Sabtu, 15 Mei 2021

Nude 29

 

pirT noitavresbO .92

 

  

Sejak tahun ajaran baru dimulai, Tommy sudah mengikuti pertemuan travelustration sebanyak empat kali. Pertemuan dilakukan pada hari Kamis sepulang sekolah. Karena Evelyn juga mendaftar, Tommy jadi punya motivasi untuk datang, padahal jauh di lubuk hatinya Tommy malas kumpul-kumpul.

Pertemuan pertama, seluruh anggota mengenalkan diri dengan akrab. Pertemuan kedua, senior mengajak anggota baru untuk melakukan doodling di atas kertas, belajar mengekspresikan apa yang dilihat secara visual. Pertemuan ketiga, sharing seluruh anggota senior tentang perjalanan-perjalanan yang pernah mereka tempuh. Pertemuan keempat, mereka sama-sama menonton video pejalanan ke Kalimantan yang dilakukan awal tahun ini dalam rangka menyambut tahun baru 2020.

Pertemuan keempat Tommy menyimpulkan dia bosan mengikuti travelustration. Mungkin dia akan menjadi peserta berikutnya yang perlahan-lahan hilang oleh seleksi alam. Dari yang asalnya ada 37 orang pada pertemuan pertama, hanya sisa delapan belas saja pada pertemuan keempat. Ya, sedrastis itu. Kecuali Evelyn, mungkin. Karena Tommy melihat Evelyn sangat bersemangat mengikuti ekskul ini. Pertemuan pertama Evelyn cerita bahwa dia sudah punya daftar ke mana saja tempat yang akan dia kunjungi dalam sepuluh tahun ke depan.

Tommy tak bisa menjawab pertanyaan yang sama, karena dalam benaknya hanyalah, bagaimana kehidupan Tommy setelah menikah bertiga bersama Arthur dan Jerome dalam sepuluh tahun ke depan.

Pada Kamis berikutnya, Evelyn berbalik ke meja belakang di sela-sela tugas bahasa Arab. Dia mencolek bahu Tommy. “Gue kayaknya enggak bisa kumpul travelustration sore ini. Gue harus pulang cepet. Ada oma gue dari Jakarta datang ke rumah.”

“Oke,” jawab Tommy. Ketika Tommy baru saja berencana bilang, “Ya udah aku juga enggak ikut, deh,” Evelyn sudah menyela Tommy.

“Besok elo kasih tahu ya pas kumpulnya ngapain aja. Gue enggak mau missed out anything.”

Aku juga nggak akan datang, Eve, balas Tommy dalam hati. Mungkin Tommy akan mengarang saja soal melakukan doodling seperti pertemuan kedua.

Tommy betulan malas datang ke pertemuan itu karena memang pertemuannya tak menarik. Apalagi Miza tak pernah muncul pada empat pertemuan itu. Tommy kira Miza akan menjadi pelatihnya, atau pembimbingnya, sehingga setidaknya ada orang ganteng yang bisa dinikmati sepanjang pertemuan. Namun sosok yang keren itu terakhir kali Tommy lihat saat outbond.

Sepanjang hari, Tommy sudah membayangkan pulang ke rumah lebih cepat untuk melanjutkan fantasinya tentang Arthur dan Jerome. Sesekali Tommy mencoba menulis di Wattpad kisah yang dia bayangkan tentang Arthur maupun Jerome, tetapi tak satu pun dia publikasikan. Tommy tidak percaya diri dengan cara bercerita, sehingga ujung-ujungnya dia membaca saja cerita yang sudah orang-orang publikasikan.

Awal-awal menggunakan Wattpad, Tommy membaca cerita remaja bisa. Ketertarikannya beralih ke fanfiction artis Korea. Dan kini, mungkin karena sedang pubertas dan hasrat seksualnya menggebu-gebu, Tommy lebih sering membaca cerita gay stensilan. Jenis cerita yang enggak memedulikan plot, yang penting ada adegan penis masuk ke rektum, sudah cukup membuat Tommy puas.

Tommy sedang mengikuti satu akun Wattpad bernama @brondongternoda yang hobi mengunggah cerita-cerita pendek tentang satu tokoh jantan dengan satu tokoh utama submissive yang sama, yang kadang ceritanya tidak nyambung satu sama lain. Cara penulisannya pun berantakan, tidak mengikuti pedoman umum ejaan bahasa Indonesia maupun penggunaan tanda baca yang tepat. Bagi Tommy, tak apa. Yang penting ceritanya.

Ada satu cerita akun tadi yang sedang dibaca Tommy akhir-akhir ini. Judulnya Mas Nino Satpam Pabrik Sebelah. Tommy tertarik karena si tokoh satpam juga senang dipijat. Pada istirahat kedua Kamis itu, Tommy yang ditinggalkan oleh Arthur (persiapan kompetisi renang), Keysha (mengerjakan tugas bahasa Inggris), dan Evelyn (sibuk beli kado di online shop untuk omanya) memutuskan pergi ke kantin menyantap mi ayam sambil melanjutkan bacaannya.

Begini cuplikan ceritanya:

....

Mas nino sendirian dikosannya . gua datang kejuhanan . basah basah kerana hujan yg mengguyur ibukota jakarta . terus gue masuk dan terus gua melihat mas nino sedang telanjang bulat pakai handuk saja bekas mandi . terus gua bertanya . “mas nino habis mandi ?.” Tanya saya .

“ iya de !.” Jawab mas nino menjabaw pertanyaan gua .

“ sama saya jg di mandiin sama hujan !.” Candaan gua .

“ handukin dulu kepalanya !.” Suruh mas nino kepada gua yangbasah kuyup. “nanti kamu basah de . kalau basah nanti tidak bisa pijat saay lagi. he he he he .”

“pinjam handuknya mas . saya tidak bekal handuk!”, Jawab gua beralibi .

“ handuk saya di cuci semua ,de. Pakai yang ini saja !.” Gumam mas nino .

Mas nino melepaskan handuk nya yang sedang di pakainya . lalu gua melihat kontol mas nino yang hitam berurat itu berayun dibawah jembut keriting mas nino .

Gua langsung mnyambar kontol mas nino yg langsung mengeras begitu gua kulum dengan nikmat . mas nino mendesah nikmat . “Ah Ah Ah! !” Ujar mas nino .

....

Kira-kira seperti itu ceritanya. Tahu-tahu mereka bercinta, dan si tokoh “gua” ini lupa mengelap kepalanya dengan handuk, tapi tak pernah sakit setelahnya. Ketika asyik membaca, tak sengaja pandangan Tommy teralihkan ke ujung koridor kantin yang terhubung dengan jejeran ruang ekstrakurikuler. Di ruang paling ujung, yang paling kelihatan dengan kantin, adalah ruang travelustration. Di sana, Tommy seperti melihat Miza.

Tommy berhenti membaca Wattpad-nya dan mencoba menyipitkan mata untuk melihat dengan jelas. Namun sosok yang diduga Miza itu agar sukar diamati. Dan karena Tommy penasaran setengah mati, ujung-ujungnya Kamis sore itu Tommy mendapati dirinya berkumpul dengan travelustration di ruang kelas XI IIS 4. Benar saja, Miza ada di sana.

Okay, Adik-Adik, mohon maaf karena saya baru bisa bergabung hari ini. Terakhir kita ketemu pas MOS, betul?” sapa Miza, dibalas anggukan beberapa anggota baru, termasuk Tommy. “Yang dari kelas IBB juga ketemu saya lagi pas outbond. Saya kenalkan diri saya sekali lagi, nama saya Miza. Saya founder ekstrakurikuler ini tahun 2015 lalu, didasari hobi saya traveling dan memvisualkan ide. Waktu kenaikan kelas dua ke kelas tiga, kan biasanya ada libur sebulan tuh, saya traveling bareng sahabat saya ke Nusa Tenggara Timur, ngeteng naik berbagai jenis kendaraan yang paling murah, nginep di rumah warga atau pernah di dekat air terjun, dan setiap datang ke satu kota kami explore dulu kota tersebut sebelum berangkat ke kota berikutnya. Total sekitar dua atau tiga minggu perjalanan ke sana. Begitu saya kembali ke sini, saya dirikan travelustration.”

Miza tidak lanjut membicarakan soal sahabatnya, batin Tommy. Soal sahabat yang hilang dan tidak ikut pulang bersamanya.

Salah satu alasan mengapa Tommy bersikukuh tetap menjadi anggota travelustration adalah kekepoannya akan sosok yang katanya mirip dirinya. Tommy berharap Miza akan menceritakan lebih lanjut soal sahabatnya itu. Karena setiap Tommy mendengarkan kisahnya, ada satu rindu yang terpampang nyata dalam raut wajahnya, tetapi tak disadari oleh si founder travelustration itu.

“Nah, setelah berminggu-minggu saya pergi ke Nusa Tenggara, bertemu jutaan pengalaman ...,” lanjut Miza, memberi jeda sejenak untuk memastikan setiap orang di ruangan mendengarkan, “... saya lupa untuk merekamnya dalam karya seni abadi, sehingga saya enggak bisa share dengan orang-orang yang enggak punya atau belum punya kesempatan main ke sana. Maka dari itu, saya gabungkan ilustrasi dan traveling menjadi satu, sampai akhirnya terciptalah travelustration ini.”

Masih belum ada soal sahabatnya itu, pikir Tommy dalam hati.

“Mohon maaf kemarin saya nggak masuk sebulan ke ekskul ini karena ada urusan internal. Dan saya juga harus nyiapin buat wisuda di ITB akhir tahun ini.”

“Ciyeee ...!” Beberapa senior travelustration mulai menggodanya. Sebagian bertepuk tangan untuk memancing semua orang di ruangan bertepuk tangan juga.

Miza tersenyum kecil sambil mengangkat tangannya. “Thank you, thank you.” Miza membungkukkan badan beberapa kali. “Udah. Udah. Bukan big deal, kok.”

“Kak Miza punya pacar enggak?” goda senior cewek dari belakang ruangan. Dia cekikikan bersama senior yang lain.

Miza jadi GR. Senyumnya salah tingkah. “Eeeh ... kok nanya pacar?

“Ya kan kita masih pengin usaha, Kak.”

Lalu Miza tertawa sambil mengernyitkan hidungnya. Tommy terpana menatap tawa itu. Miza tampak mempesona. Kalau Tommy ikut dalam perjalanan ke Nusa Tenggara itu, bisa-bisa Tommy pulang mengandung anak, karena rahimnya basah terus oleh pesona Miza yang unik. Padahal, Tommy tidak tahu apakah dirinya seorang traveler atau bukan. Tommy tak pernah jalan-jalan ke tempat jauh. Tommy warga asli Bandung, suku asli Sunda, yang berarti motonya, “Ngariung jeung dulur,” sehingga darah penjelajah itu secara teknis tak ada dalam tubuhnya.

“Saya ... masih jomlo,” jawab Miza, diikuti koor banyak cewek di belakang kelas yang dengan tulus berzikir, “alhamdulillah ....”

“Tapi kalau hari ini harus ada good news,” sela Miza buru-buru, “bukan soal saya jomlo ya Adik-Adik atau Kakak-Kakak di belakang sana.”

Good news?” seorang senior mengulang pernyataan itu.

Miza manggut-manggut jail sambil mengangkat kedua alisnya. Dia sengaja memberikan jeda beberapa detik agar efek menegangkan terasa di ruangan. “Kita dapat job meliput.”

“Yeeeaaahhh!” sorakan gembira merebak dari para senior yang duduk di belakang. Para anggota baru masih diam mendengarkan dan mencoba memahami apa yang sedang terjadi.

“Semuanya ikut, Kak?” tanya satu senior cewek berkuncir kuda.

“Ada dua tahap. Tahap pertama, enggak, enggak semua ikut. Kita harus melakukan observasi awal sebelum kegiatan dimulai. Tahap kedua, ya, banyak orang boleh ikut tapi tetap ada batas maksimal pesertanya, yang akan kita sesuaikan dengan budget yang dikasih sponsor untuk trip kali ini.”

Ini benar-benar bukan bidangnya Tommy. Dia tidak merasa bergembira punya kesempatan untuk melakukan trip bersama orang-orang di travelustration. Sejak dulu Tommy bermimpi bisa pergi ke Paris, Bali, Jepang, Amerika, layaknya semua orang normal yang terpengaruhi budaya pop. Namun traveling tak pernah masuk prioritas hidup Tommy. Tinggal di Bandung dan tak ke mana-mana pun cukup. Layaknya jutaan orang Sunda yang lain.

Tell us more!” pinta seseorang lagi, Tommy lupa siapa namanya.

Okay, kita akan melakukan trip ke Madura, Jawa Timur. Trip pertama observasi, hanya dua hari dua malam, pergi Jumat sore, pulang minggu sore. Tapi karena ini observasi, ada beberapa tugas yang harus dilakukan—“

“Jumat kapan, Kak?” sela seseorang.

Miza menyunggingkan senyum lebar, sambil terkekeh salah tingkah, “Hehehe ... Jumat besok sebenernya.”

Desah kecewa mulai bermunculan dari belakang kelas. Satu senior cowok malah menepuk jidatnya dengan sedih, “Yaaah ... Sabtu ini gue mesti tanding futsal euy, kagak bisa.”

“Ngedadak banget sih, Kak,” rengek satu senior cewek yang rambutnya keriting. “Hari Minggu aku ada kondangan. Temen SMP aku ada yang nikah.”

“Ya mau gimana lagi, sponsornya baru ngasih approval pagi tadi. Makanya hari ini saya ke sini,” balas Miza.

Tommy menoleh ke belakang dan melihat sebagian besar senior tampak tak bisa ikut trip observasi ke Madura. Beberapa mengangkat bahu sambil bilang, “Gue sih kuy!” Dan beberapa anggota baru tampak saling berpandangan dan berbisik, “Ih, aku pengin ikut.”

“Kita, kan anak baru. Emang diajak gitu?”

“Siapa di antara kalian, baik itu lama maupun baru, yang enggak bisa ikut ke Madura Jumat sore besok, baru balik ke Bandung Minggu sorenya? Acungkan tangan! Yang enggak bisa.”

Tommy sedang menimang-nimang apakah dia bisa ikut atau enggak. Secara teknis Tommy tak punya kegiatan apa-apa. Malah, kalau bisa Tommy tak ada di rumah supaya Bapak tidak mengajaknya memijat tamu lagi. Namun Tommy juga tak tertarik berangkat ke Madura sepanjang weekend. Apalagi berangkat dengan orang yang tak dikenal. Kecuali Miza juga ikut ke sana.

“Dibayarin?” tanya seseorang.

“Tiket sama hotel, iya. Transportasi iya. Makan sih sediain sendiri. Ada uang ransum untuk tiga kali sehari, tapi seperti rules kita di sini, uang ransum dimasukkan ke kas,” jawab Miza.

Tommy belum mengacungkan tangannya ketika Miza berseru lagi, “Oke, makasih buat acungan tangannya. Mohon maaf karena infonya mendadak untuk trip pertama ini. Tapi kita, kan masih ada trip kedua yang tanggalnya belum ditentukan. Saya harap yang lainnya bisa gabung di trip kedua pas event utama.”

Ketika Tommy menoleh ke belakang untuk melihat siapa yang tadi mengacungkan tangannya, lebih dari 80% orang di ruangan mengacungkan tangan. Tommy merasa bodoh sekali karena dia barusan tidak mengacungkan tangannya. Berarti sekarang Miza sedang memutuskan apakah Tommy akan dibawa serta atau tidak.

“Kalau gitu saya tunjuk aja ya siapa yang ikut sama saya besok ke Madura,” lanjut Miza. “Dan yang tertunjuk ini harus langsung lapor ke saya sesegera mungkin setelah kumpul mingguan kita selesai nanti, untuk saya belikan tiketnya.”

Miza menimang-nimang siapa saja yang akan diajak berdasarkan anggota yang tadi tidak mengacungkan tangan. Dalam lima menit, dia sudah menunjuk tiga orang anggota senior dan dua orang anggota baru.

Salah satu dari anggota baru itu adalah Tommy.

Ah, sial! jerit Tommy dalam hati. Weekend Tommy yang berharga harus lenyap. Padahal bisa saja dia ketemuan dengan Arthur atau diminta Jerome memijat lagi di rumahnya. Dua hal tersebut terdengar lebih menyenangkan dibandingkan pergi ke Madura untuk observasi.

Selesai kumpul mingguan travelustration, Tommy menunggu waktu yang tepat berbicara dengan Miza. Sosok jangkung itu dikerubungi mereka yang akan berangkat ke Madura untuk didata dan dipesankan tiket. Setelah semuanya bubar dalam waktu tiga puluh menit, Tommy beranjak dari kursinya dan menghampiri Miza.

“Kak, kayaknya aku enggak punya uang buat ikut,” ungkap Tommy setengah berbohong. Sejak sering memijat Jerome, uang Tommy lebih banyak dari biasanya.

“Kan transport sama akomodasi udah ada,” balas Miza sambil membuka lagi catatannya. “Nama lengkap elo siapa?”

“Untuk bekal maksudnya,” sergah Tommy masih berusaha.

“Kita, kan ada uang kas. Bisa di-share kok buat makan doang mah. Elo bilang aja yang jujur, gue pasti alokasiin dana konsumsi buat anggota yang enggak sanggup provide konsumsi sendiri. Di travelustration mah kita semua sekeluarga. Pasti pada paham.”

“Tapi aku enggak pernah naik kereta sejauh itu, Kak.”

“Kita besok naik pesawat.”

Tommy membelalak. Dia tak pernah naik pesawat dalam hidupnya. Antara senang dan takut sih mendengar kabar tersebut, tapi sebagian dari dirinya justru bersemangat karena ini akan jadi pengalaman pertamanya.

“A-aku beneran amatiran Kak soal traveling,” ujar Tommy jujur. “Makanya aku gabung travelustration buat belajar. Aku takutnya norak atau kampungan, atau blahbloh—“

“Makanya gue pilih elo buat ikut besok.” Miza tersenyum sambil menepuk bahu Tommy dengan akrab. “Semua pengalaman pertama itu terasa menakutkan sampai akhirnya elo melakukannya. Jadi, nyantai aja. Elo tempel gue terus di sana kalau takut. Mau kita dianggap pacaran pun, gue enggak masalah.”

Tommy membelalak lagi. “Kakak ikut?”

“Ya iyalah. Gue yang handle project ini.” Miza mengacak rambut Tommy lalu kembali ke catatannya. “Jadi, apa nama lengkap elo?”

Pada akhirnya, Tommy jadi bersemangat untuk traveling ke luar kota secara mendadak. Selain dia akan menginjakkan kaki di tempat yang baru, dia akan naik pesawat, dan juga menghabiskan waktu bersama Miza. Ada banyak hal yang ingin Tommy tanyakan soal Miza. Soal mengapa Miza tampak begitu keren, pintar, knowledgeable, gambar doodling-nya bagus, perhatian, berdedikasi, macho, jantan, dan lain-lain-lain sebagainya.

Dan, oh ... soal sahabatnya itu juga. Tommy benar-benar harus menggali info lebih banyak. At least foto orangnya, deh. Tommy pengin tahu semirip apa dia dengan sahabatnya itu.

“Jangan lupa besok habis jumatan enggak perlu masuk kelas terakhir. Gue besok pagi bikinin surat dispensasi buat kalian yang berangkat,” ujar Miza setelah selesai mencatat semua info yang dibutuhkan untuk penerbangan dan hotel. Miza membereskan catatannya, memasukkannya ke dalam tas selempang eco-friendly, lalu beranjak berdiri. Sudah tak ada siapa-siapa lagi di ruangan itu selain Miza dan Tommy.

“Pake baju apa, Kak?” tanya Tommy.

Emggak pake baju juga enggak apa-apa.” Miza terkekeh. “Bercanda! Pake baju yang kamu nyaman pake. Kita bukan mau tampil di atas panggung, jadi nyantai aja. Oke?”

“Oke, Kak. Makasih ya kesempatannya.”

“Gue yang makasih karena elo mau ikut. Boleh gue cubit?” tanya Miza sambil mengarahkan telunjuk dan jempolnya di samping pipi Tommy.

Tommy bingung harus menjawab apa. Digerayangi oleh Miza pun sebenarnya Tommy mau-mau saja. Kenapa sih cowok ini asyik banget?

Tommy mengangguk membolehkan. Maka Miza pun mencubit pipi Tommy dengan gemas, lalu menggoyangnya lebih dari tiga kali. “Jadi orang gemesin banget, lo! Ketemu besok, ya!” Miza pun berlalu meninggalkan kelas sambil berjalan mundur agar tetap bisa melihat Tommy.

Tommy mengangguk malu. “I-iya, Kak.”

“Dan soal dianggap pacaran itu, gue serius. Gue beneran enggak masalah.” Miza mengedipkan satu matanya dengan jenaka.



To be continued ....


<<< Part 28  |  Nude  |  Part 30 >>>

4 komentar:

  1. kak, ada rencana buat versi cetak dari cerita ini ga??

    BalasHapus
  2. Wow background baru, lbh enak bacanya kak

    BalasHapus
  3. ayo update kak, udah tanggal 1 nih. ehehehe

    BalasHapus
  4. Makan apa sih Tommy bisa seberuntung itu di deketin cowok cowok keren

    BalasHapus

Nude 33

  ssendrawkwA emitefiL .33     Pada suatu pagi lima tahun lalu, Miza bangun lebih pagi dari biasanya meski semalaman tak bisa tidur. D...