Selasa, 18 Mei 2021

The Flying Paradise 30

 30 The Mastermind

 



Mastermind pembajakan The Flying Paradise ….

… adalah Harry.

The greatest actor of all time. Setidaknya bagi Jordan.

Jujur saja, Jordan datang ke apartemen Harry berharap dugaannya salah. Dia berharap Mora adalah satu-satunya pembajak yang mengeksekusi insiden tersebut. Jordan tak menyukai Harry, tetapi baginya tak mungkin dia menjadi bagian dari mata-mata. Hanya saja Jordan entah mengapa yakin Harry terlibat sedikit-banyak dalam pembajakan itu.

Pertama, Harry selalu memegang ponsel ketika pengumuman dari pembajak tampil di layar. Ada atau tidak ada Wi-Fi, Harry akan memegang ponsel. Jordan sempat mengabaikannya, tetapi sekarang semua masuk akal. Karakter Harry memang harus begitu. Harus karakter alay yang enggak bisa lepas dari handphone.

Namun bukannya pengecekan ponsel sudah dilakukan bersama-sama?

“Ya, kan gue ganti apps remote control-nya pake TikTok, Beb. Pake logo TikTok juga. Jadi enggak akan ada yang curiga. Siapa juga yang mau buka TikTok orang, hah?”

Damn! jerit Jordan dalam hati. Mereka nyariiisss … saja membuka TikTok pada saat itu.

“Kece, enggak?” tanya Harry sambil menyeruput fruit punch berwarna merah hingga habis setengah. “Aaahhh …. Dan gue sengaja ngebikin gue kelihatan kayak orang yang motifnya paling besar.”

“Kenapa?”

“Selain supaya gue diborgol belakangan dan bisa ketemu Mora, pun karena gue yakin yang zodiaknya berelemen tanah kayak Virgo dan Capricorn, bakal overthinking soal motif tersebut. And it happened! Hahaha …. Cute, eh? And by the way, gue Sagittarius. Bukan Leo.”

Itu adalah kecurigaan Jordan yang kedua. Memang, Harry Leo banget. Dia bertingkah 100% Leo. Namun dalam kondisi investigasi tertutup itu, Harry terlalu menunjukkan sifat-sifat utama Leo. Tanpa sedikit pun menunjukkan rasa takut, cemas, insecurity, dengan cara Leo. Ini agak-agak blur untuk dideteksi, tetapi dari sinilah Jordan mulai curiga.

Keleoan Harry terlalu sempurna. Saking sempurnanya, Jordan perlu curiga.

Sejak kedatangan Jordan ke apartemen, Harry tak ada niatan mengenakan baju. Dia mengajak Jordan duduk di salah satu sofa empuk, lalu dirinya santai-santai di sofa seberang. Harry masih mengenakan handuk putih itu, yang cantelannya terlepas, tetapi handuknya masih menutupi area selangkangan. Sesekali handuk itu tersingkap, membuat Jordan deg-degan melihat apa yang ada di baliknya.

Ya, Jordan sudah melihat kemaluan Harry di pesawat. Namun tetap saja, melihatnya lagi, dalam sebuah ruangan dengan tiga cowok menarik nyaris telanjang, membuat Jordan panas dingin. Sebisa mungkin Jordan tak mengamati hamparan kulit Harry yang mulus, campuran lokal dan kaukasia. Di bawah wajah tampan dan senyum menawan.

Mora menuang fruit punch ke meja sebelah Harry. Lalu, cerita itu pun dimulai. Jordan mengungkapkan kecurigaannya soal ponsel, dan Harry membenarkan.

“Dan keterlibatan elo dalam penerbangan itu, bukan kebetulan,” tambah Harry.

“Apa maksudnya keterlibatanku bukan kebetulan?” tanya Jordan. Mora menuang fruit punch untuk Jordan. Ketika teknisi junior itu berjalan menghampirinya, sesuatu berayun di balik celana boxer kotak-kotak Mora. Jordan sampai menelan ludah ketika wajahnya berada tepat di depan selangkangan Mora saat cowok (yang kini kurus itu) menuang minumannya.

“Karena kalau rencana ini gagal, kami harus mengeksekusi rencana kedua. Dan rencana kedua, butuh orang kayak kamu, Mas,” jawab Maulana, menyesap lagi tehnya.

“Orang yang jago membaca zodiak,” tambah Harry, mengedipkan satu matanya. “Mau donat? Bikinan Kak Maul. Enak, lho!”

“Aku enggak mau ikutan!” tegas Jordan segera. “Dan aku enggak mau donatnya.”

“Tapi elo mau dengar semuanya, kan?” goda Harry, tersenyum sebelah. “How we did it?”

Tentu saja, batin Jordan. Jadi, Jordan tetap duduk di sofanya, dan akhirnya mengulurkan tangan agar Mora memberikannya sepotong donat. Dan, ya … donat itu enak sekali. “Oke, mulai dari kenapa Mora bisa mati?” ujar Jordan. “I mean, gimana caranya kelihatan mati?”

“Gampang diceritain. Tapi apa jaminannya elo enggak akan nyebarin cerita gue ke kepolisian?”

“Enggak. Dia enggak akan cerita,” ujar Maulana, tersenyum.

I know. Cuma ngegertak doang.” Harry mengedipkan satu mata ke arah Maulana. “Tapi gue boleh dong lihat dia bugil?”

Maulana terkekeh kecil seraya bangkit dari kursinya. Maulana melepaskan jubah mandi itu, meninggalkan celana dalam seksi—dari bahan yang berkilau—menempel di selangkangannya. Lalu, Maulana menghampiri Jordan dan memaksanya berdiri. “Untuk memastikan Mas enggak merekam percakapan ini—"

“Aku enggak bawa rekaman,” sela Jordan.

“Tetap aja.” Maulana lalu melucuti Jordan hingga telanjang. Enggak telanjang bulat, sih. Masih menyisakan celana dalamnya yang enggak begitu mahal. Jordan duduk lagi di atas sofa sementara Maulana mengecek semua pakaian Jordan apakah ada alat perekam atau tidak. “Clear. He’s safe.”

Seluruh pakaian Jordan dilemparkan ke dekat jendela. Jadi Jordan menyimpulkan dia harus telanjang seperti yang lain dalam “meeting” ini.

“Wow … Mas Jordan ini seksi!” puji Harry sambil mengedipkan lagi sebelah matanya. “Sama seksi kayak pacarnya. And by the way, rencana kedua ini termasuk membebaskan Kristian dari jeratan hukum. Randian juga. Meski dia nyebelin, sih. Tapi tetap harus dibebaskan, sebab kita bakal reuni lagi entar. Yang penting sekarang …, Mas Jordan harus mau ikut season dua.”

“Oh, he will.” Maulana tersenyum lagi dari sofanya.

Okay, first question. Gimana caranya Mora mati?” ulang Harry.

Mora yang sedang berjalan ke kulkas dan mengambil sebotol bir, bergerak ke sebuah lemari di belakang sofa. Beberapa barang di apartemen ini sudah dimasukkan ke dalam kardus, karena Harry rencananya akan pindah ke Eropa. Namun barang-barang inti seperti sofa, meja, konter, dapur, dan lemari, masih terpasang dengan rapi layaknya apartemen.

Dari lemari, Mora mengeluarkan semacam kulit-kulitan ….

Oh, bukan. Itu silikon prostetik warna kulit. Tone warnanya sama dengan warna kulit Mora. Tumpukan silikon itu dilempar ke atas meja konter. Satu di antaranya adalah sebuah rangka bagian atas tubuh manusia dengan perut buncit.

“Aku enggak gendut, lho,” kata Mora sambil terkekeh.

Silikon prostetik itu ditempelkan ke tubuh Mora selama berminggu-minggu terakhir agar setiap orang mengira Mora betulan gemuk. Materialnya cukup padat, tetapi kenyal. Kalau ditekan dengan jari, rasanya seperti memegang kulit manusia. Namun materialnya yang padat membuat denyut nadi tak terasa ketika dicek. Itulah alasannya mengapa semua orang mengonfirmasi bahwa denyut nadi Mora sudah tidak ada.

“Tapi aku enggak melihat kamu bernapas juga. Aku merhatiin perut kamu bermenit-menit, perut itu enggak bergerak sama sekali,” aku Jordan. “Apa kamu tahan napas selama itu?”

“Pake ini,” jawab Mora, mengacungkan rangka perut buncit barusan. Rangka tersebut memberikan ruang di area perut. Sehingga, Mora tetap dapat bernapas dan menggerakkan perutnya naik turun, tetapi gerakan itu tidak akan menyentuh lapisan silikon prostetik yang ada di atasnya.

“Jadi kalian bawa silikon prostetik ini dari Indonesia, ke Amerika, untuk digunakan lagi?”

“Ya enggak dong, Mas!” Harry terkekeh. “Buat apa jadi sugar baby-nya si Pamungkas kalau enggak bisa dimanfaatkan?” Harry mengacungkan tangan ke arah Maulana, dan sang pramugara membalasnya dengan tos.

“Ada alasan mengapa kami mendekati Pamungkas. Supaya bisa mengatur segalanya,” ujar Maulana. “Dan karena dia Gemini, dia gampang ditipu.”

“Sebagian materi kita beli di US. Pura-puranya gue minta ‘Daddy’ buat beli silikon prostetik buat pesta topeng. Padahal gue nyetok buat Mora.”

“Dan aku berhasil membujuk Pamungkas untuk bawa barang-barang terlarang, sehingga semua bisa didaftarkan oleh Pamungkas, dan semua masuk dengan aman ke pesawat.”

“Lalu bomnya?” tanya Jordan. “Gimana cara kalian menanam bom itu?”

First of all, bomnya enggak pernah ada,” ujar Maulana.

Second, gue tanam pagi-pagi ke bandara, sambil ketemuan ama Mora, tanpa diketahui ama yang lain. Daddy tahunya gue pergi jogging, padahal gue nyiapin semua itu. Harusnya pacar elo curiga karena gue baru balik jogging siang-siang. Tapi nyatanya … ketipu semua.” Harry meneguk lagi fruit punch-nya.

Ketika Harry meneguk tersebut, bisepnya mengembang kuat, membuat Jordan terangsang. Apalagi setelahnya handuk Harry tersingkap. Jendolan kemaluan itu, bersama rimbun jembut yang sudah tumbuh, membuat jantung Jordan berpacu.

“Kalau mau ngaceng enggak apa-apa, kok Mas,” ujar Harry, melihat air muka Jordan yang seperti mupeng tapi ditahan-tahan. “Kecuali Mora, kita homo semua di sini.”

Maulana dan Mora terkekeh.

Jordan langsung merapatkan pahanya, menutupi fakta bahwa ya, dia ereksi sedari tadi. Jordan juga memeluk dirinya sendiri. Merasa agak malu, meskipun tubuh Jordan sama-sama hot. Apa mungkin karena Mora ternyata straight? Kok, rasanya malu dilihat telanjang oleh straight?

“Tahu enggak yang goblok apa?” ujar Harry tiba-tiba, nyaris tergelak dalam tawa. Harry mengajak Maulana berbicara. “Kan gue pagi-pagi ke bandara tuh, mau masang bom palsu. Eh dicegat sama petugas check in. Ditanyain ini itu, terus gue bilang ada janji sama teknisi ngambil barang pribadi.”

“Terus?”

“Terus pas siangnya gue check in lagi, si petugasnya bilang, ‘Hello, again!’ Anjrit, lah! Untung Pamungkas ama Kristian kagak curiga.” Dan Harry pun tergelak. Maulana dan Mora ikut tergelak, tetapi Jordan hanya diam saja karena tidak mengerti.

Hanya saja, Jordan jadi penasaran. “Jadi kamu masang bom siang-siang? Bukannya ada visual check dari pilot? Salah satu hasil wawancaraku bilang, pilot bakal keliling sebelum pesawat terbang buat ngecek semuanya.”

“Lah, emang iya. Dan itu bagian dari rencana,” jawab Harry. “Waktu pacar elo itu keliling isi kapal buat nanam kamera, gue pergi ke bawah buat buka pintu wheel well. Thanks to Mora udah ngasih tahu gue caranya gimana. Selanjutnya … Ceritain, Ra.”

Wheel well yang terbuka adalah penegasan. Agar Mike, Laurence, dan Andre yakin betul bahwa bom ditanam oleh seseorang. Pada saat pengecekan, sengaja Mora yang mengecek suspensi sehingga Andre kebagian mengecek wheel well. Ketika Mora diperintah untuk bertanya kepada teknisi Boeing tentang “mengapa wheel well terbuka”, Mora enggak menemui teknisi mana pun. Dia kembali lagi ke bagian bawah pesawat ketika Mike, Laurence, dan Andre sudah naik. Lalu, mengencangkan bom palsu tersebut.

Konsep bahwa bom sebenarnya ada dalam diri penumpang, seperti dugaan Randian, adalah benar adanya. Seharusnya, Pamungkas yang meledak. Bukan Andre.

“Tapi aksi kalian itu menghilangkan satu nyawa,” ujar Jordan. “Andre jadi korban jiwa.”

Harry menarik napas panjang sambil mengangguk-angguk kecil. “Yeah, we know. Jujur aja, harusnya enggak ada korban jiwa dalam pembajakan ini. Kayak di film Money Heist, harusnya semua tetap selamat, mendarat dengan aman, dan menghirup udara bebas setelah penerbangan berakhir. Kematian Andre itu di luar dugaan.”

“Tapi bagi kami,” tambah Mora, duduk di kursi tinggi sambil menenggak birnya. “Bang Andre adalah pahlawan. Dia menyerahkan jiwanya untuk kebaikan umat. Untuk kebaikan semua karyawan di maskapai sialan itu yang menindas, menekan, dan memaksa mereka berbuat kotor. Meski Pamungkas itu menyebalkan, dia juga terpaksa berbuat kotor untuk melindungi rahasia perusahaan.”

“Jadi itu motif kalian?”

At least, itu motifku,” jawab Mora. Kemudian, Mora menceritakan dengan detail sejarah hidupnya kehilangan orangtua. Dilanjutkan dengan Harry yang menemuinya di depan kantor pusat dan membiayai pendidikannya agar bisa membalas dendam tiga minggu lalu. Motif balas dendam Mora begitu kuat dan dapat dipahami.

Jordan (mungkin karena dia Pisces) meneteskan air matanya saat mendengar cerita pilu itu.

“Aku hafal suratnya. Aku bacain, ya,” ujar Mora, berdiri dan mulai membacakan surat dari orangtuanya seperti membaca puisi.

Setelah surat itu selesai dibaca, Jordan membutuhkan waktu lima menit untuk menenangkan dirinya dari mendengar kisah haru. Hanya dari sebuah cerita singkat, Jordan paham motif mereka. Jordan bahkan setuju mereka melakukannya. Apalagi dengan perlakuan maskapai kepada Jordan tiga minggu terakhir, Jordan menyesal dia bukan bagian dari pembajakan kemarin.

Mora datang menyodorkan tisu. Jordan mengambil sebagian dan menutulnya ke pipi. “Oke. Lanjut.” Dia menarik napas panjang. “Keracunan makanan?”

Maulana terkekeh. “Of course …. Aku yang masukin racunnya lah, Mas,” ujar Maulana. “Tapi tenang aja, itu enggak berbahaya. Dan juga, obat penawar itu disediakan khusus untuk racun yang Mas konsumsi. Kami menggunakan sejenis mikroorganisme khusus yang bikin perut mulas dan demam. Sayangnya efek di orang beda-beda. Sampai-sampai pacar Mas butuh oksigen. Untuk mengeksekusinya, aku harus pura-pura kaget ada makanan tambahan. Supaya ketika KNKT menginvestigasi pembajakan, yang akan disalahkan saat keracunan makanan adalah pihak katering di Seattle.”

“Apa itu berarti Mas meracuni Harry juga?”

“Enggak, lah!” Harry terkekeh. “Gue pura-pura keracunan aja, Bos. Suara kentut gue aja palsu, kok. Gue pake aplikasi hape buat munculin suara kentut ama mencret. Tujuannya, supaya gue bisa masuk ke setiap toilet, lalu gue tanam kutu kemaluan itu di mana-mana.”

Sialan. Berarti memang benar dia yang menyebarkan pubic lice itu, batin Jordan kesal.

“Bagaimana dengan masker oksigen?” tanya Jordan, ingin tahu lebih lanjut.

“Oh itu aku.” Maulana tersenyum lebar. “Saat itu di kokpit hanya ada aku dan Mas Laurence. Itu pilot ngelamun terus. Ngelamun juga efek dari obat penenang yang aku kasih ke minuman dia, sih. Ke kopinya. Jadi, untuk beberapa saat, dia bakal lebih suka melamun ke luar jendela. Selama dia melamun, aku turunin deh semua masker oksigen.”

Wow. Jordan ingin sekali bertepuk tangan atas ide mereka. Namun dia tak bisa melepaskan tangannya yang sedang memeluk diri sendiri, karena kemaluannya masih saja ereksi.

Untuk mengalihkan perhatian semua orang pada tubuhnya yang sedang bergairah, Jordan mengajukan pertanyaan lain. “Tapi, gimana caranya mengirim pesan-pesan ke kokpit?”

“Aku yang nge-hack,” ujar Mora, tersenyum. “Tapi Bang Harry yang ngirim pesannya. Pokoknya, setiap pesan atau surat muncul, pasti Bang Harry lagi pegang hape.”

“Elo ingat pas pengumuman ada bom di pesawat? Yang di lobi depan?” Harry tertawa. “Waktu Maulana datang dan mau nenangin gue? Sebenernya gue lagi mau ngirim pesan itu dan Maulana mastiin pesannya terkirim.”

Lalu ketiganya tertawa.

Jordan bersungguh-sungguh ingin bertepuk tangan. Sebagai Pisces yang mencintai drama, ide dan eksekusi mereka sudah pantas dijadikan novel bergenre mystery dan thriller. Malah Jordan mulai kepikiran, bolehkah dia membuat novel berdasarkan pembajakan ini?

“Ketika aku atau Harry dikurung,” ujar Maulana, “kami sebenarnya bekerja sama dengan Mora untuk proses pesan-pesan selanjutnya. Sebab, hanya Mora yang bisa nge-hack sistem di pesawat supaya nge-print di kokpit, ruang kerja, atau nampilin pesan di semua layar.”

“Dan supaya aku bisa makan.”

“Oh, iya. Supaya Mora bisa makan,” lanjut Maulana, “aku dan Harry memang sengaja membuat diri kami dituduh sebagai mata-mata. Jadi, kami bisa menyelipkan makanan untuk Mora seraya Mora mengeksekusi retasan-retasan berikutnya.”

“Jadi, waktu gue teriak-teriak diborgol sama Mora, itu palsu, ya. Please, gue enggak secemen itu ama mayat!” Harry menuang fruit punch baru, lalu menenggaknya.

Beberapa hal lain, mulai diceritakan oleh ketiganya secara bergiliran. Seperti misalnya, Mora menanam benda berbahaya di balik furnitur kabin selama masa maintenance. Tujuannya untuk menghasut agar orang-orang menuduh Randian. Dan Harry harus ena-ena dengan Laurence agar isu itu terangkat.

Mora menggunakan kontrol jarak jauh, setelah dia meretas perangkat lunak pesawat, untuk mengendalikan sistem-sistem pesawat. Matinya mesin dalam penerbangan, sehingga The Flying Paradise meluncur tanpa dorongan, adalah ulah Mora. Semua dilakukan melalui komputer. Antara Maulana dan Harry dapat mengaturnya kapan pun melalui ponsel, tanpa bantuan Wi-Fi.

Jadi, mematikan Wi-Fi itu enggak berpengaruh apa-apa, sebenarnya.

Kapan Mora melakukannya? Dua jam pertama penerbangan, sebelum Mora pura-pura meninggal, dia berada di kabin bawah untuk mencabut kabel APU dan mengatur padamnya mesin agar bisa dikontrol dari jarak jauh. Semua gangguan sistem yang terjadi sudah direncanakan dengan matang oleh otak encer Mora.

Kehadiran Harry di kamar Jordan saat empat orang itu berdiskusi soal Yavadvipa Jet dimaksudkan untuk mencari momen pemfitnahan Kristian. Ketika Kristian pergi ke toilet—yang memang sebenarnya pergi ke toilet—Harry menayangkan adegan seks Pamungkas dan Maulana, termasuk mencetak foto-foto rahasia di printer ruang kerja dan mengunggahnya ke Twitter. Semua dia lakukan dengan ponselnya. Namun yang Jordan kira, Harry sedang main TikTok.

Semua kamera yang merekam adegan-adegan itu sudah ditanam Mora lebih dulu dibandingkan Kristian. Pokoknya ketika masa maintenance, Mora berjasa besar dalam pembajakan ini. Jangan dikira Mora leha-leha saja pura-pura menjadi mayat sepanjang penerbangan. Borgol dan pistol juga diletakkan Mora ke kompartemen pada saat maintenance.

Jordan sampai membelalak ketika diberi tahu bahwa Maulana membolong-bolongi kondom. Ditambah, berita soal HIV dan Covid-19 itu palsu. Itu semua bagian dari meledakkan psikologis penumpang dari dalam dirinya sendiri. Termasuk ketika uang harus dikirimkan ke alamat Pamungkas. Hanya demi membuat Pamungkas gila.

“Gue harus ngewe itu gadun demi bisa dapat alamat lengkapnya,” ujar Harry, bernostalgia. “Sambil dibeliin jaket, sambil ngafalin detail RT sama RW. Fuck me!

Bagaimana dengan Mike yang menukikkan pesawat dengan sengaja?

Sebelum Mike kembali ke kokpit, Mike menemui Harry dan berpelukan dengannya. Di situlah Harry menyelipkan sebuah pesan ke saku Mike, yang dibaca oleh sang kapten ketika Laurence tak berada di sana. Itu pesan ancaman tentang perilaku seksual Mike yang akan disebarkan ke seluruh keluarganya, termasuk utang-utang yang tak diketahui sang istri. Tentu saja Harry tak berniat melakukannya. Dia hanya ingin menekan Mike agar membuat pesawat jungkir balik.

“Lalu, siapa yang mengakses komputerku?” tanya Jordan, untuk kali terakhir.

“Aku,” jawab Maulana. “Aku yang masuk ke sana dengan cepat, meng-copy datanya, lalu mengirimkan ke media. Waktu Mas kembali ke kamar untuk tidur, aku melakukan itu semua selama lima menit. Harry ada di common room untuk memberi kode kalau-kalau Mas sudah akan kembali ke laptop Mas. Bahkan, kali aja Mas enggak sadari …, aku juga kok yang mendorong Mas Jordan untuk mengadakan investigasi itu. Inget enggak, Mas?”

Jadi semua memang sudah direncanakan dengan matang.

Di luar hasil pembajakan yang tidak terpenuhi semua, setidaknya mereka mengeksekusi semuanya sesuai rencana hingga mendarat di Palembang. Mereka gagal mendapatkan permintaan kedua dan ketiga, pun kehilangan satu nyawa di luar rencana. Jordan perlu berdiri dan memberikan tepuk tangan. Namun Jordan tetap tak bisa melakukannya karena di bawah sana sudah ada yang berdiri.

“Tapi … tapi kalian dapat 9 juta dolarnya?” tanya Jordan.

“Dapat, dong.”

“Yang berarti … ada orang keempat?”

Harry tersenyum. “Ada. Namanya Usman. Elo enggak akan kenal. Gue ngebikin Pamungkas percaya dan hanya percaya sama flight dispatcher itu. Jadi ketika maskapai ngirim sembilan juta ke alamat rumah Pamungkas, Usman menukar tasnya dengan tas yang lain. Enggak ada yang tahu itu.”

“Kenapa hanya 9 juta dolar?” tanya Jordan.

“Sembilan juta dolar hanya simbol,” jawab Mora. “Itu adalah uang yang harusnya aku terima dari maskapai, atas meninggalnya ayah bundaku. Tapi aku enggak butuh uang itu. Aku cuma butuh maskapai itu jatuh, atau setidaknya dipegang oleh orang yang lebih beradab.”

“Sembilan juta dolarnya,” tambah Harry, “bakal kita pakai untuk modal proyek kedua. Di mana elo bakalan gabung sama kita.”

Jordan menelan ludah. Dia sebenarnya setengah tertarik untuk ikut, meski risikonya sangat besar. Namun Jordan juga tahu itu perbuatan yang salah. Tapi kan kalau bukan dengan cara seperti ini, maskapai itu akan terus melenggang cantik dan menekan semua orang. Kisah Mora itu sudah cukup menjadi motif kuat untuk melawan Yavadvipa Jet. Dan dengan situasi depresif yang dialami Jordan akhir-akhir ini dari sang maskapai, Jordan seharusnya bilang iya.

“Aku enggak tahu motifku apa,” ungkapnya. “Alasan mengapa aku harus melakukannya.”

“Well … motif gue adalah …,” ujar Harry, “Yavadvipa Jet membunuh pacar gue Joey dalam sebuah penerbangan yang dirahasiakan, dan keluarganya enggak mendapatkan kompensasi. Berita kematian Joey dipalsukan, dan gue enggak bisa dapat momen terakhir sama almarhum. Selidik punya selidik, ternyata gue bukan satu-satunya.”

“Kalau motifku,” Maulana tersenyum, “karena aku selalu dijadikan budak seks oleh para tamu. Persis mendiang ibunya Mora. Gara-gara maskapai, keluargaku hancur, ibuku meninggal, dan harga diriku diinjak-injak lebih rendah dari sampah. Aku enggak mood untuk nyeritain semuanya hari ini. Tapi itulah motifku.”

“Dan elo enggak perlu punya motif kuat, kok,” tambah Harry sambil tersenyum lebar. “Elo cuma perlu punya niat menyelamatkan ribuan karyawan di maskapai itu yang sekarang tertekan karena harus berbuat kotor. Atau lakukan atas nama mereka yang sudah meninggalkan kita gara-gara maskapai. Untuk Joey, untuk orangtuanya Mora, untuk ibunya Maulana, dan terbaru … untuk Andre.”

Itu motif yang masuk akal, batin Jordan. Namun entah mengapa Jordan hanya diam saja.

“Omong-omong,” lanjut Harry, “waktu gue bilang kita bakal reuni, I mean it well. Kita bakal reuni di season dua. Mas Jordan, Mas Kristian, Mas Randian, Kapten Mike, Kapten Laurence, bahkan … Om Mungkas. Kebetulan aja, Mas orang pertama yang kita hire. Dan nanti, kita akan tambah personil, Mas. Tenang aja. Bakal banyakan nanti.”

Jordan masih diam tanpa respons.

Harry mengedikkan kepala ke arah Mora. Teknisi itu mengangguk dan berjalan ke depan Jordan, lalu mulai memerosotkan celananya. Di depan Jordan sekarang tampak sebatang penis yang layu, menggantung indah di bawah jembut hitam legam. Jordan sampai membelalak karena takjub.

Namun Mora malah duduk di samping Jordan dan merangkulkan lengannya ke bahu Jordan. Mora mengendus leher Jordan.

“I know you want it,” kata Harry, sekali lagi mengedipkan sebelah matanya. “And you want this.” Harry menyibak handuknya terbuka, menampilkan sebatang kemaluan besar khas orang kaukasia.

Pada saat yang sama, Maulana juga berdiri dan melepaskan celana dalamnya. Di depan Jordan sekarang berdiri dua cowok menarik yang telanjang bulat, yang berjalan perlahan-lahan menghampirinya. Mora menarik tangan Jordan agar meremas kemaluannya, sementara Harry berjongkok di depan Jordan, melepaskan celana dalam penulis tersebut.

Penis Jordan yang menegang keras, langsung terkuak dan mencuat ke atas.

Harry langsung melumatnya dengan nikmat. Sensasi hangat membaluri kulit sensitif kemaluan Jordan. Membuat sang penulis menggelinjang menahan desir darah yang mengalir kencang. Maulana muncul di sisi lain, tiba-tiba mengulum puting susu Jordan dengan kecupan bibir dan lidahnya yang pandai menari-nari. Kecupan itu sampai membuat Jordan memelotot karena keenakan.

Jordan tak malu lagi untuk mendesah keras, “Aaahhh ….”

Desahan itu ditutup oleh cumbuan hangat dari bibir Mora. Jordan langsung membelalak dan berbisik, “Tapi kamu, kan … straight ….”

“I could be gay for you for a night.”

Lalu, cumbuan penuh nafsu itu diberikan oleh Mora hingga membuat Jordan memejamkan mata, tak kuasa menahan nikmatnya. Yang Jordan tahu berikutnya, Mora berdiri di atas sofa, kemaluannya perlahan-lahan mengeras di depan wajah Jordan. Penulis itu langsung melahapnya dengan nikmat, sambil merasakan di bawah sana …

… Harry menjilati lubang pantatnya ….

… dan Maulana mengulum penisnya sekarang, seraya memilin-milin puting susu Jordan.

Itu adalah layanan seksual ternikmat yang pernah Jordan rasakan. Jordan hanya bisa pasrah mengangkang kaki dan merasakan tarian lidah Harry di bawah sana, termasuk kuluman licin mulut Maulana yang membuat tubuhnya bergidik. Sesekali tubuh Jordan bergetar, sesekali desahan lembut lolos dari mulutnya.

Sambil mengulum penis Mora, teknisi itu bertanya, “Jadi gimana …, Mas mau ikut proyek kami?”

Jordan membuka matanya sambil memandang Mora di atas sana. “Tapi aku harus ngapain?”

Mora tersenyum dan memasukkan lagi kemaluannya ke mulut Jordan. “Itu bisa kita diskusikan. Asalkan Mas mau ikut … aaahhh …. Mau ikut proyek ini, untuk kebaikan umat.”

Mungkin Jordan terlena oleh servis seksual dari tiga laki-laki menawan itu. Selain menawan, permainan mereka pun membuat Jordan merinding oleh rasa nikmat. Tak mungkin Jordan berkata tidak dalam situasi tersebut.

Jadi Jordan pun mengeluarkan penis Mora dari mulutnya dan berkata, “Ya aku ikut.”

Setelahnya, Jordan mengulum lagi kemaluan itu, merasakan kenikmatan dari orgy paling sensual dan mendebarkan dalam hidupnya.

Merasakan … terbang seperti di surga.

 

The end.


<<< Part 29  |  The Flying Paradise

The Flying Paradise 29

 29 The Spy

 




Tiga minggu setelah insiden The Flying Paradise, Jordan mengalami hari-hari paling melelahkan. Wawancara dengan TV, investigasi dengan KNKT, hingga desakan dari Yavadvipa Jet untuk merahasiakan beberapa hal.

Ya, Jordan mendapat ancaman dari Yavadvipa Jet kalau Jordan berani membeberkan beberapa informasi rahasia yang terjadi selama insiden. Jadi, dalam semua konferensi pers atau wawancara media, akan selalu ada perwakilan Yavadvipa Jet yang menemaninya, memastikan Jordan tak mengatakan informasi yang dilindungi.

Maskapai bahkan melakukan penelitian pada Jordan sebagai personal. Segala jenis data media sosial dan sejarah hidup Jordan dikumpulkan dan digunakan sebagai alat pemerasan. Hidupnya sebagai gay, laporan pajaknya yang punya beberapa fraud, hubungannya bersama Kristian, setiap buku biografi yang Jordan tulis sebagai ghost writer, dan masih banyak lagi. Kalau Jordan tak ingin semua rahasia itu terungkap ke publik dan di-blow up oleh media (karena tentu saja Yavadvipa Jet disokong oleh media) Jordan hanya boleh bersaksi di depan publik sesuai skenario yang dibuat maskapai.

Hal yang sama terjadi kepada Kristian. Bahkan, lebih parah, Kristian terancam masuk penjara atas tuduhan pornografi.

Gara-gara terlibat dalam insiden ini, negara memeriksa segala jenis peralatan digital yang Kristian punya. Dari hasil penyelidikan, ditemukan bahwa Kristian mengoleksi gambar dan video non-konsensual yang bersifat pornografi. Memang, tak ada bukti bahwa Kristian menyebarkannya—atau bahkan memilikinya, karena Kristian tetap berkelit semua video itu ada di sana bukan atas kehendaknya. (Sekarang beberapa video tersebar karena seorang oknum kepolisian dengan sengaja menyebarkan lewat Twitter.) Sayangnya, pihak-pihak yang direkam dalam koleksi pornografi itu menuntut Kristian lewat jalur hukum, terlepas dari apakah Kristian terbukti sebagai perekam dan penyebarnya, atau bukan.

Jadi, setelah terlepas dari investigasi KNKT, Kristian tetap harus menjalani penyelidikan atas tuduhan kriminal yang dilakukannya. Jordan tak bisa berbuat apa-apa. Yang dilakukan Kristian tetap salah, tak peduli dia menyimpannya untuk diri sendiri, atau untuk disebarkan. Jordan hanya bisa menemani Kristian ke setiap panggilan investigasi, persidangan, pertemuan dengan korban, dan lain sebagainya … tanpa bisa berbuat apa-apa.

Pamungkas melenggang manja atas aksi heroiknya mempertahankan beberapa rahasia tetap tersimpan. Meski belum menjabat sebagai CEO, tetapi gajinya naik. Pamungkas jago sekali berakting di depan media bahwa dia disiksa secara fisik selama proses pembajakannya. Dia membual sebuah cerita fiktif seperti dirinya diikat, dicambuk, ditendang, dan ditodongkan pistol selama perjalanan. Padahal kenyataannya Pamungkas mabuk-mabukan sambil tertawa seperti orang gila. Pistol pun dia yang pegang sepanjang perjalanan, sampai akhirnya Andre menembak dirinya sendiri.

Mike, Laurence, dan Maulana mendapatkan penghargaan dari maskapai atas aksi heroiknya menyelamatkan penerbangan dalam insiden. Ketiganya tak bisa mengundurkan diri, meski mereka sangat ingin. Sama seperti Jordan, ketiganya diperas melalui informasi pribadi yang maskapai retas secara sengaja. Apalagi Mike, maskapai telah membantu membelanya atas kasus membahayakan keselamatan penerbangan di bawah ancaman. Yang harusnya Mike masuk penjara, kemungkinan Mike akan bebas tetapi terikat kontrak dengan maskapai untuk waktu yang lama.

Bagaimana dengan Harry? Sang supermodel didiagnosa mengalami trauma oleh seorang psikolog. Harry akan pindah ke Eropa dan tinggal di sana untuk sementara. Selama berminggu-minggu Harry dikabarkan pergi ke rehab untuk menyembuhkan dirinya. Harry tak ada masalah bekerja sama dengan maskapai untuk menceritakan insiden menurut versi Yavadvipa Jet. Toh, Harry memang brand ambassador-nya. Enggak setuju pun, Harry harus bilang setuju.

Beruntungnya, diagnosa trauma itu berhasil membuatnya keluar dari jeratan Yavadvipa Jet. Brand ambassador terbaru akan ditunjuk dalam dua bulan ke depan.

Bagaimana dengan Randian? Dia kambing hitamnya. Dia dituduh sebagai mata-mata dalam pembajakan. Pamungkas benar-benar benci kepada Randian, sehingga dia memanipulasi maskapai agar menuduh Randian. Dan memang Randian punya motif yang sangat kuat. Kematian Andre memperparah keadaan. Maskapai memberi tahu media bahwa, “Saudara R melakukan pelecehan seksual kepada Saudara A di dalam pesawat, tetapi karena Saudara A menolak—mengingat maskapai punya aturan tegas soal pelecehan seksual—Saudara R menembak kepalanya hingga meninggal dunia.”

Jordan ingin sekali membantah berita palsu tersebut. Namun itu tak ada dalam skenario khusus Jordan yang ditulis oleh maskapai. Bahkan, Randian tak mendapatkan skenario khusus seperti semua penumpang yang lain. Dalam setiap pertemuan rahasia antara maskapai dan penyintas The Flying Paradise, tidak pernah ada Randian di sana untuk diajak mendiskusikan skenario pembajakan agar satu suara.

Randian dibiarkan mengatakan yang sebenarnya di media, tetapi suaranya kalah. Sehingga Randian malah kelihatan seperti penjahat yang berbicara omong kosong membela dirinya sendiri.

Tak ada yang bisa membantu Randian. Arsitek itu kini ditetapkan sebagai tersangka, tetapi tidak ditahan karena Randian berhasil mengajukan penangguhan penahanan. Bukti bahwa Randian menembak Andre kurang kuat. Tak ada sidik jari Randian pada pistol yang digunakan membunuh Andre. Untuk sementara, Randian bisa tinggal di apartemennya menunggu keputusan terbaru apakah statusnya berubah menjadi Terdakwa, atau justru lepas dari sangkaan.

Gara-gara kasus Randian, media dihebohkan dengan berita viral perkosaan sesama jenis seorang arsitek kepada seorang teknisi. Di mana akhirnya se-Indonesia merundung Randian di media sosial. Nama LGBT jelek lagi gara-gara Randian. (Secara teknis gara-gara maskapai, sih. Tapi kan masyarakat enggak tahu.)

Dan gara-gara hal tersebut, Jordan makin enggak bisa bergerak bebas. Topik LGBT kembali menjadi topik sensitif di media sosial. Fakta bahwa setiap orang di dalam pesawat pernah bercinta dengan dua orang yang lain akhirnya tak pernah terungkap. Dalam hal ini, Yavadvipa Jet yang turun tangan memastikan isu homoseksualitas itu tak pernah ada. Makanya Jordan dan yang lain tak punya pilihan selain mengikuti skenario maskapai yang palsu. Hitung-hitung membayar jasa karena membantu menyamarkan seksualitas setiap orang.

“Nak? Nak?” Ibu Jordan memanggil dari luar pintu kamar. “Ada tamu tuh datang.”

“Siapa?”

“Artis yang waktu itu. Mama masuk, ya?” Karena kebetulan tidak dikunci, dengan lancang ibunya Jordan masuk dan menutup pintu. “Si Kevin itu datang lagi, lho. Dia best friend kamu, ya?”

“Iya,” jawab Jordan singkat. Dirinya sedang sibuk menulis di depan laptop, merasa tak bersemangat menghadapi hari-hari setelah pembajakan. Ini adalah tiga hari tanpa wawancara apa pun. Dan Jordan ingin beristirahat dengan damai di kamarnya sendirian.

“Kamu mau ketemu dia, enggak?”

“Enggak, ah,” jawab Jordan. “Bilang aja aku enggak ada.”

“Kalau Mama yang ngobrol sama dia gimana? Mama udah nyiapin kartu nama. Barangkali dia mau ngasih ke produser gitu?”

“Enggak usah, lah. Entar aku yang ngasih tahu dia. Tapi suruh dia pergi dulu.”

“Kamu ini kenapa, sih Sayang? Kok kayaknya sejak pembajakan itu stres mulu.”

“Iya, aku stres. Jadi, Mama keluar aja, ya. Tolong bilang ke dia aku lagi enggak ada.”

Ibunya Jordan hanya menghela napas panjang. “Ya udah …. Tapi kamu jangan lupa makan, ya. Mama udah masakin tumis kangkung tuh di meja. Kamu hari ini keluar lagi enggak?”

Tidak ada jadwal keluar, tetapi Jordan merasa perlu menjawab, “Iya. Nanti aku keluar lagi.”

“Wawancara?”

“Iya, wawancara,” bual Jordan.

“Sama Insert, bukan? Kalau sama Insert, Mama ikut, ya!”

Jordan memutar bola mata. “Mana ada Insert ngeliput pembajakan aku kemarin.”

“Iiihhh … ada! Mama nonton!” sergah ibu Jordan. “Yang ada model ganteng terus trauma itu, kan ada di pembajakan itu, Nak.”

Oh, Harry.

“Mama kirain kamu juga bakal diliput sama Insert. Apa belum, ya?”

“Aku enggak akan diliput sama Insert. Aku bukan artis. Udah sana, bilangin aku enggak ada ke si Kevin itu.”

Mama mendengus. “Hih … kamu ini. Durhaka lho enggak bawa ibu kandung ke Insert. Awas ya kalau kamu sampai diliput sama Insert tapi Mama enggak tahu!”

Ibunya Jordan keluar lagi dari kamar menuju ruang tamu. Dari kamarnya, Jordan dapat mendengar sang ibu berkata, “Aduh maaf Mas Artis. Katanya, Jordan lagi enggak ada.”

Jordan menepuk jidatnya.

Hari ini Jordan tak punya jadwal keluar. Namun sepanjang pagi, Jordan kepikiran sesuatu.

Yaitu orang yang Jordan curigai sebagai mata-mata.

Meski bagi publik Randianlah penjahatnya, tetapi bagi semua orang dalam penerbangan, Mora adalah penjahatnya. Dalam sebuah pertemuan kecil di lounge VIP Bandara Internasional Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang, tepat setelah kecelakaan, delapan orang berkumpul sambil menyampirkan selimut ke bahu. Secangkir teh hangat disajikan diiringi kue-kue. Mereka sedang menunggu izin dari otoritas bandara untuk dipulangkan atau diwawancarai media lokal.

“Mora masih hidup,” ujar Mike.

Laurence mengafirmasi pernyataan itu meski enam orang yang lain tak percaya.

“Dia menodongkan pistol ke kepala kami, menyuruh kami go around dan mendarat di Palembang. Makanya kami enggak jadi mendarat di Sungai Musi.”

“Terus di mana sekarang Moranya?” tanya Jordan.

“Dia pasti kabur, sih. Tadi di ruang meeting kecil hanya ada jenazahnya Andre.”

Ketika mereka kira jawabannya sudah terkuak, Pamungkas malah berkata, “Oke, jangan sebarkan informasi ini kepada yang lain.”

“Maksudnya?”

“Kita tunggu perintah maskapai soal skenario yang harus kita ceritakan ke media.”

“What the fuck?!” umpat Mike berang. “Kita semua punya cerita yang sama!”

Pamungkas menggeleng. “Percaya sama saya. Kalau kalian mau selamat, ikuti apa kata maskapai. Hal pertama, jangan dulu bahas soal Mora. Hal kedua, katakan kepada media sesuai skenario yang sedang dibuat. Maskapai sudah kehilangan 9 juta dolar. Untung dua permintaan terakhir belum terpenuhi.”

“Oh, saya sih bakal pastiin dua permintaan terakhir terpenuhi, meskipun Mora sudah menghilang,” tantang Randian. Nah, di situlah akhirnya maskapai membalik meja dengan cara memfitnah Randian dan membuatnya seolah-olah pembunuh berdarah dingin. Sebelum Randian mengatakan sesuatu yang menjatuhkan maskapai, maskapai duluan yang menjatuhkannya.

Jordan tak tahu bagaimana tanggapan maskapai pada fakta bahwa Moralah pelakunya. Atau penyelidikan deh soal gimana Mora melakukannya ketika belasan jam penerbangan Mora hanya terbujur kaku di ruang meeting kecil.

Jordan memang tak sempat dikurung di ruang meeting itu. Jadi Jordan tak sempat mengecek lebih lanjut soal jenazah palsu Mora. Namun kali terakhir Jordan menyentuhnya, Mora memang tak punya denyut nadi. Jordan menyentuh sendiri leher Mora.

Misteri aksi Mora dalam pembajakan adalah misteri terbesar dalam hidup Jordan sekarang. Apakah ini ada kaitannya dengan satu orang yang Jordan curigai sebagai mata-mata pada awalnya? Jordan sudah mengantongi satu nama yang dia yakin sebagai pelaku utamanya. Namun nama tersebut harus dia lupakan setelah Mike dan Laurence bersaksi bahwa Moralah pelakunya.

Lalu pagi ini … nama itu bergaung lagi dalam kepala Jordan.

Jordan memutuskan untuk mengiriminya pesan lewat Instagram, Boleh aku ketemu kamu hari ini?

Tak lama, orang itu menjawab, Boleh, dong!

Di mana? tanya Jordan.

Dan dia memberikan alamatnya. Jordan tak berpikir dua kali untuk langsung bersiap-siap dan pergi meninggalkan rumahnya, meninggalkan tumis kangkung yang sudah disiapkan sang ibu.

*  *  *

Jordan turun di depan sebuah kompleks apartemen mewah. Taksinya langsung melenggang pergi ketika Jordan memasuki pagar. Dia memastikan tak ada yang membuntutinya. Selama tiga minggu terakhir, Jordan masih khawatir pihak maskapai mencari-cari cara agar tetap bisa memeras Jordan dengan foto-foto candid penuh skandal.

Jordan tiba di lobi apartemen dan disambut seorang security yang tampaknya sudah menanti kedatangan Jordan. Tiba-tiba saja, tanpa Jordan mengatakan apa pun, security itu membuka akses ke lift, dan menekankan lantai delapan gedung A. “Sudah ditunggu, Mas. Silakan.”

“O-oke ….” Dengan canggung Jordan berdiri di dalam lift dan naik ke lantai yang dimaksud.

Jordan mencari nomor unit apartemen yang tertera di Instagramnya begitu dia melangkahkan kaki ke luar. Lokasinya tak sulit dicari. Ada bel khusus yang diletakkan di dekat pintu, yang suara panggilannya terdengar sampai keluar setelah Jordan menekannya.

Pintu dibuka.

Jordan langsung menutup mulutnya dengan tangan, mundur satu langkah, dan membelalakkan mata. Dia terkejut. Seharusnya mungkin sudah diprediksi, karena memang kecurigaannya ke arah sana. Namun tetap saja Jordan tak menyangka sosok itu betulan berada di depannya sekarang.

Sosok itu sangat seksi. Nyaris telanjang, hanya mengenakan celana boxer kotak-kotak, tampak sangat santai. Dia meletakkan satu tangan di daun pintu, memamerkan rambut ketiaknya yang lebat. Dan dia kurus. Tubuhnya kurus atletis dengan otot-otot kering sempurna, perut kotak-kotak, kulit kecokelatan yang menawan. Di tangannya yang lain ada sepotong donat yang sudah setengah dimakan, dan cowok tersebut sedang mengunyahnya sambil tersenyum. Tepung gula bertebaran di sekitar mulutnya.

“Halo Mas Jordan!” sapanya.

Itu Mora.

Sosok yang menghilang sejak The Flying Paradise mendarat di Palembang. Dan dia tampak … kurus. Ganteng, pula. Wajahnya yang imut, mata cemerlang, body berondong yang kurus. Mora tampak sehat walafiat. Padahal ini bukan apartemen Mora yang Jordan tuju.

Ini yang Jordan pikirkan sepanjang pagi. Pasti mata-mata itu bukan hanya satu. Pasti ada satu orang lain di antara penumpang yang membantu aksi Mora. Dan pasti, mereka bekerja sama ketika si mata-mata hidup diborgol ke dalam ruang meeting kecil. Bahkan mungkin, mereka membuat situasi agar seolah-olah mata-mata hidup ini diborgol dan dipertemukan dengan mayat Mora, supaya mereka bisa berdiskusi.

“Masuk!” Mora membuka pintunya lebar-lebar.

Jordan masih nge-hang selama beberapa detik. Kemudian, dia berjalan pelan-pelan melewati pintu, dipimpin oleh Mora menuju ruang tengah.

Berarti benar, batin Jordan. Dugaannya selama tiga minggu terakhir. Orang itu adalah mata-mata kedua. Mata-mata yang mengawasi para penumpang selama penerbangan.

Ketika tiba di ruang tengah, di atas meja, tergeletak puluhan foto semua orang yang ada di dalam The Flying Paradise. Foto-foto itu hanya menampilkan tubuh setiap orang, tanpa menunjukkan muka. Ada foto Jordan, foto Kristian, dan mungkin foto Harry, Maulana, Randian, Mike, Laurence, Pamungkas, dan Andre. Semuanya bertebaran acak seperti sedang dibahas bersama-sama.

Namun semua foto itu tak memiliki wajah. Foto shirtless, mengenakan pakaian, foto memamerkan dada bidang, ketiak, bisep trisep, puting susu, pokoknya tanpa wajah. Ada foto Jordan yang tergeletak di ujung meja dengan tulisan, THE WRITER di atasnya. Lalu foto Kristian di tengah hutan, bertelanjang dada, bertuliskan THE VIDEOGRAPHER.

Foto Mora dengan tubuh seksi pun ada di sana. Tulisannya, THE BEGINNING. Pembajakan ini sudah direncanakan dengan sangat detail dan matang.

Atau justru mereka sedang merencanakan pembajakan kedua? pikir Jordan. Mengapa foto-foto ini masih bertebaran? Kalau ini akan memberatkan mereka, harusnya mereka sudah membakar semua foto ini, kan?

Jordan baru menyadari seseorang sedang duduk menghadap ke jendela. Sosok itu mengenakan jubah mandi besar berwarna putih, menikmati secangkir teh sambil memandang Jakarta di hadapannya. Dia memutar kursinya menghadap ke Jordan, bangkit, dan menghampiri sang penulis.

Lagi-lagi, Jordan terkejut.

Sosok itu tak Jordan sangka ada di sini juga.

“Hei! Gimana kabarnya?” Dia menghampiri Jordan sambil cipika-cipiki, kemudian berjalan ke dapur dan membawakan sepiring donat. “Orangnya lagi mandi. Mau donat?”

“Eng … enggak. Thanks.” Jordan masih menutup mulutnya karena terkejut. Matanya masih membelalak.

Sosok yang ada di hadapannya ini berwajah manis. Dia hanya mengenakan celana dalam mahal dibalut jubah mandi yang tidak diikat. Sehingga, Jordan dapat melihat ketelanjangan dari leher hingga ke perut, lalu tungkai-tungkainya yang berotot.

Mereka sedang orgy atau apa? Mengapa dia dan Mora telanjang? batin Jordan.

Dia Maulana. Dan dia bukan orang yang membuat janji dengan Jordan hari ini. Apa ini artinya mata-mata pembajakan ada tiga orang?

“Kok, kamu ada di sini?” tanya Jordan.

“Karena kamu mau datang, Mas,” jawab Maulana, duduk lagi di kursinya sambil menyesap teh. Maulana tampak segar dan ceria. Seolah-olah tiga minggu lalu tidak mengalami kejadian traumatis yang melelahkan dalam pembajakan. “Kita, kan mau meeting.”

“Meeting?”

“The Falldown of Yavadvipa, season two!” jawab Maulana sambil menyesap lagi tehnya.

“Ehem. The Flying Paradise Project, season two,” ralat Mora cengar-cengir sambil meraup satu donat lain.

“Aku enggak suka nama itu. We should really change the name one day, okay?” sergah Maulana sambil memutar bola mata.

Mora mengangkat bahu. “Oke. By the way, ini enak lho, Mas,” Mora mengacungkan donat ke arah Jordan. “Cobain! Kak Maul yang bikin.”

Maulana mengibaskan tangannya. “Biasa aja, kok Ta.”

“Kenapa … kenapa meeting-nya bawa-bawa aku?” tanya Jordan, menelan ludah. Jordan masih berdiri di tempatnya. Agak gemetar karena melihat Maulana dan Mora berada di apartemen yang bukan milik mereka. Bukan dengan merekalah Jordan membuat janji temu. Mengapa justru mereka berdua yang Jordan temui pertama kali?

“Karena kamu akan menjadi bagian penting untuk proyek kedua,” jawab Maulana. “Ayo, sini. Duduk dulu.”

Sebelum Jordan duduk, pemilik apartemen akhirnya muncul. Sosok itu telanjang juga, tapi karena habis mandi. Handuk dilingkarkan ke pinggangnya, agak-agak ke bawah hingga jembutnya yang baru tumbuh mengintip keluar. Titik-titik air memenuhi seluruh permukaan kulitnya dengan seksi. Sosok itu merentangkan tangan sambil menghambur memeluk Jordan dengan kurang ajar. “Yooo! My Mate! Gimana kabarnya?”

“Ka … kamu?”

“I know! Fuck me dead, right!” Dia cengar-cengir. “Come sit your buttock! We have some ing to discuss!”



To be continued ....


<<< Part 28  |  The Flying Paradise  |  Part 30 >>>

The Flying Paradise 28

28 The Beginning

 



Laki-laki itu selalu dipanggil Mora. Berumur 22 tahun, berzodiak Taurus, memiliki IQ di atas 150. Namun, nama aslinya adalah Atta. Anak yatim piatu yang keluarganya dibunuh secara internal oleh maskapai pemilik The Flying Paradise.

Ayahnya bekerja untuk Yavadvipa Jet sebagai teknisi selama bertahun-tahun, sementara sang ibu menjadi pramugari di maskapai yang sama. Keduanya secara konstan ditekan untuk melakukan aksi-aksi kotor rahasia. Meski mereka ingin mengundurkan diri, maskapai selalu punya cara untuk mengingatkan orangtua Atta terkait beban moral yang sudah ditanggungnya.

Ketika Atta lulus SMA, ayah dan ibunya bunuh diri bersamaan. Surat terakhir yang orangtuanya tulis sebelum mati menunjukkan jelas bahwa mereka tak sanggup lagi menanggung tekanan dari maskapai untuk tetap melakukan perbuatan kotor dan immoral. Tulisan itu begitu lengkap, disimpan baik-baik oleh Atta, menjadi bahan bakar bagi dirinya membalas kematian orangtua pada masa depan.

Yaitu, hari ini.

Atta masih ingat hari kelulusan itu. Dia menelepon sang ayah ketika menerima hasil ujian yang dikirimkan sekolah. Nilainya sempurna, termasuk 10 besar nilai UN terbaik se-Jawa Barat. Impiannya untuk mengejar beasiswa agar tak perlu membebani orangtua bisa tercapai.

“Nilaiku 10 semua,” ungkapnya bahagia.

“Bagus, Nak! Kamu mau kuliah di mana jadinya?”

“Aku mau cari beasiswa S1 ke ITB. Hari ini ke sekolah ngambil dokumen-dokumen buat di-submit ke beasiswa. Aku punya empat alternatif beasiswa. Semoga salah satunya gol.”

“Pasti.” Sang ayah terkekeh, meski suaranya bergetar. Atta menganggap ayahnya sedang menangis terharu. “Ayah panggil Bunda, ya. Sebentar.”

Atta menunggu dengan bergairah ketika ayahnya berjalan menemui sang ibu. Mereka bekerja di perusahaan yang sama, dan sudah bersama setelah bertahun-tahun. Namun karena berbeda divisi, ayahnya berjalan cukup jauh dari kantor teknisi ke kantor pusat di mana kru terbang biasa berkumpul. Atta dapat mendengar ayahnya berlari dan memohon izin kepada petugas security untuk bertemu istrinya. Setelah izin didapat, ibunya muncul di telepon.

“Gimana?” sapa sang ibu.

“Nilaiku 10 semua. Peringkat satu di sekolah. Didi bilang masuk 10 besar se-Jawa Barat juga.”

“Alhamdulillah …. Selamat ya, Nak.” Kemudian jeda sejenak.

Atta mendengar sejenis isakan tangis dari ujung telepon. Menduga kedua orangtuanya terharu atas prestasi Atta untuk mengubah nasib.

“Ya udah, aku ke sekolah dulu ya, Bun. Buat ngambil dokumen-dokumennya. Aku, kan mau ngambil beasiswa. Biar Ayah sama Bunda enggak perlu bayarin aku kuliah.”

Isakan itu terdengar lagi, tetapi Atta langsung menutup telepon.

Atta berangkat ke sekolah dengan perasaan gembira. Dia disambut meriah oleh pihak sekolah. Bahkan, wali kelasnya membuat tumpeng di ruang guru, merayakan keberhasilan Atta masuk 10 besar siswa terbaik se-Jawa Barat. Nyaris semua orang berkumpul untuk memberikan ucapan selamat. Kepala sekolah turun tangan dan mengeluarkan uang 5 juta rupiah dari kantongnya sebagai hadiah. Tak hanya itu, beberapa guru kesiswaan menjamin Atta mendapatkan beasiswa apa pun yang diinginkannya.

“Bapak bakal berdiri paling depan untuk pastiin kamu dapatin beasiswa yang kamu mau. Segala jenis surat referensi, bisa kami buat. Terima kasih karena telah membanggakan sekolah.”

Itu adalah pesta paling meriah yang pernah Atta dapatkan. Lebih meriah dari setiap pesta ulang tahun yang dia rayakan, atau hadiri. Semua guru dan temannya memeluk Atta, meramalkan masa depan cerah cowok berzodiak Taurus itu. Karena semua harus Atta layani, Atta baru bisa keluar dari sekolah pukul lima sore.

Apa Atta langsung pulang? Enggak. Semua teman sekolahnya merencanakan pesta perpisahan meriah di sebuah gedung, diisi dengan karaoke, games, dan jamuan mewah. Atta baru kembali ke rumah lewat pukul 10 malam. Tentunya setelah me-Whatsapp kedua orangtuanya soal pulang telat, tetapi tak pernah dibalas.

Yang Atta inginkan adalah menjadi sangat sukses, agar orangtuanya lepas dari tanggung jawab berat di tempat kerja mereka. Atta tahu persis apa yang terjadi. Bahkan sejak kecil, Atta melihat kedua orangtuanya menangis karena telah melakukan perbuatan kotor di maskapai. Perbuatan kotor yang tak ingin mereka lakukan, tetapi harus mereka lakukan sebagai bentuk dedikasi karyawan.

Jutaan kali mereka mencoba mengundurkan diri. Ancaman selalu muncul membuntuti kalau mereka pergi. Atta pernah mengalami rumah kebakaran, kerampokan, bahkan Atta pernah diculik hanya demi kedua orangtuanya kembali bekerja.

Sang ayah dipaksa memberikan laporan palsu hasil pengecekan pesawat kepada audit. Menutupi kebobrokan maskapai yang tidak mengindahkan safety pada hal-hal kecil. Ibunya menjadi saksi segala bisnis kotor politik Indonesia. Dan yang paling membuat Atta miris sampai menangis berkali-kali saat sang ibu curhat kepada suaminya, tentang …

… dijadikan objek seksual pelanggan maskapai.

Atta tak akan pernah lupa setiap sang ibu pulang sambil menangis, menghambur ke pelukan suaminya di kamar dan bercerita bahwa seorang petinggi di India memaksanya berhubungan seks. Beberapa kali ibunya terbang hanya mengenakan bikini agar lelaki hidung belang bercuan banyak ini bisa mengelus-elus pantat sang ibu setiap mereka menyajikan makanan.

Ayahnya pernah mengamuk ke maskapai dan mengancam akan melaporkan semua perbuatan bejat perusahaan, termasuk objektifikasi perempuan secara seksual. Yang ada malah sang ayah difitnah telah memberikan laporan palsu dalam perawatan pesawat, sehingga beliau terancam masuk penjara. Tentu saja ayahnya tak masuk penjara kecuali tetap bekerja di Yavadvipa Jet dan menutup mulutnya.

Sejak hari itu Atta tahu, senyum kedua orangtuanya tak pernah tulus. Senyum mereka hanyalah senyum palsu agar Atta tetap bertahan di dunia.

Kalau Atta berhasil sukses, masuk universitas ternama, mendapatkan pekerjaan di tempat bagus, Atta akan mencari cara mengeluarkan kedua orangtuanya dari sana. Dia yang akan membiayai hidup mereka, yang penting mereka bisa terbebas dari belenggu immoral perusahaan.

Maka dari itu, Atta pulang dengan semangat dari pesta, kepalanya penuh dengan rencana strategis untuk dibagikan kepada orangtua. Senyumnya terukir sepanjang mengendarai motor dari gedung menuju rumahnya.

Ketika tiba di depan rumah, lampu di dalam sudah menyala. Yang berarti orangtuanya sudah pulang. Atta berlari sambil mengacungkan dokumen yang diambilnya dari sekolah. Seringai bahagia itu begitu lebar dari telinga ke telinga. Atta menghambur masuk melalui pintu depan dan menemukan …

… kedua orangtuanya gantung diri.

*  *  *

Itu adalah tiga bulan paling berat dalam hidup Atta.

Apa dia berhasil mendapat beasiswa? Tidak. Karena mentalnya hancur sehancur-hancurnya. Dia merasa tak punya alasan lagi untuk melanjutkan sekolah, mengingat selama ini dia melakukannya untuk kedua orangtua. Air mata Atta habis dicucurkan setiap malam. Surat yang ditulis kedua orangtuanya sebelum meninggal dibaca Atta setiap pagi seperti membaca koran. Surat itu menjadi bahan bakarnya untuk terus berjuang menegakkan keadilan. 

 

Kepada anak yang paling mulia, Atta.

Mohon maaf karena Ayah dan Bunda harus pergi secepat ini. Tak pernah Ayah Bunda sebahagia ini mendengar kabar kelulusanmu, seperti saat Ayah Bunda berbahagia melihatmu lahir, berjalan pertama kali, membaca buku, dan menyanyikan lagu favoritmu. Ayah Bunda tak pernah ragu untuk mendukungmu meraih masa depan.

Apa pun itu.

Yang Ayah Bunda harapkan dan lakukan selama ini hanyalah memastikan kamu meraih kesuksesanmu. Mungkin hari ini belum. Namun mungkin hari ini awal dari semuanya. Ayah dan Bunda selalu bangga pada apa yang kamu lakukan kemarin, hari ini, dan masa depan. Namun Ayah Bunda tak pernah bangga pada apa yang selama ini Ayah Bunda lakukan supaya kamu bisa mewujudkan semua itu.

Ayah dan Bunda ingin berhenti. Hanya saja Ayah Bunda belum bisa. Ini adalah hari yang Ayah Bunda tunggu-tunggu, agar Ayah Bunda tak perlu membayang-bayangimu dengan kesalahan pada masa lalu. Kamu berhak hidup bebas tanpa ancaman apa pun di belakangmu, tanpa paksaan melakukan perbuatan kotor, tanpa sentuhan jahat manusia-manusia bejat, tanpa rahasia-rahasia yang sering merenggut jiwa.

Maka dari itu, Ayah Bunda harus pergi. Jangan menangis, karena Ayah Bunda tak pergi dengan kesedihan. Ayah Bunda pergi atas rasa bahagia melihatmu memulai kesuksesan, atas keyakinan kamu bisa bertahan, atas janji Tuhan bahwa kamu akan kuat menghadapi dunia, menjadi versi lebih baik dari Ayah Bunda sendiri.

Ayah dan Bunda merasa perjalanan harus dihentikan pada malam ini sebelum Ayah Bunda menjerumuskanmu pada jurang yang sama. Dari titik ini, kamu bisa membangun kerajaanmu, memberi inspirasi pada mereka yang tertindas agar berjuang, memberi semangat bahwa nasib bisa berubah. Seperti yang sudah kamu lakukan setiap hari kepada Ayah Bunda. Kamu memberi harapan bahwa keluarga ini dapat menjadi lebih baik, meski kami harus mengorbankan nyawa.

Kehadiranmu selama 17 tahun terakhir selalu menjadi alasan Ayah Bunda bangun pagi dan menghadapi hari yang penuh perbuatan keji. Hari yang harus Ayah Bunda lalui mau tak mau, suka tak suka, benar maupun salah. Hari semacam ini tak akan Ayah Bunda biarkan menyentuhmu sekali pun.

Kalau kita dipertemukan pada waktu lain, pada dimensi lain, pada kesempatan lain, Ayah Bunda hanya akan memohon maaf darimu. Hanya itu.

Sampai jumpa lain waktu.

Ayah Bunda.

 

Surat itu diakhiri dengan segala jenis dokumen agar Atta dapat bertahan hidup. Tabungan, warisan, dan asuransi. Bukan asuransi atas diri mereka sendiri, melainkan asuransi atas nama Atta. Jika keduanya mati dalam cara apa pun, Atta akan mendapatkan kompensasi dari perusahaan sebesar ….

$9.000.000,-.

Uang itu adalah gabungan dari semua perbuatan kotor yang orangtuanya lakukan selama bekerja di sana. Perbuatan yang mereka tak ingin lakukan, tetapi perusahaan menekan mereka melalui imbalan. Katanya, kalau mereka sampai meregang nyawa, uang itu otomatis menjadi milik Atta. Atas motivasi itulah keduanya tetap menjalankan perintah meski terpaksa.

Tiga bulan penuh Mora bolak-balik ke kantor Yavadvipa Jet menuntut keadilan. Setidaknya, menuntut haknya atas uang yang diwariskan.

Apakah Atta mendapatkannya?

Tidak.

Atta ditertawakan pada setiap kunjungan. Atta dianggap bocah SMA pengemis. Namanya masuk ke dalam persona non grata perusahaan. Di-black list dari segala jenis penerbangan Yavadvipa Jet dan maskapai berjadwal yang beraliansi. Uang itu tak pernah Atta terima. Hanya sekarang bunga turut berduka cita dan hadiah agenda tahunan sebagai kompensasi.

Bulan ketiga, pada kunjungan Atta yang terakhir ke kantor pusat mereka di Cawang, Jakarta Timur Atta digebuk dan ditendang petugas keamanan karena memaksa masuk. Saat itu tengah terjadi insiden rahasia yang tak pernah terungkap ke publik. Tidak, Atta tak peduli pada insiden itu. Atta hanya menuntut keadilan berupa segala jenis hal yang diwariskan orangtuanya, yang masih ada di perusahaan.

Atta keluar dari gedung babak belur, menangis di trotoar parkiran dan berpikir untuk menyusul kedua orangtuanya. Di sebelahnya seorang teknisi tampak sedang menangis seperti dirinya. Dia memeluk dokumen-dokumen yang Atta kenal sebagai dokumen suapan. Karena Atta melihat dokumen sejenis di rumahnya. Ketika kedua orangtuanya dipaksa melakukan skandal atas jaminan tertentu.

Jaminannya ada di dokumen tersebut.

“Aku enggak mau, aku enggak mau,” isak cowok itu dalam tangisnya. Dia menyembunyikan wajahnya di balik lipatan lengan, bahunya berguncang, air mata dan ingusnya menetes ke atas trotoar.

Atta ingin sekali menghampiri dan mengatakan, “Yang sabar ya, Kak. Ayah dan bundaku setiap tahun selalu ngalamin ini.” Namun Atta tak sanggup melakukannya, karena itu meingatkannya kepada kedua orangtuanya. Atta hanya bisa berdoa laki-laki itu tak berakhir seperti Ayah Bunda.

Pada saat yang sama seseorang menghampiri dan mengulurkan tangan. “Ayo!” katanya.

Atta mendongak dan tak paham. “Abang siapa?”

Sosok itu tak menjawab pertanyaannya. “Saya dengar apa yang kamu alami dari pegawai-pegawai yang lain. Maskapai itu memang bejat. Kamu bukan korban pertama, dan bukan satu-satunya. Ayo!”

Dengan ragu Atta mengambil uluran tangan itu dan berdiri. Dia berjalan membuntuti sosok asing yang tampak familier, tetapi Atta tak dapat mengenalnya. Sosok itu mengenakan kemeja floral dan kacamata hitam.

“Abang mau bawa aku ke mana?”

“Ke hal-hal yang sudah menjadi hakmu,” jawabnya. “Ke rumah yang sudah pantas kamu dapatkan sejak dulu. Rumah yang tak akan merenggut nyawa kedua orangtuamu.”

“Abang tahu orangtuaku?”

“I’ve done some research.” Dia menoleh sejenak dan tersenyum. “Saya enggak perlu tahu orangtuamu siapa. Tapi saya sudah tahu apa yang mereka rasakan.”

Atta dibawa ke sebuah tempat di ujung landasan Halim Perdanakusuma. Diajak menonton beberapa pesawat komersial lepas landas dari sana. Beberapa adalah pesawat charter Yavadvipa Jet yang deru mesinnya menggelegar.

“Suatu hari, kita akan menjatuhkan maskapai itu,” ujar sosok tersebut, menyusupkan tangan ke saku celana, lalu tersenyum lebar sekali. Tampak sangat menawan.

“Pesawat itu?” tanya Atta.

“Bukan.” Dia mengedikkan kepala. “Maskapai itu,” ralatnya.

“Mengapa Abang mau melakukan itu?”

Dia tersenyum lagi. “Keadilan. Dan kita akan menuntut itu bersama-sama. Kamu mau?”

Tentu saja Atta mau. Rahangnya mengeras, tangannya mengepal, napasnya memburu. “Iyalah, aku mau.”

“Bagus.” Dia mengusap-usap kepala Atta sambil berbisik, “Mulai sekarang namamu Mora.”

“Kenapa Mora?”

“One day you’ll know.”

*  *  *

Tiga bulan paling buruk dalam hidupnya, Atta ubah menjadi tiga tahun paling penuh komitmen, disiplin, dedikasi, dan kerja keras. Sosok itu membiayai kuliah Atta di jurusan teknik penerbangan terbaik di Jerman. Ya, Jerman. Bukan Indonesia. Bertemu Almarhum B.J. Habibie sudah menjadi agendanya selama berada di sana. Kepalanya diisi oleh segala ilmu teknik penerbangan terbaik, mengoptimalkan IQ 150-nya untuk menjadi orang terhebat. Sebelum pulang ke Indonesia, Airbus menawarkan kontrak dengan nilai besar tetapi Atta menolaknya.

“Niet vandaag,” jawabnya. Nanti saja, saat cita-citanya di Indonesia telah selesai.

Atta kembali menemui sosok itu di Indonesia. Memeluknya dengan erat, penuh misi.

“Selamat datang kembali …, Mora.”

Dua tahun penuh perhitungan, strategi, dan perencanaan matang …, The Flying Paradise Project akhirnya dilaksanakan. Semua berjalan dengan sempurna hingga penerbangan berakhir di Sultan Mahmud Badaruddin II International Airport, Palembang. Bahkan, lokasi pendaratan pun sesuai rencana.

Mora tak pernah mati sepanjang perjalanan. Mungkin dia terbujur kaku di ruang meeting kecil, terbaring tanpa nyawa. Namun napasnya masih ada. Nadinya masih berdenyut. Tak pernah berhenti sekali pun.

Semua berjalan sesuai rencana. Hingga ke titik pesawat mendarat darurat di Sungai Musi. Maskapai masih belum juga memenuhi permintaan kedua dan ketiga. Tak apa, batin Mora. Masih ada rencana besar kedua yang akan mereka laksanakan kalau The Flying Paradise Project tak menghasilkan output yang diharapkan.

Setelah ruang meeting kecil kosong, tak diisi lagi oleh tersangka yang diborgol, Mora pun bangun. Jika sesuai rencana, semua orang akan berada di kabin belakang. Entah bersembunyi di kabin komposit, atau menunggu di master bedroom untuk menghindari efek hempasan yang besar.

Ketika Mora menemukan Andre terbaring tak bernyawa di sofa sebelahnya, Mora menghambur memeluk teknisi kesayangannya itu dan menangis selama beberapa menit. Menangis tanpa suara. Dia merasa gagal melindungi Andre dari mengakhiri hidup seperti kedua orangtuanya. Namun proyek ini harus berlanjut. Bahkan kali ini, bukan untuk orangtuanya semata, melainkan untuk Andre juga.

Andre adalah laki-laki yang dia temui lima tahun sebelumnya, menangis karena dipaksa menjatuhkan sebuah pesawat atas alasan politik. Pesawat yang jatuh dan merenggut beberapa nyawa.

“You’re not a bad person, Bang Andre,” bisik Mora ke telinga Andre yang penuh darah. “In my eyes, you’re my hero. Just like my parents.”

Rencana awal The Flying Paradise Project adalah tidak ada nyawa yang melayang. Seharusnya Andre tak mati. Seharusnya Andre menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri kejatuhan Yavadvipa Jet, maskapai yang selalu menekannya melakukan perbuatan-perbuatan kotor dunia aviasi. Seharusnya Andre dan Mora merayakan kejatuhan itu bersama-sama. Dalam sukacita. Namun mungkin beban itu terlalu berat bagi Andre. Beban yang sama yang dipikul kedua orangtuanya.

“I’ll never stop fighting for this,” bisik Mora, mengecup dahi Andre dan menarik napas panjang.

Mora menyusut air matanya seraya mengeluarkan peralatan yang sudah dia siapkan sedari awal. Dia mengganti bajunya menjadi hitam-hitam, dari leher hingga ke sepatu. Agar Mora dapat menyatu dengan gelapnya malam. Setelah perlengkapannya dia gendong ke dalam satu ransel, dia menekan sebuah remote control kecil yang akan menghancurkan semua bukti-bukti pembajakan seperti kamera, antena untuk mengatur monitor, hingga software yang Mora tanamkan sebelumnya.

Pop!

Bunyinya sayup, tetapi Mora dapat mendengarnya di tengah pesawat yang sudah menderu lagi untuk mendarat di sungai. Itu adalah bunyi kehancuran benda-benda penting pembajakan yang akan diselidiki KNKT dan kepolisian saat investigasi nanti.

Mora mengendap-endap keluar, memastikan tak ada manusia lain selain dua pilot di dalam kokpit.

Waktunya harus tepat. Yaitu pada saat MORA. Minimum Off-Route Altitude, atau ketinggian minimum yang aman. Tentu saja ini bukan representasi dari MORA sebenarnya, tetapi ini adalah kode ketika Mora harus keluar, yaitu pada saat ketinggian pesawat termaan. Ketika GPWS berteriak, too low—gear! artinya ketinggian sudah tidak aman. Kalau GPWS berbunyi seperti itu, Mora sudah harus berada di dalam kokpit.

Dua pistol yang dia selundupkan selama masa maintenance (agar tidak terdeteksi pihak bandara), dikeluarkan dan ditodongkan pada dua pilot yang sedang mendaratkan pesawat ke atas Sungai Musi.

Ceklek!

Mike menoleh perlahan-lahan. “Kamu …?”

“Yep, full thrust,” jawab Mora sambil tersenyum lebar.

Laurence menoleh dan membelalak terkejut melihat sosok yang berada di belakang mereka. “Tapi ….”

“Full thrust. Now!” titah Mora.

“Kita enggak punya fuel cukup.”

“Oh we do have enough fuel.” Mora terkekeh meremehkan. Setelah mengatur ulang tampilan sisa bahan bakar, kedua pilot itu terkejut melihat pesawat masih menyimpan banyak bahan bakar. Bahkan cukup untuk mendarat di Halim saat ini juga.

Memilih dua pilot ini sudah sesuai rencana. Mike harus berada di sini agar dia juga dapat melihat kejatuhan Yavadvipa Jet yang pernah memaksanya melakukan manslaughter pada penerbangan 897 di Maluku. Memilih Laurence karena dia tak punya jam terbang banyak dengan Boeing 777. Mike harus menjadi kapten dalam penerbangan.

Kapten yang mengeksekusi The Flying Paradise Project agar sukses, meski sang kapten sebenarnya tak tahu apa-apa.

Setelah pesawat berhenti sempurna, life raft mengembang di dua pintu depan, bom asap diledakkan di bagian depan pesawat, Mora pun melompat melalui perosotan. Di tengah asap yang tiba-tiba mengepul menghalangi pandangan setiap petugas avsec maupun pemadam kebakaran, Mora berlari.

Berlari keluar dari area bandara, menyusuri lapangan rumput luas, memanjat pagar di tengah gelapnya malam, lalu lenyap tanpa kabar.

Misinya tidak terpenuhi semua hari ini. Namun Mora bersyukur dia sudah membuat pernyataan tegas melawan sang maskapai.

Aku enggak gagal Ayah Bunda, batin Mora sambil berlari di antara pepohonan samping bandara. Aku enggak gagal. Mungkin malam ini bukan waktunya, tapi aku bisa pastikan semua perjuangan Ayah Bunda, dan abang angkatku Andre, terbayar lunas. 



To be continued ....


<<< Part 27  |  The Flying Paradise  |  Part 29 >>>

Nude 33

  ssendrawkwA emitefiL .33     Pada suatu pagi lima tahun lalu, Miza bangun lebih pagi dari biasanya meski semalaman tak bisa tidur. D...