pirT noitavresbO .92
Sejak tahun ajaran baru dimulai,
Tommy sudah mengikuti pertemuan travelustration
sebanyak empat kali. Pertemuan dilakukan pada hari Kamis sepulang sekolah.
Karena Evelyn juga mendaftar, Tommy jadi punya motivasi untuk datang, padahal
jauh di lubuk hatinya Tommy malas kumpul-kumpul.
Pertemuan pertama, seluruh anggota
mengenalkan diri dengan akrab. Pertemuan kedua, senior mengajak anggota baru
untuk melakukan doodling di atas
kertas, belajar mengekspresikan apa yang dilihat secara visual. Pertemuan
ketiga, sharing seluruh anggota
senior tentang perjalanan-perjalanan yang pernah mereka tempuh. Pertemuan
keempat, mereka sama-sama menonton video pejalanan ke Kalimantan yang dilakukan
awal tahun ini dalam rangka menyambut tahun baru 2020.
Pertemuan keempat Tommy
menyimpulkan dia bosan mengikuti travelustration.
Mungkin dia akan menjadi peserta berikutnya yang perlahan-lahan hilang oleh
seleksi alam. Dari yang asalnya ada 37 orang pada pertemuan pertama, hanya sisa
delapan belas saja pada pertemuan keempat. Ya, sedrastis itu. Kecuali Evelyn,
mungkin. Karena Tommy melihat Evelyn sangat bersemangat mengikuti ekskul ini.
Pertemuan pertama Evelyn cerita bahwa dia sudah punya daftar ke mana saja
tempat yang akan dia kunjungi dalam sepuluh tahun ke depan.
Tommy tak bisa menjawab pertanyaan
yang sama, karena dalam benaknya hanyalah, bagaimana kehidupan Tommy setelah
menikah bertiga bersama Arthur dan Jerome dalam sepuluh tahun ke depan.
Pada Kamis berikutnya, Evelyn
berbalik ke meja belakang di sela-sela tugas bahasa Arab. Dia mencolek bahu
Tommy. “Gue kayaknya enggak
bisa kumpul travelustration sore ini.
Gue harus pulang cepet. Ada oma gue dari Jakarta datang ke rumah.”
“Oke,” jawab Tommy. Ketika Tommy
baru saja berencana bilang, “Ya udah aku juga enggak ikut, deh,” Evelyn sudah
menyela Tommy.
“Besok elo kasih tahu ya pas
kumpulnya ngapain aja. Gue enggak
mau missed out anything.”
Aku
juga nggak akan datang, Eve,
balas Tommy dalam hati. Mungkin Tommy akan mengarang saja soal melakukan doodling seperti pertemuan kedua.
Tommy betulan malas datang ke
pertemuan itu karena memang pertemuannya tak menarik. Apalagi Miza tak pernah
muncul pada empat pertemuan itu. Tommy kira Miza akan menjadi pelatihnya, atau
pembimbingnya, sehingga setidaknya ada orang ganteng yang bisa dinikmati
sepanjang pertemuan. Namun sosok yang keren itu terakhir kali Tommy lihat saat outbond.
Sepanjang hari, Tommy sudah
membayangkan pulang ke rumah lebih cepat untuk melanjutkan fantasinya tentang
Arthur dan Jerome. Sesekali Tommy mencoba menulis di Wattpad kisah yang dia
bayangkan tentang Arthur maupun Jerome, tetapi tak satu pun dia publikasikan.
Tommy tidak percaya diri dengan cara bercerita, sehingga ujung-ujungnya dia
membaca saja cerita yang sudah orang-orang publikasikan.
Awal-awal menggunakan Wattpad,
Tommy membaca cerita remaja bisa. Ketertarikannya beralih ke fanfiction artis Korea. Dan kini,
mungkin karena sedang pubertas dan hasrat seksualnya menggebu-gebu, Tommy lebih
sering membaca cerita gay stensilan.
Jenis cerita yang enggak
memedulikan plot, yang penting ada adegan penis masuk ke rektum, sudah cukup
membuat Tommy puas.
Tommy sedang mengikuti satu akun
Wattpad bernama @brondongternoda yang hobi mengunggah cerita-cerita pendek
tentang satu tokoh jantan dengan satu tokoh utama submissive yang sama, yang kadang ceritanya tidak nyambung satu
sama lain. Cara penulisannya pun berantakan, tidak mengikuti pedoman umum ejaan
bahasa Indonesia maupun penggunaan tanda baca yang tepat. Bagi Tommy, tak apa.
Yang penting ceritanya.
Ada satu cerita akun tadi yang
sedang dibaca Tommy akhir-akhir ini. Judulnya Mas Nino Satpam Pabrik Sebelah. Tommy tertarik karena si tokoh
satpam juga senang dipijat. Pada istirahat kedua Kamis itu, Tommy yang
ditinggalkan oleh Arthur (persiapan kompetisi renang), Keysha (mengerjakan
tugas bahasa Inggris), dan Evelyn (sibuk beli kado di online shop untuk omanya) memutuskan pergi ke kantin menyantap mi
ayam sambil melanjutkan bacaannya.
Begini cuplikan ceritanya:
....
Mas nino sendirian
dikosannya . gua datang kejuhanan . basah basah kerana hujan yg mengguyur
ibukota jakarta . terus gue masuk dan terus gua melihat mas nino sedang
telanjang bulat pakai handuk saja bekas mandi . terus gua bertanya . “mas nino
habis mandi ?.” Tanya saya .
“ iya de !.” Jawab mas
nino menjabaw pertanyaan gua .
“ sama saya jg di
mandiin sama hujan !.” Candaan gua .
“ handukin dulu
kepalanya !.” Suruh mas nino kepada gua yangbasah kuyup. “nanti kamu basah de .
kalau basah nanti tidak bisa pijat saay lagi. he he he he .”
“pinjam handuknya mas
. saya tidak bekal handuk!”, Jawab gua beralibi .
“ handuk saya di cuci
semua ,de. Pakai yang ini saja !.” Gumam mas nino .
Mas nino melepaskan
handuk nya yang sedang di pakainya . lalu gua melihat kontol mas nino yang hitam berurat itu berayun dibawah jembut keriting
mas nino .
Gua langsung mnyambar
kontol mas nino yg langsung mengeras begitu gua kulum dengan nikmat . mas nino
mendesah nikmat . “Ah Ah Ah! !” Ujar mas nino .
....
Kira-kira seperti itu ceritanya.
Tahu-tahu mereka bercinta, dan si tokoh “gua” ini lupa mengelap kepalanya
dengan handuk, tapi tak pernah sakit setelahnya. Ketika asyik membaca, tak
sengaja pandangan Tommy teralihkan ke ujung koridor kantin yang terhubung
dengan jejeran ruang ekstrakurikuler. Di ruang paling ujung, yang paling
kelihatan dengan kantin, adalah ruang travelustration.
Di sana, Tommy seperti melihat Miza.
Tommy berhenti membaca Wattpad-nya
dan mencoba menyipitkan mata untuk melihat dengan jelas. Namun sosok yang
diduga Miza itu agar sukar diamati. Dan karena Tommy penasaran setengah mati,
ujung-ujungnya Kamis sore itu Tommy mendapati dirinya berkumpul dengan travelustration di ruang kelas XI IIS 4.
Benar saja, Miza ada di sana.
“Okay, Adik-Adik, mohon maaf karena saya baru bisa bergabung hari
ini. Terakhir kita ketemu pas MOS, betul?” sapa Miza, dibalas anggukan beberapa
anggota baru, termasuk Tommy. “Yang dari kelas IBB juga ketemu saya lagi pas outbond. Saya kenalkan diri saya sekali
lagi, nama saya Miza. Saya founder
ekstrakurikuler ini tahun 2015 lalu, didasari hobi saya traveling dan memvisualkan ide. Waktu kenaikan kelas dua ke kelas
tiga, kan biasanya ada libur sebulan tuh, saya traveling bareng sahabat saya ke Nusa Tenggara Timur, ngeteng naik berbagai jenis kendaraan
yang paling murah, nginep di rumah warga atau pernah di dekat air terjun, dan
setiap datang ke satu kota kami explore
dulu kota tersebut sebelum berangkat ke kota berikutnya. Total sekitar dua atau
tiga minggu perjalanan ke sana. Begitu saya kembali ke sini, saya dirikan travelustration.”
Miza
tidak lanjut membicarakan soal sahabatnya, batin Tommy. Soal sahabat yang hilang dan tidak ikut pulang bersamanya.
Salah satu alasan mengapa Tommy
bersikukuh tetap menjadi anggota travelustration
adalah kekepoannya akan sosok yang
katanya mirip dirinya. Tommy berharap Miza akan menceritakan lebih lanjut soal
sahabatnya itu. Karena setiap Tommy mendengarkan kisahnya, ada satu rindu yang
terpampang nyata dalam raut wajahnya, tetapi tak disadari oleh si founder travelustration itu.
“Nah, setelah berminggu-minggu
saya pergi ke Nusa Tenggara, bertemu jutaan pengalaman ...,” lanjut Miza,
memberi jeda sejenak untuk memastikan setiap orang di ruangan mendengarkan,
“... saya lupa untuk merekamnya dalam karya seni abadi, sehingga saya enggak bisa share dengan orang-orang yang enggak punya atau belum punya
kesempatan main ke sana. Maka dari itu, saya gabungkan ilustrasi dan traveling menjadi satu, sampai akhirnya
terciptalah travelustration ini.”
Masih
belum ada soal sahabatnya itu,
pikir Tommy dalam hati.
“Mohon maaf kemarin saya nggak
masuk sebulan ke ekskul ini karena ada urusan internal. Dan saya juga harus
nyiapin buat wisuda di ITB akhir tahun ini.”
“Ciyeee ...!” Beberapa senior travelustration mulai menggodanya.
Sebagian bertepuk tangan untuk memancing semua orang di ruangan bertepuk tangan
juga.
Miza tersenyum kecil sambil
mengangkat tangannya. “Thank you, thank
you.” Miza membungkukkan badan beberapa kali. “Udah. Udah. Bukan big deal, kok.”
“Kak Miza punya pacar enggak?” goda senior cewek dari
belakang ruangan. Dia cekikikan bersama senior yang lain.
Miza jadi GR. Senyumnya salah
tingkah. “Eeeh ... kok nanya pacar?”
“Ya kan kita masih pengin usaha,
Kak.”
Lalu Miza tertawa sambil
mengernyitkan hidungnya. Tommy terpana menatap tawa itu. Miza tampak mempesona.
Kalau Tommy ikut dalam perjalanan ke Nusa Tenggara itu, bisa-bisa Tommy pulang
mengandung anak, karena rahimnya basah terus oleh pesona Miza yang unik.
Padahal, Tommy tidak tahu apakah dirinya seorang traveler atau bukan. Tommy tak pernah jalan-jalan ke tempat jauh.
Tommy warga asli Bandung, suku asli Sunda, yang berarti motonya, “Ngariung jeung dulur,” sehingga darah
penjelajah itu secara teknis tak ada dalam tubuhnya.
“Saya ... masih jomlo,” jawab
Miza, diikuti koor banyak cewek di belakang kelas yang dengan tulus berzikir,
“alhamdulillah ....”
“Tapi kalau hari ini harus ada good news,” sela Miza buru-buru, “bukan
soal saya jomlo ya Adik-Adik atau Kakak-Kakak di belakang sana.”
“Good news?” seorang senior mengulang pernyataan itu.
Miza manggut-manggut jail sambil
mengangkat kedua alisnya. Dia sengaja memberikan jeda beberapa detik agar efek
menegangkan terasa di ruangan. “Kita dapat job
meliput.”
“Yeeeaaahhh!” sorakan gembira
merebak dari para senior yang duduk di belakang. Para anggota baru masih diam
mendengarkan dan mencoba memahami apa yang sedang terjadi.
“Semuanya ikut, Kak?” tanya satu
senior cewek berkuncir kuda.
“Ada dua tahap. Tahap pertama, enggak, enggak semua ikut. Kita harus
melakukan observasi awal sebelum kegiatan dimulai. Tahap kedua, ya, banyak
orang boleh ikut tapi tetap ada batas maksimal pesertanya, yang akan kita
sesuaikan dengan budget yang dikasih
sponsor untuk trip kali ini.”
Ini benar-benar bukan bidangnya
Tommy. Dia tidak merasa bergembira punya kesempatan untuk melakukan trip bersama orang-orang di travelustration. Sejak dulu Tommy
bermimpi bisa pergi ke Paris, Bali, Jepang, Amerika, layaknya semua orang
normal yang terpengaruhi budaya pop. Namun traveling
tak pernah masuk prioritas hidup Tommy. Tinggal di Bandung dan tak ke mana-mana
pun cukup. Layaknya jutaan orang Sunda yang lain.
“Tell us more!” pinta seseorang lagi, Tommy lupa siapa namanya.
“Okay, kita akan melakukan trip
ke Madura, Jawa Timur. Trip pertama
observasi, hanya dua hari dua malam, pergi Jumat sore, pulang minggu sore. Tapi
karena ini observasi, ada beberapa tugas yang harus dilakukan—“
“Jumat kapan, Kak?” sela
seseorang.
Miza menyunggingkan senyum lebar,
sambil terkekeh salah tingkah, “Hehehe ... Jumat besok sebenernya.”
Desah kecewa mulai bermunculan
dari belakang kelas. Satu senior cowok malah menepuk jidatnya dengan sedih,
“Yaaah ... Sabtu ini gue mesti tanding futsal euy, kagak bisa.”
“Ngedadak banget sih, Kak,” rengek
satu senior cewek yang rambutnya keriting. “Hari Minggu aku ada kondangan.
Temen SMP aku ada yang nikah.”
“Ya mau gimana lagi, sponsornya
baru ngasih approval pagi tadi.
Makanya hari ini saya ke sini,” balas Miza.
Tommy menoleh ke belakang dan
melihat sebagian besar senior tampak tak bisa ikut trip observasi ke Madura. Beberapa mengangkat bahu sambil bilang,
“Gue sih kuy!” Dan beberapa anggota baru tampak saling berpandangan dan
berbisik, “Ih, aku pengin ikut.”
“Kita, kan anak baru. Emang diajak
gitu?”
“Siapa di antara kalian, baik itu
lama maupun baru, yang enggak
bisa ikut ke Madura Jumat sore besok, baru balik ke Bandung Minggu sorenya?
Acungkan tangan! Yang enggak
bisa.”
Tommy sedang menimang-nimang
apakah dia bisa ikut atau enggak.
Secara teknis Tommy tak punya kegiatan apa-apa. Malah, kalau bisa Tommy tak ada
di rumah supaya Bapak tidak mengajaknya memijat tamu lagi. Namun Tommy juga tak
tertarik berangkat ke Madura sepanjang weekend.
Apalagi berangkat dengan orang yang tak dikenal. Kecuali Miza juga ikut ke
sana.
“Dibayarin?” tanya seseorang.
“Tiket sama hotel, iya.
Transportasi iya. Makan sih sediain sendiri. Ada uang ransum untuk tiga kali
sehari, tapi seperti rules kita di
sini, uang ransum dimasukkan ke kas,” jawab Miza.
Tommy belum mengacungkan tangannya
ketika Miza berseru lagi, “Oke, makasih buat acungan tangannya. Mohon maaf
karena infonya mendadak untuk trip
pertama ini. Tapi kita, kan masih ada trip
kedua yang tanggalnya belum ditentukan. Saya harap yang lainnya bisa gabung di trip kedua pas event utama.”
Ketika Tommy menoleh ke belakang
untuk melihat siapa yang tadi mengacungkan tangannya, lebih dari 80% orang di
ruangan mengacungkan tangan. Tommy merasa bodoh sekali karena dia barusan tidak
mengacungkan tangannya. Berarti sekarang Miza sedang memutuskan apakah Tommy
akan dibawa serta atau tidak.
“Kalau gitu saya tunjuk aja ya
siapa yang ikut sama saya besok ke Madura,” lanjut Miza. “Dan yang tertunjuk
ini harus langsung lapor ke saya sesegera mungkin setelah kumpul mingguan kita
selesai nanti, untuk saya belikan tiketnya.”
Miza menimang-nimang siapa saja
yang akan diajak berdasarkan anggota yang tadi tidak mengacungkan tangan. Dalam
lima menit, dia sudah menunjuk tiga orang anggota senior dan dua orang anggota
baru.
Salah satu dari anggota baru itu
adalah Tommy.
Ah,
sial! jerit Tommy
dalam hati. Weekend Tommy yang berharga harus lenyap. Padahal bisa saja dia
ketemuan dengan Arthur atau diminta Jerome memijat lagi di rumahnya. Dua hal
tersebut terdengar lebih menyenangkan dibandingkan pergi ke Madura untuk
observasi.
Selesai kumpul mingguan travelustration, Tommy menunggu waktu
yang tepat berbicara dengan Miza. Sosok jangkung itu dikerubungi mereka yang
akan berangkat ke Madura untuk didata dan dipesankan tiket. Setelah semuanya
bubar dalam waktu tiga puluh menit, Tommy beranjak dari kursinya dan
menghampiri Miza.
“Kak, kayaknya aku enggak punya uang buat ikut,”
ungkap Tommy setengah berbohong. Sejak sering memijat Jerome, uang Tommy lebih
banyak dari biasanya.
“Kan transport sama akomodasi udah ada,” balas Miza sambil membuka lagi
catatannya. “Nama lengkap elo
siapa?”
“Untuk bekal maksudnya,” sergah
Tommy masih berusaha.
“Kita, kan ada uang kas. Bisa di-share kok buat makan doang mah. Elo bilang aja yang jujur, gue pasti
alokasiin dana konsumsi buat anggota yang enggak sanggup provide konsumsi sendiri. Di travelustration
mah kita semua sekeluarga. Pasti pada paham.”
“Tapi aku enggak pernah naik kereta sejauh
itu, Kak.”
“Kita besok naik pesawat.”
Tommy membelalak. Dia tak pernah
naik pesawat dalam hidupnya. Antara senang dan takut sih mendengar kabar
tersebut, tapi sebagian dari dirinya justru bersemangat karena ini akan jadi
pengalaman pertamanya.
“A-aku beneran amatiran Kak soal traveling,” ujar Tommy jujur. “Makanya
aku gabung travelustration buat
belajar. Aku takutnya norak atau kampungan, atau blahbloh—“
“Makanya gue pilih elo buat ikut
besok.” Miza tersenyum sambil menepuk bahu Tommy dengan akrab. “Semua
pengalaman pertama itu terasa menakutkan sampai akhirnya elo melakukannya.
Jadi, nyantai aja. Elo tempel gue terus di sana kalau takut. Mau kita dianggap
pacaran pun, gue enggak
masalah.”
Tommy membelalak lagi. “Kakak
ikut?”
“Ya iyalah. Gue yang handle project ini.” Miza mengacak
rambut Tommy lalu kembali ke catatannya. “Jadi, apa nama lengkap elo?”
Pada akhirnya, Tommy jadi
bersemangat untuk traveling ke luar
kota secara mendadak. Selain dia akan menginjakkan kaki di tempat yang baru,
dia akan naik pesawat, dan juga menghabiskan waktu bersama Miza. Ada banyak hal
yang ingin Tommy tanyakan soal Miza. Soal mengapa Miza tampak begitu keren,
pintar, knowledgeable, gambar doodling-nya bagus, perhatian,
berdedikasi, macho, jantan, dan lain-lain-lain sebagainya.
Dan, oh ... soal sahabatnya itu
juga. Tommy benar-benar harus menggali info lebih banyak. At least foto orangnya, deh. Tommy pengin tahu semirip apa dia
dengan sahabatnya itu.
“Jangan lupa besok habis jumatan enggak perlu masuk kelas terakhir.
Gue besok pagi bikinin surat dispensasi buat kalian yang berangkat,” ujar Miza
setelah selesai mencatat semua info yang dibutuhkan untuk penerbangan dan
hotel. Miza membereskan catatannya, memasukkannya ke dalam tas selempang eco-friendly, lalu beranjak berdiri.
Sudah tak ada siapa-siapa lagi di ruangan itu selain Miza dan Tommy.
“Pake baju apa, Kak?” tanya Tommy.
“Emggak pake baju juga enggak apa-apa.” Miza terkekeh.
“Bercanda! Pake baju yang kamu nyaman pake. Kita bukan mau tampil di atas
panggung, jadi nyantai aja. Oke?”
“Oke, Kak. Makasih ya
kesempatannya.”
“Gue yang makasih karena elo mau
ikut. Boleh gue cubit?” tanya Miza sambil mengarahkan telunjuk dan jempolnya di
samping pipi Tommy.
Tommy bingung harus menjawab apa.
Digerayangi oleh Miza pun sebenarnya Tommy mau-mau saja. Kenapa sih cowok ini
asyik banget?
Tommy mengangguk membolehkan. Maka
Miza pun mencubit pipi Tommy dengan gemas, lalu menggoyangnya lebih dari tiga
kali. “Jadi orang gemesin banget, lo! Ketemu besok, ya!” Miza pun berlalu meninggalkan
kelas sambil berjalan mundur agar tetap bisa melihat Tommy.
Tommy mengangguk malu. “I-iya,
Kak.”
“Dan soal dianggap pacaran itu,
gue serius. Gue beneran enggak
masalah.” Miza mengedipkan satu matanya dengan jenaka.
To be continued ....
kak, ada rencana buat versi cetak dari cerita ini ga??
BalasHapusWow background baru, lbh enak bacanya kak
BalasHapusayo update kak, udah tanggal 1 nih. ehehehe
BalasHapusMakan apa sih Tommy bisa seberuntung itu di deketin cowok cowok keren
BalasHapus