ssendrawkwA emitefiL .33
Pada suatu pagi lima tahun lalu,
Miza bangun lebih pagi dari biasanya meski semalaman tak bisa tidur. Dia
menatap ranselnya yang sudah dipenuhi oleh impian dan rencana. (Dan baju-baju,
alat mandi, alat kesehatan, alat safety,
peta, jas hujan, tenda, dan lain-lain.) Satu ransel lagi dia siapkan juga untuk
seseorang, tetapi sebuah insiden membuatnya harus menyingkirkan sebagian
mimpinya itu.
Tak
apa, batin Miza.
Setengah mimpi yang tersisa tetap harus mengudara.
Miza memasukkan buku rencana
perjalanan dan mengecek beberapa voucher
hotel yang sudah dipesan sebelumnya. Semua atas nama Amizade Adhyastha, nama
lengkapnya sendiri. Setelah mandi air hangat cukup lama—karena belum tentu
dalam perjalanan satu bulan ke depan dia bisa ketemu kucuran shower senikmat ini—Miza menuruni tangga
dengan bersemangat. Dua ayahnya sudah bangun juga, menyiapkan sarapan dan bekal
makan siang untuk dibawa.
“Pagi, Pa! Pagi, Yah!” sapa Miza
sambil langsung meneguk air putih dari dispenser.
“Semua sudah dicek belum?” tanya
Dedy, ayah kandungnya.
“Udah, Pa.” Miza mengambil botol
minum yang akan dibawanya, lalu mengisinya dengan air.
“Tiket-tiket? Uang tunai?” tanya
Surya, suami ayah kandungnya. “Nanti kamu singgah di desa-desa enggak ada ATM, lho.”
“Aku pegang lima ratus ribu buat
sekarang. Tapi di Tasik pasti ada ATM, lah. Entar ngambil di sana aja.”
Ayah kandung Miza, Dedy adalah
seorang gay. Setelah bertahun-tahun
menikah dengan ibunya Miza, Dedy menceraikan istrinya untuk kemudian menikahi
lelaki idamannya, Surya. Karena Surya bekerja di sebuah organisasi pemerintah
Belanda berbasis di Bandung, menangani tenaga kerja warga negara Belanda di
Jawa Barat, Surya punya semacam hak istimewa untuk melegalkan pernikahannya
dengan Dedy di Amsterdam. Keduanya memenangkan hak asuh atas Miza, sehingga
selama empat tahun terakhir Miza tumbuh di sebuah keluarga non-konvensional
Indonesia.
“Oh iya,” sahut Miza teringat
sesuatu, “ransel satu lagi di mana?”
“Yang kamu pengin buang itu?”
tanya Dedy.
Miza menyipitkan mata dengan
canggung. “Enggak
harfiah buang juga, sih. Sayang banget itu ada tenda sama perlengkapan lainnya
di dalam tas—“
“Enggak dibuang, lah,” potong Surya.
“Papa simpan aja.”
Miza manggut-manggut. “Oke. Aku
berangkat dari rumah jam 8-an, ya. Ke Cicaheum.”
“Mau diantar?”
“Boleh.”
Perpisahan itu nyatanya lebih
berat dibandingkan apa yang mereka bayangkan. Mungkin karena Miza nyaris setiap
hari menceritakan detail perjalanannya, Dedy dan Surya mengira akan mudah
melepas bocah itu melanglang buana sendirian ke Nusa Tenggara. Hanya sebuah
ransel berisi perlengkapan penuh dibawa Miza. Persis Dora the Explorer.
Jadinya, pelukan mereka cukup lama di dalam mobil yang terparkir dekat gerbang
masuk Terminal Cicaheum.
“Udah, Yah. Entar aku ketinggalan
bus yang ke Banjar.” Miza menggerutu.
Dedy dan Surya dua-duanya
menitikkan air mata. “Kamu hati-hati, ya Nak. Jangan percaya sama orang asing
yang belum kamu kenal-kenal banget.”
“Iya.”
“Dan jangan lupa minum air putih,
pokoknya kamu jangan sampai dehidrasi.”
“Iyaaa ....”
“Kalau banyak nyamuk di sekitar,
Autannya dipake, ya. Papa masukin di pinggiran ransel—“
“Iyaaa ....”
“Jangan padukan baju merah sama
celana ijo, pokoknya. Secara fashion
itu enggak
nyambung.”
Miza memutar bola mata lalu
mengecup pipi kedua ayahnya. Dia turun dari mobil dan menyusuri rentetan bus
yang akan bertolak ke semua tujuan di timurnya Kota Bandung. Miza merasa
bersemangat sekali karena akhirnya dapat mewujudkan perjalanan ini. Sudah sejak
lama rencana perjalanan disusun, tetapi inilah hari pertama Miza benar-benar
melaksanakannya.
Tujuan pertama adalah bus menuju
Banjar, Tasikmalaya. Miza celingukan untuk mencari apakah ada alternatif bus
yang lebih baik—murah tapi nyaman. Namun pandangannya justru jatuh ke seseorang
yang berdiri kira-kira sepuluh meter darinya. Miza kenal orang itu. Sosoknya
memenuhi benak Miza berminggu-minggu terakhir, mulai dari pengalaman
menyenangkan, hingga pengalaman paling pahit.
Nama bocah itu Stevan. Mengenakan
celana pendek, topi, dan ransel besar yang Miza kenal betul.
Sialan, batin Miza. Itu ranselnya Miza
yang pagi tadi seharusnya ada di belakang pintu, lalu Surya bilang “sudah
disimpan”. Itu adalah ransel yang memang rencananya mau diberikan kepada
Stevan. Miza tak bisa memungkiri bahwa ini adalah pemandangan yang
membahagiakan bagi Miza. Sahabat terbaiknya, akan ikut dalam perjalanan ini.
Ternyata mimpi Miza tidak
mengudara setengah saja.
Mimpi ini penuh.
Miza menelan ludah karena bingung
harus berkata apa sekarang. Secara teknis, Miza seharusnya membenci sosok ini.
Namun Miza tak sanggup berbohong bahwa dia rindu menghabiskan waktu bersamanya.
Jadi ketika Stevan menghampirinya, Miza hanya sanggup bertanya singkat,
“Ngapain?”
“Mau road trip,” jawab Stevan.
“Ke mana?”
“Ke Kupang.”
Sudut bibir Miza sudah ingin
berkedut untuk tersenyum. Namun Miza mencoba menguasai harga dirinya. “Elo mau ngikutin, ya?”
“Enggak,” jawab Stevan, sambil
memiringkan kepala. “Aku enggak
mau ngikutin. Aku mau jalan bareng sama kamu. Di samping kamu. Bukan di
belakang.”
Beberapa minggu sebelumnya, saat
Stevan berulang tahun, Miza menyiapkan kado kecil berupa rencana perjalanan
mereka ke Nusa Tenggara. Miza menuliskan bahwa dia ingin menemani Stevan meraih
impiannya dengan cara berjalan bersamanya, di sampingnya, bukan di depan atau
di belakangnya.
Itu
kata-kata gue, Bro,
batin Miza GR.
“Kenapa elo tahu gue ada di sini?”
tuntut Miza, tak mau terima.
Jutaan pertanyaan menghantui
benaknya. Siapa yang berkomplot memberikan ransel itu kepadanya? Siapa yang
memberitahunya bahwa Miza akan ada di sini pada jam segini? Mengapa dia bisa
tahu kutipan di hadiah ulang tahun Stevan itu, karena Miza merasa sampai hari
ini belum menyerahkan hadiahnya kepada Stevan.
“Karena aku tahu first stop kita bakal ke mana,” balas
Stevan.
Miza tak terima. “Elo, kan lagi sibuk nyari gigolo. Itu
yang terakhir gue denger.”
“Yaaa ... bener.” Stevan nyengir.
“Terakhir. Which means, enggak akan ada lagi. Ter ... a ...
khir.”
Miza masih tak terima. “Oh iya, elo lagi ngebet pengin jadiin kakak
elo sendiri
pacar elo. Gitu,
kan? Ke mana dia sekarang?”
“Sama orang yang tepat buat dia,”
jawab Stevan lagi, percaya diri. “Enggak tahu siapa, karena aku juga udah
sadar, dia bukan ‘teman seperjalanan’-ku mengarungi hidup ini. Apalagi sekarang
aku udah tujuh belas tahun. Aku harus jadi manusia dewasa. Aku bakal jalan
bareng ‘teman seperjalanan’ yang tepat buat aku.”
“Siapa?”
“Kamu mau tahu namanya?”
Miza GR dan salah tingkah bukan
main. Dia yakin sekali yang dimaksud itu dirinya, dan dia sungguh berbahagia
mendengar Stevan sudah kembali ke kesadarannya. Namun karena gengsinya tinggi,
Miza mengelak, “Enggak
juga, sih. Terserah elo
aja.”
“Namanya Miza,” jawab Stevan.
“Orangnya baiiik, banget. Suka sama Linkin Park, Liverpool, sekaligus Michael
Buble. Dia orang paling toleran yang pernah aku kenal. Dia berani nyelamatin
sahabatnya dari jurang yang mematikan. Dia juga jujur, penuh kejutan, dan punya
impian besar yang, hmmm ... aku nggak tahu harus balas budi kayak gimana andai
dia ngajak aku gabung di impiannya itu. Dan, terakhir yang aku dengar, dia
sayang sama aku.”
Miza menahan tawa. Karena, ya, benar gue sayang elo, batinnya.
Namun bukan Miza namanya sebelum mengetes Stevan untuk kali terakhir. “Kenapa
lo sepede ini, datang ke sini bawa ransel yang gue simpen di balik pintu,
berlagak kalau gue bakal ngajak lo jalan?”
Stevan menghela napas panjang. “Enggak, aku enggak pede. Aku enggak butuh pede malah.” Dia
mengeluarkan sebuah buku yang rencananya akan Miza berikan kepada Stevan pada
perayaan ulang tahunnya kemarin. Miza tak tahu dari mana Stevan bisa
mendapatkan kado itu. Namun dia lebih gembira karena Stevan sudah menerimanya.
“Aku cuma ngikutin apa yang ada di buku ini. Peta harta karun. Petualangan yang
enggak akan
pernah aku lupakan. Barengan orang yang aku yakin bisa jaga aku meski kita
harus lompat-lompat dari Bali, ke Lombok, ke Flores, ke Kupang, ke ... mana
ini?”
Miza melihat pulau yang ditunjuk
Stevan di buku. “Itu Waingapu.”
“Nah, iya, itu. Waingapu. Aku cuma
pengin wujudin semua yang udah ditulis orang itu di sini. Balap sepeda di bekas
bandara Lombok? Oke!”
Akhirnya Miza nggak tahan lagi.
Dia merangkul Stevan dengan erat dan bertanya, “Elo ke mana aja, Van?”
“Kak?”
“Kenapa elo hilang dari gue?”
“Kakak?”
Kemudian Miza terbawa kembali ke
2020 di mana situasi dan kondisi sudah benar-benar berbeda. Sosok yang ada di
hadapannya benar-benar mirip Stevan, tetapi itu bukan Stevan. Dengan canggung
Miza melepaskan pelukan itu dan mencoba menyusut air di sudut matanya.
“Oh, sorry. Sampai mana kita tadi?”
Tommy mengerutkan alisnya. “A-aku
tadi nanya ke Kakak, kunci kamar mau dibawa siapa? Aku atau Kak Miza?”
Miza menarik napas panjang dan
segera memutuskan. “Elo
aja yang pegang. Oke? Jangan hilang, ya.”
* * *
Tak terjadi apa-apa di kamar hotel
semalam. Antara Tommy menyesalinya, atau mensyukurinya. Tommy tak ingin menjadi
anak kurang ajar dengan meraba-raba alumni ganteng saat mereka tertidur.
Padahal kesempatan itu ada. Dan besar. Persis kayak semua video porno prank straight di Twitter, di mana si
pemilik akun menggerayangi kawan straight-nya
sambil memvideo, lalu dia menjual videonya.
Tommy enggak kepikiran untuk bisnis prank straight, sih. Meskipun dia sudah
punya tiga calon klien yang gantengnya luar biasa, dan pasti bisa dijual
tinggi. Enggak, enggak, enggak. Membayangkan dirinya meraba
straight yang sedang tidur pun sudah
merasa sangat jahat. Tommy penasaran, dari mana para gay nekat ini punya keberanian untuk menggerepe orang yang sedang
tidur? Kalau Reynhard kemarin, kan menunggu korbannya mabuk. Kalau orang-orang
di Twitter ini, kan pas korbannya sedang tidur. Gimana kalau mereka terbangun,
lalu awkward sepanjang masa?
Tommy enggak mau mengambil risiko itu.
Tommy hanya menarik selimutnya lebih tinggi, memunggungi Miza, dan berdoa tidak
kena sial atau apa. Meski pada akhirnya Tommy terpaksa harus berbalik ke arah
Miza (karena pegal di satu posisi terus-terusan), lalu Tommy harus melihat
siluet tampan itu tidur bertelanjang dada.
Pagi tadi akhirnya Tommy
masturbasi di kamar mandi. Kucuran air shower
dinyalakan deras, kelaminnya dikocok oleh sabun. Topik onaninya adalah Kak
Miza. Semua rekaman Miza mulai dari dipergoki mandi tanpa pintu dikunci hingga
semalaman tidur telanjang dada, diputar kembali oleh Tommy sambil berfantasi.
Selesai sarapan dan bersiap-siap,
Tommy merasakan Miza agak lain. Seniornya itu melamun sepanjang pagi,
memikirkan sesuatu. Ketika mereka bersiap untuk berkumpul di lobi, Miza
tiba-tiba memeluknya sambil menangis. Cowok itu menyebutkan nama Stevan
berkali-kali. Tommy harus menepuk-nepuk punggung Miza untuk membangunkannya
dari khayalan. Setelah Miza sadar, sepanjang hari cowok itu tampak normal.
Perjalanan ke Pulau Madura
ditempuh dalam waktu singkat. Menuju Pulau Maduranya sih hanya beberapa menit,
tetapi setelah menyeberangi Jembatan Suramadu, masih ada dua jam lagi bagi
mobil untuk tiba di tempat tujuan. Pemerintah Kabupaten Sumenep tertarik
mengajak travelustration untuk
berkeliling beberapa wisata pantai di Pulau Madura dan melukisnya ke dalam
ilustrasi. Disokong oleh sponsor perusahaan-perusahaan lokal (kebanyakan
garam), travelustration punya dana
untuk sebuah kegiatan panjang selama tiga hari di Madura, seraya mempromosikan
wisata lokal.
Posisi duduk di mobil terbagi
menjadi seperti ini: Miza duduk di depan di samping sopir; Alvian, Ruli, Tommy di jok tengah;
Qonita dan Sasha di jok belakang. Mungkin karena terpisah, fokus Miza sudah tak
jatuh pada Tommy seorang. Miza melayani semua candaan atau pertanyaan dari
anggota travelustration yang ikut
serta. Tidak seperti perjalanan dari bandara ke hotel, di mana Miza dan Tommy
duduk di jok paling belakang, saling berpegangan tangan sepanjang perjalanan.
Ruli orangnya kepo dan banyak omong. Sepanjang jalan dia mengoceh terus-menerus,
membuat Alvian kesal. Tommy di lain sisi justru bersyukur Ruli banyak omong,
karena berarti dirinya tak perlu mengatakan apa-apa dalam perjalanan. Tommy
bisa tenggelam dalam musik melalui earphone
sambil menatap ke luar jendela.
Semuanya begitu damai sampai
akhirnya Shasha, yang duduk tepat di belakang Tommy mencolek bahunya. “Pst!
Kamu lagi dengerin lagu apa?” tanyanya kepo.
Tommy melepas earphone dan mematikan lagunya melalui tombol yang tersedia pada
kabel. Karena dia tahu setiap genre musik sering diasosiasikan dengan gender
atau orientasi seksual tertentu, Tommy pun menjawab, “Avenged Sevenfold,” meski
itu omong kosong. Tommy sebenarnya sedang mendengarkan Boy With Luv-nya BTS berulang-ulang, tetapi tak mau dianggap gay karena mendengarkan lagu-lagu Korea.
Saat SMP, anak-anak cowok maskulin sering menyebutkan soal Avenged Sevenfold,
dan Tommy merasa itu maskulin banget, jadinya kalau ditanya soal lagu ya itulah
jawaban Tommy.
Seumur hidup Tommy belum pernah
mendengarkan lagu Avenged Sevenfold.
“Judulnya apa?” tanya Shasha lagi,
kepo.
Tommy jelas tak tahu jawabannya.
“Yang terkenal itulah,” jawabnya. Kemudian Tommy lepaskan earphone satunya lagi supaya dianggap sudah tidak tertarik
mendengarkan lagu.
“Yang judulnya Dear God?”
Tommy tidak tahu sama sekali.
“Iya.”
“Aku kemarin video call-an sama Yana, Udin, sama Karyo, temen-temen kamulah,”
kata Shasha.
Mereka
bukan temanku, ya Tuhan ...,
batin Tommy tak percaya. Namun Tommy tak punya kesempatan menyela karena Shasha
mencerocos terus-menerus, bahkan ketika Ruli sedang heboh membahas kerbau yang
dilihat di pinggir jalan tadi, “Pasti itu karapan sapi untuk ngaben, ya?”
Mungkin Shasha sengaja memanfaatkan kehebohan itu untuk bicara dengan Tommy, karena
Miza, Alvian, dan Qonita tentu saja langsung menanggapi komentar Ruli dengan
berisik.
“Si Yana tuh pengin minta bantuan
kamu,” bisik Shasha sambil cekikikan sendiri.
Tommy tidak terlalu dekat dengan
Yana, tetapi dia cukup sering bertemu. Khususnya saat Tommy ada urusan dengan
Karyo dan Baharudin, biasanya Yana mengekor di sekitar mereka. Orangnya ramah,
sebenarnya. Jembatan antara Karyo dan Baharudin yang sifatnya berbeda. Kalau
bertemu di koridor, Yana akan menyapa duluan (beberapa kali Tommy tak menggubrisnya
karena takut orang-orang mengira Tommy bersahabat dengan trio banci). Mendengar
Yana ingin meminta bantuannya bagi Tommy terdengar aneh.
“Bantuan apa?”
Shasha mengedikkan kepalanya ke
arah Miza yang duduk di depan. Miza sedang menggelengkan kepala sambil menoleh
ke arah Ruli. “Bukan ngaben kali, Rul. Ngamen!” Tawa Miza lebar sekali.
“Jangan bilang-bilang, tapi.”
Tommy memutar bola mata. Shasha
tak bisa melihatnya karena Tommy sedang menghadap ke depan.
“Nanti aku bilang pas udah sepi,
ya.”
Tommy sama sekali tidak menunggu
momen itu. Namun Shasha benar-benar serius ingin meminta bantuan Tommy. Atau
secara teknis, Yana yang meminta bantuan. Ketika mereka tiba di pantai pertama
Kabupaten Sumenep, Pantai Slopeng Shasha langsung menarik Tommy menepi.
Kebetulan Miza langsung memberikan komando jelas pada ketibaan mereka.
“Gue ma Alvian mau cari management lokal dulu. Kalian ambil foto
sebanyak mungkin spot-spot yang bisa
dipake buat ilustrasi. Qonita, elo
observasi retail sekitar, ya.”
“Oke, Kak.”
Miza dan Alvian menghilang mencari
kantor management pantai. Shasha langsung menarik Tommy ke sudut yang cukup
jauh dari Ruli maupun Qonita. Cukup banyak orang berkunjung ke Pantai Slopeng
siang itu, mungkin karena ini hari Sabtu. Pantainya memanjang lurus dengan
pasir putih, tidak ada bebatuan granit maupun karang-karang yang menghalangi.
Tommy terpukau dengan keindahannya, karena terakhir kali ke pantai Tommy
mengunjungi Pangandaran. Bagi Tommy, Slopeng ini jauh lebih indah dibandingkan
Pangandaran.
“Yana suka sama Kak Miza,” ujar
Shasha tiba-tiba, ketika Tommy sedang asyik mengambil beberapa gambar. “Dia
naksir pas travelustration demo ke
kelas-kelas pas MOS.”
“Oh, ya?” balas Tommy
malas-malasan.
Pertama, itu bukan urusannya.
Kedua, Miza ini ganteng. Wajar kalau ada yang naksir. Kalau enggak ada yang naksir, baru itu
nggak normal.
“Iya. Dia udah nge-like semua foto Miza di Instagram.”
That is creepy, batin Tommy.
“Wow,” ungkapnya di mulut, kembali fokus mengambil foto. “Sangat berdedikasi.”
“Yana emang gay. Kayak kamu.”
Tommy tersinggung. Dengan sigap,
Tommy menyergah, “Aku bukan gay, ya!”
Hanya karena dulu pernah berbicara hati ke hati dengan Karyo dan Baharudian,
bukan berarti Tommy akan mengaku ke semua orang bahwa dia gay. Apalagi ini, Shasha. Siapa coba Shasha dalam hidupnya? Misal
dia tahu Tommy gay dari trio banci
itu pun, Shasha enggak
berhak menghakimi Tommy sebagai gay.
“Masa, sih?” Shasha menautkan
alis, tak percaya. Dia bahkan menatap Tommy atas bawah.
“Kamu temenannya sama gay, sih. Ya iyalah dia bilangin semua
orang gay,” ujar Tommy berkelit.
Tommy masih pada misi awalnya masuk sekolah ini, jangan sampai terdeteksi gay oleh siapa pun. Miza yang semalam
saja menunjukkan gejala-gejala, “I’m okay
with gay people cause my best buddy was also gay,” enggak membuat Tommy mengaku, “Yes, I’m gay too.”
Bagi Tommy, keamanan dirinya di
ujung tanduk kalau orang-orang tahu dia gay.
Revan saja sudah berani menendangnya di tempat umum hanya karena menguping
pembicaraan Tommy dengan Karyo dan Baharudin. Akan ada berapa orang yang
menendang Tommy begitu seisi sekolah tahu dirinya gay?
Tommy mulai memantapkan hati untuk
tidak berinteraksi dengan semua orang yang mempercayai bahwa Tommy gay.
Shasha tidak berusaha mendebat
itu, karena dia punya misi lain. “Jadi, karena kamu sekamar sama Kak Miza, Yana
mau minta bantuan. Tapi ini Yana, ya. Bukan aku. Aku sih ngecenginnya Kak Vian,
bukan Kak Miza.”
“Bantuan apa?”
Shasha menarik napas
panjang-panjang. Dia celingukan untuk memastikan tidak ada yang mendengarnya.
Ada sih beberapa orang yang lewat di dekat mereka, tetapi Shasha enggak kenal. “Yana pengin kamu
foto atau videoin Kak Miza pas lagi tidur.”
“What?!” pekik Tommy terkejut. “Itu nggak sopan, woy!”
“Please, katanya. Kalau perlu bayar, dia bayar, deh. Bukan fotoin aneh-aneh
Kak Mizanya telanjang atau apa. Foto diam-diam aja. Pas lagi
ganteng-gantengnya.”
“Enggak, ah,” tolak Tommy. “Ngambil
foto atau video diam-diam itu perbuatan kriminal,” lanjut Tommy, sambil
berusaha keras melupakan fakta bahwa
dia pernah merekam Jerome dan Sheena.
“Ayolah .... Entar aku nggak akan
bilang-bilang, kok!”
“Bilang-bilang apa?” Tommy mulai gusar.
“Bilang ke orang-orang kalau kamu lagi pedekate sama Kak Miza. Sepanjang jalan kemaren pegangan terus. Dibikin sekamar, pula. Apalagi kalau bukan lagi pendekatan. Bener, enggak?”
To be continued ....
<<< Part 32 | Nude | Part 34 >>>