27 The Final
Sepuluh menit sebelum hempasan pesawat ke atas permukaan Sungai Musi,
Mike menyalakan mesin pesawat agar dapat mengendalikan pendaratan dengan baik.
Dengan semua hidrolik berfungsi sempurna. Dengan semua bantuan elektronik yang
memadai.
Zuuuiiinnnggg …!!!
Mike menyambungkan mikrofonnya ke interkom kabin. “Passengers, brace for impact! Brace for impact!” Kemudian, Mike
menarik napas panjang dan bersiap untuk mendaratkan pesawat di atas sungai.
“One thousand,” ujar
Laurence, menginformasi ketinggian pesawat di atas permukaan laut.
Mike menoleh. “Siap?”
“Never been ready.”
Mike mengulurkan tangannya untuk bersalaman. Laurence menyambut uluran
tangan itu, menjabatnya dengan sangat erat. “Flaps?”
tanya Mike, mulai membaca ceklisnya.
“Flaps, five degrees.”
Laurence membalas sambil menurunkan flaps
sayap lima derajat.
“Autopilot?”
Laurence mematikan autopilot. “Off.”
Bunyi tuwit-tuwit-tuwit
menggema di kokpit menandakan kemudi pesawat berada di tangan pilot, sudah
bukan komputer lagi.
Mau tak mau pendaratan itu harus dilakukan di atas sungai. Apakah
sungainya kelihatan? Jujur saja tidak. Baik Mike maupun Laurence tak bisa
melihat dengan jelas garis sungai. Yang mereka pandang hanyalah kegelapan pekat
dengan lampu-lamput pijar kapal kecil mengapung di beberapa titik. Rumah
penduduk pun tampak jarang berada di sekitar sini.
Mungkin nanti saat landing
lights menyentuh air, sungainya akan
kelihatan, batin Mike.
Ketika mendarat, landing lights
akan dinyalakan tak peduli sedang siang atau malam. Sorotan landing lights cukup jauh hingga
beberapa ratus meter, apalagi bagi pesawat sebesar Boeing 777. Pada ketinggian
1.000 kaki seperti sekarang ini, landing
lights belum dapat menerangi apa yang ada di depan pilot. Namun begitu
ketinggian pesawat mendekati permukaan air atau darat, landing lights akan menyinari dengan jelas apa yang berada di depan
pesawat. Baik itu landasan, rumah, area berumput, pohon, dan lain sebagainya.
Mike harus menggunakan keberuntungannya untuk menentukan di mana area
sungai berada. Sejauh ini, Mike hanya mengandalkan GPS. Ada sebuah peta
berwarna hitam dan biru di layar. Hitam berarti daratan, biru berarti air.
Melalui peta, Mike memosisisikan arah lajunya pesawat. Dia dan Laurence sudah
menentukan di bagian sungai mana akan mendarat. Harapan mereka hanyalah GPS ini
tidak meleset, dan sedang tak ada kapal yang melintas di atasnya.
Pengumuman pendaratan pesawat di atas sungai sudah dikirimkan ke setiap
radio kapal. Sejauh ini, setiap kapal sudah menyingkir ke tepi sungai. Mereka
baru akan melaju kembali ketika pesawat tidak mendarat di depan mereka. Landing lights sudah dinyalakan sedari
tadi agar setiap kapal dapat melihat kedatangan pesawat.
Pemilihan sungai dibandingkan lautan dilakukan atas pertimbangan safety. Jika pesawat mendarat di laut,
badan pesawat bisa tenggelam jauh ke dasar laut dan sulit ditemukan. Jika
pesawat mendarat di sungai, akan ada lebih banyak pertolongan, dan pengangkutan
badan pesawat pun lebih mudah karena semua sungai rata-rata dangkal.
“Di sungai yang sama,” ujar Mike, “Silkair flight 185 juga mengakhiri hidupnya.”
Laurence tersenyum. “Aku berharap kita tidak memiliki nasib yang sama.”
“Enggak akan, lah,” balas Mike terkekeh. “Saya, kan punya kamu.”
Pada tahun 1997, Silkair penerbangan 185 jatuh di Sungai Musi menewaskan
104 orang di dalamnya. Penyebab kecelakaan adalah pilot bunuh diri. Saat itu,
ekonomi Asia sedang mengalami resesi. Atau istilah populernya: Krismon. Dugaan
kuat, sang pilot mengalami masalah finansial, lalu bunuh diri dalam penerbangan
tersebut, tapi bunuh dirinya mengajak seluruh penumpang ikut serta. Mike tidak
merasa sedang ingin bunuh diri saat ini, meskipun apa yang dilakukan pembajak
sukses mengombang-ambing mentalnya sebagai manusia.
Beberapa jam lalu, Mike mendapatkan sebuah pesan yang menyatakan bahwa
seluruh utangnya yang menumpuk tak terbayar itu akan dikirimkan kepada sang
istri. Termasuk foto-foto seksnya dengan Randian di kabin istirahat kru. Kalau
Mike tidak ingin itu terjadi, Mike harus melakukan nose dive, turun ke ketinggian tertentu secara tiba-tiba.
Dan, Mike melakukannya.
Sejauh ini, hanya Laurence yang tahu soal itu.
Mike paham, setelah mendarat ini, dia akan dipenjara atas manuvernya
membahayakan penerbangan. Sepanjang melamun, Mike tahu dirinya akan
diinvestigasi dan dijatuhi hukuman berat. Meskipun Mike sedang berada dalam
ancaman, tidak menutup kemungkinan dirinya tetap mendapatkan sanksi.
Too low—gear! Too low—gear!
Suara peringatan akhirnya muncul di dalam kokpit. Ground Proximity Warning System (GPWS) akan menjerit-jerit jika
pesawat berada dalam situasi tidak aman. Jeritan barusan mengindikasikan bahwa
pesawat berada sangat dekat dengan daratan (di bawah 1.000 kaki) tetapi roda
pesawat belum dikeluarkan.
Mike tentu saja tak akan mengeluarkan roda pesawat, karena mereka akan
melakukan pendaratan di air. Mendarat di bandara pun, roda pesawat tetap akan
berada di dalam wheel well-nya, untuk
menghindari potensi bom meledak di belakang sana. Jadi, Mike sudah
mengantisipasi peringatan GPWS tersebut.
Too low—gear! Too low—gear!
“I know!” Mike terkekeh
sambil mematikan jeritan mengganggu itu. “Kita enggak akan ngeluarin landing gear, woy!”
Ceklek! Sebuah suara
pelatuk siap ditembakkan terdengar dari belakang Mike dan Laurence. Dua moncong
senjata api tiba-tiba terarah ke kepala Mike dan Laurence. Kedua pilot itu
membeku. Mike perlahan-lahan menoleh ke belakang, melihat sesosok orang berdiri
di belakang mereka, menodongkan pistol.
“Kamu …?”
“Yep, full thrust!” kata
sosok tersebut.
Laurence menoleh dan membelalak terkejut melihat sosok yang berada di
belakang mereka. “Tapi ….”
“Full thrust. Now!”
titahnya.
“Kita enggak punya fuel
cukup.”
“Oh we do have enough fuel,”
kekehnya meremehkan. Satu pistol masih teracung ke arah Mike. Sosok itu
membungkuk, menggunakan satu tangannya yang lain untuk mengotak-atik sesuatu di
layar bagian tengah, mereset beberapa informasi, lalu menampilkan jumlah sisa
bahan bakar sebenarnya. Setelahnya, dia menodongkan lagi pistol ke kepala
Laurence. “Now, full thrust! Land in
Palembang.”
Laurence menggelengkan kepala ketika melihat sisa bahan bakar masih
cukup banyak. Bahkan cukup untuk mendarat di Halim sekarang juga.
“Tapi bukannya kita tadi ….”
“Saya memanipulasi informasi bahan bakar,” kata sosok itu. “Membuat
kalian berpikir kita melakukan fuel dump,
padahal tidak. Bahan bakar kita selama ini cukup untuk mendarat di Jakarta. Now, full thrust!”
Five hundred!
Itu adalah suara lain yang muncul dari kokpit. Menyerukan ketinggian
pesawat ke daratan, yaitu 500 kaki saja.
Mungkin karena dua pilot masih syok, sosok itu menjelaskan sekali lagi,
“First of all, kalau kalian
macam-macam. Saya enggak ragu menembak kalian berdua. And yes, I have a flying experience. Kedua, daratkan pesawat ini di
Palembang sekarang juga. Jadi berhenti bersikap seperti pilot tolol, masukkan full thrust seperti go around, dan mendarat di landasan.”
Mike masih ingin menanyakan beberapa pertanyaan, tetapi dia mengangguk
dan membiarkan Laurence menarik tuas mesin maju ke depan, sehingga pesawat mendongak
lagi ke atas.
ZZZUUUIIINNNGGG …!!!
Mesin pesawat kembali menderu kencang, seperti pesawat yang akan
melakukan go around. Asalnya pelan,
tiba-tiba melaju lagi.
“Bagaimana dengan landing gear?”
tanya Mike, setelah dirinya berhasil mengemudikan pesawat ke ketinggian
tertentu, menuju Bandara Internasional Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang.
Pesawat oleng kanan-kiri beberapa kali, berguncang seperti terkena turbulensi.
“Landing gear aman,” jawab
sosok itu.
“Maksudnya?”
“Bom itu enggak pernah ada.” Dia terkekeh. “Itu hanya kotak kosong
dengan indikator lampu berwarna merah. Isinya enggak ada apa-apa.”
Bangsat! maki Mike dalam
hati. Laurence yang berada di sebelahnya mengeraskan rahang karena kesal.
“Jadi kamu selama ini adalah mata-matanya?”
“Yep,” jawab sosok itu,
tertawa bangga. “Bagus, kan akting saya?”
“Why?”
“Enggak usah banyak omong dulu,” balas sang sosok. “I know you have to call the tower. Ayo! Daratkan dulu pesawat ini
di Palembang.”
Mike berdecak dan mulai kembali menghubungi menara. “Jakarta Center. This is Delta Victor Niner
Niner Niner, informing that … we’re diverting from landing on Musi River to
Whiskey India Papa Papa, for a normal landing. With landing gear.”
Menara kontrol yang menemaninya sedari tadi mengonfirmasi ulang
informasi terbaru. Setelah permintaan mendarat di Palembang disetujui, The Flying Paradise pun menjelajah
rendah menuju bandara di Palembang dan melakukan prosedur approach secara normal. Mike dan Laurence kembali mengatur ulang
ceklis pendaratan yang baru. Kali ini, mereka bisa menurunkan roda pesawat
sehingga teriakan GPWS seperti tadi tak akan muncul.
Sepanjang proses pendaratan yang baru itu, pistol tak pernah lepas dari
menodong kepala dua pilot di dalam kokpit. Sosok itu duduk di jumpseat tengah, mengenakan sabuk
pengaman dan mengangkat tangannya tanpa merasa pegal agar pilot di depannya tak
berbuat macam-macam.
The Flying Paradise
mendapat izin untuk mendarat secara prioritas. Ambulans, pemadam kebakaran, dan
avsec bersiap-siap di setiap taxiway, kalau-kalau mereka harus
meringkus pembajak yang berada dalam pesawat.
Selama proses mendarat, Mike bertanya kembali, “Kenapa?” tanyanya.
“Kenapa kamu melakukan itu?”
“Karena perusahaan ini bobrok,” jawabnya. “Perusahaan ini punya banyak
kesalahan yang enggak bisa dimaafkan. Semoga CVR merekam kata-kata saya dan
KNKT bisa menyelidikinya. Jadi, kepada KNKT yang terhormat, sebelum kalian
menyelidiki pembajakan ini, selidiki dulu Yavadvipa Jet dan semua skandal yang
mereka lakukan. Termasuk kecelakaan pesawat yang dirahasiakan itu.”
One hundred. Suara
kokpit memberi tahu ketinggian pesawat ke daratan tinggal 100 kaki.
“Tapi gimana cara kamu melakukan semua pembajakan ini?”
Sosok itu terkekeh lagi, meremehkan. “Karena saya enggak kerja sendirian,
pilot ganteng. Semua orang di sini mudah banget untuk diatur agar mengikuti
keinginan saya. Termasuk kamu sendiri. Jadi, pembajak di darat itu enggak
pernah ada. Semua pembajak ada di penerbangan ini. Semua orang dalam pesawat
ini punya kans yang sama untuk menjadi pembajaknya.”
Fifty. Suara kokpit
memberi tahu ketinggian pesawat ke daratan tinggal 50 kaki. Ini sudah memasuki
proses pendaratan, sehingga Mike tak bisa lagi melanjutkan obrolan. Dia harus
fokus.
Forty.
Thirty.
Twenty.
Ten.
Roda pesawat menyentuh landasan. Suspensinya menampung semua beban
pesawat ….
… dan, ya …, tidak ada ledakan.
“Reverse thrust!” sahut
Laurence.
Mike menarik mundur tuas mesin ke belakang, membuat mesin membuka penutup
turbin yang dapat membuat pesawat berjalan mundur. Mesin yang dibuat mundur itu
membantu mengurangi kecepatan pesawat. Spoiler
yang secara otomatis naik di bagian belakang sayap pesawat juga membantu
menurunkan kecepatan.
Setelah roda depan menyentuh landasan, Mike mengerem pesawat kuat-kuat.
“Nyantai aja,” ujar sosok di belakang Mike. “Berhenti di ujung landasan.
Jangan masuk taxiway.”
“Apa?!” Mike menoleh sejenak ke belakang.
“Ikuti kata-kata saya!”
Mike mengikuti kata-kata pembajak itu. Pesawat yang kecepatannya mulai
turun, bahkan ketika menyentuh 60 knots posisi mesin kembali dinetralkan, tetap
dilajukan hingga ke ujung landasan. Di luar, ambulans dan pemadam kebakaran
mulai mengejar pesawat yang baru saja mendarat.
Sebelum pesawat benar-benar berhenti, sosok itu sudah melepas sabuk
pengamannya. Dia berdiri, tetap menadahkan pistol ke arah Mike dan Laurence,
lalu mulai berjalan mundur.
“Terima kasih atas penerbangannya. Sampai jumpa di lain kesempatan. Cause you know what …, kayaknya ini
bukan perjumpaan terakhir kita. This is
not our last hijacking! O. U. R. Dan ingat, berhenti di ujung landasan,
atau saya tembak kalian berdua.”
Sosok itu keluar dari kokpit, tetap membiarkan pintunya terbuka. Dengan
gesit dia membuka dua pintu depan, kiri dan kanan. Life raft, atau perahu karet kuning yang biasa digunakan untuk
merosot dari dalam kabin langsung terkembang karena sosok itu sengaja tak
melakukan pelucutan pengamanan. (Atau istilah populernya: disarmed door.)
Ketika pesawat akhirnya berhenti sempurna di ujung landasan, bahkan
sebelum perosotan kuning itu selesai mengembang, sosok itu melempar bom asap di
masing-masing pintu. Dalam lima detik, bagian kepala pesawat dipenuhi asap
putih yang pekat.
Sosok itu kabur keluar, pergi entah ke mana.
Ketika avsec dan ambulans
mendekati bagian depan pesawat … sosok itu tak ditemukan lagi.
To be continued ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar