ysatnaF raguS .82
Minggu pagi, Tommy terbangun dari tidurnya dan memasuki fantasi yang selama ini dia bangun dalam kepala. Ketika Tommy membuka mata, langit-langit tinggi dan cat dinding kamar yang berbeda langsung mengingatkannya bahwa dia tidak sedang berada di rumah. Kasurnya pun terlalu nyaman. Disertai seprai lembut dan bedcover mahal yang Tommy tahu harganya jutaan. Warna seprai dan bedcover itu abu-abu polos—jenis abu-abu yang enggak ditemukan di kotak krayon. Sudah jelas ini bukan tempat tidur Tommy. Karena semua seprai dan selimut yang dia punya pasti dibelikan oleh Teh Yanti dengan motif segenjreng mungkin.
Cahaya matahari memasuki kamar
melalui jendela-jendela yang tak tertutup tirai. Tommy menoleh dan menemukan
sesosok malaikat sedang tertidur damai di sebelahnya. Tampak ganteng meski
rambutnya berantakan. Tampak tak berdaya meski otot-ototnya mengembang.
Malaikat itu Arthur. Tidur
setengah telanjang diselimut bedcover
yang sudah ditendang turun sebagian. Tidur tepat di sebelah Tommy, hanya
berjarak tiga jengkal saja.
Inilah fantasi yang Tommy maksud.
Terbangun pagi hari sambil melihat wajah Arthur di sebelahnya.
Mari kita kilas balik pada apa
yang terjadi tepat dua belas jam lalu. Secara singkat saja, karena bukan bagian
itu yang Tommy ingin kenang selama-lamanya.
Tommy orgasme di depan pintu rumah
Arthur, tampak mampus oleh serangan brutal sperma yang berlompatan keluar dari
kemaluannya. Arthur menolongnya mencapai kamar mandi agar Tommy bisa
membersihkan diri. Tommy dipinjamkan kaus dan celana pendek Arthur, tanpa Tommy
perlu ceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Kemudian Arthur memasakkannya
kwetiaw sapi dan capcay, Tommy membalasnya dengan memijat punggung Arthur
sambil mereka menonton TV, Arthur mengajak Tommy menonton serial Netflix Sex Education, hingga pukul 12 malam
mereka berhasil menghabiskan musim pertama serial tersebut.
Obrolan Tommy dan Arthur berlanjut
di kamar Arthur, karena cowok itu ingin menunjukkan beberapa novel luar yang
pernah dibacanya—setelah Tommy ceritakan bahwa dia suka membaca novel melalui
Wattpad. Mereka sempat main tebak-tebakan, truth
or dare, mencamil jagung bakar di atas sofa, bahkan membahas progres tugas
antropologi yang akan dipresentasikan hari Senin.
Kemudian, Tommy ketiduran. Tommy
tak tahu apa yang terjadi berikutnya setelah bahasan antropologi itu, tahu-tahu
dia bangun dengan sosok Arthur bertelanjang dada di sampingnya. Padahal Tommy
ingat betul, semalaman Arthur mengenakan kaus abu-abu ngepas badan bertuliskan
sebuah kampus di Amerika Serikat.
Tommy bertanya-tanya, mengapa dia
harus telanjang dada? Segerah itukah kamar ini? Atau itu kebiasaannya Arthur
saja?
Hati-hati Tommy mengangkat bedcover untuk mengecek apakah Arthur
telanjang bulat atau mengenakan celana pendek ...
... oh, pakai celana pendek.
Bukan. Itu celana dalam. Celana
dalam yang bentuknya boxer, mengepas
di panggul, mencetak kelamin besar-besar di bagian depan.
Karena tidak mau horny lagi seperti kemarin sore,
buru-buru Tommy menyelimuti bedcover
itu ke bawah perut Arthur dengan rapi. Dia tak mau merusak momen sempurna ini
dengan hasrat seksual. Enggak, batin Tommy. Ini harus menjadi
momen yang romantis.
Tommy kembali merebahkan kepalanya
di bantal. Wangi Arthur yang khas menguar dari bantal ini sehingga Tommy
menghidunya banyak-banyak. Dia lalu menoleh ke arah Arthur yang masih terlelap,
mengamati kesempurnaan wajah dan tubuh itu secara detail. Lekukan-lekukan
ototnya, maupun rambut-rambut halus yang ada di tubuhnya. Tommy bahkan mendekatkan
kepalanya untuk mengamati puting susu Arthur secara mikroskopik, dan dalam
jarak sedekat ini, puting tersebut terlihat sangat indah.
Inilah saat-saat Tommy merasa
bersyukur dia gay. Karena berada
dalam situasi semacam ini akan lebih mudah ketika dua orang laki-laki
melakukannya sebagai teman, dibandingkan dua lawan jenis yang tak punya
hubungan. Misalnya, bersama Keysha. Anggap saja Tommy straight dan berteman baik dengan Keysha. Suatu hari dia menginap
bareng dengan Keysha, Tommy yakin dia tak akan terbangun pagi harinya dan
menemukan Keysha telanjang dada di sebelahnya—kecuali mereka ngapa-ngapain
semalamnya.
Ketika Tommy sedang asyik
mengamati dan mengagumi Arthur, tiba-tiba cowok ganteng itu bergerak dan
berbalik menghadap Tommy. Lengan Arthur terangkat dan jatuh melintang tubuh
Tommy. Sekarang posisinya, Arthur memeluk Tommy. Dan Tommy jadi baper bukan main.
Tak ada yang Tommy lakukan selain
berdoa posisi ini bertahan untuk waktu yang sangat lama. Kalau bisa Tommy
meninggal dalam kondisi seperti ini. Tak apa.
Sayangnya, karena posisi itu
terlalu nyaman dan membahagiakan jiwa, Tommy tertidur lagi. Dia terbangun
sekitar satu jam kemudian, sendirian di dalam kamar. Ada suara berisik dari
lantai bawah, sehingga Tommy langsung bergegas turun untuk mencari Arthur.
Atlet senam itu sedang asyik memanggang roti bakar sambil membiarkan berita
pagi tayang tanpa ditonton. Arthur masih bertelanjang dada, tetapi kakinya
dibalut sweatpants longgar warna
kelabu muda.
“Hey, sleepyhead!” sapa Arthur saat melihat Tommy menuruni tangga dengan
hati-hati. Arthur cengar-cengir ramah sambil menjilat selai stroberi yang jatuh
ke jemarinya. “Suka stroberi, atau bluberi?”
Sukanya
kamu, jawab Tommy
dalam hati. Dia menghampiri meja makan dan duduk dengan manis di sana. “Whatever aja, Thur.”
“Srikaya berarti, ya!” balas
Arthur sambil tergelak.
Dikasih
sperma juga jadi,
jawab Tommy sekali lagi dalam hati.
Pagi itu lagi-lagi sempurna,
seperti fantasinya. Namun Tommy mendadak teringat pada obrolan di warung tenda
daerah Dipati Ukur yang berakhir tidak nyaman di antara keduanya. Memang pada
akhirnya Arthur yang mengalah dengan tidak memperpanjang masalah, padahal ada
dua pendapat berbeda di antara mereka.
“Arthur, kayaknya aku mau minta
maaf sama kamu,” ungkap Tommy tulus, tepat ketika Arthur menghampiri meja untuk
menyajikan roti panggang.
“For what?”
“For our discussion,” jawab Tommy agak berhati-hati. “Yang di DU
itu.”
“Which one?”
Tommy menghela napas dan mencari
cara untuk menyampaikannya dengan baik. “Soal banci yang ngamen itu.”
“Oh.” Arthur manggut-manggut
sambil mengunyah roti bakarnya. Setelah dia menelannya, Arthur melanjutkan,
“Aku menghargai perbedaan pendapat. Enggak selamanya kita harus punya pendapat
yang sama.”
Bukan itu yang menjadi perhatian
Tommy, melainkan kemungkinan bahwa Arthur tidak masalah dengan isu LGBT. Bagi
Tommy, Arthur terdengar membela hak transpuan itu untuk berekspresi. Arthur
tidak seperti semua cowok yang selama ini mengatai Tommy bencong atau
menunjukkan ekspresi jijik pada cowok yang bertingkah feminin. Dan gara-gara
hal tersebut Tommy jadi kepikiran ... apakah sebaiknya dia jujur saja tentang
dirinya yang sebenarnya?
“Apa kamu marah karena pendapat
kita berbeda?” tanya Tommy lagi.
Arthur menggeleng sambil
mengerutkan alis. “Why should I?”
Tommy mengangkat bahu. “Gapapa. Cuma mau nanya aja.”
Setelahnya, Tommy tak berani
menanyakan apa pun lagi. Dia tak mau skenario sempurna ini hancur dengan nuansa
canggung seperti yang terjadi di DU tempo malam. Sudahlah, kalau ada perbedaan
pendapat, terima saja. Atau kalau mau kepo,
simpan untuk kapan-kapan saja. Tanyakan di sekolah.
Misalnya mengapa Tommy tak menemukan foto ibunya Arthur di rumah ini. Yang ada
hanya foto ayahnya.
Beberapa ruangan tak Tommy akses
sepanjang malam. Enggak
ada urusan juga, sebenarnya. Tommy hanya pergi ke kamar mandi, duduk di ruang
makan, duduk di ruang TV, lalu pergi ke kamar Arthur. Ada satu ruangan dengan
pintu terbuka, di dalamnya terdapat banyak rak yang menggantung gaun-gaun
cantik dengan payet-payet berkilau. Meski gelap, Tommy yakin itu semua gaun
bermanik yang shining shimmering and
splendid. Persis gaun Miss Universe. Tommy menduga, ibunya Arthur adalah
pelaku pageant. Itulah mengapa Arthur
bilang tak apa kalau Tommy suka pageant.
“Hey, Tom!” panggil Arthur
tiba-tiba. “I think it’s going to be hot
today. Kalau beneran cuacanya panas, siang entar mau keluar beli es krim?”
Hell no, ini terlalu sempurna! batin Tommy sambil menggelengkan kepala.
Tommy mulai curiga bahwa ini hanya mimpi semata lalu Tommy akan bangun dari
tidur dalam waktu dekat. Tidak mungkin semua fantasinya tentang Arthur
dikabulkan secepat itu pada pekan yang sama. Tommy sudah menunggu-nunggu kapan
dia akan terbangun dari mimpi indah ini, tetapi hingga berjam-jam kemudian,
Tommy masih saja berada di dunia yang sama.
Pukul empat sore, Tommy sudah tiba
di rumahnya dan kebingungan karena semua kebahagiaan itu belum juga memudar.
Tommy akhirnya beli es krim bersama Arthur, tepat sebelum Arthur pergi ke trial dan Tommy pulang ke rumah. Tommy
bahkan menyimpan sembunyi-sembunyi sendok es krim yang digunakan Arthur tadi.
Berharap benda itu bisa dia bawa ke dunia nyata saat terbangun entar.
Nyata-nyatanya, ini memang dunia
nyata. Semua proses mulai dari bangun pagi hari di samping Arthur hingga
membeli es krim adalah nyata terjadi. Untuk membuat dilema lebih parah,
kejadian bersama Jerome juga 100% nyata. Semua visual kemaluan gemuk yang Tommy
kocok itu bisa kembali dengan mudah ke dalam benak Tommy, seolah-olah semuanya
nyata.
Tommy sudah resmi jadi remaja
sekarang. Resmi jatuh cinta pada teman sebaya. Resmi galau, bucin, dan baper pada seseorang (yang belum tentu
menyukai Tommy balik). Tommy melewatkan makan malam hanya demi mendengarkan
semua lagu cinta dari Spotify. Sepanjang malam Tommy menggulir Instagram Arthur
dan Jerome, menatap setiap foto dan membaca setiap takarir yang tercatat. Dia
bahkan berani menyentuh tombol like
pada foto-foto mereka zaman dulu.
Sebelum tidur Tommy mengambil secarik kertas dan mengulang-ulang menulis ini:
Arthur Y Tommy Y Jerome
Malam itu Tommy tertidur sambil berfantasi pacaran dengan Arthur dan Jerome sekaligus. Tommy merasa selangkangannya meleleh hanya dengan membayangkan skenario itu.
To be continued ....
part 29 nya dong kak, udah tgl 15 nich
BalasHapus