26 The Landing
“Kita sudah mulai glide,” ujar
Maulana. “Informasi terakhir yang saya dapat, kita enggak akan mendarat di
bandara. Kita akan mendarat di Sungai Musi.”
Di luar, suara mesin pesawat mati kembali. Kali ini memang sengaja
dimatikan agar pesawat bisa menghemat bahan bakar sebelum menggunakannya lagi
saat impact ke atas air. Ketinggian
pesawat tidak cukup untuk mencapai Sultan Mahmud Badaruddin II International
Airport, Palembang. Pesawat militer tetap menemani The Flying Paradise membelah gelapnya malam menuju Sungai Musi yang
tak memiliki pencahayaan.
Komunikasi radio disebarkan ke seluruh kapal yang sedang bergerak di
atas Sungai Musi. Belum dapat dipastikan di bagian sungai mana pesawat akan
mendarat, tetapi seluruh kapal diwajibkan merapat ke tepi sungai dan melaporkan
pergerakan pesawat di udara. Beberapa kapal laut di muara sungai sudah melihat
pesawat yang melayang perlahan-lahan menyusuri jalur Musi. Pelabuhan
Penyeberangan Tanjung Api-Api juga sudah mengirimkan laporan visual pesawat
yang terbang rendah di atas langit Sungsang, Kabupaten Banyu Asin.
“Jadi kita duduk di mana?” tanya Kristian.
“Ada kabin khusus untuk menyelamatkan diri di master bedroom—”
“Saya ke sana!” tegas Pamungkas tiba-tiba. Dia melepaskan sabuk pengaman
dan berlalu meninggalkan common room.
Harry membelalak, teringat akan kabin tersebut. “Gue lebih dulu!”
Pamungkas dan Harry pun lenyap ke bagian belakang kabin. Empat orang sisanya
masih berada di common room, menunggu
Maulana melanjutkan kata-katanya.
“Saya bisa duduk di jumpseat,
enggak apa-apa. Karena kabin penyelamatan hanya punya kapasitas empat orang
saja. Lengkap dengan life vest,
cadangan makanan, dan obat-obatan. Kalau pesawat meledak, kemungkinan besar
kabin itu akan selamat dari ledakan. Selain karena posisinya berada di ekor
pesawat, juga karena materialnya tahan api. Saya enggak tahu apakah bisa
dimasuki oleh lima orang—”
“Saya enggak perlu masuk,” ujar Jordan tiba-tiba. Semua menoleh ke
arahnya dengan bingung. “Saya cari cara lain untuk selamat. Mungkin duduk di jumpseat juga.”
“Sayang, enggak bisa gitu, ah!” sergah Kristian. “Kamu sama aku harus
masuk ke dalam kabin itu. Kita semua harus bisa masuk ke dalam kabin dan
selamat dari ledakan.”
“Memang sudah pasti meledak? Bukannya kita mendarat di air?” ungkap
Jordan.
“Enggak bisa! Kita semua masuk ke dalam kabin, jangan sampai si bangsat
Pamungkas itu selamat dan sehat walafiat!” tegas Kristian. “Sama si Harry,
pula.”
“Maksimal empat, Mas. Itu beneran sempit,” ujar Randian. “Saya mendesain
untuk sepuluh orang, tapi pihak Boeing menolak. Katanya, terlalu berat.
Material tahan apinya punya satu massa khusus yang ngebikin beban pesawat di
bagian ekor agak-agak besar. Makanya saya bikin master bedroom di belakang juga supaya enggak banyak orang di sana,
supaya kabin khusus itu bisa saya masukkan. Tapi desain saya hanya approve empat orang aja.”
“Lima enggak bisa?” tanya Maulana.
Randian menggelengkan kepala. “Ketika pesawat mendarat di air, let’s say badan pesawat terpisah-pisah,
kabin itu hanya sanggup menampung beban empat orang aja. Kalau ada orang kelima
masuk, kabin khususnya bisa tenggelam.”
“Ya udah, Mas Randian masuk aja, saya sih enggak usah,” pinta Jordan.
“Kamu juga masuk, Sayang.”
“Enggak, lah!” tegas Kristian. “Kalau kamu enggak masuk, aku juga enggak
masuk.”
“Udah ada kabar belum sih dari maskapai?” tanya Randian. “Siapa tahu
maskapai ngabulin dua permintaan terakhir itu sehingga kita masih bisa
diselamatkan dari insiden ini.”
Maulana menggeleng. “Saya belum nerima informasi apa-apa, Mas. Tapi saya
juga enggak tahu apakah ada cara lain untuk pesawat mendarat selain ditching. Kan, fuel sudah habis.”
Randian mendengkus dan mengusap mukanya dengan pasrah. Pembicaraan itu
buntu. Segala cara dilakukan, tetapi tetap tak menemukan alternatif yang lebih
baik. Randian mencoba untuk kali terakhir, “Kalau mata-matanya ada di antara
kalian,” desahnya, “please … tolonglah
kami atas nama kemanusiaan. Kalau kamu mau dua permintaan itu terpenuhi, saya
siap bantu kamu hei mata-mata. Nanti, setelah kita mendarat dengan aman di
bandara, tanpa kerusakan, tanpa ancaman, tanpa ledakan. Saya bantu mengompori
media agar mengusut kasus Yavadvipa Jet sampai tuntas.
“Tapi tolong …. Tolong untuk saat ini bantu pesawat mendarat ke bandara
dulu. Do something.”
Maulana hanya menggeleng kecil. Kristian menunduk, sementara Jordan
tersenyum kecil ke arah Randian.
“Udah, lah Mas. Gapapa. Mas masuk aja,” saran Jordan. “Saya bersedia
enggak masuk ke dalam kabin karena saya merasa bersalah atas tersebarnya
informasi confidential itu. Saya tahu
teman-teman di sini masih marah atas kejadian itu. Dan saya juga yakin,
teman-teman percaya bukan sayalah yang menyebarkannya. Tapi itu semua terlanjur
keluar, kalau harus ada korban berikutnya, saya siap untuk—”
“Enggak!” Kristian menutup mulut Jordan sambil mendengus dan menggeleng.
“Jangan pernah ngomong kayak gitu.”
Jordan melepas bekapan mulut itu. “It’s
my decision.”
“Mas bilang, Mas tahu siapa mata-matanya?” tanya Randian, mengingatkan
kembali.
“Ya, saya punya satu dugaan kuat berdasarkan analisis saya selama ini.
Dan orangnya bukan Pamungkas, kok. Justru mata-matanya berusaha menunjukkan
bahwa orangnya Pamungkas, tapi saya tahu bukan dia,” jawab Jordan.
“Gimana caranya tahu?”
Jordan tersenyum. “Responsnya berbeda dari yang lain. Bahkan, sejak awal
meninggalnya Mas Mora.”
“Cabin crew, prepare for emegency
landing.” Suara Mike membahana di setiap interkom.
Maulana terkejut dan segera melompat ke jendela. Maulana membuka semua
jendela yang bisa dia buka di common room.
Dari dalam kabin dia bisa melihat langit gelap dengan titik-titik lampu
berwarna kuning di bawah sana. Rumah-rumah itu jaraknya sudah dekat.
“Kita sudah mau mendarat,” ujar Maulana. “Sebaiknya segera masuk ke
dalam kabin khusus untuk meminimalisir cedera saat benturan. Silakan.”
Jordan tetap berdiri. “Saya tetap akan berada di luar. Mungkin di master bedroom, tapi di luar.”
“Jordan!” hardik Kristian.
“Ayo, Bapak-Bapak. Kita semuanya ke belakang,” ajak Maulana mendului
yang lain. “Masuk enggak masuk ke kabin, semua berada di belakang.”
“Kita enggak bisa duduk di sini?” tanya Kristian.
“Bagian belakang pesawat adalah bagian paling aman dalam setiap
kecelakaan pesawat. Apa pun yang terjadi, masuk tidak masuk ke kabin khusus,
benar kata Mas Jordan, sebaiknya kita ke belakang,” terang Maulana.
Keempatnya bergegas menyusuri kabin penumpang yang sepi. Melewati
jejeran kamar tidur tamu, lalu menghambur ke dalam master bedroom. Maulana menguncinya dan mengarahkan semua ke kamar
mandi utama, lalu membuka sebuah pintu khusus menuju kabin anti ledak. Pintu
menuju kabin itu tebal dan mungil. Ketika Maulana membukanya, sudah ada Harry
dan Pamungkas berada di dalam, duduk nyaman dengan sabuk pengaman melingkari
perut mereka. Pamungkas bahkan sudah mengenakan life vest di lehernya, siap dikembangkan. Harry dan Pamungkas
sedang bertengkar gara-gara insiden sang manager mengungkap masa lalu Harry,
tetapi keduanya berhenti ketika pintu terbuka.
“Mas masuk aja,” ujar Jordan.
Randian ragu. Selain karena tak tega meninggalkan banyak orang di luar,
pun karena tak mau berada dalam kabin yang sama bersama Pamungkas.
“Cepat masuk!” seru Harry.
“Waktu kita enggak banyak,” ujar Maulana.
“Saya enggak mau masuk,” tegas Kristian. “Kalau Jordan enggak masuk,
maka saya enggak masuk. Mas Randian sama Mas Maulana boleh masuk ke dalamnya.”
Pamungkas memutar bola matanya.
“Enggak apa-apa, Mas masuk aja,” balas Maulana. “Saya bisa berlindung di
master bedroom saat impact. Saya, kan dilatih untuk
menghadapi keadaan darurat seperti ini.”
“Saya enggak masuk, kalau Jordan enggak masuk,” tegas Kristian.
Jordan memegang bahu kekasihnya. “Kamu yakin?”
“Ya. Yakin seyakin-yakinnya!” tegas Kristian. “Ngapain aku selamat kalau
kamunya mati? Mendingan aku sama kamu, hidup ataupun mati. Misal kamu atau aku
mati pun pas kita ada di luar sana, at
least aku barengan sama kamu. Aku enggak mau kita terpisah ruangan. Aku
pengin kita berada di ruangan yang sama.”
“Berisik!” hardik Pamungkas. “Udah, tutup aja kalau enggak mau masuk!”
Pamungkas sudah membungkuk untuk menggapai pintu, tetapi Randian
menahannya. “Oke, saya masuk,” ujarnya. “Tapi dengan Mas Maulana.”
“Saya bisa di luar—”
“Mas ikut saya ke dalam!” tegas Randian. “Karena saya butuh Mas tetap
selamat setelah pendaratan ini. Supaya saya bisa lanjutin cita-cita pembajak
buat mengungkap kebobrokan maskapai. Masuk!”
“Tapi ….”
Randian menarik masuk Maulana ke dalam sementara dirinya juga melompat
masuk. Sebelum menutup pintu, Randian berbisik, “Good luck,” kepada Jordan dan Kristian.
“You too,” balas
Jordan.
“Kalau butuh bantal, di belakang shower
room ini ada lemari berisi peralatan housekeeping.
You can use it to your advantage.”
“Thanks.”
Dan pintu itu pun tertutup. Pamungkas, Harry, Randian, dan Maulana
berada sangat aman di dalam kapsul komposit anti ledak. Jordan masih tak tahu
bagaimana nasibnya. Namun dibandingkan berseteru memperebutkan tempat di dalam,
sebaiknya dia berada di luar saja dan mencari cara untuk selamat.
Cukup banyak pendaratan darurat di atas permukaan air yang dieksekusi
dengan sukses oleh sang pilot. Saking amannya, nyaris tak ada korban jiwa.
Garuda Indonesia penerbangan 421 yang mendarat darurat di Bengawan Solo, hanya
satu korban jiwa. US Airways penerbangan 1549 di Sungai Hudson, tak ada korban
jiwa. Insiden tersebut didramatisasi ke dalam film Sully.
Lima tahun lalu, Nusantara Skyways penerbangan 6552 mendarat darurat di
Sungai Mahakam. Hanya satu korban jiwa, itu pun bukan karena pendaratan darurat
di air. Uniknya, pendaratan darurat itu dilakukan seorang pramugara yang tidak
punya pengalaman mengemudikan pesawat. Yang membuat Jordan yakin bahwa
pendaratan ini akan aman seperti sebelum-sebelumnya.
Sungai Musi jauh lebih lebar dibandingkan Sungai Mahakam. Lalu lintasnya
padat menuju Palembang, sehingga kapal-kapal yang melintasi sungai ini akan
tersebar di mana-mana, siap menolong ketika pesawat akhirnya mengapung di atas
permukaan air. Dengan adanya Kristian di sampingnya, apa pun yang terjadi,
pasti akan terasa lebih baik.
Jordan membuka lemari yang menyimpan peralatan housekeeping seperti bantal, guling, selimut, bedsheet, dan lain sebagainya.
“Mau kita apakan ini?” tanya Kristian.
“Kita pakai untuk melindungi diri kita,” usul Jordan. “Bantu aku
ngeluarin semua bantal ini.”
Jordan dan Kristian dengan kilat melemparkan semua bantal, guling, dan
selimut yang mereka temukan ke master
bedroom. Mereka tak tahu apakah pesawat sudah akan mendarat atau belum,
tetapi mereka tahu waktunya tak banyak lagi. Setelah semuanya diungsikan, keduanya
mulai merapikan tempat tidur.
Di atas tempat tidur terdapat dua pasang sabuk pengaman yang bisa
digunakan ketika tamu ingin mengamankan dirinya seraya tidur. “Oke, kita
tiduran sambil pakai sabuk pengaman,” terang Jordan buru-buru. “Lalu kita tutup
badan kita dengan semua selimut dan bantal ini, dan tidurnya harus meringkuk.
“Emang bakal berhasil, ya?”
“Enggak tahu,” jawab Jordan, mencari-cari life vest di bawah sofa lalu menariknya keluar. “Tapi kemungkinan
terburuk kan pesawat meledak saat roda menyentuh landasan. Kalau pesawat aja
mendarat di atas air, yang berarti enggak akan mengeluarkan roda, harusnya sih
pesawat enggak meledak.”
“Terus life vest-nya?”
“Siapa tahu kita mengambang di atas air, life vest-nya sudah kita siapkan. Nih, pake.”
Kristian mengenakan life vest
tanpa mengembangkannya. Dia celingukan mencari pintu keluar. Di balik shower room terdapat dua pintu belakang
yang bisa digunakan untuk menyelamatkan diri setelah pendaratan di atas air
selesai.
“Kita memang enggak akan meledak karena mendarat di air?” tanya
Kristian.
Jordan menggelengkan kepala. “Aku enggak tahu. Udah, lah. Bantu aku
naikin semua selimut dan bantal ini.”
Dalam tempo yang sangat cepat, Jordan dan Kristian berbaring di atas
tempat tidur, mengamankan tubuh mereka dengan sabuk pengaman. Kemudian, mereka
menumpuk berlapis-lapis selimut menyelimuti tubuh mereka, dan sempat juga
membentengi sekitar tubuh mereka dengan bantal dan guling yang disusun
mengelilingi.
“Jangan lupa meringkuk, kepala menghadap kasur, dan stay di posisi tersebut,” titah Jordan yakin.
Kristian mengangguk. Dia membantu kekasihnya memasang lapisan terakhir
selimut seraya menumpuk lagi satu bantal di atas tubuh mereka. Lalu, Kristian
dan Jordan merapikan selimut yang menutupi kepala mereka dengan rapat,
mengganjalnya dengan kepala sendiri.
Sekarang, semua gelap, tertutup dengan sempurna. Pada saat yang sama,
suara mesin jet bergaung lagi di tengah keheningan.
Zuuuiiinnnggg …!!!
“Passengers, brace for impact!” sahut Mike melalui interkom. “Brace for
impact!”
“I love you,” bisik
Kristian tiba-tiba.
Dengan cepat Jordan membalas. “I
love you too.”
“Mesinnya udah nyala lagi,” ungkap Kristian retoris. “Berarti sudah
dekat dengan sungai. Katanya mereka butuh power
untuk memastikan pendaratan dilakukan seimbang sehingga damage-nya minimal.”
“Semoga mereka berhasil.”
Lalu, hening menyeruak di antara mereka berdua. Menunggu saat-saat
benturan pesawat dengan permukaan Sungai Musi.
“Aku minta maaf,” ujar Kristian tiba-tiba, dalam kegelapan. Tangan
Kristian merayap mencari tangan Jordan. Saat menemukannya, dia menggenggam
tangan kekasihnya itu dengan erat. “Aku minta maaf karena aku selingkuh dari
kamu.”
“Aku juga minta maaf,” balas Jordan. “Aku enggak sesuci yang kamu kira,
kok.”
Karena Kristian tak tahu apakah dia akan hidup setelah ini atau justru
mati, dengan berani Kristian mengakui, “Aku pernah begitu sama Harry.”
Jordan malah terkekeh. “Iya, aku tahu.”
“Lho, kok kamu ketawa?”
“Ya emang itu alasannya aku enggak suka Harry.” Jordan menarik tangan
Kristian ke mulutnya, lalu mengecupnya. “Aku ini Pisces. Aku punya kekuatan psychic untuk tahu apakah pacarku
selingkuh atau enggak. Sejak awal kamu dekat dengan Harry, aku tahu ada sesuatu
yang istimewa di antara kalian berdua.”
“Enggak, kok. Enggak ada yang istimewa,” jawab Kristian. “Aku sama dia
cuma partner seks aja. Ya, beberapa kali. Dan itu murni kesalahanku. Bukan
kesalahanmu, bukan karena kamu. Kalau aku memang orang jujur, sedari awal
seharusnya kuutarakan hubunganku sama Harry, atau aku enggak melakukannya sama
sekali. So please, jangan merasa
bersalah.”
“Aku bakal jujur bahwa aku merasa bersalah.”
ZZZUUUIIINNNGGG …!!!
Mesin pesawat menderu semakin kencang. Tiba-tiba pesawat oleng kiri dan
kanan beberapa kali, dan orientasi pesawat agak-agak mendongak ke atas.
Jordan mengeratkan genggaman tangannya kepada Kristian. Lalu mengulai
lagi kalimatnya. “Aku bakal jujur bahwa aku merasa bersalah,” katanya. “Aku
merasa aku enggak bisa memuaskanmu. Sehingga aku juga melakukan hal yang sama
seperti kamu. Aku pernah begituan juga dengan Maulana.”
“Maulana?!” ulang Kristian terkejut. “Kok …, bisa?”
“Karena dia kucing,” jawab Jordan segera. “Selama ini aku mengira kamu
enggak pernah puas dengan servis dari aku sehingga kamu merasa perlu menemui
Harry dan senang-senang sama dia. Karena aku ingin tahu seburuk apa performaku,
aku nge-hire Maulana untuk gituan
sama aku. Eh ternyata dia bottie
juga. Jadi aku enggak dapat pelajaran apa-apa.”
Kristian terkekeh. “Ngapain sih kamu kayak begitu?” balas Kristian.
“Ketika aku melakukannya bareng Harry, itu murni kesalahanku. Kamu bukan faktor
yang terlibat di dalamnya. Harry menggodaku, dan aku tergoda. Mungkin karena
aku merasa aku enggak seganteng kamu, atau seganteng Harry. Jadi, kalau ada
orang se-wow Harry merayu aku, aku
kayak ngerasa … yang bener aja sih kalau sampai dilewatin. Kapan lagi gitu bisa
ama Harry?”
“Tapi dia, kan lonte. Dia udah sama semua orang. Bisa jadi sebenarnya
dialah yang punya HIV itu.”
“Atau Maulana. Karena dia kucing.”
“Oh, iya ya.”
Obrolan pun terjeda sekali lagi. Keduanya belum merasakan pesawat
menghempas apa pun di bawah sana. Pesawat terasa masih terbang dengan suara
mesin yang kadang berisik, kadang memelan lagi.
“Siapa memangnya yang kamu pikir sebagai mata-mata? Orangnya ada di
mana?” tanya Kristian.
“Yang pasti bukan kamu.” Jordan mengecup lagi punggung tangan Kristian.
“Orangnya ada di dalam.”
“Di dalam?”
“Di dalam kabin komposit itu. Mata-matanya ada di sana. Bukan Mike,
bukan Laurence. Kayaknya juga bukan dua teknisi yang meninggal di sini. Tapi
ada di sana. Pura-pura enggak tahu apa-apa, padahal dia adalah mastermind semua ini. Aku baru nyadar
tadi ketika kita kumpul bareng, ketika aku diam terus dan enggak berani ngomong
apa-apa, karena kupikir semua orang masih marah sama aku.”
“Siapa?”
Jordan menyebutkan nama yang dicurigainya. Kristian mengambil waktu
sejenak untuk memproses informasi itu. “Aku enggak percaya dia melakukannya.”
“Oh, lihat aja entar. Begitu kita selamat dari sini, aku bisa buktikan
bahwa dia mata-matanya.”
“Tapi ….” Kristian masih ragu. “Tapi itu enggak menunjukkan apa-apa,
Sayang. Itu bukan bukti kuat.”
“I was there, ketika aku
mewawancarai semua orang satu per satu. Wawancara bareng dia paling beda di
antara wawancara dengan yang lain.”
Kristian masih tak percaya. Namun sekarang, bukan itu konsen utamanya. “Let’s see aja nanti. Can I kiss you?”
Jordan menggeser ringkukan tubuhnya mendekat ke arah Kristian, sambil
merapikan selimut yang membalut mereka bertumpuk-tumpuk. “Kamu maju ke sini.”
“Sebentar.”
Dalam kegelapan di bawah selimut, dengan oksigen yang terbatas, mereka
pun berciuman. Mungkin cumbuannya sama dengan cumbuan yang selalu mereka
lakukan selama lima bulan terakhir. Namun ciuman ini istimewa, karena mereka
tak tahu apakah mereka masih akan hidup setelah ini atau tidak.
Kecupan itu lembut, tidak menggelora seperti saat mereka berhubungan
seks.
Kecupan itu manis, hangat, dan menentramkan. Mereka meyakini bahwa apa
pun yang terjadi, keduanya akan terus bersama.
Kristian melepaskan bibir Jordan. “Apa pun yang terjadi,” bisiknya.
“Kita berdua hidup, kita berdua mati, atau salah satu di antara kita pergi
duluan … aku pengin kamu tahu bahwa aku cinta sama kamu.”
“Aku juga,” balas Jordan. “Aku enggak pernah berhenti mencintai kamu
bahkan setelah tahu si lonte Harry itu betulan ngerayu kamu.”
Keduanya terkekeh.
“Andai aja kita masih punya beberapa tahun lagi untuk barengan, untuk
adopsi anak dan hidup bareng,” ungkap Kristian jujur.
“Kamu mau melakukan itu?”
“Kenapa enggak?”
Jordan merasa terharu sekali. Sebagai Pisces, itu adalah hal romantis
yang seluruh Pisces di seluruh dunia dambakan. Hidup dalam romantisme bersama
kekasih, menciptakan dunia yang dinikmati hanya berdua saja. Tinggal di sebuah
pegunungan, di depan danau yang jernih dan hutan-hutan berdaun hijau tua.
Mereka hidup di dalam kabin kayu yang mungil, setiap hari hanya bercelana dalam
saja mondar-mandir di rumah. Lalu Jordan akan duduk di depan meja kerjanya
menghadap ke jendela yang menampilkan pemandangan danau dan pegunungan.
Kristian akan muncul bertelanjang dada, menggendong balita kecil yang menangis
minta susu.
Ingin rasanya hidup seperti itu selamanya.
“I love you,” bisik
Kristian sekali lagi.
“I love you more.”
Mereka lalu berciuman sekali lagi. Dan cukup lama.
Sampai akhirnya mereka menyadari sesuatu. “Kok, kita enggak
mendarat-mendarat juga, ya?”
Beberapa detik setelah pertanyaan itu, mereka merasakan pesawat
berguncang kecil, lalu mendarat dengan mulus di suatu tempat. Mendarat dengan
normal.
Mendarat seperti semua pesawat di seluruh dunia.
Dengan roda belakang yang menggelinding mulus.
Di atas landasan mulus.
Di sebuah bandara.
Jordan menguak selimut sambil mencari oksigen sebanyak-banyaknya. Ketika
dia menoleh ke arah jendela-jendela pesawat yang terbuka …
… dia melihat gedung terminal bandara baru saja dilewati pesawat seraya
burung besi ini berhenti dengan sempurna dari pendaratan yang sangat-sangat …
normal.
Selamat datang di Palembang.
To be continued ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar