lalu, Miza bangun lebih pagi dari biasanya meski semalaman tak bisa tidur. D...