28 The Beginning
Laki-laki itu selalu dipanggil Mora. Berumur 22 tahun, berzodiak Taurus,
memiliki IQ di atas 150. Namun, nama aslinya adalah Atta. Anak yatim piatu yang
keluarganya dibunuh secara internal oleh maskapai pemilik The Flying Paradise.
Ayahnya bekerja untuk Yavadvipa Jet sebagai teknisi selama
bertahun-tahun, sementara sang ibu menjadi pramugari di maskapai yang sama.
Keduanya secara konstan ditekan untuk melakukan aksi-aksi kotor rahasia. Meski
mereka ingin mengundurkan diri, maskapai selalu punya cara untuk mengingatkan
orangtua Atta terkait beban moral yang sudah ditanggungnya.
Ketika Atta lulus SMA, ayah dan ibunya bunuh diri bersamaan. Surat
terakhir yang orangtuanya tulis sebelum mati menunjukkan jelas bahwa mereka tak
sanggup lagi menanggung tekanan dari maskapai untuk tetap melakukan perbuatan
kotor dan immoral. Tulisan itu begitu
lengkap, disimpan baik-baik oleh Atta, menjadi bahan bakar bagi dirinya
membalas kematian orangtua pada masa depan.
Yaitu, hari ini.
Atta masih ingat hari kelulusan itu. Dia menelepon sang ayah ketika
menerima hasil ujian yang dikirimkan sekolah. Nilainya sempurna, termasuk 10
besar nilai UN terbaik se-Jawa Barat. Impiannya untuk mengejar beasiswa agar
tak perlu membebani orangtua bisa tercapai.
“Nilaiku 10 semua,” ungkapnya bahagia.
“Bagus, Nak! Kamu mau kuliah di mana
jadinya?”
“Aku mau cari beasiswa S1 ke ITB. Hari ini ke sekolah ngambil
dokumen-dokumen buat di-submit ke
beasiswa. Aku punya empat alternatif beasiswa. Semoga salah satunya gol.”
“Pasti.” Sang ayah
terkekeh, meski suaranya bergetar. Atta menganggap ayahnya sedang menangis
terharu. “Ayah panggil Bunda, ya.
Sebentar.”
Atta menunggu dengan bergairah ketika ayahnya berjalan menemui sang ibu.
Mereka bekerja di perusahaan yang sama, dan sudah bersama setelah
bertahun-tahun. Namun karena berbeda divisi, ayahnya berjalan cukup jauh dari
kantor teknisi ke kantor pusat di mana kru terbang biasa berkumpul. Atta dapat
mendengar ayahnya berlari dan memohon izin kepada petugas security untuk bertemu istrinya. Setelah izin didapat, ibunya
muncul di telepon.
“Gimana?” sapa sang ibu.
“Nilaiku 10 semua. Peringkat satu di sekolah. Didi bilang masuk 10 besar
se-Jawa Barat juga.”
“Alhamdulillah …. Selamat ya, Nak.”
Kemudian jeda sejenak.
Atta mendengar sejenis isakan tangis dari ujung telepon. Menduga kedua
orangtuanya terharu atas prestasi Atta untuk mengubah nasib.
“Ya udah, aku ke sekolah dulu ya, Bun. Buat ngambil dokumen-dokumennya.
Aku, kan mau ngambil beasiswa. Biar Ayah sama Bunda enggak perlu bayarin aku
kuliah.”
Isakan itu terdengar lagi, tetapi Atta langsung menutup telepon.
Atta berangkat ke sekolah dengan perasaan gembira. Dia disambut meriah
oleh pihak sekolah. Bahkan, wali kelasnya membuat tumpeng di ruang guru,
merayakan keberhasilan Atta masuk 10 besar siswa terbaik se-Jawa Barat. Nyaris
semua orang berkumpul untuk memberikan ucapan selamat. Kepala sekolah turun
tangan dan mengeluarkan uang 5 juta rupiah dari kantongnya sebagai hadiah. Tak
hanya itu, beberapa guru kesiswaan menjamin Atta mendapatkan beasiswa apa pun
yang diinginkannya.
“Bapak bakal berdiri paling depan untuk pastiin kamu dapatin beasiswa
yang kamu mau. Segala jenis surat referensi, bisa kami buat. Terima kasih
karena telah membanggakan sekolah.”
Itu adalah pesta paling meriah yang pernah Atta dapatkan. Lebih meriah
dari setiap pesta ulang tahun yang dia rayakan, atau hadiri. Semua guru dan
temannya memeluk Atta, meramalkan masa depan cerah cowok berzodiak Taurus itu.
Karena semua harus Atta layani, Atta baru bisa keluar dari sekolah pukul lima
sore.
Apa Atta langsung pulang? Enggak. Semua teman sekolahnya merencanakan
pesta perpisahan meriah di sebuah gedung, diisi dengan karaoke, games, dan jamuan mewah. Atta baru kembali
ke rumah lewat pukul 10 malam. Tentunya setelah me-Whatsapp kedua orangtuanya
soal pulang telat, tetapi tak pernah dibalas.
Yang Atta inginkan adalah menjadi sangat sukses, agar orangtuanya lepas
dari tanggung jawab berat di tempat kerja mereka. Atta tahu persis apa yang
terjadi. Bahkan sejak kecil, Atta melihat kedua orangtuanya menangis karena
telah melakukan perbuatan kotor di maskapai. Perbuatan kotor yang tak ingin
mereka lakukan, tetapi harus mereka
lakukan sebagai bentuk dedikasi karyawan.
Jutaan kali mereka mencoba mengundurkan diri. Ancaman selalu muncul
membuntuti kalau mereka pergi. Atta pernah mengalami rumah kebakaran,
kerampokan, bahkan Atta pernah diculik hanya demi kedua orangtuanya kembali
bekerja.
Sang ayah dipaksa memberikan laporan palsu hasil pengecekan pesawat
kepada audit. Menutupi kebobrokan maskapai yang tidak mengindahkan safety pada hal-hal kecil. Ibunya
menjadi saksi segala bisnis kotor politik Indonesia. Dan yang paling membuat
Atta miris sampai menangis berkali-kali saat sang ibu curhat kepada suaminya,
tentang …
… dijadikan objek seksual pelanggan maskapai.
Atta tak akan pernah lupa setiap sang ibu pulang sambil menangis,
menghambur ke pelukan suaminya di kamar dan bercerita bahwa seorang petinggi di
India memaksanya berhubungan seks. Beberapa kali ibunya terbang hanya
mengenakan bikini agar lelaki hidung belang bercuan banyak ini bisa
mengelus-elus pantat sang ibu setiap mereka menyajikan makanan.
Ayahnya pernah mengamuk ke maskapai dan mengancam akan melaporkan semua
perbuatan bejat perusahaan, termasuk objektifikasi perempuan secara seksual.
Yang ada malah sang ayah difitnah telah memberikan laporan palsu dalam
perawatan pesawat, sehingga beliau terancam masuk penjara. Tentu saja ayahnya
tak masuk penjara kecuali tetap bekerja di Yavadvipa Jet dan menutup mulutnya.
Sejak hari itu Atta tahu, senyum kedua orangtuanya tak pernah tulus.
Senyum mereka hanyalah senyum palsu agar Atta tetap bertahan di dunia.
Kalau Atta berhasil sukses, masuk universitas ternama, mendapatkan pekerjaan
di tempat bagus, Atta akan mencari cara mengeluarkan kedua orangtuanya dari
sana. Dia yang akan membiayai hidup mereka, yang penting mereka bisa terbebas
dari belenggu immoral perusahaan.
Maka dari itu, Atta pulang dengan semangat dari pesta, kepalanya penuh
dengan rencana strategis untuk dibagikan kepada orangtua. Senyumnya terukir
sepanjang mengendarai motor dari gedung menuju rumahnya.
Ketika tiba di depan rumah, lampu di dalam sudah menyala. Yang berarti
orangtuanya sudah pulang. Atta berlari sambil mengacungkan dokumen yang
diambilnya dari sekolah. Seringai bahagia itu begitu lebar dari telinga ke
telinga. Atta menghambur masuk melalui pintu depan dan menemukan …
… kedua orangtuanya gantung diri.
* * *
Itu adalah tiga bulan paling berat dalam hidup Atta.
Apa dia berhasil mendapat beasiswa? Tidak. Karena mentalnya hancur
sehancur-hancurnya. Dia merasa tak punya alasan lagi untuk melanjutkan sekolah,
mengingat selama ini dia melakukannya untuk kedua orangtua. Air mata Atta habis
dicucurkan setiap malam. Surat yang ditulis kedua orangtuanya sebelum meninggal
dibaca Atta setiap pagi seperti membaca koran. Surat itu menjadi bahan bakarnya
untuk terus berjuang menegakkan keadilan.
Kepada anak yang paling mulia, Atta.
Mohon maaf karena Ayah dan Bunda
harus pergi secepat ini. Tak pernah Ayah Bunda sebahagia ini mendengar kabar
kelulusanmu, seperti saat Ayah Bunda berbahagia melihatmu lahir, berjalan
pertama kali, membaca buku, dan menyanyikan lagu favoritmu. Ayah Bunda tak
pernah ragu untuk mendukungmu meraih masa depan.
Apa pun itu.
Yang Ayah Bunda harapkan dan lakukan
selama ini hanyalah memastikan kamu meraih kesuksesanmu. Mungkin hari ini
belum. Namun mungkin hari ini awal dari semuanya. Ayah dan Bunda selalu bangga
pada apa yang kamu lakukan kemarin, hari ini, dan masa depan. Namun Ayah Bunda
tak pernah bangga pada apa yang selama ini Ayah Bunda lakukan supaya kamu bisa
mewujudkan semua itu.
Ayah dan Bunda ingin berhenti. Hanya
saja Ayah Bunda belum bisa. Ini adalah hari yang Ayah Bunda tunggu-tunggu, agar
Ayah Bunda tak perlu membayang-bayangimu dengan kesalahan pada masa lalu. Kamu
berhak hidup bebas tanpa ancaman apa pun di belakangmu, tanpa paksaan melakukan
perbuatan kotor, tanpa sentuhan jahat manusia-manusia bejat, tanpa
rahasia-rahasia yang sering merenggut jiwa.
Maka dari itu, Ayah Bunda harus
pergi. Jangan menangis, karena Ayah Bunda tak pergi dengan kesedihan. Ayah
Bunda pergi atas rasa bahagia melihatmu memulai kesuksesan, atas keyakinan kamu
bisa bertahan, atas janji Tuhan bahwa kamu akan kuat menghadapi dunia, menjadi
versi lebih baik dari Ayah Bunda sendiri.
Ayah dan Bunda merasa perjalanan
harus dihentikan pada malam ini sebelum Ayah Bunda menjerumuskanmu pada jurang
yang sama. Dari titik ini, kamu bisa membangun kerajaanmu, memberi inspirasi
pada mereka yang tertindas agar berjuang, memberi semangat bahwa nasib bisa
berubah. Seperti yang sudah kamu lakukan setiap hari kepada Ayah Bunda. Kamu
memberi harapan bahwa keluarga ini dapat menjadi lebih baik, meski kami harus
mengorbankan nyawa.
Kehadiranmu selama 17 tahun terakhir
selalu menjadi alasan Ayah Bunda bangun pagi dan menghadapi hari yang penuh
perbuatan keji. Hari yang harus Ayah Bunda lalui mau tak mau, suka tak suka,
benar maupun salah. Hari semacam ini tak akan Ayah Bunda biarkan menyentuhmu
sekali pun.
Kalau kita dipertemukan pada waktu
lain, pada dimensi lain, pada kesempatan lain, Ayah Bunda hanya akan memohon
maaf darimu. Hanya itu.
Sampai jumpa lain waktu.
Ayah Bunda.
Surat itu diakhiri dengan segala jenis dokumen agar Atta dapat bertahan
hidup. Tabungan, warisan, dan asuransi. Bukan asuransi atas diri mereka
sendiri, melainkan asuransi atas nama Atta. Jika keduanya mati dalam cara apa
pun, Atta akan mendapatkan kompensasi dari perusahaan sebesar ….
$9.000.000,-.
Uang itu adalah gabungan dari semua perbuatan kotor yang orangtuanya
lakukan selama bekerja di sana. Perbuatan yang mereka tak ingin lakukan, tetapi
perusahaan menekan mereka melalui imbalan. Katanya, kalau mereka sampai
meregang nyawa, uang itu otomatis menjadi milik Atta. Atas motivasi itulah
keduanya tetap menjalankan perintah meski terpaksa.
Tiga bulan penuh Mora bolak-balik ke kantor Yavadvipa Jet menuntut
keadilan. Setidaknya, menuntut haknya atas uang yang diwariskan.
Apakah Atta mendapatkannya?
Tidak.
Atta ditertawakan pada setiap kunjungan. Atta dianggap bocah SMA
pengemis. Namanya masuk ke dalam persona
non grata perusahaan. Di-black list
dari segala jenis penerbangan Yavadvipa Jet dan maskapai berjadwal yang
beraliansi. Uang itu tak pernah Atta terima. Hanya sekarang bunga turut berduka
cita dan hadiah agenda tahunan sebagai kompensasi.
Bulan ketiga, pada kunjungan Atta yang terakhir ke kantor pusat mereka
di Cawang, Jakarta Timur Atta digebuk dan ditendang petugas keamanan karena
memaksa masuk. Saat itu tengah terjadi insiden rahasia yang tak pernah
terungkap ke publik. Tidak, Atta tak peduli pada insiden itu. Atta hanya
menuntut keadilan berupa segala jenis hal yang diwariskan orangtuanya, yang
masih ada di perusahaan.
Atta keluar dari gedung babak belur, menangis di trotoar parkiran dan
berpikir untuk menyusul kedua orangtuanya. Di sebelahnya seorang teknisi tampak
sedang menangis seperti dirinya. Dia memeluk dokumen-dokumen yang Atta kenal
sebagai dokumen suapan. Karena Atta melihat dokumen sejenis di rumahnya. Ketika
kedua orangtuanya dipaksa melakukan skandal atas jaminan tertentu.
Jaminannya ada di dokumen tersebut.
“Aku enggak mau, aku enggak mau,” isak cowok itu dalam tangisnya. Dia
menyembunyikan wajahnya di balik lipatan lengan, bahunya berguncang, air mata
dan ingusnya menetes ke atas trotoar.
Atta ingin sekali menghampiri dan mengatakan, “Yang sabar ya, Kak. Ayah
dan bundaku setiap tahun selalu ngalamin ini.” Namun Atta tak sanggup
melakukannya, karena itu meingatkannya kepada kedua orangtuanya. Atta hanya
bisa berdoa laki-laki itu tak berakhir seperti Ayah Bunda.
Pada saat yang sama seseorang menghampiri dan mengulurkan tangan. “Ayo!”
katanya.
Atta mendongak dan tak paham. “Abang siapa?”
Sosok itu tak menjawab pertanyaannya. “Saya dengar apa yang kamu alami
dari pegawai-pegawai yang lain. Maskapai itu memang bejat. Kamu bukan korban
pertama, dan bukan satu-satunya. Ayo!”
Dengan ragu Atta mengambil uluran tangan itu dan berdiri. Dia berjalan
membuntuti sosok asing yang tampak familier, tetapi Atta tak dapat mengenalnya.
Sosok itu mengenakan kemeja floral dan kacamata hitam.
“Abang mau bawa aku ke mana?”
“Ke hal-hal yang sudah menjadi hakmu,” jawabnya. “Ke rumah yang sudah
pantas kamu dapatkan sejak dulu. Rumah yang tak akan merenggut nyawa kedua
orangtuamu.”
“Abang tahu orangtuaku?”
“I’ve done some research.” Dia
menoleh sejenak dan tersenyum. “Saya enggak perlu tahu orangtuamu siapa. Tapi
saya sudah tahu apa yang mereka rasakan.”
Atta dibawa ke sebuah tempat di ujung landasan Halim Perdanakusuma.
Diajak menonton beberapa pesawat komersial lepas landas dari sana. Beberapa
adalah pesawat charter Yavadvipa Jet yang deru mesinnya menggelegar.
“Suatu hari, kita akan menjatuhkan maskapai itu,” ujar sosok tersebut,
menyusupkan tangan ke saku celana, lalu tersenyum lebar sekali. Tampak sangat
menawan.
“Pesawat itu?” tanya Atta.
“Bukan.” Dia mengedikkan kepala. “Maskapai itu,” ralatnya.
“Mengapa Abang mau melakukan itu?”
Dia tersenyum lagi. “Keadilan. Dan kita akan menuntut itu bersama-sama.
Kamu mau?”
Tentu saja Atta mau. Rahangnya mengeras, tangannya mengepal, napasnya
memburu. “Iyalah, aku mau.”
“Bagus.” Dia mengusap-usap kepala Atta sambil berbisik, “Mulai sekarang
namamu Mora.”
“Kenapa Mora?”
“One day you’ll know.”
* * *
Tiga bulan paling buruk dalam hidupnya, Atta ubah menjadi tiga tahun
paling penuh komitmen, disiplin, dedikasi, dan kerja keras. Sosok itu membiayai
kuliah Atta di jurusan teknik penerbangan terbaik di Jerman. Ya, Jerman. Bukan
Indonesia. Bertemu Almarhum B.J. Habibie sudah menjadi agendanya selama berada
di sana. Kepalanya diisi oleh segala ilmu teknik penerbangan terbaik,
mengoptimalkan IQ 150-nya untuk menjadi orang terhebat. Sebelum pulang ke
Indonesia, Airbus menawarkan kontrak dengan nilai besar tetapi Atta menolaknya.
“Niet vandaag,”
jawabnya. Nanti saja, saat cita-citanya di Indonesia telah selesai.
Atta kembali menemui sosok itu di Indonesia. Memeluknya dengan erat,
penuh misi.
“Selamat datang kembali …, Mora.”
Dua tahun penuh perhitungan, strategi, dan perencanaan matang …, The Flying Paradise Project akhirnya
dilaksanakan. Semua berjalan dengan sempurna hingga penerbangan berakhir di
Sultan Mahmud Badaruddin II International Airport, Palembang. Bahkan, lokasi
pendaratan pun sesuai rencana.
Mora tak pernah mati sepanjang perjalanan. Mungkin dia terbujur kaku di
ruang meeting kecil, terbaring tanpa
nyawa. Namun napasnya masih ada. Nadinya masih berdenyut. Tak pernah berhenti
sekali pun.
Semua berjalan sesuai rencana. Hingga ke titik pesawat mendarat darurat
di Sungai Musi. Maskapai masih belum juga memenuhi permintaan kedua dan ketiga.
Tak apa, batin Mora. Masih ada
rencana besar kedua yang akan mereka laksanakan kalau The Flying Paradise Project tak menghasilkan output yang diharapkan.
Setelah ruang meeting kecil kosong,
tak diisi lagi oleh tersangka yang diborgol, Mora pun bangun. Jika sesuai
rencana, semua orang akan berada di kabin belakang. Entah bersembunyi di kabin
komposit, atau menunggu di master bedroom
untuk menghindari efek hempasan yang besar.
Ketika Mora menemukan Andre terbaring tak bernyawa di sofa sebelahnya,
Mora menghambur memeluk teknisi kesayangannya itu dan menangis selama beberapa
menit. Menangis tanpa suara. Dia merasa gagal melindungi Andre dari mengakhiri
hidup seperti kedua orangtuanya. Namun proyek ini harus berlanjut. Bahkan kali
ini, bukan untuk orangtuanya semata, melainkan untuk Andre juga.
Andre adalah laki-laki yang dia temui lima tahun sebelumnya, menangis
karena dipaksa menjatuhkan sebuah pesawat atas alasan politik. Pesawat yang jatuh
dan merenggut beberapa nyawa.
“You’re not a bad person, Bang
Andre,” bisik Mora ke telinga Andre yang penuh darah. “In my eyes, you’re my hero. Just like my
parents.”
Rencana awal The Flying Paradise
Project adalah tidak ada nyawa yang melayang. Seharusnya Andre tak mati.
Seharusnya Andre menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri kejatuhan Yavadvipa
Jet, maskapai yang selalu menekannya melakukan perbuatan-perbuatan kotor dunia
aviasi. Seharusnya Andre dan Mora merayakan kejatuhan itu bersama-sama. Dalam
sukacita. Namun mungkin beban itu terlalu berat bagi Andre. Beban yang sama
yang dipikul kedua orangtuanya.
“I’ll never stop fighting for this,” bisik
Mora, mengecup dahi Andre dan menarik napas panjang.
Mora menyusut air matanya seraya mengeluarkan peralatan yang sudah dia
siapkan sedari awal. Dia mengganti bajunya menjadi hitam-hitam, dari leher
hingga ke sepatu. Agar Mora dapat menyatu dengan gelapnya malam. Setelah
perlengkapannya dia gendong ke dalam satu ransel, dia menekan sebuah remote control kecil yang akan
menghancurkan semua bukti-bukti pembajakan seperti kamera, antena untuk
mengatur monitor, hingga software
yang Mora tanamkan sebelumnya.
Pop!
Bunyinya sayup, tetapi Mora dapat mendengarnya di tengah pesawat yang
sudah menderu lagi untuk mendarat di sungai. Itu adalah bunyi kehancuran
benda-benda penting pembajakan yang akan diselidiki KNKT dan kepolisian saat
investigasi nanti.
Mora mengendap-endap keluar, memastikan tak ada manusia lain selain dua
pilot di dalam kokpit.
Waktunya harus tepat. Yaitu pada saat MORA. Minimum Off-Route Altitude, atau ketinggian minimum yang aman.
Tentu saja ini bukan representasi dari MORA sebenarnya, tetapi ini adalah kode
ketika Mora harus keluar, yaitu pada saat ketinggian pesawat termaan. Ketika
GPWS berteriak, too low—gear! artinya
ketinggian sudah tidak aman. Kalau
GPWS berbunyi seperti itu, Mora sudah harus berada di dalam kokpit.
Dua pistol yang dia selundupkan selama masa maintenance (agar tidak terdeteksi pihak bandara), dikeluarkan dan
ditodongkan pada dua pilot yang sedang mendaratkan pesawat ke atas Sungai Musi.
Ceklek!
Mike menoleh perlahan-lahan. “Kamu …?”
“Yep, full thrust,” jawab
Mora sambil tersenyum lebar.
Laurence menoleh dan membelalak terkejut melihat sosok yang berada di
belakang mereka. “Tapi ….”
“Full thrust. Now!” titah
Mora.
“Kita enggak punya fuel
cukup.”
“Oh we do have enough fuel.” Mora
terkekeh meremehkan. Setelah mengatur ulang tampilan sisa bahan bakar, kedua
pilot itu terkejut melihat pesawat masih menyimpan banyak bahan bakar. Bahkan
cukup untuk mendarat di Halim saat ini juga.
Memilih dua pilot ini sudah sesuai rencana. Mike harus berada di sini agar dia juga dapat melihat kejatuhan
Yavadvipa Jet yang pernah memaksanya melakukan manslaughter pada penerbangan 897 di Maluku. Memilih Laurence
karena dia tak punya jam terbang banyak dengan Boeing 777. Mike harus menjadi
kapten dalam penerbangan.
Kapten yang mengeksekusi The
Flying Paradise Project agar sukses, meski sang kapten sebenarnya tak tahu
apa-apa.
Setelah pesawat berhenti sempurna, life
raft mengembang di dua pintu depan, bom asap diledakkan di bagian depan
pesawat, Mora pun melompat melalui perosotan. Di tengah asap yang tiba-tiba
mengepul menghalangi pandangan setiap petugas avsec maupun pemadam kebakaran,
Mora berlari.
Berlari keluar dari area bandara, menyusuri lapangan rumput luas,
memanjat pagar di tengah gelapnya malam, lalu lenyap tanpa kabar.
Misinya tidak terpenuhi semua hari ini. Namun Mora bersyukur dia sudah membuat pernyataan tegas melawan sang maskapai.
Aku enggak gagal Ayah Bunda, batin Mora sambil berlari di antara pepohonan samping bandara. Aku enggak gagal. Mungkin malam ini bukan waktunya, tapi aku bisa pastikan semua perjuangan Ayah Bunda, dan abang angkatku Andre, terbayar lunas.
To be continued ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar