Selasa, 18 Mei 2021

The Flying Paradise 27

27 The Final

 



Sepuluh menit sebelum hempasan pesawat ke atas permukaan Sungai Musi, Mike menyalakan mesin pesawat agar dapat mengendalikan pendaratan dengan baik. Dengan semua hidrolik berfungsi sempurna. Dengan semua bantuan elektronik yang memadai.

Zuuuiiinnnggg …!!!

Mike menyambungkan mikrofonnya ke interkom kabin. “Passengers, brace for impact! Brace for impact!” Kemudian, Mike menarik napas panjang dan bersiap untuk mendaratkan pesawat di atas sungai.

“One thousand,” ujar Laurence, menginformasi ketinggian pesawat di atas permukaan laut.

Mike menoleh. “Siap?”

“Never been ready.”

Mike mengulurkan tangannya untuk bersalaman. Laurence menyambut uluran tangan itu, menjabatnya dengan sangat erat. “Flaps?” tanya Mike, mulai membaca ceklisnya.

“Flaps, five degrees.” Laurence membalas sambil menurunkan flaps sayap lima derajat.

“Autopilot?”

Laurence mematikan autopilot. “Off.”

Bunyi tuwit-tuwit-tuwit menggema di kokpit menandakan kemudi pesawat berada di tangan pilot, sudah bukan komputer lagi.

Mau tak mau pendaratan itu harus dilakukan di atas sungai. Apakah sungainya kelihatan? Jujur saja tidak. Baik Mike maupun Laurence tak bisa melihat dengan jelas garis sungai. Yang mereka pandang hanyalah kegelapan pekat dengan lampu-lamput pijar kapal kecil mengapung di beberapa titik. Rumah penduduk pun tampak jarang berada di sekitar sini.

Mungkin nanti saat landing lights menyentuh air, sungainya akan kelihatan, batin Mike.

Ketika mendarat, landing lights akan dinyalakan tak peduli sedang siang atau malam. Sorotan landing lights cukup jauh hingga beberapa ratus meter, apalagi bagi pesawat sebesar Boeing 777. Pada ketinggian 1.000 kaki seperti sekarang ini, landing lights belum dapat menerangi apa yang ada di depan pilot. Namun begitu ketinggian pesawat mendekati permukaan air atau darat, landing lights akan menyinari dengan jelas apa yang berada di depan pesawat. Baik itu landasan, rumah, area berumput, pohon, dan lain sebagainya.

Mike harus menggunakan keberuntungannya untuk menentukan di mana area sungai berada. Sejauh ini, Mike hanya mengandalkan GPS. Ada sebuah peta berwarna hitam dan biru di layar. Hitam berarti daratan, biru berarti air. Melalui peta, Mike memosisisikan arah lajunya pesawat. Dia dan Laurence sudah menentukan di bagian sungai mana akan mendarat. Harapan mereka hanyalah GPS ini tidak meleset, dan sedang tak ada kapal yang melintas di atasnya.

Pengumuman pendaratan pesawat di atas sungai sudah dikirimkan ke setiap radio kapal. Sejauh ini, setiap kapal sudah menyingkir ke tepi sungai. Mereka baru akan melaju kembali ketika pesawat tidak mendarat di depan mereka. Landing lights sudah dinyalakan sedari tadi agar setiap kapal dapat melihat kedatangan pesawat.

Pemilihan sungai dibandingkan lautan dilakukan atas pertimbangan safety. Jika pesawat mendarat di laut, badan pesawat bisa tenggelam jauh ke dasar laut dan sulit ditemukan. Jika pesawat mendarat di sungai, akan ada lebih banyak pertolongan, dan pengangkutan badan pesawat pun lebih mudah karena semua sungai rata-rata dangkal.

“Di sungai yang sama,” ujar Mike, “Silkair flight 185 juga mengakhiri hidupnya.”

Laurence tersenyum. “Aku berharap kita tidak memiliki nasib yang sama.”

“Enggak akan, lah,” balas Mike terkekeh. “Saya, kan punya kamu.”

Pada tahun 1997, Silkair penerbangan 185 jatuh di Sungai Musi menewaskan 104 orang di dalamnya. Penyebab kecelakaan adalah pilot bunuh diri. Saat itu, ekonomi Asia sedang mengalami resesi. Atau istilah populernya: Krismon. Dugaan kuat, sang pilot mengalami masalah finansial, lalu bunuh diri dalam penerbangan tersebut, tapi bunuh dirinya mengajak seluruh penumpang ikut serta. Mike tidak merasa sedang ingin bunuh diri saat ini, meskipun apa yang dilakukan pembajak sukses mengombang-ambing mentalnya sebagai manusia.

Beberapa jam lalu, Mike mendapatkan sebuah pesan yang menyatakan bahwa seluruh utangnya yang menumpuk tak terbayar itu akan dikirimkan kepada sang istri. Termasuk foto-foto seksnya dengan Randian di kabin istirahat kru. Kalau Mike tidak ingin itu terjadi, Mike harus melakukan nose dive, turun ke ketinggian tertentu secara tiba-tiba.

Dan, Mike melakukannya.

Sejauh ini, hanya Laurence yang tahu soal itu.

Mike paham, setelah mendarat ini, dia akan dipenjara atas manuvernya membahayakan penerbangan. Sepanjang melamun, Mike tahu dirinya akan diinvestigasi dan dijatuhi hukuman berat. Meskipun Mike sedang berada dalam ancaman, tidak menutup kemungkinan dirinya tetap mendapatkan sanksi.

Too low—gear! Too low—gear!

Suara peringatan akhirnya muncul di dalam kokpit. Ground Proximity Warning System (GPWS) akan menjerit-jerit jika pesawat berada dalam situasi tidak aman. Jeritan barusan mengindikasikan bahwa pesawat berada sangat dekat dengan daratan (di bawah 1.000 kaki) tetapi roda pesawat belum dikeluarkan.

Mike tentu saja tak akan mengeluarkan roda pesawat, karena mereka akan melakukan pendaratan di air. Mendarat di bandara pun, roda pesawat tetap akan berada di dalam wheel well-nya, untuk menghindari potensi bom meledak di belakang sana. Jadi, Mike sudah mengantisipasi peringatan GPWS tersebut.

Too low—gear! Too low—gear!

“I know!” Mike terkekeh sambil mematikan jeritan mengganggu itu. “Kita enggak akan ngeluarin landing gear, woy!”

Ceklek! Sebuah suara pelatuk siap ditembakkan terdengar dari belakang Mike dan Laurence. Dua moncong senjata api tiba-tiba terarah ke kepala Mike dan Laurence. Kedua pilot itu membeku. Mike perlahan-lahan menoleh ke belakang, melihat sesosok orang berdiri di belakang mereka, menodongkan pistol.

“Kamu …?”




“Yep, full thrust!” kata sosok tersebut.

Laurence menoleh dan membelalak terkejut melihat sosok yang berada di belakang mereka. “Tapi ….”

“Full thrust. Now!” titahnya.

“Kita enggak punya fuel cukup.”

“Oh we do have enough fuel,” kekehnya meremehkan. Satu pistol masih teracung ke arah Mike. Sosok itu membungkuk, menggunakan satu tangannya yang lain untuk mengotak-atik sesuatu di layar bagian tengah, mereset beberapa informasi, lalu menampilkan jumlah sisa bahan bakar sebenarnya. Setelahnya, dia menodongkan lagi pistol ke kepala Laurence. “Now, full thrust! Land in Palembang.”

Laurence menggelengkan kepala ketika melihat sisa bahan bakar masih cukup banyak. Bahkan cukup untuk mendarat di Halim sekarang juga.

“Tapi bukannya kita tadi ….”

“Saya memanipulasi informasi bahan bakar,” kata sosok itu. “Membuat kalian berpikir kita melakukan fuel dump, padahal tidak. Bahan bakar kita selama ini cukup untuk mendarat di Jakarta. Now, full thrust!

Five hundred!

Itu adalah suara lain yang muncul dari kokpit. Menyerukan ketinggian pesawat ke daratan, yaitu 500 kaki saja.

Mungkin karena dua pilot masih syok, sosok itu menjelaskan sekali lagi, “First of all, kalau kalian macam-macam. Saya enggak ragu menembak kalian berdua. And yes, I have a flying experience. Kedua, daratkan pesawat ini di Palembang sekarang juga. Jadi berhenti bersikap seperti pilot tolol, masukkan full thrust seperti go around, dan mendarat di landasan.”

Mike masih ingin menanyakan beberapa pertanyaan, tetapi dia mengangguk dan membiarkan Laurence menarik tuas mesin maju ke depan, sehingga pesawat mendongak lagi ke atas.

ZZZUUUIIINNNGGG …!!!

Mesin pesawat kembali menderu kencang, seperti pesawat yang akan melakukan go around. Asalnya pelan, tiba-tiba melaju lagi.

“Bagaimana dengan landing gear?” tanya Mike, setelah dirinya berhasil mengemudikan pesawat ke ketinggian tertentu, menuju Bandara Internasional Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang. Pesawat oleng kanan-kiri beberapa kali, berguncang seperti terkena turbulensi.

Landing gear aman,” jawab sosok itu.

“Maksudnya?”

“Bom itu enggak pernah ada.” Dia terkekeh. “Itu hanya kotak kosong dengan indikator lampu berwarna merah. Isinya enggak ada apa-apa.”

Bangsat! maki Mike dalam hati. Laurence yang berada di sebelahnya mengeraskan rahang karena kesal.

“Jadi kamu selama ini adalah mata-matanya?”

“Yep,” jawab sosok itu, tertawa bangga. “Bagus, kan akting saya?”

“Why?”

“Enggak usah banyak omong dulu,” balas sang sosok. “I know you have to call the tower. Ayo! Daratkan dulu pesawat ini di Palembang.”

Mike berdecak dan mulai kembali menghubungi menara. “Jakarta Center. This is Delta Victor Niner Niner Niner, informing that … we’re diverting from landing on Musi River to Whiskey India Papa Papa, for a normal landing. With landing gear.”

Menara kontrol yang menemaninya sedari tadi mengonfirmasi ulang informasi terbaru. Setelah permintaan mendarat di Palembang disetujui, The Flying Paradise pun menjelajah rendah menuju bandara di Palembang dan melakukan prosedur approach secara normal. Mike dan Laurence kembali mengatur ulang ceklis pendaratan yang baru. Kali ini, mereka bisa menurunkan roda pesawat sehingga teriakan GPWS seperti tadi tak akan muncul.

Sepanjang proses pendaratan yang baru itu, pistol tak pernah lepas dari menodong kepala dua pilot di dalam kokpit. Sosok itu duduk di jumpseat tengah, mengenakan sabuk pengaman dan mengangkat tangannya tanpa merasa pegal agar pilot di depannya tak berbuat macam-macam.

The Flying Paradise mendapat izin untuk mendarat secara prioritas. Ambulans, pemadam kebakaran, dan avsec bersiap-siap di setiap taxiway, kalau-kalau mereka harus meringkus pembajak yang berada dalam pesawat.

Selama proses mendarat, Mike bertanya kembali, “Kenapa?” tanyanya. “Kenapa kamu melakukan itu?”

“Karena perusahaan ini bobrok,” jawabnya. “Perusahaan ini punya banyak kesalahan yang enggak bisa dimaafkan. Semoga CVR merekam kata-kata saya dan KNKT bisa menyelidikinya. Jadi, kepada KNKT yang terhormat, sebelum kalian menyelidiki pembajakan ini, selidiki dulu Yavadvipa Jet dan semua skandal yang mereka lakukan. Termasuk kecelakaan pesawat yang dirahasiakan itu.”

One hundred. Suara kokpit memberi tahu ketinggian pesawat ke daratan tinggal 100 kaki.

“Tapi gimana cara kamu melakukan semua pembajakan ini?”

Sosok itu terkekeh lagi, meremehkan. “Karena saya enggak kerja sendirian, pilot ganteng. Semua orang di sini mudah banget untuk diatur agar mengikuti keinginan saya. Termasuk kamu sendiri. Jadi, pembajak di darat itu enggak pernah ada. Semua pembajak ada di penerbangan ini. Semua orang dalam pesawat ini punya kans yang sama untuk menjadi pembajaknya.”

Fifty. Suara kokpit memberi tahu ketinggian pesawat ke daratan tinggal 50 kaki. Ini sudah memasuki proses pendaratan, sehingga Mike tak bisa lagi melanjutkan obrolan. Dia harus fokus.

Forty.

Thirty.

Twenty.

Ten.

Roda pesawat menyentuh landasan. Suspensinya menampung semua beban pesawat ….

… dan, ya …, tidak ada ledakan.

“Reverse thrust!” sahut Laurence.

Mike menarik mundur tuas mesin ke belakang, membuat mesin membuka penutup turbin yang dapat membuat pesawat berjalan mundur. Mesin yang dibuat mundur itu membantu mengurangi kecepatan pesawat. Spoiler yang secara otomatis naik di bagian belakang sayap pesawat juga membantu menurunkan kecepatan.

Setelah roda depan menyentuh landasan, Mike mengerem pesawat kuat-kuat.

“Nyantai aja,” ujar sosok di belakang Mike. “Berhenti di ujung landasan. Jangan masuk taxiway.”

“Apa?!” Mike menoleh sejenak ke belakang.

“Ikuti kata-kata saya!”

Mike mengikuti kata-kata pembajak itu. Pesawat yang kecepatannya mulai turun, bahkan ketika menyentuh 60 knots posisi mesin kembali dinetralkan, tetap dilajukan hingga ke ujung landasan. Di luar, ambulans dan pemadam kebakaran mulai mengejar pesawat yang baru saja mendarat.

Sebelum pesawat benar-benar berhenti, sosok itu sudah melepas sabuk pengamannya. Dia berdiri, tetap menadahkan pistol ke arah Mike dan Laurence, lalu mulai berjalan mundur.

“Terima kasih atas penerbangannya. Sampai jumpa di lain kesempatan. Cause you know what …, kayaknya ini bukan perjumpaan terakhir kita. This is not our last hijacking! O. U. R. Dan ingat, berhenti di ujung landasan, atau saya tembak kalian berdua.”

Sosok itu keluar dari kokpit, tetap membiarkan pintunya terbuka. Dengan gesit dia membuka dua pintu depan, kiri dan kanan. Life raft, atau perahu karet kuning yang biasa digunakan untuk merosot dari dalam kabin langsung terkembang karena sosok itu sengaja tak melakukan pelucutan pengamanan. (Atau istilah populernya: disarmed door.)

Ketika pesawat akhirnya berhenti sempurna di ujung landasan, bahkan sebelum perosotan kuning itu selesai mengembang, sosok itu melempar bom asap di masing-masing pintu. Dalam lima detik, bagian kepala pesawat dipenuhi asap putih yang pekat.

Sosok itu kabur keluar, pergi entah ke mana.

Ketika avsec dan ambulans mendekati bagian depan pesawat … sosok itu tak ditemukan lagi.



To be continued ....


<<< Part 26  |  The Flying Paradise  |  Part 28 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Nude 33

  ssendrawkwA emitefiL .33     Pada suatu pagi lima tahun lalu, Miza bangun lebih pagi dari biasanya meski semalaman tak bisa tidur. D...