29 The Spy
Tiga minggu setelah insiden The Flying
Paradise, Jordan mengalami hari-hari paling melelahkan. Wawancara dengan
TV, investigasi dengan KNKT, hingga desakan dari Yavadvipa Jet untuk
merahasiakan beberapa hal.
Ya, Jordan mendapat ancaman dari Yavadvipa Jet kalau Jordan berani
membeberkan beberapa informasi rahasia yang terjadi selama insiden. Jadi, dalam
semua konferensi pers atau wawancara media, akan selalu ada perwakilan
Yavadvipa Jet yang menemaninya, memastikan Jordan tak mengatakan informasi yang
dilindungi.
Maskapai bahkan melakukan penelitian pada Jordan sebagai personal.
Segala jenis data media sosial dan sejarah hidup Jordan dikumpulkan dan
digunakan sebagai alat pemerasan. Hidupnya sebagai gay, laporan pajaknya yang punya beberapa fraud, hubungannya bersama Kristian, setiap buku biografi yang
Jordan tulis sebagai ghost writer,
dan masih banyak lagi. Kalau Jordan tak ingin semua rahasia itu terungkap ke
publik dan di-blow up oleh media
(karena tentu saja Yavadvipa Jet disokong oleh media) Jordan hanya boleh bersaksi
di depan publik sesuai skenario yang dibuat maskapai.
Hal yang sama terjadi kepada Kristian. Bahkan, lebih parah, Kristian
terancam masuk penjara atas tuduhan pornografi.
Gara-gara terlibat dalam insiden ini, negara memeriksa segala jenis
peralatan digital yang Kristian punya. Dari hasil penyelidikan, ditemukan bahwa
Kristian mengoleksi gambar dan video non-konsensual yang bersifat pornografi.
Memang, tak ada bukti bahwa Kristian menyebarkannya—atau bahkan memilikinya,
karena Kristian tetap berkelit semua video itu ada di sana bukan atas
kehendaknya. (Sekarang beberapa video tersebar karena seorang oknum kepolisian
dengan sengaja menyebarkan lewat Twitter.) Sayangnya, pihak-pihak yang direkam dalam
koleksi pornografi itu menuntut Kristian lewat jalur hukum, terlepas dari
apakah Kristian terbukti sebagai perekam dan penyebarnya, atau bukan.
Jadi, setelah terlepas dari investigasi KNKT, Kristian tetap harus
menjalani penyelidikan atas tuduhan kriminal yang dilakukannya. Jordan tak bisa
berbuat apa-apa. Yang dilakukan Kristian tetap salah, tak peduli dia
menyimpannya untuk diri sendiri, atau untuk disebarkan. Jordan hanya bisa
menemani Kristian ke setiap panggilan investigasi, persidangan, pertemuan
dengan korban, dan lain sebagainya … tanpa bisa berbuat apa-apa.
Pamungkas melenggang manja atas aksi heroiknya mempertahankan beberapa
rahasia tetap tersimpan. Meski belum menjabat sebagai CEO, tetapi gajinya naik.
Pamungkas jago sekali berakting di depan media bahwa dia disiksa secara fisik
selama proses pembajakannya. Dia membual sebuah cerita fiktif seperti dirinya
diikat, dicambuk, ditendang, dan ditodongkan pistol selama perjalanan. Padahal
kenyataannya Pamungkas mabuk-mabukan sambil tertawa seperti orang gila. Pistol
pun dia yang pegang sepanjang perjalanan, sampai akhirnya Andre menembak
dirinya sendiri.
Mike, Laurence, dan Maulana mendapatkan penghargaan dari maskapai atas
aksi heroiknya menyelamatkan penerbangan dalam insiden. Ketiganya tak bisa
mengundurkan diri, meski mereka sangat ingin. Sama seperti Jordan, ketiganya
diperas melalui informasi pribadi yang maskapai retas secara sengaja. Apalagi
Mike, maskapai telah membantu membelanya atas kasus membahayakan keselamatan
penerbangan di bawah ancaman. Yang harusnya Mike masuk penjara, kemungkinan
Mike akan bebas tetapi terikat kontrak dengan maskapai untuk waktu yang lama.
Bagaimana dengan Harry? Sang supermodel didiagnosa mengalami trauma oleh
seorang psikolog. Harry akan pindah ke Eropa dan tinggal di sana untuk
sementara. Selama berminggu-minggu Harry dikabarkan pergi ke rehab untuk
menyembuhkan dirinya. Harry tak ada masalah bekerja sama dengan maskapai untuk
menceritakan insiden menurut versi Yavadvipa Jet. Toh, Harry memang brand ambassador-nya. Enggak setuju pun,
Harry harus bilang setuju.
Beruntungnya, diagnosa trauma itu berhasil membuatnya keluar dari
jeratan Yavadvipa Jet. Brand ambassador terbaru
akan ditunjuk dalam dua bulan ke depan.
Bagaimana dengan Randian? Dia kambing hitamnya. Dia dituduh sebagai
mata-mata dalam pembajakan. Pamungkas benar-benar benci kepada Randian,
sehingga dia memanipulasi maskapai agar menuduh Randian. Dan memang Randian
punya motif yang sangat kuat. Kematian Andre memperparah keadaan. Maskapai
memberi tahu media bahwa, “Saudara R melakukan pelecehan seksual kepada Saudara
A di dalam pesawat, tetapi karena Saudara A menolak—mengingat maskapai punya
aturan tegas soal pelecehan seksual—Saudara R menembak kepalanya hingga
meninggal dunia.”
Jordan ingin sekali membantah berita palsu tersebut. Namun itu tak ada
dalam skenario khusus Jordan yang ditulis oleh maskapai. Bahkan, Randian tak
mendapatkan skenario khusus seperti semua penumpang yang lain. Dalam setiap
pertemuan rahasia antara maskapai dan penyintas The Flying Paradise, tidak
pernah ada Randian di sana untuk diajak mendiskusikan skenario pembajakan agar
satu suara.
Randian dibiarkan mengatakan yang sebenarnya di media, tetapi suaranya
kalah. Sehingga Randian malah kelihatan seperti penjahat yang berbicara omong
kosong membela dirinya sendiri.
Tak ada yang bisa membantu Randian. Arsitek itu kini ditetapkan sebagai
tersangka, tetapi tidak ditahan karena Randian berhasil mengajukan penangguhan
penahanan. Bukti bahwa Randian menembak Andre kurang kuat. Tak ada sidik jari
Randian pada pistol yang digunakan membunuh Andre. Untuk sementara, Randian
bisa tinggal di apartemennya menunggu keputusan terbaru apakah statusnya
berubah menjadi Terdakwa, atau justru lepas dari sangkaan.
Gara-gara kasus Randian, media dihebohkan dengan berita viral perkosaan
sesama jenis seorang arsitek kepada seorang teknisi. Di mana akhirnya
se-Indonesia merundung Randian di media sosial. Nama LGBT jelek lagi gara-gara
Randian. (Secara teknis gara-gara maskapai, sih. Tapi kan masyarakat enggak
tahu.)
Dan gara-gara hal tersebut, Jordan makin enggak bisa bergerak bebas.
Topik LGBT kembali menjadi topik sensitif di media sosial. Fakta bahwa setiap
orang di dalam pesawat pernah bercinta dengan dua orang yang lain akhirnya tak
pernah terungkap. Dalam hal ini, Yavadvipa Jet yang turun tangan memastikan isu
homoseksualitas itu tak pernah ada. Makanya Jordan dan yang lain tak punya
pilihan selain mengikuti skenario maskapai yang palsu. Hitung-hitung membayar
jasa karena membantu menyamarkan seksualitas setiap orang.
“Nak? Nak?” Ibu Jordan memanggil dari luar pintu kamar. “Ada tamu tuh
datang.”
“Siapa?”
“Artis yang waktu itu. Mama masuk, ya?” Karena kebetulan tidak dikunci,
dengan lancang ibunya Jordan masuk dan menutup pintu. “Si Kevin itu datang
lagi, lho. Dia best friend kamu, ya?”
“Iya,” jawab Jordan singkat. Dirinya sedang sibuk menulis di depan
laptop, merasa tak bersemangat menghadapi hari-hari setelah pembajakan. Ini
adalah tiga hari tanpa wawancara apa pun. Dan Jordan ingin beristirahat dengan
damai di kamarnya sendirian.
“Kamu mau ketemu dia, enggak?”
“Enggak, ah,” jawab Jordan. “Bilang aja aku enggak ada.”
“Kalau Mama yang ngobrol sama dia gimana? Mama udah nyiapin kartu nama. Barangkali
dia mau ngasih ke produser gitu?”
“Enggak usah, lah. Entar aku yang ngasih tahu dia. Tapi suruh dia pergi
dulu.”
“Kamu ini kenapa, sih Sayang? Kok kayaknya sejak pembajakan itu stres
mulu.”
“Iya, aku stres. Jadi, Mama keluar aja, ya. Tolong bilang ke dia aku
lagi enggak ada.”
Ibunya Jordan hanya menghela napas panjang. “Ya udah …. Tapi kamu jangan
lupa makan, ya. Mama udah masakin tumis kangkung tuh di meja. Kamu hari ini
keluar lagi enggak?”
Tidak ada jadwal keluar, tetapi Jordan merasa perlu menjawab, “Iya.
Nanti aku keluar lagi.”
“Wawancara?”
“Iya, wawancara,” bual Jordan.
“Sama Insert, bukan? Kalau sama Insert, Mama ikut, ya!”
Jordan memutar bola mata. “Mana ada Insert ngeliput pembajakan aku
kemarin.”
“Iiihhh … ada! Mama nonton!” sergah ibu Jordan. “Yang ada model ganteng
terus trauma itu, kan ada di pembajakan itu, Nak.”
Oh, Harry.
“Mama kirain kamu juga bakal diliput sama Insert. Apa belum, ya?”
“Aku enggak akan diliput sama Insert. Aku bukan artis. Udah sana,
bilangin aku enggak ada ke si Kevin itu.”
Mama mendengus. “Hih … kamu ini. Durhaka lho enggak bawa ibu kandung ke
Insert. Awas ya kalau kamu sampai diliput sama Insert tapi Mama enggak tahu!”
Ibunya Jordan keluar lagi dari kamar menuju ruang tamu. Dari kamarnya,
Jordan dapat mendengar sang ibu berkata, “Aduh
maaf Mas Artis. Katanya, Jordan lagi enggak ada.”
Jordan menepuk jidatnya.
Hari ini Jordan tak punya jadwal keluar. Namun sepanjang pagi, Jordan
kepikiran sesuatu.
Yaitu orang yang Jordan curigai sebagai mata-mata.
Meski bagi publik Randianlah penjahatnya, tetapi bagi semua orang dalam
penerbangan, Mora adalah penjahatnya. Dalam sebuah pertemuan kecil di lounge VIP Bandara Internasional Sultan
Mahmud Badaruddin II Palembang, tepat setelah kecelakaan, delapan orang
berkumpul sambil menyampirkan selimut ke bahu. Secangkir teh hangat disajikan
diiringi kue-kue. Mereka sedang menunggu izin dari otoritas bandara untuk
dipulangkan atau diwawancarai media lokal.
“Mora masih hidup,” ujar Mike.
Laurence mengafirmasi pernyataan itu meski enam orang yang lain tak
percaya.
“Dia menodongkan pistol ke kepala kami, menyuruh kami go around dan mendarat di Palembang.
Makanya kami enggak jadi mendarat di Sungai Musi.”
“Terus di mana sekarang Moranya?” tanya Jordan.
“Dia pasti kabur, sih. Tadi di ruang meeting
kecil hanya ada jenazahnya Andre.”
Ketika mereka kira jawabannya sudah terkuak, Pamungkas malah berkata,
“Oke, jangan sebarkan informasi ini kepada yang lain.”
“Maksudnya?”
“Kita tunggu perintah maskapai soal skenario yang harus kita ceritakan
ke media.”
“What the fuck?!” umpat
Mike berang. “Kita semua punya cerita yang sama!”
Pamungkas menggeleng. “Percaya sama saya. Kalau kalian mau selamat,
ikuti apa kata maskapai. Hal pertama, jangan dulu bahas soal Mora. Hal kedua,
katakan kepada media sesuai skenario yang sedang dibuat. Maskapai sudah
kehilangan 9 juta dolar. Untung dua permintaan terakhir belum terpenuhi.”
“Oh, saya sih bakal pastiin dua permintaan terakhir terpenuhi, meskipun
Mora sudah menghilang,” tantang Randian. Nah, di situlah akhirnya maskapai
membalik meja dengan cara memfitnah Randian dan membuatnya seolah-olah pembunuh
berdarah dingin. Sebelum Randian mengatakan sesuatu yang menjatuhkan maskapai,
maskapai duluan yang menjatuhkannya.
Jordan tak tahu bagaimana tanggapan maskapai pada fakta bahwa Moralah
pelakunya. Atau penyelidikan deh soal gimana Mora melakukannya ketika belasan
jam penerbangan Mora hanya terbujur kaku di ruang meeting kecil.
Jordan memang tak sempat dikurung di ruang meeting itu. Jadi Jordan tak sempat mengecek lebih lanjut soal
jenazah palsu Mora. Namun kali terakhir Jordan menyentuhnya, Mora memang tak
punya denyut nadi. Jordan menyentuh sendiri leher Mora.
Misteri aksi Mora dalam pembajakan adalah misteri terbesar dalam hidup
Jordan sekarang. Apakah ini ada kaitannya dengan satu orang yang Jordan curigai
sebagai mata-mata pada awalnya? Jordan sudah mengantongi satu nama yang dia
yakin sebagai pelaku utamanya. Namun nama tersebut harus dia lupakan setelah
Mike dan Laurence bersaksi bahwa Moralah pelakunya.
Lalu pagi ini … nama itu bergaung lagi dalam kepala Jordan.
Jordan memutuskan untuk mengiriminya pesan lewat Instagram, Boleh aku ketemu kamu hari ini?
Tak lama, orang itu menjawab, Boleh,
dong!
Di mana? tanya Jordan.
Dan dia memberikan alamatnya. Jordan tak berpikir dua kali untuk langsung
bersiap-siap dan pergi meninggalkan rumahnya, meninggalkan tumis kangkung yang
sudah disiapkan sang ibu.
* * *
Jordan turun di depan sebuah kompleks apartemen mewah. Taksinya langsung
melenggang pergi ketika Jordan memasuki pagar. Dia memastikan tak ada yang
membuntutinya. Selama tiga minggu terakhir, Jordan masih khawatir pihak
maskapai mencari-cari cara agar tetap bisa memeras Jordan dengan foto-foto candid penuh skandal.
Jordan tiba di lobi apartemen dan disambut seorang security yang tampaknya sudah menanti kedatangan Jordan. Tiba-tiba
saja, tanpa Jordan mengatakan apa pun, security
itu membuka akses ke lift, dan menekankan lantai delapan gedung A. “Sudah
ditunggu, Mas. Silakan.”
“O-oke ….” Dengan canggung Jordan berdiri di dalam lift dan naik ke
lantai yang dimaksud.
Jordan mencari nomor unit apartemen yang tertera di Instagramnya begitu
dia melangkahkan kaki ke luar. Lokasinya tak sulit dicari. Ada bel khusus yang
diletakkan di dekat pintu, yang suara panggilannya terdengar sampai keluar
setelah Jordan menekannya.
Pintu dibuka.
Jordan langsung menutup mulutnya dengan tangan, mundur satu langkah, dan
membelalakkan mata. Dia terkejut. Seharusnya mungkin sudah diprediksi, karena
memang kecurigaannya ke arah sana. Namun tetap saja Jordan tak menyangka sosok
itu betulan berada di depannya sekarang.
Sosok itu sangat seksi. Nyaris telanjang, hanya mengenakan celana boxer kotak-kotak, tampak sangat santai.
Dia meletakkan satu tangan di daun pintu, memamerkan rambut ketiaknya yang
lebat. Dan dia kurus. Tubuhnya kurus atletis dengan otot-otot kering sempurna,
perut kotak-kotak, kulit kecokelatan yang menawan. Di tangannya yang lain ada
sepotong donat yang sudah setengah dimakan, dan cowok tersebut sedang
mengunyahnya sambil tersenyum. Tepung gula bertebaran di sekitar mulutnya.
“Halo Mas Jordan!” sapanya.
Itu Mora.
Sosok yang menghilang sejak The
Flying Paradise mendarat di Palembang. Dan dia tampak … kurus. Ganteng,
pula. Wajahnya yang imut, mata cemerlang, body
berondong yang kurus. Mora tampak sehat walafiat. Padahal ini bukan apartemen Mora
yang Jordan tuju.
Ini yang Jordan pikirkan sepanjang pagi. Pasti mata-mata itu bukan hanya
satu. Pasti ada satu orang lain di antara penumpang yang membantu aksi Mora.
Dan pasti, mereka bekerja sama ketika si mata-mata hidup diborgol ke dalam
ruang meeting kecil. Bahkan mungkin,
mereka membuat situasi agar seolah-olah mata-mata hidup ini diborgol dan
dipertemukan dengan mayat Mora, supaya mereka bisa berdiskusi.
“Masuk!” Mora membuka pintunya lebar-lebar.
Jordan masih nge-hang selama
beberapa detik. Kemudian, dia berjalan pelan-pelan melewati pintu, dipimpin
oleh Mora menuju ruang tengah.
Berarti benar, batin
Jordan. Dugaannya selama tiga minggu
terakhir. Orang itu adalah mata-mata kedua. Mata-mata yang mengawasi para
penumpang selama penerbangan.
Ketika tiba di ruang tengah, di atas meja, tergeletak puluhan foto semua
orang yang ada di dalam The Flying
Paradise. Foto-foto itu hanya menampilkan tubuh setiap orang, tanpa
menunjukkan muka. Ada foto Jordan, foto Kristian, dan mungkin foto Harry,
Maulana, Randian, Mike, Laurence, Pamungkas, dan Andre. Semuanya bertebaran
acak seperti sedang dibahas bersama-sama.
Namun semua foto itu tak memiliki wajah. Foto shirtless, mengenakan pakaian, foto memamerkan dada bidang, ketiak,
bisep trisep, puting susu, pokoknya tanpa wajah. Ada foto Jordan yang tergeletak
di ujung meja dengan tulisan, THE WRITER di atasnya. Lalu foto Kristian di
tengah hutan, bertelanjang dada, bertuliskan THE VIDEOGRAPHER.
Foto Mora dengan tubuh seksi pun ada di sana. Tulisannya, THE BEGINNING.
Pembajakan ini sudah direncanakan dengan sangat detail dan matang.
Atau justru mereka sedang
merencanakan pembajakan kedua? pikir Jordan. Mengapa foto-foto ini
masih bertebaran? Kalau ini akan memberatkan mereka, harusnya mereka sudah
membakar semua foto ini, kan?
Jordan baru menyadari seseorang sedang duduk menghadap ke jendela. Sosok
itu mengenakan jubah mandi besar berwarna putih, menikmati secangkir teh sambil
memandang Jakarta di hadapannya. Dia memutar kursinya menghadap ke Jordan, bangkit,
dan menghampiri sang penulis.
Lagi-lagi, Jordan terkejut.
Sosok itu tak Jordan sangka ada di sini juga.
“Hei! Gimana kabarnya?” Dia menghampiri Jordan sambil cipika-cipiki,
kemudian berjalan ke dapur dan membawakan sepiring donat. “Orangnya lagi mandi.
Mau donat?”
“Eng … enggak. Thanks.” Jordan
masih menutup mulutnya karena terkejut. Matanya masih membelalak.
Sosok yang ada di hadapannya ini berwajah manis. Dia hanya mengenakan
celana dalam mahal dibalut jubah mandi yang tidak diikat. Sehingga, Jordan
dapat melihat ketelanjangan dari leher hingga ke perut, lalu tungkai-tungkainya
yang berotot.
Mereka sedang orgy atau apa? Mengapa dia dan Mora telanjang?
batin Jordan.
Dia Maulana. Dan dia bukan orang yang membuat janji dengan Jordan hari
ini. Apa ini artinya mata-mata pembajakan ada tiga orang?
“Kok, kamu ada di sini?” tanya Jordan.
“Karena kamu mau datang, Mas,” jawab Maulana, duduk lagi di kursinya sambil
menyesap teh. Maulana tampak segar dan ceria. Seolah-olah tiga minggu lalu
tidak mengalami kejadian traumatis yang melelahkan dalam pembajakan. “Kita, kan
mau meeting.”
“Meeting?”
“The Falldown of Yavadvipa, season
two!” jawab Maulana sambil menyesap lagi tehnya.
“Ehem. The Flying Paradise Project,
season two,” ralat Mora cengar-cengir sambil meraup satu donat
lain.
“Aku enggak suka nama itu. We
should really change the name one day, okay?” sergah Maulana sambil memutar
bola mata.
Mora mengangkat bahu. “Oke. By the
way, ini enak lho, Mas,” Mora mengacungkan donat ke arah Jordan. “Cobain!
Kak Maul yang bikin.”
Maulana mengibaskan tangannya. “Biasa aja, kok Ta.”
“Kenapa … kenapa meeting-nya
bawa-bawa aku?” tanya Jordan, menelan ludah. Jordan masih berdiri di tempatnya.
Agak gemetar karena melihat Maulana dan Mora berada di apartemen yang bukan
milik mereka. Bukan dengan merekalah Jordan membuat janji temu. Mengapa justru
mereka berdua yang Jordan temui pertama kali?
“Karena kamu akan menjadi bagian penting untuk proyek kedua,” jawab
Maulana. “Ayo, sini. Duduk dulu.”
Sebelum Jordan duduk, pemilik apartemen akhirnya muncul. Sosok itu
telanjang juga, tapi karena habis mandi. Handuk dilingkarkan ke pinggangnya,
agak-agak ke bawah hingga jembutnya yang baru tumbuh mengintip keluar. Titik-titik
air memenuhi seluruh permukaan kulitnya dengan seksi. Sosok itu merentangkan
tangan sambil menghambur memeluk Jordan dengan kurang ajar. “Yooo! My Mate! Gimana kabarnya?”
“Ka … kamu?”
“I know! Fuck me dead, right!” Dia
cengar-cengir. “Come sit your buttock! We
have some ing to discuss!”
To be continued ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar