Jumat, 16 Juli 2021

Nude 33

 ssendrawkwA emitefiL .33

 

 

Pada suatu pagi lima tahun lalu, Miza bangun lebih pagi dari biasanya meski semalaman tak bisa tidur. Dia menatap ranselnya yang sudah dipenuhi oleh impian dan rencana. (Dan baju-baju, alat mandi, alat kesehatan, alat safety, peta, jas hujan, tenda, dan lain-lain.) Satu ransel lagi dia siapkan juga untuk seseorang, tetapi sebuah insiden membuatnya harus menyingkirkan sebagian mimpinya itu.

Tak apa, batin Miza. Setengah mimpi yang tersisa tetap harus mengudara.

Miza memasukkan buku rencana perjalanan dan mengecek beberapa voucher hotel yang sudah dipesan sebelumnya. Semua atas nama Amizade Adhyastha, nama lengkapnya sendiri. Setelah mandi air hangat cukup lama—karena belum tentu dalam perjalanan satu bulan ke depan dia bisa ketemu kucuran shower senikmat ini—Miza menuruni tangga dengan bersemangat. Dua ayahnya sudah bangun juga, menyiapkan sarapan dan bekal makan siang untuk dibawa.

“Pagi, Pa! Pagi, Yah!” sapa Miza sambil langsung meneguk air putih dari dispenser.

“Semua sudah dicek belum?” tanya Dedy, ayah kandungnya.

“Udah, Pa.” Miza mengambil botol minum yang akan dibawanya, lalu mengisinya dengan air.

“Tiket-tiket? Uang tunai?” tanya Surya, suami ayah kandungnya. “Nanti kamu singgah di desa-desa enggak ada ATM, lho.”

“Aku pegang lima ratus ribu buat sekarang. Tapi di Tasik pasti ada ATM, lah. Entar ngambil di sana aja.”

Ayah kandung Miza, Dedy adalah seorang gay. Setelah bertahun-tahun menikah dengan ibunya Miza, Dedy menceraikan istrinya untuk kemudian menikahi lelaki idamannya, Surya. Karena Surya bekerja di sebuah organisasi pemerintah Belanda berbasis di Bandung, menangani tenaga kerja warga negara Belanda di Jawa Barat, Surya punya semacam hak istimewa untuk melegalkan pernikahannya dengan Dedy di Amsterdam. Keduanya memenangkan hak asuh atas Miza, sehingga selama empat tahun terakhir Miza tumbuh di sebuah keluarga non-konvensional Indonesia.

“Oh iya,” sahut Miza teringat sesuatu, “ransel satu lagi di mana?”

“Yang kamu pengin buang itu?” tanya Dedy.

Miza menyipitkan mata dengan canggung. “Enggak harfiah buang juga, sih. Sayang banget itu ada tenda sama perlengkapan lainnya di dalam tas—“

Enggak dibuang, lah,” potong Surya. “Papa simpan aja.”

Miza manggut-manggut. “Oke. Aku berangkat dari rumah jam 8-an, ya. Ke Cicaheum.”

“Mau diantar?”

“Boleh.”

Perpisahan itu nyatanya lebih berat dibandingkan apa yang mereka bayangkan. Mungkin karena Miza nyaris setiap hari menceritakan detail perjalanannya, Dedy dan Surya mengira akan mudah melepas bocah itu melanglang buana sendirian ke Nusa Tenggara. Hanya sebuah ransel berisi perlengkapan penuh dibawa Miza. Persis Dora the Explorer. Jadinya, pelukan mereka cukup lama di dalam mobil yang terparkir dekat gerbang masuk Terminal Cicaheum.

“Udah, Yah. Entar aku ketinggalan bus yang ke Banjar.” Miza menggerutu.

Dedy dan Surya dua-duanya menitikkan air mata. “Kamu hati-hati, ya Nak. Jangan percaya sama orang asing yang belum kamu kenal-kenal banget.”

“Iya.”

“Dan jangan lupa minum air putih, pokoknya kamu jangan sampai dehidrasi.”

“Iyaaa ....”

“Kalau banyak nyamuk di sekitar, Autannya dipake, ya. Papa masukin di pinggiran ransel—“

“Iyaaa ....”

“Jangan padukan baju merah sama celana ijo, pokoknya. Secara fashion itu enggak nyambung.”

Miza memutar bola mata lalu mengecup pipi kedua ayahnya. Dia turun dari mobil dan menyusuri rentetan bus yang akan bertolak ke semua tujuan di timurnya Kota Bandung. Miza merasa bersemangat sekali karena akhirnya dapat mewujudkan perjalanan ini. Sudah sejak lama rencana perjalanan disusun, tetapi inilah hari pertama Miza benar-benar melaksanakannya.

Tujuan pertama adalah bus menuju Banjar, Tasikmalaya. Miza celingukan untuk mencari apakah ada alternatif bus yang lebih baik—murah tapi nyaman. Namun pandangannya justru jatuh ke seseorang yang berdiri kira-kira sepuluh meter darinya. Miza kenal orang itu. Sosoknya memenuhi benak Miza berminggu-minggu terakhir, mulai dari pengalaman menyenangkan, hingga pengalaman paling pahit.

Nama bocah itu Stevan. Mengenakan celana pendek, topi, dan ransel besar yang Miza kenal betul.

Sialan, batin Miza. Itu ranselnya Miza yang pagi tadi seharusnya ada di belakang pintu, lalu Surya bilang “sudah disimpan”. Itu adalah ransel yang memang rencananya mau diberikan kepada Stevan. Miza tak bisa memungkiri bahwa ini adalah pemandangan yang membahagiakan bagi Miza. Sahabat terbaiknya, akan ikut dalam perjalanan ini.

Ternyata mimpi Miza tidak mengudara setengah saja.

Mimpi ini penuh.

Miza menelan ludah karena bingung harus berkata apa sekarang. Secara teknis, Miza seharusnya membenci sosok ini. Namun Miza tak sanggup berbohong bahwa dia rindu menghabiskan waktu bersamanya. Jadi ketika Stevan menghampirinya, Miza hanya sanggup bertanya singkat, “Ngapain?”

“Mau road trip,” jawab Stevan.

“Ke mana?”

“Ke Kupang.”

Sudut bibir Miza sudah ingin berkedut untuk tersenyum. Namun Miza mencoba menguasai harga dirinya. “Elo mau ngikutin, ya?”

Enggak,” jawab Stevan, sambil memiringkan kepala. “Aku enggak mau ngikutin. Aku mau jalan bareng sama kamu. Di samping kamu. Bukan di belakang.”

Beberapa minggu sebelumnya, saat Stevan berulang tahun, Miza menyiapkan kado kecil berupa rencana perjalanan mereka ke Nusa Tenggara. Miza menuliskan bahwa dia ingin menemani Stevan meraih impiannya dengan cara berjalan bersamanya, di sampingnya, bukan di depan atau di belakangnya.

Itu kata-kata gue, Bro, batin Miza GR.

“Kenapa elo tahu gue ada di sini?” tuntut Miza, tak mau terima.

Jutaan pertanyaan menghantui benaknya. Siapa yang berkomplot memberikan ransel itu kepadanya? Siapa yang memberitahunya bahwa Miza akan ada di sini pada jam segini? Mengapa dia bisa tahu kutipan di hadiah ulang tahun Stevan itu, karena Miza merasa sampai hari ini belum menyerahkan hadiahnya kepada Stevan.

“Karena aku tahu first stop kita bakal ke mana,” balas Stevan.

Miza tak terima. “Elo, kan lagi sibuk nyari gigolo. Itu yang terakhir gue denger.”

“Yaaa ... bener.” Stevan nyengir. “Terakhir. Which means, enggak akan ada lagi. Ter ... a ... khir.”

Miza masih tak terima. “Oh iya, elo lagi ngebet pengin jadiin kakak elo sendiri pacar elo. Gitu, kan? Ke mana dia sekarang?”

“Sama orang yang tepat buat dia,” jawab Stevan lagi, percaya diri. “Enggak tahu siapa, karena aku juga udah sadar, dia bukan ‘teman seperjalanan’-ku mengarungi hidup ini. Apalagi sekarang aku udah tujuh belas tahun. Aku harus jadi manusia dewasa. Aku bakal jalan bareng ‘teman seperjalanan’ yang tepat buat aku.”

“Siapa?”

“Kamu mau tahu namanya?”

Miza GR dan salah tingkah bukan main. Dia yakin sekali yang dimaksud itu dirinya, dan dia sungguh berbahagia mendengar Stevan sudah kembali ke kesadarannya. Namun karena gengsinya tinggi, Miza mengelak, “Enggak juga, sih. Terserah elo aja.”

“Namanya Miza,” jawab Stevan. “Orangnya baiiik, banget. Suka sama Linkin Park, Liverpool, sekaligus Michael Buble. Dia orang paling toleran yang pernah aku kenal. Dia berani nyelamatin sahabatnya dari jurang yang mematikan. Dia juga jujur, penuh kejutan, dan punya impian besar yang, hmmm ... aku nggak tahu harus balas budi kayak gimana andai dia ngajak aku gabung di impiannya itu. Dan, terakhir yang aku dengar, dia sayang sama aku.”

Miza menahan tawa. Karena, ya, benar gue sayang elo, batinnya. Namun bukan Miza namanya sebelum mengetes Stevan untuk kali terakhir. “Kenapa lo sepede ini, datang ke sini bawa ransel yang gue simpen di balik pintu, berlagak kalau gue bakal ngajak lo jalan?”

Stevan menghela napas panjang. “Enggak, aku enggak pede. Aku enggak butuh pede malah.” Dia mengeluarkan sebuah buku yang rencananya akan Miza berikan kepada Stevan pada perayaan ulang tahunnya kemarin. Miza tak tahu dari mana Stevan bisa mendapatkan kado itu. Namun dia lebih gembira karena Stevan sudah menerimanya. “Aku cuma ngikutin apa yang ada di buku ini. Peta harta karun. Petualangan yang enggak akan pernah aku lupakan. Barengan orang yang aku yakin bisa jaga aku meski kita harus lompat-lompat dari Bali, ke Lombok, ke Flores, ke Kupang, ke ... mana ini?”

Miza melihat pulau yang ditunjuk Stevan di buku. “Itu Waingapu.”

“Nah, iya, itu. Waingapu. Aku cuma pengin wujudin semua yang udah ditulis orang itu di sini. Balap sepeda di bekas bandara Lombok? Oke!”

Akhirnya Miza nggak tahan lagi. Dia merangkul Stevan dengan erat dan bertanya, “Elo ke mana aja, Van?”

“Kak?”

“Kenapa elo hilang dari gue?”

“Kakak?”

Kemudian Miza terbawa kembali ke 2020 di mana situasi dan kondisi sudah benar-benar berbeda. Sosok yang ada di hadapannya benar-benar mirip Stevan, tetapi itu bukan Stevan. Dengan canggung Miza melepaskan pelukan itu dan mencoba menyusut air di sudut matanya.

“Oh, sorry. Sampai mana kita tadi?”

Tommy mengerutkan alisnya. “A-aku tadi nanya ke Kakak, kunci kamar mau dibawa siapa? Aku atau Kak Miza?”

Miza menarik napas panjang dan segera memutuskan. “Elo aja yang pegang. Oke? Jangan hilang, ya.”

*  *  *

Tak terjadi apa-apa di kamar hotel semalam. Antara Tommy menyesalinya, atau mensyukurinya. Tommy tak ingin menjadi anak kurang ajar dengan meraba-raba alumni ganteng saat mereka tertidur. Padahal kesempatan itu ada. Dan besar. Persis kayak semua video porno prank straight di Twitter, di mana si pemilik akun menggerayangi kawan straight-nya sambil memvideo, lalu dia menjual videonya.

Tommy enggak kepikiran untuk bisnis prank straight, sih. Meskipun dia sudah punya tiga calon klien yang gantengnya luar biasa, dan pasti bisa dijual tinggi. Enggak, enggak, enggak. Membayangkan dirinya meraba straight yang sedang tidur pun sudah merasa sangat jahat. Tommy penasaran, dari mana para gay nekat ini punya keberanian untuk menggerepe orang yang sedang tidur? Kalau Reynhard kemarin, kan menunggu korbannya mabuk. Kalau orang-orang di Twitter ini, kan pas korbannya sedang tidur. Gimana kalau mereka terbangun, lalu awkward sepanjang masa?

Tommy enggak mau mengambil risiko itu. Tommy hanya menarik selimutnya lebih tinggi, memunggungi Miza, dan berdoa tidak kena sial atau apa. Meski pada akhirnya Tommy terpaksa harus berbalik ke arah Miza (karena pegal di satu posisi terus-terusan), lalu Tommy harus melihat siluet tampan itu tidur bertelanjang dada.

Pagi tadi akhirnya Tommy masturbasi di kamar mandi. Kucuran air shower dinyalakan deras, kelaminnya dikocok oleh sabun. Topik onaninya adalah Kak Miza. Semua rekaman Miza mulai dari dipergoki mandi tanpa pintu dikunci hingga semalaman tidur telanjang dada, diputar kembali oleh Tommy sambil berfantasi.

Selesai sarapan dan bersiap-siap, Tommy merasakan Miza agak lain. Seniornya itu melamun sepanjang pagi, memikirkan sesuatu. Ketika mereka bersiap untuk berkumpul di lobi, Miza tiba-tiba memeluknya sambil menangis. Cowok itu menyebutkan nama Stevan berkali-kali. Tommy harus menepuk-nepuk punggung Miza untuk membangunkannya dari khayalan. Setelah Miza sadar, sepanjang hari cowok itu tampak normal.

Perjalanan ke Pulau Madura ditempuh dalam waktu singkat. Menuju Pulau Maduranya sih hanya beberapa menit, tetapi setelah menyeberangi Jembatan Suramadu, masih ada dua jam lagi bagi mobil untuk tiba di tempat tujuan. Pemerintah Kabupaten Sumenep tertarik mengajak travelustration untuk berkeliling beberapa wisata pantai di Pulau Madura dan melukisnya ke dalam ilustrasi. Disokong oleh sponsor perusahaan-perusahaan lokal (kebanyakan garam), travelustration punya dana untuk sebuah kegiatan panjang selama tiga hari di Madura, seraya mempromosikan wisata lokal.

Posisi duduk di mobil terbagi menjadi seperti ini: Miza duduk di depan di samping sopir; Alvian, Ruli, Tommy di jok tengah; Qonita dan Sasha di jok belakang. Mungkin karena terpisah, fokus Miza sudah tak jatuh pada Tommy seorang. Miza melayani semua candaan atau pertanyaan dari anggota travelustration yang ikut serta. Tidak seperti perjalanan dari bandara ke hotel, di mana Miza dan Tommy duduk di jok paling belakang, saling berpegangan tangan sepanjang perjalanan.

Ruli orangnya kepo dan banyak omong. Sepanjang jalan dia mengoceh terus-menerus, membuat Alvian kesal. Tommy di lain sisi justru bersyukur Ruli banyak omong, karena berarti dirinya tak perlu mengatakan apa-apa dalam perjalanan. Tommy bisa tenggelam dalam musik melalui earphone sambil menatap ke luar jendela.

Semuanya begitu damai sampai akhirnya Shasha, yang duduk tepat di belakang Tommy mencolek bahunya. “Pst! Kamu lagi dengerin lagu apa?” tanyanya kepo.

Tommy melepas earphone dan mematikan lagunya melalui tombol yang tersedia pada kabel. Karena dia tahu setiap genre musik sering diasosiasikan dengan gender atau orientasi seksual tertentu, Tommy pun menjawab, “Avenged Sevenfold,” meski itu omong kosong. Tommy sebenarnya sedang mendengarkan Boy With Luv-nya BTS berulang-ulang, tetapi tak mau dianggap gay karena mendengarkan lagu-lagu Korea. Saat SMP, anak-anak cowok maskulin sering menyebutkan soal Avenged Sevenfold, dan Tommy merasa itu maskulin banget, jadinya kalau ditanya soal lagu ya itulah jawaban Tommy.

Seumur hidup Tommy belum pernah mendengarkan lagu Avenged Sevenfold.

“Judulnya apa?” tanya Shasha lagi, kepo.

Tommy jelas tak tahu jawabannya. “Yang terkenal itulah,” jawabnya. Kemudian Tommy lepaskan earphone satunya lagi supaya dianggap sudah tidak tertarik mendengarkan lagu.

“Yang judulnya Dear God?”

Tommy tidak tahu sama sekali. “Iya.”

“Aku kemarin video call-an sama Yana, Udin, sama Karyo, temen-temen kamulah,” kata Shasha.

Mereka bukan temanku, ya Tuhan ..., batin Tommy tak percaya. Namun Tommy tak punya kesempatan menyela karena Shasha mencerocos terus-menerus, bahkan ketika Ruli sedang heboh membahas kerbau yang dilihat di pinggir jalan tadi, “Pasti itu karapan sapi untuk ngaben, ya?” Mungkin Shasha sengaja memanfaatkan kehebohan itu untuk bicara dengan Tommy, karena Miza, Alvian, dan Qonita tentu saja langsung menanggapi komentar Ruli dengan berisik.

“Si Yana tuh pengin minta bantuan kamu,” bisik Shasha sambil cekikikan sendiri.

Tommy tidak terlalu dekat dengan Yana, tetapi dia cukup sering bertemu. Khususnya saat Tommy ada urusan dengan Karyo dan Baharudin, biasanya Yana mengekor di sekitar mereka. Orangnya ramah, sebenarnya. Jembatan antara Karyo dan Baharudin yang sifatnya berbeda. Kalau bertemu di koridor, Yana akan menyapa duluan (beberapa kali Tommy tak menggubrisnya karena takut orang-orang mengira Tommy bersahabat dengan trio banci). Mendengar Yana ingin meminta bantuannya bagi Tommy terdengar aneh.

“Bantuan apa?”

Shasha mengedikkan kepalanya ke arah Miza yang duduk di depan. Miza sedang menggelengkan kepala sambil menoleh ke arah Ruli. “Bukan ngaben kali, Rul. Ngamen!” Tawa Miza lebar sekali.

“Jangan bilang-bilang, tapi.”

Tommy memutar bola mata. Shasha tak bisa melihatnya karena Tommy sedang menghadap ke depan.

“Nanti aku bilang pas udah sepi, ya.”

Tommy sama sekali tidak menunggu momen itu. Namun Shasha benar-benar serius ingin meminta bantuan Tommy. Atau secara teknis, Yana yang meminta bantuan. Ketika mereka tiba di pantai pertama Kabupaten Sumenep, Pantai Slopeng Shasha langsung menarik Tommy menepi. Kebetulan Miza langsung memberikan komando jelas pada ketibaan mereka.

“Gue ma Alvian mau cari management lokal dulu. Kalian ambil foto sebanyak mungkin spot-spot yang bisa dipake buat ilustrasi. Qonita, elo observasi retail sekitar, ya.”

“Oke, Kak.”

Miza dan Alvian menghilang mencari kantor management pantai. Shasha langsung menarik Tommy ke sudut yang cukup jauh dari Ruli maupun Qonita. Cukup banyak orang berkunjung ke Pantai Slopeng siang itu, mungkin karena ini hari Sabtu. Pantainya memanjang lurus dengan pasir putih, tidak ada bebatuan granit maupun karang-karang yang menghalangi. Tommy terpukau dengan keindahannya, karena terakhir kali ke pantai Tommy mengunjungi Pangandaran. Bagi Tommy, Slopeng ini jauh lebih indah dibandingkan Pangandaran.

“Yana suka sama Kak Miza,” ujar Shasha tiba-tiba, ketika Tommy sedang asyik mengambil beberapa gambar. “Dia naksir pas travelustration demo ke kelas-kelas pas MOS.”

“Oh, ya?” balas Tommy malas-malasan.

Pertama, itu bukan urusannya. Kedua, Miza ini ganteng. Wajar kalau ada yang naksir. Kalau enggak ada yang naksir, baru itu nggak normal.

“Iya. Dia udah nge-like semua foto Miza di Instagram.”

That is creepy, batin Tommy. “Wow,” ungkapnya di mulut, kembali fokus mengambil foto. “Sangat berdedikasi.”

“Yana emang gay. Kayak kamu.”

Tommy tersinggung. Dengan sigap, Tommy menyergah, “Aku bukan gay, ya!” Hanya karena dulu pernah berbicara hati ke hati dengan Karyo dan Baharudian, bukan berarti Tommy akan mengaku ke semua orang bahwa dia gay. Apalagi ini, Shasha. Siapa coba Shasha dalam hidupnya? Misal dia tahu Tommy gay dari trio banci itu pun, Shasha enggak berhak menghakimi Tommy sebagai gay.

“Masa, sih?” Shasha menautkan alis, tak percaya. Dia bahkan menatap Tommy atas bawah.

“Kamu temenannya sama gay, sih. Ya iyalah dia bilangin semua orang gay,” ujar Tommy berkelit. Tommy masih pada misi awalnya masuk sekolah ini, jangan sampai terdeteksi gay oleh siapa pun. Miza yang semalam saja menunjukkan gejala-gejala, “I’m okay with gay people cause my best buddy was also gay,enggak membuat Tommy mengaku, “Yes, I’m gay too.

Bagi Tommy, keamanan dirinya di ujung tanduk kalau orang-orang tahu dia gay. Revan saja sudah berani menendangnya di tempat umum hanya karena menguping pembicaraan Tommy dengan Karyo dan Baharudin. Akan ada berapa orang yang menendang Tommy begitu seisi sekolah tahu dirinya gay?

Tommy mulai memantapkan hati untuk tidak berinteraksi dengan semua orang yang mempercayai bahwa Tommy gay.

Shasha tidak berusaha mendebat itu, karena dia punya misi lain. “Jadi, karena kamu sekamar sama Kak Miza, Yana mau minta bantuan. Tapi ini Yana, ya. Bukan aku. Aku sih ngecenginnya Kak Vian, bukan Kak Miza.”

“Bantuan apa?”

Shasha menarik napas panjang-panjang. Dia celingukan untuk memastikan tidak ada yang mendengarnya. Ada sih beberapa orang yang lewat di dekat mereka, tetapi Shasha enggak kenal. “Yana pengin kamu foto atau videoin Kak Miza pas lagi tidur.”

What?!” pekik Tommy terkejut. “Itu nggak sopan, woy!”

Please, katanya. Kalau perlu bayar, dia bayar, deh. Bukan fotoin aneh-aneh Kak Mizanya telanjang atau apa. Foto diam-diam aja. Pas lagi ganteng-gantengnya.”

Enggak, ah,” tolak Tommy. “Ngambil foto atau video diam-diam itu perbuatan kriminal,” lanjut Tommy, sambil berusaha keras melupakan fakta bahwa dia pernah merekam Jerome dan Sheena.

“Ayolah .... Entar aku nggak akan bilang-bilang, kok!”

“Bilang-bilang apa?” Tommy mulai gusar.

“Bilang ke orang-orang kalau kamu lagi pedekate sama Kak Miza. Sepanjang jalan kemaren pegangan terus. Dibikin sekamar, pula. Apalagi kalau bukan lagi pendekatan. Bener, enggak?”



To be continued ....


<<< Part 32  |  Nude  |  Part 34 >>>

Nude 32

 

ydoleM naissuR .23

 

 

 

 

Satu-satunya tempat yang selalu Revan hindari adalah rumah. Dia tak pernah bisa memahami segala jenis quote yang merujuk rumah sebagai tempat terbaik di dunia ini. Kalau bisa kabur dari rumah, Revan sudah melakukannya sejak dulu. Sayang sekali dia tidak bisa, dan tidak diizinkan.

Bukan berarti Revan tak pernah mencoba. Dua tahun lalu saat masih kelas VIII, Revan kabur ke sebuah rumah orang asing di daerah Dago. Dia pikir lokasi ini sudah cukup jauh dari rumahnya di sekitaran Pasir Koja—apalagi saat itu dia berjalan kaki. Namun baru saja sampai dan mengetuk satu pintu untuk menumpang tidur, pemilik rumah membawanya ke polisi dan orangtua Revan pun datang menjemput. Sejak saat itu Revan tak pernah percaya orang asing.

Kalau Revan harus berada di rumah, dia akan mengunci diri sepanjang hari di dalam kamar. Baru keluar untuk makan, mandi, dan buang air. Revan sudah lama tidak menonton TV atau bertegur sapa dengan banyak anggota keluarganya. Apalagi dengan tetangganya, yang masih keluarganya juga. Revan keturunan Sunda asli yang hobi sekali menetap berdekatan dengan anggota keluarga. Sebanyak 60% warga RT 04 di mana Revan tinggal, masih berhubungan darah dengan Revan.

Jadi, sepulang sekolah, Revan akan mengembara tanpa arah keliling Bandung, mendengarkan musik dari ponselnya yang di-flight mode, lalu menaiki angkot pulang ke rumah ketika azan Isya berkumandang. Kalau dalam perjalanan dia bertemu anak kecil yang tak diawasi orangtuanya, Revan menyempatkan diri untuk mem-bully. Apalagi kalau dia bertemu rombongan anak SMP yang kelihatan banci, Revan pasti akan mem-bully.

Jumat malam itu, Revan terbawa pikirannya hingga ke arah Soreang. Di Jalan Kopo yang ramai, Revan baru menyadari bahwa azan Isya sudah lewat sejak satu jam yang lalu. Betisnya yang kencang (karena keseringan berjalan) mulai terasa agak lelah. Revan pun duduk di halte bus terdekat, berdampingan bersama tukang putu yang sedang beristirahat juga.

Revan tak mau pulang. Apalagi dari Kopo sini menuju Pasir Koja tinggal lurus saja mentok di pertigaan Pasir Koja, maka rumahnya sudah dekat. Hari ini Jumat malam, memang. Lalu lintas sedang padat-padatnya. Revan tetap malas menaiki angkot berikutnya yang lewat.

....

Namun Revan harus pulang.

Dia tahu dia harus pulang supaya tetap bisa makan dan dapat uang jajan. Ada sepatu yang ingin dia beli akhir-akhir ini, Revan sedang mengumpulkan uang untuk membelinya. Dengan sepatu itu, mungkin dia bisa berjalan lebih jauh.

Karena lapar, Revan mencuri putu yang sudah matang, lalu menendang gerobak tukang putu hingga terguling, termasuk si penjualnya. “Kunaon air maneh?!” teriak si penjual marah-marah, tetapi Revan hanya berlari puas menjauhi halte, sambil menyumpal mulutnya dengan banyak sekali kue putu. Sebelum tukang putu itu mengejarnya, Revan melompat masuk ke satu angkot yang memang melaju menuju rumahnya. Dia duduk di dekat pintu, terengah-engah tetapi merasa gembira.

Dia harus tertawa. Karena mungkin tawa itu tak akan bisa berlanjut ketika dia tiba di rumah.

Butuh sekitar satu jam melewati macetnya Jalan Kopo Bandung dan hobi menahun para sopir angkot yaitu ngetem di setiap muka gang. Revan akhirnya sampai di rumahnya, menggenggam tali ransel kuat-kuat, sambil menarik napas panjang. Belum juga dia tiba di rumahnya, gaung konser dari dalam rumah Revan sudah terdengar hingga rumah ketiga.

“Nya sok atuh sia lebok wé sorangan éta awéwé nepi ka péot! Sing seubeuh, tah! Améh di naraka bisa jadi gegedugna sétan!”

“Manéh euweuh sopan-sopanna pisan ngomong ka salaki! Hayang ditampiling deui, hah?!”

Suara itu sayup-sayup, tetapi semacam itulah konser musiknya. Revan pura-pura tak tahu lagu apa yang sedang ditampilkan. Anggap saja kamu sedang dengar lagu bahasa Rusia, dan kamu enggak mengerti, supaya Revan tak perlu repot-repot menerjemahkannya untukmu.

Beberapa tetangganya ingin tahu lagunya apa, jadi mereka menatap penasaran ke arah Revan yang sedang berjalan pulang. Revan menunduk, pura-pura tuli, bergegas masuk ke rumah tanpa menoleh ke belakang sekali pun.

Di ruang tamu, ada cukup banyak orang yang hadir di konser. Tak satu pun dari orang itu berminat menikmati konser. Semuanya sibuk masing-masing seolah-olah bising konser itu tak sampai ke telinga mereka. Revan tinggal di rumah yang cukup besar, dengan jumlah keluarga yang besar pula. Ada tiga keluarga tinggal berdesakan di rumah itu. Nomor rumah sampai harus dibuat tiga agar beda kartu keluarga dan keterangan di KTP.

Pamannya sedang menonton TV, bibinya memetik kangkung, neneknya berusaha merayu sang paman untuk mengganti channel ke acara dangdut, dua sepupunya mengerjakan PR, pamannya yang lain duduk di sofa sambil memainkan ponsel, bibinya yang lain baru keluar dari kamar mandi. Ada tiga sepupunya yang lain yang sedang menghabiskan keripik sambil main UNO di ruang makan.

Tepat di ruang keluarga lantai dua, konser itu diadakan.

“Pan aing ogé nempo maké panon aing sorangan!”

“He-euh, éta téh ngaranna asumsi! Nyaho!”

“Asumsi bujur sia siga munding, hah?! Sia bobogohan jeung awéwé éta, aing gé nyaho!”

“Tuluy mun bobogohan, urusan jeung manéh naon?!”

“Sia kan salaki aing!”

“Manéh jadi pamajikan gé teu balég! Gawé teu becus! Teu bisa ngumbah wadah!”

“Émang sia geus méré naon ka aing, hah?!”

Bahasa Rusia, batin Revan. Jadi ketika Revan tiba di anak tangga teratas, Revan berjalan melewati para penyanyi menuju kamarnya sendiri. Dia menutup telinga, karena senandung itu terlalu berisik. Mungkin setting-an sound system-nya memaksimalkan echo dan bass. Salah satu penyanyi bahkan mengajak Revan bernyanyi, seperti konser di mana bintangnya berseru, “Are you readyyy ...?!”

“Tah tingali éta budak balik peuting waé unggal poé! Sia téh jadi bapak di mana tanggung jawabna!”

“Éta gé tanggung jawab manéh, anjing!”

BRAK! Revan membanting pintu kamar dan menguncinya.

Tanpa nyawa, Revan meletakkan ransel ke atas kursi, melucuti tubuhnya hingga telanjang, masuk ke dalam selimut, kemudian menangis. Tangisannya tak bersuara, bahkan kucing pun tak akan menegakkan telinga misal ada di ruang yang sama. Namun tangisan itu pilu dan menyakitkan, setidaknya bagi Revan.

Dua puluh menit kemudian, dalam kondisi masih menangis, pintu kamar Revan diketuk.

“Van, buka,” kata pengetuk pintu, lembut, tetapi menitah.

Revan mengabaikannya.

“Ayo, Van. Kamu harus buka.”

Itu bukan ayah ibunya. Itu pamannya, yang tadi asyik menonton TV. Sang paman sejenis orang yang berdedikasi. Kalau pintunya belum dibuka, dia tak akan pernah pergi sampai mati. Jadi Revan turun dari atas tempat tidur, membuka kunci, lalu melompat lagi ke balik selimutnya.

Sang paman masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu.

*  *  *

Tempat paling indah bagi Karyo adalah rumahnya. Enggak secara spesifik segala bagian dari rumah itu, tetapi setidaknya dia senang berada di kamarnya sendiri. Pukul sembilan malam Jumat itu Karyo baru saja pulang dari latihan dance. Para senior membagi tugas kepada anggota baru untuk membentuk kelompok dan menciptakan gerakan dance sendiri. Kelompok yang menang punya kesempatan untuk dipilih oleh senior dan ikut tampil di sebuah acara besar di Transtudio Mall. Karyo berlatih keras bersama Baharudin, Yana, Azeza, dan Mishka. Mereka sudah menyelesaikan semua koreografi untuk lagu Blackpink yang di-mix selama lima menit.

Jadi ketika malam itu Karyo tiba di rumahnya, dia merasa bahagia sekali. Lelah latihan membuat dirinya ingin segera bergelung di bawah selimut dan melakukan rutinitas weekend favoritnya. Karena ini sudah cukup larut, ayah Karyo yang kumisnya tebal itu sudah ada di rumah, duduk santai menonton TV.

“Assalamu ‘alaikum,” sapa Karyo sambil menunduk, menenteng sepatu sekolahnya untuk disimpan di rak sepatu dekat dapur.

“Dari mana kamu?” balas sayang ayah.

“Latihan ekskul, Yah.”

“Ekskul macam apa jam segini masih pulang?”

“E-ekskul bola, Yah. Sepak bola. Mau ada pertandingan.”

Sang ayah manggut-manggut sambil tersenyum. “Apa posisi kamu di sepak bola?”

Karyo tak tahu apa saja posisi-posisi dalam sepak bola. Yang dia tahu hanya kiper. Sisanya blank. Main bola pun tak pernah atas kemauannya sendiri. Selama SD, Karyo dipaksa main sepak bola oleh guru olahraganya. Namun Karyo biasanya hanya duduk di pinggir lapangan sambil menerima nasib bahwa dia sekadar banci semata.

“Yaaa ... yang giring bola, Yah,” jawab Karyo hati-hati.

“Jadi striker kamu? Bagus! Kapan pertandingannya?”

“B-belum tau.” Karyo buru-buru pergi melewati ruang tengah menuju kamarnya.

“Kabari Ayah kapan tandingnya.”

“I-iya.” Karyo pun menutup pintu kamar lalu menguncinya. Karyo mengembuskan napas lega. Dia meletakkan ranselnya di gantungan lalu segera mengganti bajunya. Setelah mandi dengan cepat, Karyo buru-buru menata satu bagian kamarnya sehingga tampak sangat-sangat rapi. Boneka Teddy Bear besar di satu sisi, tempat tidur dirapikan, semua bantal yang sarungnya tidak match dengan sprei dia singkirkan, buku-buku di rak dirapikan sesuai ketinggian, bahkan lukisan yang miring pun Karyo betulkan posisinya.

Dengan hati-hati, Karyo mengintip ke ruang tengah. Ayahnya sudah tidak ada di sana. Mungkin sudah tidur. Sambil mendesah lega, Karyo mulai mengeluarkan ponselnya yang lain, yang dia beli diam-diam tanpa diketahui keluarganya. Diletakkannya ponsel itu berdiri di depan mug, lalu dibukanya aplikasi Blued. Karyo menyiarkan dirinya dalam sebuah live aplikasi khusus gay. Dia beri judul broadcasting: B Pengen Crot, diikuti tiga emotikon cipratan air. Apa yang masuk ke dalam kamera adalah semua bagian kamar yang sudah Karyo rapikan tadi.

“Halo, Guys! Welcome to my channel, ya!” Karyo menarik kotak perawatan kulit yang sudah dia letakkan di atas meja. “Malam ini temenin aku bersihin muka sambil ngobrol-ngobrol, ya.”

Sudah ada dua orang masuk ke ruangan live Karyo.

“Halo, Arif_cad, welcome to my channel. Kalau mau bagi-bagi beans, boleh kok!” Karyo membuka kotak perawatan kulitnya sambil sesekali mengintip ke layar, apakah sudah ada akun lain yang menonton penyiarannya. “Halo Rputra08, welcome to my channel. Malam ini aku mau tutorial bersihin muka aku. Kalau kalian pengin aku pake bahasa Inggris, tell me ya. Aku bisa bahasa English, kok. Halo Alex87_29! Welcome to my channel. I waiting for beans lho .... Kasih semangka juga boleeeh.”

Sudah ada tujuh orang menonton live-nya. Salah satu penonton mengirimkan pesan di forum live:

Buka.

“Apanya yang dibuka, nih? Bajuku?” Karyo mengibaskan tangan. “Beans dulu, minimal semangka. Nanti aku buka.”

Beberapa pesan di live bermunculan.

Vcs.

Private kuy

Buka kontol

“Eits, don’t open-open, yah. I wanted to face clean first.” Karyo membersihkan wajahnya dengan minyak pembersih muka. Jumlah viewer-nya naik turun, tetapi angkanya selalu konstan di sekitaran sebelas penonton.

Karena merasa kurang ramai penonton, Karyo mengajak Baharudin dan Yana untuk melakukan video conference. Kebetulan dua-duanya sudah tiba di rumah setelah latihan dance tadi. Karyo tidak mematikan live di Blued. Dia hanya menjejerkan ponselnya di samping ponsel rahasianya, di mana Karyo juga melakukan video conference.

Ketika tiga wajah sudah muncul di layar, tiba-tiba Yana berkata, “Eh, Cong, alemong ... eike mawar ngajakin Shasha ke sindang. Eike lagi gosip-gosip pedas ama detseu. Bologna, Tinta?”

“Bolognaaa! Cus, masukin Shasha!”

Shasha adalah teman sekelas Yana di IIS. Dia cewek, tapi temenannya dengan banci juga karena merasa selalu terhibur. Shasha gabung di travelustration karena gebetannya Kak Alvian anggota ekskul tersebut. Karyo teringat Shasha pergi ke Madura, sama seperti Tommy dari teman sekelasnya. Shasha pergi ke Madura pun karena Kak Alvian ikutan pergi ke Madura.

“Gosip apose, Nek?” tanya Karyo, mulai membersihkan wajah dengan kapas. Matanya lalu menoleh ke ponsel yang sedang live. “Guys, aku sambil conference call sama best friend aku, ya. Jangan lupa kasih beans minimal semangka.” Jumlah viewer: 2 orang.

Wajah Shasha muncul beberapa saat kemudian. Dia sebenarnya mengenakan kerudung, tetapi di layar, kerudungnya sudah dibuka. Karyo dapat melihat Shasha sedang berjalan di lorong hotel yang panjang, menuju sebuah area khusus yang ada sofa-sofanya.

“Heeeiii Karyo, Udin!” Shasha melambaikan tangan.

Karyo dan Baharudin menyapa Shasha. Selama lima menit pertama mereka memberondong Shasha dengan pertanyaan gimana rasanya naik pesawat, gimana Surabaya, gimana Kak Alvian (berhasil deketin enggak), bahkan gimana Kak Miza (makin ganteng atau enggak?).

“Endolita bences kesayangan kita, Tomita,” kata Shasha, mau tak mau berbahasa banci juga meski dia terlahir perempuan secara biologis.

“Kenapose?” tanya Yana.

“Detseu dari bandarita sampe hotel nemplok terus sama Kak Miza. Mereka kan satu room ...! Cus, mebel si Tommy dibikin hamidun. Endeus!”

Baharudin membelalak terkejut, mulutnya sampai menganga. “Kok, bisa sih? Detseu pake susuk apose? Beruntung mulu, hernia deh eike.”

“Kebetulan aja, Girls,” kata Karyo, mulai mengenakan masker sebelum tidur. Masker itu telah diracik oleh Karyo ketika Shasha tadi meracau soal perjalanannya ke Surabaya. Karena kisah Shasha lumayan panjang, Karyo sampai selesai membersihkan wajahnya dua tahap, memasukkan bubuk masker, memberi air, dan mengaduknya dengan spatula. Sekarang Karyo mulai mengaplikasikannya tipis-tipis. Sengaja Karyo menatap ke ponsel live-Blued untuk melihat pantulan diri, karena gambarnya lebih bagus di sana dibandingkan video conference.

Jumlah viewer: 1 orang.

“Tinta, sih. Emang detseu botita lucknut!” ujar Baharudin sambil mengibaskan poni. “Kalian juga tau kan, Guys. Eike paling anti sama bencong denial.”

Jengong gitu, lah Din,” sergah Karyo. “Kan detseu udin ngaku detseu hemong. Detseu cuma enggak mau coming out aja.”

“Samosir aja, Shay. Sami mawon.”

Tapi itu botita emberan lucky, sih,” kata Yana. “Deket sama Arthur, deket sama Kak Jerome, deket sama—

“Kak Jerome?” sela Karyo mengulang. “Hubungannya cuma sebagai tukang pijat, kan?”

“Tinta, Shaaay!” Yana tertawa, diikuti Shasha mengibaskan tangan dan menutup mulutnya sambil tertawa.

Karyo berhenti memasang masker di wajahnya. Dahi dan pipi kanannya sudah diberi masker, sisanya belum. Jumlah viewer di Blued: 0 orang.

Apose maksudnya, Shay?” tanya Karyo tertarik.

Tak ada yang tahu Karyo naksir Jerome selain Tommy. Karyo tak menceritakannya kepada Baharudin, Yana, atau siapa pun. Mengapa Tommy tahu pun karena keceplosan saja. Selama berminggu-minggu terakhir, Karyo menyimpan perasaannya sendiri di dalam hati.

Karyo jatuh cinta saat Jerome pertama kali masuk kelas dan mengenalkan diri sebagai Ketua OSIS. Sejak saat itu Karyo sembunyi-sembunyi memandang Jerome dari jauh dan mengaguminya diam-diam. Kalau berpapasan di jalan, jantungnya berdegup sangat kencang. Baginya, Jerome adalah cowok sempurna. Selain ganteng, orangnya juga baik, ramah, lucu, dan menyenangkan.

Kadang-kadang, Karyo sengaja lewat depan ruang OSIS untuk melihat apakah Jerome ada di dalam. Atau, Karyo tidak langsung pulang ke rumah kalau dia melihat Jerome latihan basket di lapangan. Pernah satu waktu Jerome masuk ke toilet, dan Karyo yang sebenarnya sedang OTW kantin sengaja berbelok ke toilet hanya demi satu ruangan dengan Jerome. Karyo sudah mem-follow semua akun sosial media Jerome, punya nomor Whatsapp-nya meski tak pernah chat, hafal yang mana mobilnya, atau ransel yang selalu dipakai, atau jam tangannya seperti apa, atau tipe ponselnya Jerome apa.

Terakhir kali Jerome tiba-tiba menghampiri kelompok antropologinya, Karyo meninggal dunia di dalam hati saking tak kuat menahan debaran jantung. Maka dari itu Karyo sempat ingin belajar memijat dari Tommy.

“Jedeus ... tadi pas ke bandarita,” mulai Shasha, menceritakan kisahnya tentang Jerome dan Tommy, “yang lain naik Grab, detseu diantar sama Kak Jerome, dooong. Alemooong!”

Baharudin membelalak terkejut. Dia takjub karena selain berhasil menggaet Arthur, Tommy juga menggaet Ketua OSIS. “Seriosa, Sha?” tanya Baharudin meyakinkan.

“Seriosa, Shay! Detseu adinda fotonya, malah,” jawab Yana mewakili. “Kamu kirim ke aku foto Tommy sama Jerome. Entar aku forward ke mereka.”

Dasar botita denial!” umpat Baharudin.

Karyo hanya bisa mengaduk-aduk maskernya dengan spatula tanpa tujuan. Suatu perasaan tidak nyaman membelenggu hatinya. Seolah-olah sesuatu yang berharga yang dia miliki dicuri oleh seseorang. Dada Karyo sesak. Karyo tak sanggup mendengar cerita itu lebih lama meski Shasha kelihatannya masih punya insight soal Tommy dan Jerome. “Guys, wait, aku out dulu, yes. Dipanggil Ayah! Bye!” Karyo keluar dari conference, kemudian terisak-isak dalam rasa cemburu.

Jumlah viewer di Blued: No signal.



To be continued ....


<<< Part 31  |  Nude  |  Part 33 >>>

Nude 31

 retsaoC relloR .13

 


Ternyata, naik pesawat seperti naik roller coaster. Setidaknya itulah yang Tommy rasakan saat mereka terbang barusan. Mungkin terjadi sekitar 10-20 detik, ketika perut serasa ditarik ke bawah oleh gravitasi, dan seluruh gedung menjauhinya perlahan-lahan. Selama sepersekian detik, Tommy merasa mual. Telinganya juga pengang. Namun lama kelamaan, kabin besi berisi 70-an penumpang itu terasa stabil. Rasanya seperti menaiki mobil, melewati jalan tol yang mulus tanpa lalu lintas.

Gapapa?” tanya Miza, yang duduk di samping Tommy.

Tommy menggeleng. “Gapapa.”

“Kalau kira-kira enggak enak badan, elo tidur aja. Lumayan satu setengah jam.”

Tommy mengangguk.

Dia tidak berencana tidur, tentunya. Ini pengalaman pertama naik pesawat terbang, Tommy harus menikmati dan merasakan sensasinya. Ketika masih duduk di ruang tunggu, Tommy meremas tepian bajunya kuat-kuat karena gugup. Seperti banyak first time flyer lainnya, semua pikiran buruk menghantui Tommy. Bagaimana kalau pesawat jatuh? Bagaimana kalau pesawatnya meledak? Bagaimana kalau pesawatnya dibajak teroris? Namun Miza mendadak menghampiri Tommy dan duduk di sebelahnya, sambil meletakkan tangan di atas lutut.

Elo aman, kok,” katanya. “Enggak usah takut.”

“Kita disediain parasut enggak, sih Kak?” bisik Tommy cemas.

Miza terkekeh. “Terus kalau disediain parasut, elo tahu cara makenya?”

“Tinggal tarik tali, terus ngembang kan parasutnya?”

“Pas kapan narik talinya?” Miza mengangkat satu alis. “Tali yang mana? Gimana cara mendaratnya? Di mana lokasi pendaratannya?”

Tommy tak bisa menjawab semua pertanyaan itu. Jangankan memakai parasut, menaiki pesawat terbang saja baru akan terjadi dalam enam puluh menit ke depan. Semua semangatnya karena akan menaiki pesawat meleleh seketika saat Tommy benar-benar berada di bandara. Dia duduk di terminal keberangkatan domestik Bandara Internasional Husein Sastranegara Bandung, di dekat jendela kaca yang sangat besar, di mana Tommy bisa melihat jejeran pesawat bermesin baling-baling sedang terparkir. Saat Tommy tiba barusan, sebuah pesawat Air Asia berwarna merah baru saja terbang di hadapannya.

Lalu semua pikiran buruk itu berdatangan, membuatnya merasa sangat gugup.

“Kemungkinan sebuah pesawat jatuh itu satu berbanding empat juta,” kata Miza kemudian. “Kesempatan elo naik pesawat seumur hidup, belum tentu empat juta kali. Yang kerja jadi pramugari aja enggak terbang sampe empat juta kali seumur hidupnya. Jadi masih banyak persentase elo mendarat lagi dengan selamat dibandingkan elo pulang-pulang tinggal nama.”

“Tapi, kan masih ada persentase pesawatnya jatuh!” kilah Tommy panik.

“Ada. Tapi statistik bahkan bilang, dari semua pesawat yang jatuh, lebih dari 80% penumpangnya selamat. Yang justru membuat persentase elo meninggal karena naik pesawat makin kecil lagi.” Miza memberikan senyum yang menenangkan. “Hari ini ada jutaan orang terbang pake pesawat di seluruh dunia. Elo cek berita hari ini, ada berapa orang yang mati karena pesawat?”

Tommy tahu jawabannya adalah nol manusia. Bahkan hari kemarin. Atau lusa kemarin. Dalam seminggu terakhir, tidak ada satu pun kecelakaan pesawat yang terjadi di belahan Bumi mana pun, apalagi yang merenggut nyawa penumpang.

Tapi, kan bisa jadi penerbanganku yang inilah yang kecelakaan berikutnya, batin Tommy negatif.

“Tarik napas dalam-dalam dan hadapi aja, Tom. Di situlah sebuah perjalanan dimulai. Kaki elo harus mau melangkah ke ketidakpastian, keluar dari zona nyaman, menemukan hal baru dalam hidup. Enggak ada gunanya elo tetep duduk di tempat karena takut nyawa ilang. Elo duduk di rumah aja nyawa bisa ilang, kok. Kan umur enggak ada yang tahu. Selalu ingat Tom, hidup ini sebuah perjalanan, bukan jaga toko. Semua orang bakal ketemu ending masing-masing. Jadi mending perjalanan menuju ending elo diisi sama pengalaman-pengalaman kece kayak begini.” Miza menunjuk pesawat terbang.

Tommy menengadah dan mengamati jejeran pesawat yang terparkir rapi itu. Dia belum seratus persen menyetujui kata-kata Miza. Bagi Tommy hidup yang sempurna adalah bekerja jadi PNS, punya istri dan anak dua, diam di rumah bersama keluarga, meninggal umur 70 tahun karena penyakit tua. Namun kata-kata Miza ada benarnya, dan Tommy mulai berani membuka perspektifnya ke arah sana.

Miza tiba-tiba mengulurkan tangan, dan menunjukkan telapak tangannya. “Kalau elo masih ngerasa takut, gapapa. Itu wajar. Rasa takut diciptakan semesta supaya kita selalu waspada.” Miza kemudian mengambil tangan Tommy dengan satu tangannya yang lain, dan meletakkan tangan itu di atas tangannya sendiri. Miza menggenggamnya. “Elo cuma perlu pegang tangan gue ini entar di penerbangan setiap kali elo merasa butuh bantuan gue. Maka gue bakal selalu siap sedia buat elo.”

Semua pikiran buruk itu pada akhirnya sirna ketika Tommy benar-benar masuk ke dalam pesawat. Yang ikut dalam perjalanan travelustration ini ada Tommy, Miza, Alvian (senior kelas XII), Ruli (kelas XI), Qonita (kelas XI), dan Shasha (kelas X). Suasana kabin pesawat seperti di dalam bus, dengan masing-masing dua pasang kursi setiap baris, dipisahkan oleh satu koridor panjang di bagian tengah. Tommy duduk bersama Miza, Alvian bersama Ruli, dan Qonita bersama Shasha. Pengaturan tersebut juga berlaku untuk kamar hotel nantinya.

Tommy agak mempertanyakan mengapa Miza tidak sekamar atau duduk bareng Alvian, yang merupakan senior tertinggi setelah Miza. Namun Tommy tidak berencana protes, karena kayaknya oke juga bisa sekamar dengan sosok pemuda tampan yang berpengetahuan luas.

Tommy beusaha menjadi penumpang yang baik. Ketika demo keselamatan dipraktikkan, Tommy mengamatinya dengan saksama. Dia juga membaca kartu petunjuk keselamatan, baik yang bahasa Indonesia, maupun yang bahasa Inggris. Lama-lama Tommy jadi keasyikan sendiri menikmati penerbangan itu.

Benar kata Miza, pikir Tommy dalam hati. Kalau waktunya mati, duduk di sofa rumah pun kita bisa mati. Meninggal gara-gara pesawat hanya satu dari miliaran kemungkinan saja.

Namun, setelah dua puluh menit mengudara dan Tommy menghabiskan makanan yang disajikan pramugari, tak ada apa pun yang menarik dalam perjalanan. Tommy duduk dekat jendela, sehingga dia bisa melihat ke luar, ke hamparan awan-awan yang berkumpul seperti gula-gula kapas berwarna putih.

“Kita mau masuk musim hujan,” ujar Miza di tengah berisiknya suara baling-baling di luar. “Pemandangannya bakalan kebanyakan awan-awan.”

Tepat ketika Miza selesai berbicara, pesawat tiba-tiba bergoyang. Seolah-olah Tommy sedang naik perahu kecil di atas danau, lalu perahunya oleng. Atau seperti menaiki mobil melewati jalanan berlubang.

Tommy membelalak ketakutan dan buru-buru memegang tangan Miza di sampingnya. Tangan itu digenggam dengan erat seraya memejamkan mata. Goyangan yang terjadi berlangsung sekitar 15 detik saja, tetapi cukup membuat Tommy ketakutan.

“Dan itu namanya turbulens,” kata Miza sambil tersenyum lebar. “Santuy aja, Bro. Elo bisa buka mata elo.”

Tommy membuka matanya perlahan-lahan. Pandangannya diedarkan ke sekeliling dengan hati-hati. Tampaknya seluruh bagian pesawat masih tersambung. Penumpang juga enggak ada yang hilang. Namun meski Tommy tahu dia baik-baik saja, dia tak melepaskan genggaman tangan itu.

“Coba elo tidur aja, supaya nggak nervous. Penerbangannya masih sekitar satu jam lagi ke Surabaya.”

Tommy mengangkat bahu. “Kayaknya aku enggak bisa tidur.”

“Mau gue bantu turunin sandaran kursinya?”

Tommy menggeleng. “Bukan. Maksudnya, aku enggak tahu apa aku bisa tidur.”

Miza mencoba mencari ide. “Oke. Gue biasanya bikin orang tidur dengan cerita membosankan gue tentang perjalanan Ketapang-Pontianak, yang menurut orang enggak ada bagian menarik, tapi menurut gue sih memorable.” Lalu Miza memiringkan tubuhnya condong ke arah Tommy, menawarkan bahunya yang lebar itu di depan wajah Tommy. “Elo bisa coba rebahin kepala elo di bahu gue, sambil gue cerita, kita lihat apa elo ketiduran atau nggak.”

Tommy tak yakin dirinya bisa melakukan itu. Bersandar di bahu Miza kan jadinya kayak orang pacaran—meski Tommy pengin banget melakukannya. Tommy menegakkan tubuh dan memindai seisi kabin. Nyaris semua orang sedang tertidur pulas. Alvian dan Ruli yang duduk di seberang mereka bahkan merebahkan sandaran kursi, tertidur lelap dengan mulut menganga. Dua-duanya. Qonita dan Shasha pun sama. Dan puluhan penumpang lain yang tampaknya memilih tidur daripada menatap awan-awan di luar jendela. Ada beberapa orang yang mengobrol, tetapi mereka duduknya jauh sekali dari tempat Tommy duduk. Pramugari sudah berhenti bolak balik keliling kabin.

Tommy merasa lebih nyaman untuk merebahkan kepalanya sekarang. Dengan tangan yang masih menggenggam, Tommy menemukan wajahnya menempel di bahu Miza, menghidu aroma khas cowok cerdas ini.

“Jadi suatu hari, gue traveling ke tempat yang orang jarang datangin buat wisata: Ketapang,” mulai Miza.

Tommy mencoba mendengarkan dengan saksama, meski kemudian dia lebih tertarik mengamati sosok Miza di sampingnya ini. Sebagian dari cerita panjang Miza itu tak Tommy dengarkan. Mata Tommy sibuk mengamati hasta lengan Miza yang kokoh dan bertulang besar. Lalu bagaimana perutnya kembang kempis karena bernapas. Lalu celana jinsnya, belel tapi keren. Apa pun gestur animatif yang dilakukan tangan Miza yang satunya lagi, Tommy mengamatinya dengan tertarik tetapi tak mendengarkan cerita Miza sedikit pun.

Dia bisa jadi merindukan Arthur yang telah bersikap begitu manis kepadanya. Atau Jerome yang bertingkah aneh sebelum kepergiannya. Namun kehadiran Miza mampu menggantikan posisi-posisi menyenangkan itu. Seolah-olah Tommy tak akan kehabisan stok cowok-cowok ganteng yang bersedia perhatian kepadanya.

Tommy tidak tahu apa yang begitu istimewa darinya. Baginya, dia adalah apa yang orang-orang katakan tentangnya. Banci, tidak menarik, banci, tidak pintar, banci, dan tidak populer. Kata banci harus disebutkan tiga kali karena sepanjang tumbuh kembangnya hanya itulah yang bergaung dari mulut orang-orang tentangnya. Panggilan tersebut terdengar menyakitkan. Seolah-olah menjadi banci sama dengan menjijikkan. Sehingga Tommy bertekad untuk mengubah dirinya, atau “menyembuhkan” dirinya, demi membuat orang-orang berkata lain tentangnya.

Tak apalah disebut pendiam, asal jangan disebut banci. Tak apa kalau suatu hari Tommy harus memaksa diri pacaran dengan cewek, asal jangan disebut banci.

Akan tetapi perlakuan-perlakuan manis seperti ini, haruskah Tommy lalui begitu saja?

Tidak bisa. Tommy seorang Scorpio. Hal-hal intim dan sensual tak mungkin dia lalui begitu saja. Tekadnya mengubah diri sangatlah kuat seperti halnya semua Scorpio yang jago bertransformasi. Namun sebagai Scorpio pula, setiap hal selalu dapat disimpan sebagai rahasia. Mengubah penampilan atau gestur menjadi cowok straight, tidak berarti Tommy berubah menjadi straight. Identitas dirinya sebagai gay masih disimpan Tommy dalam-dalam di sebuah ruang gelap dalam hatinya. Yang kalau dibangkitkan seperti saat ini, seperti saat Miza memintanya merebahkan kepala di bahunya, bagian rahasia tersebut tak akan malu-malu untuk keluar dan menunjukkan diri.

Tommy tetap tak akan mengaku gay meski sekarang sedang menikmati bahu Miza. Tommy pun tak akan pernah menolak semua kesempatan yang akan membuatnya bahagia.

Tommy tertidur di bahu Miza pada akhirnya, dibangunkan oleh sang empunya bahu beberapa menit sebelum mendarat. Namun genggaman tangan itu tak pernah lepas hingga akhirnya pesawat parkir dengan sempurna dan lampu tanda sabuk keselamatan telah dipadamkan. Tommy tak paham mengapa Miza bersedia menggenggam tangan Tommy selama itu. Padahal Tommy sudah berhenti ketakutan sejak Miza memintanya merebahkan kepala di bahunya.

Perjalanan menuju hotel cukup jauh. Pesawat mendarat di Sidoarjo, lalu rombongan menaiki taksi menuju sebuah hotel di utara Surabaya, dekat dengan Jembatan Suramadu. Sebelum check in, mereka menyantap makan malam di sebuah warung tenda pinggir jalan dekat hotel, sambil membahas rencana perjalanan esok hari. Mereka akan beristirahat malam ini, sebelum observasi dilakukan pagi-pagi sekali di pulau seberang. Apalagi ketika mereka tiba di resepsionis hotel, waktu sudah menunjukkan pukul 22.47.

Tommy membuntuti Miza menyusuri koridor di lantai delapan hotel. Kebetulan mereka tidak satu lantai bersama yang lain, sehingga keduanya turun duluan dari lift. Tommy mulai merasa gugup lagi. Dia akan satu kamar bersama founder travelustration, yang sudah traveling ke mana-mana, berpengetahuan luas, dan sepanjang sore ini tampak begitu menawan. Tommy tak mau menyebutkan lagi soal paras Miza, tapi apa mau dikata, memang cowok itu ganteng seperti artis Thailand yang tersohor. Ditambah bekas cukuran jambang dan kumis, postur tubuh tegap dan jangkung, dan lengan-lengan yang kokoh itu, Tommy tak yakin bisa tidur dengan tenang malam ini.

Tommy hanya berharap, ranjangnya diletakkan agak berjauhan dari ranjangnya Miza, supaya Tommy tak punya alasan kuat untuk sange atau mengagumi Miza dalam gelap sepanjang malam.

Ketika Tommy dan Miza memasuki kamar, shit, ranjangnya hanya satu, ukuran King.

Elo gapapa kan seranjang ama gue?” tanya Miza, menatap King Size bed yang dilapisi bedcover dan bedsheet putih bersih. Ada empat bantal ditumpuk di kepala tempat tidur. “Katanya hotel lagi penuh. Twin bedroom kepake semua ama yang lagi meeting dari Kementerian Perhubungan di Surabaya.”

Gapapa, kok Kak,” jawab Tommy.

Jelas apa-apa! jerit Tommy dalam hati.

Sekarang Tommy merasa canggung harus melakukan apa. Tommy meletakkan ranselnya di lemari, duduk di sebuah sofa, lalu pura-pura main ponsel. Dia mengamati pergerakan Miza di dalam kamar yang tampaknya tak pernah kehabisan ide mau ngapain.

Miza meletakkan semua peralatannya di lemari juga, menyimpan laptop di atas meja, melepas kemejanya dan menyampirkannya di kursi, melepas sepatu sembari mengatakan sedikit pengalamannya di Surabaya dulu, masuk kamar mandi untuk membereskan peralatan mandinya, menelepon seseorang di Surabaya untuk koordinasi penyewaan mobil besok, menelepon Alvian di kamarnya untuk minta dikirimkan email dari sponsor, memanaskan air dan menyedut teh kamomil, bahkan berdiri di depan jendela sambil menatap keluar dan menyesap tehnya dengan nikmat. “Tuh, Suramadunya kelihatan dari sini. Elo bisa lihat enggak lampu-lampunya?”

Tommy menoleh dan menemukan apa yang Miza maksud. Namun Tommy lebih takjub karena Miza ini energinya banyak sekali. Semua yang dia lakukan barusan durasinya sama dengan Tommy duduk-duduk di sofa sambil menggulir Instagram.

Sesekali Tommy mendapati dirinya terpana mengamati Miza. Ada bagian dari dirinya yang ingin sekali menghabiskan waktu panjang bersama sosok jangkung itu. Bahkan, Tommy merasa iri karena si “kembaran” Tommy pernah menghabiskan dua minggu dalam sebuah perjalanan darat bersama Miza. Bayangkan itu, Tommy belum kenal, tapi sudah iri. Karena pasti rasanya asyik sekali bertualang bersama cowok yang tahu segalanya, dan bersedia menggenggam tanganmu saat kamu ketakutan.

“Ceritain dong soal sobat Kakak itu,” kata Tommy akhirnya, memberanikan diri. Tommy bangkit dari sofa untuk mengambil secangkir seduhan teh kamomil lain yang disiapkan oleh Miza tadi. “Yang mirip sama aku.”

“Stevan?” ulang Miza.

“Ya,” jawab Tommy. Lalu menambahkan dalam hati, aku pengin tahu apa yang Stevan lakukan sehingga berhasil gabung dalam perjalanan asyik bersama Kak Miza.

“Dia ... agak keras kepala,” kata Miza, mulai memelankan kecepatan bicaranya. Suaranya juga tidak sekeras tadi. “Punya satu obsesi yang kuat, yang selalu dia wujudkan sesegera mungkin, enggak mau sabar menunggu hasil terbaik. Dan dia gampang terpengaruh sama apa kata orang. Itu semua ditambah dia enggak bisa dikasih tahu apa yang salah yang dia lakukan. Malah dia ngotot ngebuktiin bahwa dia benar, padahal ujung-ujungnya salah.”

Hm. Tidak terdengar seperti orang yang keren, batin Tommy. Dia membayangkan Stevan ini sama kerennya dengan Miza. Pintar, berprestasi, tahu banyak hal, jago olahraga, jago menyelesaikan masalah, baik, perhatian, berdedikasi, de el el, de el el.

Jeda selama lima menit dalam hening. Tommy tak tahu harus bertanya apa lagi, karena jawaban Miza tadi terdengar tidak menyenangkan. Maksudnya, sosok Stevan itu kok bukan orang yang oke, gitu. Tommy jadi penasaran mengapa Miza ingin sekali bertemu Stevan kembali?

Miza tiba-tiba meletakkan cangkirnya di atas meja. Kemudian menggeliat dan melucuti kausnya dari tubuh. Tommy membelalak kaget seraya melempar pandangan ke arah lain. Kenapa Miza harus buka baju di depan aku?! pekik Tommy dalam hati.

Kemaluan Tommy, seperti dugaan, langsung menghangat dan mengeras.

“Gue mau mandi dulu,” kata Miza.

“Oke. Kakak duluan aja.”

Miza menghilang di kamar mandi, melakukan sesuatu dengan botol-botol yang dibawanya, lalu beberapa saat kemudian Tommy mendengar kucuran air shower. Mendapati fakta bahwa seorang cowok menarik sedang mandi saja membuat Tommy panas dingin. Tommy memutuskan untuk membuka ranselnya dan menyiapkan saja peralatan mandinya. Siapa tahu setelah mandi nanti, dia bisa langsung menghantam kasur dan tidur. Kalau perlu Tommy tidur duluan supaya tidak tergoda melecehkan Miza dalam tidurnya.

Lemari tempat menyimpan ransel berada tepat di depan kamar mandi. Betapa terkejutnya Tommy saat mendapati pintu kamar mandi terbuka setengah. Dari luar, Tommy dapat melihat pantulan cermin besar yang ada di dalam, menampilkan sosok telanjang Miza sedang menyabuni seluruh tubuhnya. Yang kelihatan memang punggung dan pantat Miza saja, sih. Namun tetap saja. Miza. Telanjang. Mandi.

Tommy tidak jadi mengambil peralatannya. Dengan panik dia duduk di atas tempat tidur, berusaha untuk tidak bersikap kurang ajar. Miza keluar beberapa saat kemudian, membalut bawah perutnya dengan handuk setelah mengeringkan rambutnya yang basah.

Tommy tak ingin Miza berpikiran yang bukan-bukan, sehingga Tommy dengan segera mengklarifikasi, “T-tadi aku lagi ngambil baju. Maaf, Kak aku enggak sengaja lihat ....”

“Emang gue buka pintunya,” jawab Miza, sambil mengaduk ransel mencari celana.

“K-kenapa?”

“Ya siapa tahu elo mau pipis. Jangan sampe lah kebutuhan buang air elo keganggu cuma gara-gara gue lagi pake kamar mandi buat mandi. Iya enggak?”

Logikanya benar, sih. Tapi kan enggak gitu juga, batin Tommy. Enggak ketika aku homo, gitu.

“Satu lagi, yang belum gue ceritain,” ujar Miza, mengenakan celana pendek di balik handuk, lalu melepaskan handuk itu dan merapikan celananya. Miza berdiri di depan tempat tidur, setengah telanjang menghadap Tommy, membuat bocah itu panas dingin lagi. “Stevan gay. Dan dia terobsesi lihat cowok telanjang. Siapa tahu elo punya keinginan yang sama, gue enggak mau ngehalangin keinginan elo itu dari terkabulkan.”


To be continued ....


<<< Part 30  |  Nude  |  Part 32 >>>

Nude 33

  ssendrawkwA emitefiL .33     Pada suatu pagi lima tahun lalu, Miza bangun lebih pagi dari biasanya meski semalaman tak bisa tidur. D...