Selasa, 18 Mei 2021

The Flying Paradise 26

26 The Landing

 



“Kita sudah mulai glide,” ujar Maulana. “Informasi terakhir yang saya dapat, kita enggak akan mendarat di bandara. Kita akan mendarat di Sungai Musi.”

Di luar, suara mesin pesawat mati kembali. Kali ini memang sengaja dimatikan agar pesawat bisa menghemat bahan bakar sebelum menggunakannya lagi saat impact ke atas air. Ketinggian pesawat tidak cukup untuk mencapai Sultan Mahmud Badaruddin II International Airport, Palembang. Pesawat militer tetap menemani The Flying Paradise membelah gelapnya malam menuju Sungai Musi yang tak memiliki pencahayaan.

Komunikasi radio disebarkan ke seluruh kapal yang sedang bergerak di atas Sungai Musi. Belum dapat dipastikan di bagian sungai mana pesawat akan mendarat, tetapi seluruh kapal diwajibkan merapat ke tepi sungai dan melaporkan pergerakan pesawat di udara. Beberapa kapal laut di muara sungai sudah melihat pesawat yang melayang perlahan-lahan menyusuri jalur Musi. Pelabuhan Penyeberangan Tanjung Api-Api juga sudah mengirimkan laporan visual pesawat yang terbang rendah di atas langit Sungsang, Kabupaten Banyu Asin.

“Jadi kita duduk di mana?” tanya Kristian.

“Ada kabin khusus untuk menyelamatkan diri di master bedroom—”

“Saya ke sana!” tegas Pamungkas tiba-tiba. Dia melepaskan sabuk pengaman dan berlalu meninggalkan common room.

Harry membelalak, teringat akan kabin tersebut. “Gue lebih dulu!”

Pamungkas dan Harry pun lenyap ke bagian belakang kabin. Empat orang sisanya masih berada di common room, menunggu Maulana melanjutkan kata-katanya.

“Saya bisa duduk di jumpseat, enggak apa-apa. Karena kabin penyelamatan hanya punya kapasitas empat orang saja. Lengkap dengan life vest, cadangan makanan, dan obat-obatan. Kalau pesawat meledak, kemungkinan besar kabin itu akan selamat dari ledakan. Selain karena posisinya berada di ekor pesawat, juga karena materialnya tahan api. Saya enggak tahu apakah bisa dimasuki oleh lima orang—”

“Saya enggak perlu masuk,” ujar Jordan tiba-tiba. Semua menoleh ke arahnya dengan bingung. “Saya cari cara lain untuk selamat. Mungkin duduk di jumpseat juga.”

“Sayang, enggak bisa gitu, ah!” sergah Kristian. “Kamu sama aku harus masuk ke dalam kabin itu. Kita semua harus bisa masuk ke dalam kabin dan selamat dari ledakan.”

“Memang sudah pasti meledak? Bukannya kita mendarat di air?” ungkap Jordan.

“Enggak bisa! Kita semua masuk ke dalam kabin, jangan sampai si bangsat Pamungkas itu selamat dan sehat walafiat!” tegas Kristian. “Sama si Harry, pula.”

“Maksimal empat, Mas. Itu beneran sempit,” ujar Randian. “Saya mendesain untuk sepuluh orang, tapi pihak Boeing menolak. Katanya, terlalu berat. Material tahan apinya punya satu massa khusus yang ngebikin beban pesawat di bagian ekor agak-agak besar. Makanya saya bikin master bedroom di belakang juga supaya enggak banyak orang di sana, supaya kabin khusus itu bisa saya masukkan. Tapi desain saya hanya approve empat orang aja.”

“Lima enggak bisa?” tanya Maulana.

Randian menggelengkan kepala. “Ketika pesawat mendarat di air, let’s say badan pesawat terpisah-pisah, kabin itu hanya sanggup menampung beban empat orang aja. Kalau ada orang kelima masuk, kabin khususnya bisa tenggelam.”

“Ya udah, Mas Randian masuk aja, saya sih enggak usah,” pinta Jordan. “Kamu juga masuk, Sayang.”

“Enggak, lah!” tegas Kristian. “Kalau kamu enggak masuk, aku juga enggak masuk.”

“Udah ada kabar belum sih dari maskapai?” tanya Randian. “Siapa tahu maskapai ngabulin dua permintaan terakhir itu sehingga kita masih bisa diselamatkan dari insiden ini.”

Maulana menggeleng. “Saya belum nerima informasi apa-apa, Mas. Tapi saya juga enggak tahu apakah ada cara lain untuk pesawat mendarat selain ditching. Kan, fuel sudah habis.”

Randian mendengkus dan mengusap mukanya dengan pasrah. Pembicaraan itu buntu. Segala cara dilakukan, tetapi tetap tak menemukan alternatif yang lebih baik. Randian mencoba untuk kali terakhir, “Kalau mata-matanya ada di antara kalian,” desahnya, “please … tolonglah kami atas nama kemanusiaan. Kalau kamu mau dua permintaan itu terpenuhi, saya siap bantu kamu hei mata-mata. Nanti, setelah kita mendarat dengan aman di bandara, tanpa kerusakan, tanpa ancaman, tanpa ledakan. Saya bantu mengompori media agar mengusut kasus Yavadvipa Jet sampai tuntas.

“Tapi tolong …. Tolong untuk saat ini bantu pesawat mendarat ke bandara dulu. Do something.”

Maulana hanya menggeleng kecil. Kristian menunduk, sementara Jordan tersenyum kecil ke arah Randian.

“Udah, lah Mas. Gapapa. Mas masuk aja,” saran Jordan. “Saya bersedia enggak masuk ke dalam kabin karena saya merasa bersalah atas tersebarnya informasi confidential itu. Saya tahu teman-teman di sini masih marah atas kejadian itu. Dan saya juga yakin, teman-teman percaya bukan sayalah yang menyebarkannya. Tapi itu semua terlanjur keluar, kalau harus ada korban berikutnya, saya siap untuk—”

“Enggak!” Kristian menutup mulut Jordan sambil mendengus dan menggeleng. “Jangan pernah ngomong kayak gitu.”

Jordan melepas bekapan mulut itu. “It’s my decision.”

“Mas bilang, Mas tahu siapa mata-matanya?” tanya Randian, mengingatkan kembali.

“Ya, saya punya satu dugaan kuat berdasarkan analisis saya selama ini. Dan orangnya bukan Pamungkas, kok. Justru mata-matanya berusaha menunjukkan bahwa orangnya Pamungkas, tapi saya tahu bukan dia,” jawab Jordan.

“Gimana caranya tahu?”

Jordan tersenyum. “Responsnya berbeda dari yang lain. Bahkan, sejak awal meninggalnya Mas Mora.”

“Cabin crew, prepare for emegency landing.” Suara Mike membahana di setiap interkom.

Maulana terkejut dan segera melompat ke jendela. Maulana membuka semua jendela yang bisa dia buka di common room. Dari dalam kabin dia bisa melihat langit gelap dengan titik-titik lampu berwarna kuning di bawah sana. Rumah-rumah itu jaraknya sudah dekat.

“Kita sudah mau mendarat,” ujar Maulana. “Sebaiknya segera masuk ke dalam kabin khusus untuk meminimalisir cedera saat benturan. Silakan.”

Jordan tetap berdiri. “Saya tetap akan berada di luar. Mungkin di master bedroom, tapi di luar.”

“Jordan!” hardik Kristian.

“Ayo, Bapak-Bapak. Kita semuanya ke belakang,” ajak Maulana mendului yang lain. “Masuk enggak masuk ke kabin, semua berada di belakang.”

“Kita enggak bisa duduk di sini?” tanya Kristian.

“Bagian belakang pesawat adalah bagian paling aman dalam setiap kecelakaan pesawat. Apa pun yang terjadi, masuk tidak masuk ke kabin khusus, benar kata Mas Jordan, sebaiknya kita ke belakang,” terang Maulana.

Keempatnya bergegas menyusuri kabin penumpang yang sepi. Melewati jejeran kamar tidur tamu, lalu menghambur ke dalam master bedroom. Maulana menguncinya dan mengarahkan semua ke kamar mandi utama, lalu membuka sebuah pintu khusus menuju kabin anti ledak. Pintu menuju kabin itu tebal dan mungil. Ketika Maulana membukanya, sudah ada Harry dan Pamungkas berada di dalam, duduk nyaman dengan sabuk pengaman melingkari perut mereka. Pamungkas bahkan sudah mengenakan life vest di lehernya, siap dikembangkan. Harry dan Pamungkas sedang bertengkar gara-gara insiden sang manager mengungkap masa lalu Harry, tetapi keduanya berhenti ketika pintu terbuka.




“Mas masuk aja,” ujar Jordan.

Randian ragu. Selain karena tak tega meninggalkan banyak orang di luar, pun karena tak mau berada dalam kabin yang sama bersama Pamungkas.

“Cepat masuk!” seru Harry.

“Waktu kita enggak banyak,” ujar Maulana.

“Saya enggak mau masuk,” tegas Kristian. “Kalau Jordan enggak masuk, maka saya enggak masuk. Mas Randian sama Mas Maulana boleh masuk ke dalamnya.”

Pamungkas memutar bola matanya.

“Enggak apa-apa, Mas masuk aja,” balas Maulana. “Saya bisa berlindung di master bedroom saat impact. Saya, kan dilatih untuk menghadapi keadaan darurat seperti ini.”

“Saya enggak masuk, kalau Jordan enggak masuk,” tegas Kristian.

Jordan memegang bahu kekasihnya. “Kamu yakin?”

“Ya. Yakin seyakin-yakinnya!” tegas Kristian. “Ngapain aku selamat kalau kamunya mati? Mendingan aku sama kamu, hidup ataupun mati. Misal kamu atau aku mati pun pas kita ada di luar sana, at least aku barengan sama kamu. Aku enggak mau kita terpisah ruangan. Aku pengin kita berada di ruangan yang sama.”

“Berisik!” hardik Pamungkas. “Udah, tutup aja kalau enggak mau masuk!”

Pamungkas sudah membungkuk untuk menggapai pintu, tetapi Randian menahannya. “Oke, saya masuk,” ujarnya. “Tapi dengan Mas Maulana.”

“Saya bisa di luar—”

“Mas ikut saya ke dalam!” tegas Randian. “Karena saya butuh Mas tetap selamat setelah pendaratan ini. Supaya saya bisa lanjutin cita-cita pembajak buat mengungkap kebobrokan maskapai. Masuk!”

“Tapi ….”

Randian menarik masuk Maulana ke dalam sementara dirinya juga melompat masuk. Sebelum menutup pintu, Randian berbisik, “Good luck,” kepada Jordan dan Kristian.

“You too,” balas Jordan.

“Kalau butuh bantal, di belakang shower room ini ada lemari berisi peralatan housekeeping. You can use it to your advantage.

“Thanks.”

Dan pintu itu pun tertutup. Pamungkas, Harry, Randian, dan Maulana berada sangat aman di dalam kapsul komposit anti ledak. Jordan masih tak tahu bagaimana nasibnya. Namun dibandingkan berseteru memperebutkan tempat di dalam, sebaiknya dia berada di luar saja dan mencari cara untuk selamat.

Cukup banyak pendaratan darurat di atas permukaan air yang dieksekusi dengan sukses oleh sang pilot. Saking amannya, nyaris tak ada korban jiwa. Garuda Indonesia penerbangan 421 yang mendarat darurat di Bengawan Solo, hanya satu korban jiwa. US Airways penerbangan 1549 di Sungai Hudson, tak ada korban jiwa. Insiden tersebut didramatisasi ke dalam film Sully.

Lima tahun lalu, Nusantara Skyways penerbangan 6552 mendarat darurat di Sungai Mahakam. Hanya satu korban jiwa, itu pun bukan karena pendaratan darurat di air. Uniknya, pendaratan darurat itu dilakukan seorang pramugara yang tidak punya pengalaman mengemudikan pesawat. Yang membuat Jordan yakin bahwa pendaratan ini akan aman seperti sebelum-sebelumnya.

Sungai Musi jauh lebih lebar dibandingkan Sungai Mahakam. Lalu lintasnya padat menuju Palembang, sehingga kapal-kapal yang melintasi sungai ini akan tersebar di mana-mana, siap menolong ketika pesawat akhirnya mengapung di atas permukaan air. Dengan adanya Kristian di sampingnya, apa pun yang terjadi, pasti akan terasa lebih baik.

Jordan membuka lemari yang menyimpan peralatan housekeeping seperti bantal, guling, selimut, bedsheet, dan lain sebagainya.

“Mau kita apakan ini?” tanya Kristian.

“Kita pakai untuk melindungi diri kita,” usul Jordan. “Bantu aku ngeluarin semua bantal ini.”

Jordan dan Kristian dengan kilat melemparkan semua bantal, guling, dan selimut yang mereka temukan ke master bedroom. Mereka tak tahu apakah pesawat sudah akan mendarat atau belum, tetapi mereka tahu waktunya tak banyak lagi. Setelah semuanya diungsikan, keduanya mulai merapikan tempat tidur.

Di atas tempat tidur terdapat dua pasang sabuk pengaman yang bisa digunakan ketika tamu ingin mengamankan dirinya seraya tidur. “Oke, kita tiduran sambil pakai sabuk pengaman,” terang Jordan buru-buru. “Lalu kita tutup badan kita dengan semua selimut dan bantal ini, dan tidurnya harus meringkuk.

“Emang bakal berhasil, ya?”

“Enggak tahu,” jawab Jordan, mencari-cari life vest di bawah sofa lalu menariknya keluar. “Tapi kemungkinan terburuk kan pesawat meledak saat roda menyentuh landasan. Kalau pesawat aja mendarat di atas air, yang berarti enggak akan mengeluarkan roda, harusnya sih pesawat enggak meledak.”

“Terus life vest-nya?”

“Siapa tahu kita mengambang di atas air, life vest-nya sudah kita siapkan. Nih, pake.”

Kristian mengenakan life vest tanpa mengembangkannya. Dia celingukan mencari pintu keluar. Di balik shower room terdapat dua pintu belakang yang bisa digunakan untuk menyelamatkan diri setelah pendaratan di atas air selesai.

“Kita memang enggak akan meledak karena mendarat di air?” tanya Kristian.

Jordan menggelengkan kepala. “Aku enggak tahu. Udah, lah. Bantu aku naikin semua selimut dan bantal ini.”

Dalam tempo yang sangat cepat, Jordan dan Kristian berbaring di atas tempat tidur, mengamankan tubuh mereka dengan sabuk pengaman. Kemudian, mereka menumpuk berlapis-lapis selimut menyelimuti tubuh mereka, dan sempat juga membentengi sekitar tubuh mereka dengan bantal dan guling yang disusun mengelilingi.

“Jangan lupa meringkuk, kepala menghadap kasur, dan stay di posisi tersebut,” titah Jordan yakin.

Kristian mengangguk. Dia membantu kekasihnya memasang lapisan terakhir selimut seraya menumpuk lagi satu bantal di atas tubuh mereka. Lalu, Kristian dan Jordan merapikan selimut yang menutupi kepala mereka dengan rapat, mengganjalnya dengan kepala sendiri.

Sekarang, semua gelap, tertutup dengan sempurna. Pada saat yang sama, suara mesin jet bergaung lagi di tengah keheningan.

Zuuuiiinnnggg …!!!

“Passengers, brace for impact!” sahut Mike melalui interkom. “Brace for impact!”

“I love you,” bisik Kristian tiba-tiba.

Dengan cepat Jordan membalas. “I love you too.”

“Mesinnya udah nyala lagi,” ungkap Kristian retoris. “Berarti sudah dekat dengan sungai. Katanya mereka butuh power untuk memastikan pendaratan dilakukan seimbang sehingga damage-nya minimal.”

“Semoga mereka berhasil.”

Lalu, hening menyeruak di antara mereka berdua. Menunggu saat-saat benturan pesawat dengan permukaan Sungai Musi.

“Aku minta maaf,” ujar Kristian tiba-tiba, dalam kegelapan. Tangan Kristian merayap mencari tangan Jordan. Saat menemukannya, dia menggenggam tangan kekasihnya itu dengan erat. “Aku minta maaf karena aku selingkuh dari kamu.”

“Aku juga minta maaf,” balas Jordan. “Aku enggak sesuci yang kamu kira, kok.”

Karena Kristian tak tahu apakah dia akan hidup setelah ini atau justru mati, dengan berani Kristian mengakui, “Aku pernah begitu sama Harry.”

Jordan malah terkekeh. “Iya, aku tahu.”

“Lho, kok kamu ketawa?”

“Ya emang itu alasannya aku enggak suka Harry.” Jordan menarik tangan Kristian ke mulutnya, lalu mengecupnya. “Aku ini Pisces. Aku punya kekuatan psychic untuk tahu apakah pacarku selingkuh atau enggak. Sejak awal kamu dekat dengan Harry, aku tahu ada sesuatu yang istimewa di antara kalian berdua.”

“Enggak, kok. Enggak ada yang istimewa,” jawab Kristian. “Aku sama dia cuma partner seks aja. Ya, beberapa kali. Dan itu murni kesalahanku. Bukan kesalahanmu, bukan karena kamu. Kalau aku memang orang jujur, sedari awal seharusnya kuutarakan hubunganku sama Harry, atau aku enggak melakukannya sama sekali. So please, jangan merasa bersalah.”

“Aku bakal jujur bahwa aku merasa bersalah.”

ZZZUUUIIINNNGGG …!!!

Mesin pesawat menderu semakin kencang. Tiba-tiba pesawat oleng kiri dan kanan beberapa kali, dan orientasi pesawat agak-agak mendongak ke atas.

Jordan mengeratkan genggaman tangannya kepada Kristian. Lalu mengulai lagi kalimatnya. “Aku bakal jujur bahwa aku merasa bersalah,” katanya. “Aku merasa aku enggak bisa memuaskanmu. Sehingga aku juga melakukan hal yang sama seperti kamu. Aku pernah begituan juga dengan Maulana.”

“Maulana?!” ulang Kristian terkejut. “Kok …, bisa?”

“Karena dia kucing,” jawab Jordan segera. “Selama ini aku mengira kamu enggak pernah puas dengan servis dari aku sehingga kamu merasa perlu menemui Harry dan senang-senang sama dia. Karena aku ingin tahu seburuk apa performaku, aku nge-hire Maulana untuk gituan sama aku. Eh ternyata dia bottie juga. Jadi aku enggak dapat pelajaran apa-apa.”

Kristian terkekeh. “Ngapain sih kamu kayak begitu?” balas Kristian. “Ketika aku melakukannya bareng Harry, itu murni kesalahanku. Kamu bukan faktor yang terlibat di dalamnya. Harry menggodaku, dan aku tergoda. Mungkin karena aku merasa aku enggak seganteng kamu, atau seganteng Harry. Jadi, kalau ada orang se-wow Harry merayu aku, aku kayak ngerasa … yang bener aja sih kalau sampai dilewatin. Kapan lagi gitu bisa ama Harry?”

“Tapi dia, kan lonte. Dia udah sama semua orang. Bisa jadi sebenarnya dialah yang punya HIV itu.”

“Atau Maulana. Karena dia kucing.”

“Oh, iya ya.”

Obrolan pun terjeda sekali lagi. Keduanya belum merasakan pesawat menghempas apa pun di bawah sana. Pesawat terasa masih terbang dengan suara mesin yang kadang berisik, kadang memelan lagi.

“Siapa memangnya yang kamu pikir sebagai mata-mata? Orangnya ada di mana?” tanya Kristian.

“Yang pasti bukan kamu.” Jordan mengecup lagi punggung tangan Kristian. “Orangnya ada di dalam.”

“Di dalam?”

“Di dalam kabin komposit itu. Mata-matanya ada di sana. Bukan Mike, bukan Laurence. Kayaknya juga bukan dua teknisi yang meninggal di sini. Tapi ada di sana. Pura-pura enggak tahu apa-apa, padahal dia adalah mastermind semua ini. Aku baru nyadar tadi ketika kita kumpul bareng, ketika aku diam terus dan enggak berani ngomong apa-apa, karena kupikir semua orang masih marah sama aku.”

“Siapa?”

Jordan menyebutkan nama yang dicurigainya. Kristian mengambil waktu sejenak untuk memproses informasi itu. “Aku enggak percaya dia melakukannya.”

“Oh, lihat aja entar. Begitu kita selamat dari sini, aku bisa buktikan bahwa dia mata-matanya.”

“Tapi ….” Kristian masih ragu. “Tapi itu enggak menunjukkan apa-apa, Sayang. Itu bukan bukti kuat.”

I was there, ketika aku mewawancarai semua orang satu per satu. Wawancara bareng dia paling beda di antara wawancara dengan yang lain.”

Kristian masih tak percaya. Namun sekarang, bukan itu konsen utamanya. “Let’s see aja nanti. Can I kiss you?

Jordan menggeser ringkukan tubuhnya mendekat ke arah Kristian, sambil merapikan selimut yang membalut mereka bertumpuk-tumpuk. “Kamu maju ke sini.”

“Sebentar.”

Dalam kegelapan di bawah selimut, dengan oksigen yang terbatas, mereka pun berciuman. Mungkin cumbuannya sama dengan cumbuan yang selalu mereka lakukan selama lima bulan terakhir. Namun ciuman ini istimewa, karena mereka tak tahu apakah mereka masih akan hidup setelah ini atau tidak.

Kecupan itu lembut, tidak menggelora seperti saat mereka berhubungan seks.

Kecupan itu manis, hangat, dan menentramkan. Mereka meyakini bahwa apa pun yang terjadi, keduanya akan terus bersama.

Kristian melepaskan bibir Jordan. “Apa pun yang terjadi,” bisiknya. “Kita berdua hidup, kita berdua mati, atau salah satu di antara kita pergi duluan … aku pengin kamu tahu bahwa aku cinta sama kamu.”

“Aku juga,” balas Jordan. “Aku enggak pernah berhenti mencintai kamu bahkan setelah tahu si lonte Harry itu betulan ngerayu kamu.”

Keduanya terkekeh.

“Andai aja kita masih punya beberapa tahun lagi untuk barengan, untuk adopsi anak dan hidup bareng,” ungkap Kristian jujur.

“Kamu mau melakukan itu?”

“Kenapa enggak?”

Jordan merasa terharu sekali. Sebagai Pisces, itu adalah hal romantis yang seluruh Pisces di seluruh dunia dambakan. Hidup dalam romantisme bersama kekasih, menciptakan dunia yang dinikmati hanya berdua saja. Tinggal di sebuah pegunungan, di depan danau yang jernih dan hutan-hutan berdaun hijau tua. Mereka hidup di dalam kabin kayu yang mungil, setiap hari hanya bercelana dalam saja mondar-mandir di rumah. Lalu Jordan akan duduk di depan meja kerjanya menghadap ke jendela yang menampilkan pemandangan danau dan pegunungan. Kristian akan muncul bertelanjang dada, menggendong balita kecil yang menangis minta susu.

Ingin rasanya hidup seperti itu selamanya.

“I love you,” bisik Kristian sekali lagi.

“I love you more.”

Mereka lalu berciuman sekali lagi. Dan cukup lama.

Sampai akhirnya mereka menyadari sesuatu. “Kok, kita enggak mendarat-mendarat juga, ya?”

Beberapa detik setelah pertanyaan itu, mereka merasakan pesawat berguncang kecil, lalu mendarat dengan mulus di suatu tempat. Mendarat dengan normal.

Mendarat seperti semua pesawat di seluruh dunia.

Dengan roda belakang yang menggelinding mulus.

Di atas landasan mulus.

Di sebuah bandara.

Jordan menguak selimut sambil mencari oksigen sebanyak-banyaknya. Ketika dia menoleh ke arah jendela-jendela pesawat yang terbuka …

… dia melihat gedung terminal bandara baru saja dilewati pesawat seraya burung besi ini berhenti dengan sempurna dari pendaratan yang sangat-sangat … normal.

Selamat datang di Palembang.



To be continued ....


<<< Part 25  |  The Flying Paradise  |  Part 27 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Nude 33

  ssendrawkwA emitefiL .33     Pada suatu pagi lima tahun lalu, Miza bangun lebih pagi dari biasanya meski semalaman tak bisa tidur. D...