Selasa, 18 Mei 2021

The Flying Paradise 28

28 The Beginning

 



Laki-laki itu selalu dipanggil Mora. Berumur 22 tahun, berzodiak Taurus, memiliki IQ di atas 150. Namun, nama aslinya adalah Atta. Anak yatim piatu yang keluarganya dibunuh secara internal oleh maskapai pemilik The Flying Paradise.

Ayahnya bekerja untuk Yavadvipa Jet sebagai teknisi selama bertahun-tahun, sementara sang ibu menjadi pramugari di maskapai yang sama. Keduanya secara konstan ditekan untuk melakukan aksi-aksi kotor rahasia. Meski mereka ingin mengundurkan diri, maskapai selalu punya cara untuk mengingatkan orangtua Atta terkait beban moral yang sudah ditanggungnya.

Ketika Atta lulus SMA, ayah dan ibunya bunuh diri bersamaan. Surat terakhir yang orangtuanya tulis sebelum mati menunjukkan jelas bahwa mereka tak sanggup lagi menanggung tekanan dari maskapai untuk tetap melakukan perbuatan kotor dan immoral. Tulisan itu begitu lengkap, disimpan baik-baik oleh Atta, menjadi bahan bakar bagi dirinya membalas kematian orangtua pada masa depan.

Yaitu, hari ini.

Atta masih ingat hari kelulusan itu. Dia menelepon sang ayah ketika menerima hasil ujian yang dikirimkan sekolah. Nilainya sempurna, termasuk 10 besar nilai UN terbaik se-Jawa Barat. Impiannya untuk mengejar beasiswa agar tak perlu membebani orangtua bisa tercapai.

“Nilaiku 10 semua,” ungkapnya bahagia.

“Bagus, Nak! Kamu mau kuliah di mana jadinya?”

“Aku mau cari beasiswa S1 ke ITB. Hari ini ke sekolah ngambil dokumen-dokumen buat di-submit ke beasiswa. Aku punya empat alternatif beasiswa. Semoga salah satunya gol.”

“Pasti.” Sang ayah terkekeh, meski suaranya bergetar. Atta menganggap ayahnya sedang menangis terharu. “Ayah panggil Bunda, ya. Sebentar.”

Atta menunggu dengan bergairah ketika ayahnya berjalan menemui sang ibu. Mereka bekerja di perusahaan yang sama, dan sudah bersama setelah bertahun-tahun. Namun karena berbeda divisi, ayahnya berjalan cukup jauh dari kantor teknisi ke kantor pusat di mana kru terbang biasa berkumpul. Atta dapat mendengar ayahnya berlari dan memohon izin kepada petugas security untuk bertemu istrinya. Setelah izin didapat, ibunya muncul di telepon.

“Gimana?” sapa sang ibu.

“Nilaiku 10 semua. Peringkat satu di sekolah. Didi bilang masuk 10 besar se-Jawa Barat juga.”

“Alhamdulillah …. Selamat ya, Nak.” Kemudian jeda sejenak.

Atta mendengar sejenis isakan tangis dari ujung telepon. Menduga kedua orangtuanya terharu atas prestasi Atta untuk mengubah nasib.

“Ya udah, aku ke sekolah dulu ya, Bun. Buat ngambil dokumen-dokumennya. Aku, kan mau ngambil beasiswa. Biar Ayah sama Bunda enggak perlu bayarin aku kuliah.”

Isakan itu terdengar lagi, tetapi Atta langsung menutup telepon.

Atta berangkat ke sekolah dengan perasaan gembira. Dia disambut meriah oleh pihak sekolah. Bahkan, wali kelasnya membuat tumpeng di ruang guru, merayakan keberhasilan Atta masuk 10 besar siswa terbaik se-Jawa Barat. Nyaris semua orang berkumpul untuk memberikan ucapan selamat. Kepala sekolah turun tangan dan mengeluarkan uang 5 juta rupiah dari kantongnya sebagai hadiah. Tak hanya itu, beberapa guru kesiswaan menjamin Atta mendapatkan beasiswa apa pun yang diinginkannya.

“Bapak bakal berdiri paling depan untuk pastiin kamu dapatin beasiswa yang kamu mau. Segala jenis surat referensi, bisa kami buat. Terima kasih karena telah membanggakan sekolah.”

Itu adalah pesta paling meriah yang pernah Atta dapatkan. Lebih meriah dari setiap pesta ulang tahun yang dia rayakan, atau hadiri. Semua guru dan temannya memeluk Atta, meramalkan masa depan cerah cowok berzodiak Taurus itu. Karena semua harus Atta layani, Atta baru bisa keluar dari sekolah pukul lima sore.

Apa Atta langsung pulang? Enggak. Semua teman sekolahnya merencanakan pesta perpisahan meriah di sebuah gedung, diisi dengan karaoke, games, dan jamuan mewah. Atta baru kembali ke rumah lewat pukul 10 malam. Tentunya setelah me-Whatsapp kedua orangtuanya soal pulang telat, tetapi tak pernah dibalas.

Yang Atta inginkan adalah menjadi sangat sukses, agar orangtuanya lepas dari tanggung jawab berat di tempat kerja mereka. Atta tahu persis apa yang terjadi. Bahkan sejak kecil, Atta melihat kedua orangtuanya menangis karena telah melakukan perbuatan kotor di maskapai. Perbuatan kotor yang tak ingin mereka lakukan, tetapi harus mereka lakukan sebagai bentuk dedikasi karyawan.

Jutaan kali mereka mencoba mengundurkan diri. Ancaman selalu muncul membuntuti kalau mereka pergi. Atta pernah mengalami rumah kebakaran, kerampokan, bahkan Atta pernah diculik hanya demi kedua orangtuanya kembali bekerja.

Sang ayah dipaksa memberikan laporan palsu hasil pengecekan pesawat kepada audit. Menutupi kebobrokan maskapai yang tidak mengindahkan safety pada hal-hal kecil. Ibunya menjadi saksi segala bisnis kotor politik Indonesia. Dan yang paling membuat Atta miris sampai menangis berkali-kali saat sang ibu curhat kepada suaminya, tentang …

… dijadikan objek seksual pelanggan maskapai.

Atta tak akan pernah lupa setiap sang ibu pulang sambil menangis, menghambur ke pelukan suaminya di kamar dan bercerita bahwa seorang petinggi di India memaksanya berhubungan seks. Beberapa kali ibunya terbang hanya mengenakan bikini agar lelaki hidung belang bercuan banyak ini bisa mengelus-elus pantat sang ibu setiap mereka menyajikan makanan.

Ayahnya pernah mengamuk ke maskapai dan mengancam akan melaporkan semua perbuatan bejat perusahaan, termasuk objektifikasi perempuan secara seksual. Yang ada malah sang ayah difitnah telah memberikan laporan palsu dalam perawatan pesawat, sehingga beliau terancam masuk penjara. Tentu saja ayahnya tak masuk penjara kecuali tetap bekerja di Yavadvipa Jet dan menutup mulutnya.

Sejak hari itu Atta tahu, senyum kedua orangtuanya tak pernah tulus. Senyum mereka hanyalah senyum palsu agar Atta tetap bertahan di dunia.

Kalau Atta berhasil sukses, masuk universitas ternama, mendapatkan pekerjaan di tempat bagus, Atta akan mencari cara mengeluarkan kedua orangtuanya dari sana. Dia yang akan membiayai hidup mereka, yang penting mereka bisa terbebas dari belenggu immoral perusahaan.

Maka dari itu, Atta pulang dengan semangat dari pesta, kepalanya penuh dengan rencana strategis untuk dibagikan kepada orangtua. Senyumnya terukir sepanjang mengendarai motor dari gedung menuju rumahnya.

Ketika tiba di depan rumah, lampu di dalam sudah menyala. Yang berarti orangtuanya sudah pulang. Atta berlari sambil mengacungkan dokumen yang diambilnya dari sekolah. Seringai bahagia itu begitu lebar dari telinga ke telinga. Atta menghambur masuk melalui pintu depan dan menemukan …

… kedua orangtuanya gantung diri.

*  *  *

Itu adalah tiga bulan paling berat dalam hidup Atta.

Apa dia berhasil mendapat beasiswa? Tidak. Karena mentalnya hancur sehancur-hancurnya. Dia merasa tak punya alasan lagi untuk melanjutkan sekolah, mengingat selama ini dia melakukannya untuk kedua orangtua. Air mata Atta habis dicucurkan setiap malam. Surat yang ditulis kedua orangtuanya sebelum meninggal dibaca Atta setiap pagi seperti membaca koran. Surat itu menjadi bahan bakarnya untuk terus berjuang menegakkan keadilan. 

 

Kepada anak yang paling mulia, Atta.

Mohon maaf karena Ayah dan Bunda harus pergi secepat ini. Tak pernah Ayah Bunda sebahagia ini mendengar kabar kelulusanmu, seperti saat Ayah Bunda berbahagia melihatmu lahir, berjalan pertama kali, membaca buku, dan menyanyikan lagu favoritmu. Ayah Bunda tak pernah ragu untuk mendukungmu meraih masa depan.

Apa pun itu.

Yang Ayah Bunda harapkan dan lakukan selama ini hanyalah memastikan kamu meraih kesuksesanmu. Mungkin hari ini belum. Namun mungkin hari ini awal dari semuanya. Ayah dan Bunda selalu bangga pada apa yang kamu lakukan kemarin, hari ini, dan masa depan. Namun Ayah Bunda tak pernah bangga pada apa yang selama ini Ayah Bunda lakukan supaya kamu bisa mewujudkan semua itu.

Ayah dan Bunda ingin berhenti. Hanya saja Ayah Bunda belum bisa. Ini adalah hari yang Ayah Bunda tunggu-tunggu, agar Ayah Bunda tak perlu membayang-bayangimu dengan kesalahan pada masa lalu. Kamu berhak hidup bebas tanpa ancaman apa pun di belakangmu, tanpa paksaan melakukan perbuatan kotor, tanpa sentuhan jahat manusia-manusia bejat, tanpa rahasia-rahasia yang sering merenggut jiwa.

Maka dari itu, Ayah Bunda harus pergi. Jangan menangis, karena Ayah Bunda tak pergi dengan kesedihan. Ayah Bunda pergi atas rasa bahagia melihatmu memulai kesuksesan, atas keyakinan kamu bisa bertahan, atas janji Tuhan bahwa kamu akan kuat menghadapi dunia, menjadi versi lebih baik dari Ayah Bunda sendiri.

Ayah dan Bunda merasa perjalanan harus dihentikan pada malam ini sebelum Ayah Bunda menjerumuskanmu pada jurang yang sama. Dari titik ini, kamu bisa membangun kerajaanmu, memberi inspirasi pada mereka yang tertindas agar berjuang, memberi semangat bahwa nasib bisa berubah. Seperti yang sudah kamu lakukan setiap hari kepada Ayah Bunda. Kamu memberi harapan bahwa keluarga ini dapat menjadi lebih baik, meski kami harus mengorbankan nyawa.

Kehadiranmu selama 17 tahun terakhir selalu menjadi alasan Ayah Bunda bangun pagi dan menghadapi hari yang penuh perbuatan keji. Hari yang harus Ayah Bunda lalui mau tak mau, suka tak suka, benar maupun salah. Hari semacam ini tak akan Ayah Bunda biarkan menyentuhmu sekali pun.

Kalau kita dipertemukan pada waktu lain, pada dimensi lain, pada kesempatan lain, Ayah Bunda hanya akan memohon maaf darimu. Hanya itu.

Sampai jumpa lain waktu.

Ayah Bunda.

 

Surat itu diakhiri dengan segala jenis dokumen agar Atta dapat bertahan hidup. Tabungan, warisan, dan asuransi. Bukan asuransi atas diri mereka sendiri, melainkan asuransi atas nama Atta. Jika keduanya mati dalam cara apa pun, Atta akan mendapatkan kompensasi dari perusahaan sebesar ….

$9.000.000,-.

Uang itu adalah gabungan dari semua perbuatan kotor yang orangtuanya lakukan selama bekerja di sana. Perbuatan yang mereka tak ingin lakukan, tetapi perusahaan menekan mereka melalui imbalan. Katanya, kalau mereka sampai meregang nyawa, uang itu otomatis menjadi milik Atta. Atas motivasi itulah keduanya tetap menjalankan perintah meski terpaksa.

Tiga bulan penuh Mora bolak-balik ke kantor Yavadvipa Jet menuntut keadilan. Setidaknya, menuntut haknya atas uang yang diwariskan.

Apakah Atta mendapatkannya?

Tidak.

Atta ditertawakan pada setiap kunjungan. Atta dianggap bocah SMA pengemis. Namanya masuk ke dalam persona non grata perusahaan. Di-black list dari segala jenis penerbangan Yavadvipa Jet dan maskapai berjadwal yang beraliansi. Uang itu tak pernah Atta terima. Hanya sekarang bunga turut berduka cita dan hadiah agenda tahunan sebagai kompensasi.

Bulan ketiga, pada kunjungan Atta yang terakhir ke kantor pusat mereka di Cawang, Jakarta Timur Atta digebuk dan ditendang petugas keamanan karena memaksa masuk. Saat itu tengah terjadi insiden rahasia yang tak pernah terungkap ke publik. Tidak, Atta tak peduli pada insiden itu. Atta hanya menuntut keadilan berupa segala jenis hal yang diwariskan orangtuanya, yang masih ada di perusahaan.

Atta keluar dari gedung babak belur, menangis di trotoar parkiran dan berpikir untuk menyusul kedua orangtuanya. Di sebelahnya seorang teknisi tampak sedang menangis seperti dirinya. Dia memeluk dokumen-dokumen yang Atta kenal sebagai dokumen suapan. Karena Atta melihat dokumen sejenis di rumahnya. Ketika kedua orangtuanya dipaksa melakukan skandal atas jaminan tertentu.

Jaminannya ada di dokumen tersebut.

“Aku enggak mau, aku enggak mau,” isak cowok itu dalam tangisnya. Dia menyembunyikan wajahnya di balik lipatan lengan, bahunya berguncang, air mata dan ingusnya menetes ke atas trotoar.

Atta ingin sekali menghampiri dan mengatakan, “Yang sabar ya, Kak. Ayah dan bundaku setiap tahun selalu ngalamin ini.” Namun Atta tak sanggup melakukannya, karena itu meingatkannya kepada kedua orangtuanya. Atta hanya bisa berdoa laki-laki itu tak berakhir seperti Ayah Bunda.

Pada saat yang sama seseorang menghampiri dan mengulurkan tangan. “Ayo!” katanya.

Atta mendongak dan tak paham. “Abang siapa?”

Sosok itu tak menjawab pertanyaannya. “Saya dengar apa yang kamu alami dari pegawai-pegawai yang lain. Maskapai itu memang bejat. Kamu bukan korban pertama, dan bukan satu-satunya. Ayo!”

Dengan ragu Atta mengambil uluran tangan itu dan berdiri. Dia berjalan membuntuti sosok asing yang tampak familier, tetapi Atta tak dapat mengenalnya. Sosok itu mengenakan kemeja floral dan kacamata hitam.

“Abang mau bawa aku ke mana?”

“Ke hal-hal yang sudah menjadi hakmu,” jawabnya. “Ke rumah yang sudah pantas kamu dapatkan sejak dulu. Rumah yang tak akan merenggut nyawa kedua orangtuamu.”

“Abang tahu orangtuaku?”

“I’ve done some research.” Dia menoleh sejenak dan tersenyum. “Saya enggak perlu tahu orangtuamu siapa. Tapi saya sudah tahu apa yang mereka rasakan.”

Atta dibawa ke sebuah tempat di ujung landasan Halim Perdanakusuma. Diajak menonton beberapa pesawat komersial lepas landas dari sana. Beberapa adalah pesawat charter Yavadvipa Jet yang deru mesinnya menggelegar.

“Suatu hari, kita akan menjatuhkan maskapai itu,” ujar sosok tersebut, menyusupkan tangan ke saku celana, lalu tersenyum lebar sekali. Tampak sangat menawan.

“Pesawat itu?” tanya Atta.

“Bukan.” Dia mengedikkan kepala. “Maskapai itu,” ralatnya.

“Mengapa Abang mau melakukan itu?”

Dia tersenyum lagi. “Keadilan. Dan kita akan menuntut itu bersama-sama. Kamu mau?”

Tentu saja Atta mau. Rahangnya mengeras, tangannya mengepal, napasnya memburu. “Iyalah, aku mau.”

“Bagus.” Dia mengusap-usap kepala Atta sambil berbisik, “Mulai sekarang namamu Mora.”

“Kenapa Mora?”

“One day you’ll know.”

*  *  *

Tiga bulan paling buruk dalam hidupnya, Atta ubah menjadi tiga tahun paling penuh komitmen, disiplin, dedikasi, dan kerja keras. Sosok itu membiayai kuliah Atta di jurusan teknik penerbangan terbaik di Jerman. Ya, Jerman. Bukan Indonesia. Bertemu Almarhum B.J. Habibie sudah menjadi agendanya selama berada di sana. Kepalanya diisi oleh segala ilmu teknik penerbangan terbaik, mengoptimalkan IQ 150-nya untuk menjadi orang terhebat. Sebelum pulang ke Indonesia, Airbus menawarkan kontrak dengan nilai besar tetapi Atta menolaknya.

“Niet vandaag,” jawabnya. Nanti saja, saat cita-citanya di Indonesia telah selesai.

Atta kembali menemui sosok itu di Indonesia. Memeluknya dengan erat, penuh misi.

“Selamat datang kembali …, Mora.”

Dua tahun penuh perhitungan, strategi, dan perencanaan matang …, The Flying Paradise Project akhirnya dilaksanakan. Semua berjalan dengan sempurna hingga penerbangan berakhir di Sultan Mahmud Badaruddin II International Airport, Palembang. Bahkan, lokasi pendaratan pun sesuai rencana.

Mora tak pernah mati sepanjang perjalanan. Mungkin dia terbujur kaku di ruang meeting kecil, terbaring tanpa nyawa. Namun napasnya masih ada. Nadinya masih berdenyut. Tak pernah berhenti sekali pun.

Semua berjalan sesuai rencana. Hingga ke titik pesawat mendarat darurat di Sungai Musi. Maskapai masih belum juga memenuhi permintaan kedua dan ketiga. Tak apa, batin Mora. Masih ada rencana besar kedua yang akan mereka laksanakan kalau The Flying Paradise Project tak menghasilkan output yang diharapkan.

Setelah ruang meeting kecil kosong, tak diisi lagi oleh tersangka yang diborgol, Mora pun bangun. Jika sesuai rencana, semua orang akan berada di kabin belakang. Entah bersembunyi di kabin komposit, atau menunggu di master bedroom untuk menghindari efek hempasan yang besar.

Ketika Mora menemukan Andre terbaring tak bernyawa di sofa sebelahnya, Mora menghambur memeluk teknisi kesayangannya itu dan menangis selama beberapa menit. Menangis tanpa suara. Dia merasa gagal melindungi Andre dari mengakhiri hidup seperti kedua orangtuanya. Namun proyek ini harus berlanjut. Bahkan kali ini, bukan untuk orangtuanya semata, melainkan untuk Andre juga.

Andre adalah laki-laki yang dia temui lima tahun sebelumnya, menangis karena dipaksa menjatuhkan sebuah pesawat atas alasan politik. Pesawat yang jatuh dan merenggut beberapa nyawa.

“You’re not a bad person, Bang Andre,” bisik Mora ke telinga Andre yang penuh darah. “In my eyes, you’re my hero. Just like my parents.”

Rencana awal The Flying Paradise Project adalah tidak ada nyawa yang melayang. Seharusnya Andre tak mati. Seharusnya Andre menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri kejatuhan Yavadvipa Jet, maskapai yang selalu menekannya melakukan perbuatan-perbuatan kotor dunia aviasi. Seharusnya Andre dan Mora merayakan kejatuhan itu bersama-sama. Dalam sukacita. Namun mungkin beban itu terlalu berat bagi Andre. Beban yang sama yang dipikul kedua orangtuanya.

“I’ll never stop fighting for this,” bisik Mora, mengecup dahi Andre dan menarik napas panjang.

Mora menyusut air matanya seraya mengeluarkan peralatan yang sudah dia siapkan sedari awal. Dia mengganti bajunya menjadi hitam-hitam, dari leher hingga ke sepatu. Agar Mora dapat menyatu dengan gelapnya malam. Setelah perlengkapannya dia gendong ke dalam satu ransel, dia menekan sebuah remote control kecil yang akan menghancurkan semua bukti-bukti pembajakan seperti kamera, antena untuk mengatur monitor, hingga software yang Mora tanamkan sebelumnya.

Pop!

Bunyinya sayup, tetapi Mora dapat mendengarnya di tengah pesawat yang sudah menderu lagi untuk mendarat di sungai. Itu adalah bunyi kehancuran benda-benda penting pembajakan yang akan diselidiki KNKT dan kepolisian saat investigasi nanti.

Mora mengendap-endap keluar, memastikan tak ada manusia lain selain dua pilot di dalam kokpit.

Waktunya harus tepat. Yaitu pada saat MORA. Minimum Off-Route Altitude, atau ketinggian minimum yang aman. Tentu saja ini bukan representasi dari MORA sebenarnya, tetapi ini adalah kode ketika Mora harus keluar, yaitu pada saat ketinggian pesawat termaan. Ketika GPWS berteriak, too low—gear! artinya ketinggian sudah tidak aman. Kalau GPWS berbunyi seperti itu, Mora sudah harus berada di dalam kokpit.

Dua pistol yang dia selundupkan selama masa maintenance (agar tidak terdeteksi pihak bandara), dikeluarkan dan ditodongkan pada dua pilot yang sedang mendaratkan pesawat ke atas Sungai Musi.

Ceklek!

Mike menoleh perlahan-lahan. “Kamu …?”

“Yep, full thrust,” jawab Mora sambil tersenyum lebar.

Laurence menoleh dan membelalak terkejut melihat sosok yang berada di belakang mereka. “Tapi ….”

“Full thrust. Now!” titah Mora.

“Kita enggak punya fuel cukup.”

“Oh we do have enough fuel.” Mora terkekeh meremehkan. Setelah mengatur ulang tampilan sisa bahan bakar, kedua pilot itu terkejut melihat pesawat masih menyimpan banyak bahan bakar. Bahkan cukup untuk mendarat di Halim saat ini juga.

Memilih dua pilot ini sudah sesuai rencana. Mike harus berada di sini agar dia juga dapat melihat kejatuhan Yavadvipa Jet yang pernah memaksanya melakukan manslaughter pada penerbangan 897 di Maluku. Memilih Laurence karena dia tak punya jam terbang banyak dengan Boeing 777. Mike harus menjadi kapten dalam penerbangan.

Kapten yang mengeksekusi The Flying Paradise Project agar sukses, meski sang kapten sebenarnya tak tahu apa-apa.

Setelah pesawat berhenti sempurna, life raft mengembang di dua pintu depan, bom asap diledakkan di bagian depan pesawat, Mora pun melompat melalui perosotan. Di tengah asap yang tiba-tiba mengepul menghalangi pandangan setiap petugas avsec maupun pemadam kebakaran, Mora berlari.

Berlari keluar dari area bandara, menyusuri lapangan rumput luas, memanjat pagar di tengah gelapnya malam, lalu lenyap tanpa kabar.

Misinya tidak terpenuhi semua hari ini. Namun Mora bersyukur dia sudah membuat pernyataan tegas melawan sang maskapai.

Aku enggak gagal Ayah Bunda, batin Mora sambil berlari di antara pepohonan samping bandara. Aku enggak gagal. Mungkin malam ini bukan waktunya, tapi aku bisa pastikan semua perjuangan Ayah Bunda, dan abang angkatku Andre, terbayar lunas. 



To be continued ....


<<< Part 27  |  The Flying Paradise  |  Part 29 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Nude 33

  ssendrawkwA emitefiL .33     Pada suatu pagi lima tahun lalu, Miza bangun lebih pagi dari biasanya meski semalaman tak bisa tidur. D...