Minggu, 02 Mei 2021

Nude 27

 lortnoC muC .72

 

Gebrak!

Ponsel itu melayang menyeberangi ruangan, jatuh ke atas karpet bulu tebal warna pastel. Entah langsung rusak, entah masih dipakai. Yang punya ponsel marah bukan main. Dia juga mengumpat, “ANJING! Cewek bangsat!”

Tommy yang masih sibuk memijat tangan kiri Jerome, terkejut saat tangan kanan yang digunakan main ponsel itu mendadak teracung dan melemparkan benda. Tommy bahkan diam sejenak, menunggu apakah dia perlu pergi dari situ sesegera mungkin, atau dia bisa lanjut memijat.

Napas Jerome tampak memburu. Tommy tak berani bertanya ada apa, karena kelihatan jelas mood Jerome sedang tidak baik. Biasanya, Jerome akan secara mendadak memerintahkan Tommy pergi dari tempat ini. Jadi Tommy sudah mengantisipasi, apa saja yang bisa dia bawa turun secara tergesa ke dapur, sebelum akhirnya dia pulang ke rumah. Karena terbiasa diburu-buru seperti itu, tasnya selalu disimpan di dapur sebelum Tommy naik ke kamar membawa mangkuk-mangkuk. Tommy juga sudah menarget baju kotornya yang disampirkan di salah satu sofa.

Gara-gara di-bully Revan, baju Tommy kotor. Karena tak mungkin Tommy meminjam baju Jerome yang pastinya lebih besar beberapa ukuran dari Tommy, apalagi nanti bajunya bakal kena minyak misal Tommy jadi meminjam, Tommy meminta izin untuk bertelanjang dada saja.

“Kak, karena bajuku kotor, gapapa misal aku nggak pake baju juga?”

“Serah lu, lah,” jawab Jerome sebelum sesi pijat dimulai.

Jadi sepanjang memijat Jerome, Tommy bertelanjang dada. Tommy merasa tak nyaman. Karena ketika dia setengah telanjang dan pasien pijatnya telanjang bulat, Tommy lebih horny dibandingkan biasanya.

Sekarang, Tommy sedang menunggu instruksi berikutnya. Namun Jerome, setelah mengambil jeda beberapa detik dari aksi melempar ponsel barusan, menoleh ke arah Tommy dan mengerutkan alis. “Kenapa elo diem? Lanjut!”

Tommy membelalak kecil. Dia tak menyangka sesi pijat masih berlangsung. Dengan cekatan, Tommy mengambil lagi tangan kiri Jerome dan mulai memijatnya sesuai prosedur.

Situasi Tommy sedang tak keruan. Perasaan dan hasrat seksualnya diombang-ambing oleh sosok yang kini berbaring di depannya. Pagi hari tadi Tommy yakin sekali hatinya tertambat pada Arthur. Sejak tangannya digenggam malam itu, setiap hari Tommy kasmaran dan guling-guling seperti orang gila di atas tempat tidur. Dia punya banyak sekali fantasi pacaran dengan Arthur di tempat-tempat romantis. Misal pergi makan es krim bareng, jalan ke pantai bareng, bangun tidur telanjang dan sosok Arthur ada di samping Tommy, segala jenis hal romantis yang pernah Tommy baca dari novel-novel Wattpad di reading list-nya dia bayangkan bersama Arthur. Hari Jumat lalu Tommy membaca sebuah cerita dari Wattpad sampai tamat, nomor 1 kategori teenlit, dan yang dia bayangkan sebagai tokoh perempuan adalah dirinya, sementara tokoh laki-laki adalah Arthur.

Separah itu dia jatuh cinta kepada Arthur. Padahal sepanjang Kamis dan Jumat Arthur sibuk bukan main mengurusi ekskul renangnya yang baru sehingga interaksi Tommy benar-benar terbatas di kelas IBB saja.

Tiba-tiba saja, sore ini, Jerome datang menolong seperti pahlawan berkuda putih. Jerome menarik Revan dari menendangi perutnya, tampak sangat ngegas ingin menghabisi Revan. Di tengah tangis ketakutan Tommy, dia terpesona pada Jerome. Yah, meski Tommy gagal melihat Jerome menendang Revan sampai mampus karena Teuku menengahi, setidaknya Tommy merasa tersanjung Jerome mau membelanya seperti itu.

Gimana enggak meleleh coba? Apalagi setelahnya Jerome memaksa Tommy agar ikut ke rumahnya. Yah, alasannya untuk pijat, sih. Dan bukannya jadi bete karena masih saja diperlakukan sebagai tukang pijat, Tommy malah semakin kesengsem. Cara Jerome memaksanya memijat, seperti seorang pacar yang posesif. Seolah-olah Tommy dimiliki Jerome. Dan Tommy, anehnya tak merasa keberatan.

Tommy juga tak perlu khawatir kehilangan visual surga dalam benaknya. Dia tak perlu repot-repot membayangkan kemaluan Syahri maupun Bara, atau semua pemandangan telanjang 90% di ruang ganti GOR, karena pemandangan indah di depannya ini bisa Tommy nikmati berpuluh-puluh menit lamanya. Kalau Spongebob membuat Krabby Patty penuh cinta, Tommy percaya dia memijat tubuh Jerome penuh cinta pula.

Yang awalnya hanya horny biasa melihat hamparan kulit mulus Jerome, lama-lama Tommy merasa sayang dan ingin merengkuhnya dalam pelukan.

Maka dari itu Tommy merasa batinnya tak keruan. Semakin lama memijat, semakin Tommy yakin dia punya perasaan kepada Jerome. Semua fantasinya tentang Arthur tiba-tiba menguap entah ke mana, digantikan sosok Jerome yang nyata berada di depannya. Kini Tommy sudah berpindah memijat pantat Jerome yang menggembung itu, memainkan bujur yang melintang dari atas ke bawah menggunakan jempolnya. Setiap jempol Tommy menyentuh lubang pantat Jerome, tubuh Ketua OSIS itu menggelinjang kecil.

Cukup lama Tommy memijat area pantat, dia menarik napas untuk meminta Jerome berbalik. Jujur saja Tommy harus menyiapkan diri. Karena ini akan menjadi penampilan perdana menatap kelamin Jerome dari jarak sangat-sangat dekat—bukan dari video, bukan dari lemari, bukan balik baju-baju yang digantung. Semua fantasi Tommy tentang Jerome Junior berkelebat lagi dalam kepala. Tommy belum pernah ketemu secara formal dengan Jerome Junior, tetapi Tommy sudah merasa sayang padanya.

Apa pun situasinya, ereksi atau terkulai lemas, Tommy jelas tak akan keberatan.

“Balik badan, Kak?” pinta Tommy.

Jerome mengangkat kepalanya lalu membalikkan tubuh menjadi terlentang.

Tommy menguasai diri mati-matian agar tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Dan itu sulit bukan main. Apalagi sekarang kepala Jerome menghadap ke depan, yang berarti Jerome dapat melihat wajah Tommy dengan mudah. Segala jenis ekspresi seperti gembira, jijik, horny, sedih, sange, pasti dapat diamati oleh Jerome. Tommy mengatasinya dengan menunduk menatap kain di bawah tubuh Jerome.

Tidak bisa. Sekuat apa pun Tommy mencoba mengalihkan pandangan, ekor matanya dapat menangkap sosok Jerome Junior. Dan kontol Jerome itu ternyata sedang mengacung keras. Batangnya berkedut-kedut.

Tommy menarik napas panjang kemudian mulai membalur bagian selangkangan dengan minyak. Dia dapat melihat Jerome mendesah, “Ooohhh ....” Apalagi ketika tangan Tommy tak sengaja menyentuh batang kemaluan itu. Tommy menyadari betul, kelamin ini tidak ereksi karena Tommy bertelanjang dada. Jadi Tommy berusaha untuk tidak terlalu baper atas apa yang terjadi.

Desah uh-ah-uh-ah itu semakin sering bermunculan semakin Tommy mengusap perut bagian bawah Jerome. Seharusnya Tommy memijat kembali kaki dan paha dalam posisi terlentang. Namun Tommy terlalu terobsesi dengan area selangkangan Jerome, sehingga tangan Tommy terus-menerus mengusap di daerah sana.

Jerome mengangkat kedua tangannya menutup mata. Tommy melihat Jerome memejamkan mata kuat-kuat seolah-olah sedang menahan sesuatu. Mungkin karena lipatan lengannya terkuak, aura hangat tubuh Jerome menguar dan membuat Tommy merasa nyaman. Pemandangan dua puting susu yang seksi itu membuat Tommy bersedia melanggar prosedur. Tommy balur lagi tangannya dengan minyak, lalu dia mulai menggenggam kelamin Jerome yang gemuk.

“Aaahhh ...!” desahan itu begitu keras. Tubuh Jerome menggeliat seperti ulat, tetapi dia tidak marah atau terkejut akan aksi Tommy.

Sehingga, Tommy melanjutkan aksinya menggerakan naik turun genggamannya yang licin pada batang kemaluan Jerome.

“Anjing ...!” pekik Jerome tertahan, mencoba menahan, tetapi tak dia hentikan.

Tommy di lain sisi sedang terpukau dan terpana karena dirinya menggenggam kelamin gemuk itu dalam tangannya. Seolah-olah ini adalah pencapaian terbesar dalam hidupnya. Ini kali pertama Tommy menggenggam kemaluan orang lain yang sedang ereksi. Biasanya, dalam beberapa pijat vitalitas terakhir bersama ayahnya, Tommy hanya melihat sang ayah  mengocok kelamin para pasien. Tommy tak pernah berkesempatan menyentuhnya.

Perasaan ini benar-benar mendebarkan.

Inikah yang dinamakan sentuhan-sentuhan surga seperti plang sebuah tempat yang dia lihat kapan hari itu?

....

Tommy membiarkan Jerome menggeliat dan menggelinjang di atas tempat tidur. Desahannya semakin keras dan mendesis—persis orang yang sedang kepedesan. Jerome juga memejamkan matanya semakin kuat, seolah-olah dia sedang mencoba melawan perasaan itu. Tommy mencoba menenangkan Jerome dengan cara memainkan salah satu puting susu menggoda itu, yang rupa-rupanya membuat Jerome mengerang lebih keras, “Aaargh!”

Pada akhirnya, Jerome kalah.

Karena tak lama kemudian, cairan putih hangat itu berlompatan keluar dari lubang kemaluan Jerome, mendarat di sandaran kepala tempat tidur, di rambut Jerome, di tangan yang sedang menutup mata Jerome, di wajah Jerome, di dada, di perut, juga ada di atas rambut-rambut pubis halus itu.

Napas Jerome memburu seperti habis berlari maraton. Dadanya kembang kempis. Jerome Junior masih saja keras, tetapi sekarang berkedut-kedut lebih sering sambil mengeluarkan tetesan-tetesan terakhir air mani yang belum keluar.

Jeda sekitar lima menit dalam hening. Tommy perlahan-lahan menarik satu handuk dan berusaha mengelap pejuh yang berlompatan jauh itu.

Namun Tommy mendengar Jerome berkata, “Pergi.”

“Gimana, Kak?”

“Pulang kamu.”

Dan tanpa banyak bicara, Tommy pun bangkit sambil menyambar kausnya. Berlari meninggalkan kamar Jerome menuju dapur untuk mengambil tas. Tommy tidak merasa diusir. Malah, dia juga ingin sekali segera pergi dari sana. Tommy sudah tak sanggup lagi. Tommy sudah terangsang sejak di GOR tadi dan dia belum berkesempatan melampiaskan gairah seksualnya.

Ketika Tommy masuk ke Pajero Sport itu, kelaminnya mengeras sampai linu. Tommy bahkan berbaring di jok belakang, meringkuk sambil menjepit pahanya.

“Kenapa, A?” tanya Pak Yanto sambil memulai perjalanan.

Gapapa, Pak.”

“Sakit perut?”

Tommy memutuskan untuk berbohong saja. “I-iya.”

“Mau ke toilet dulu atuh? Mumpung masih deket dari rumah?”

Gapapa, Pak. Jalan aja.”

Sepanjang perjalanan Tommy berbaring di jok belakang sambil mengepit kelaminnya sendiri di balik paha, seolah-olah menyembunyikannya, tetapi justru itu membuatnya terasa lebih enak. Tommy menatap tangannya yang tadi mengocok kelamin Jerome. Mungkin dia tak akan pernah mencucinya lagi seumur hidup, khawatir rasa-rasa genggaman itu akan hilang dari telapak tangannya. Apalagi, Tommy sampai detik itu masih bisa merasakan kelamin Jerome di tangannya. Baik itu ukurannya, visualnya ....

Ah, tidak. Tommy sudah akan orgasme.

Apa yang harus kulakukan? Masa iya aku muncrat di dalam celana ini? Rugi! jerit Tommy dalam hati. Namun perjalanan menuju Setrasari masih sangat-sangat jauh. Baru saja keluar dari kompleks perumahan menuju Jalan Buah Batu, macetnya minta ampun. Tommy baru menyadari bahwa sekarang malam minggu. Sudah sepantasnya jalan ini menjadi jalan paling tak menyenangkan sekota Bandung.

Jadi selama setengah jam ke depan, dalam situasi yang sangat tak mengenakkan karena Tommy ingin sekali orgasme, Tommy berbaring seperti orang yang sedang sakaratul maut. Pak Yanto berkali-kali bertanya apakah Tommy ingin ke toilet? Dan Tommy berkali-kali menjawab, “Enggak usah, Pak. Jalan aja.” Tommy enggak mau masturbasi di toilet. Dia ingin melakukannya dengan sakral. Di atas tempat tidurnya. Memasang celana dalam Jerome di kepalanya. Menonton video Jerome bersama Sheena. Begitulah ritual sakral masturbasi yang ingin dia lakukan sekarang!

Ponselnya berbunyi.

Dengan susah payah Tommy merogoh sakunya mengambil ponsel. Arthur menelepon.

“Hi, Tom! Lagi ngapain?”

“Aku ... aku lagi OTW pulang. Habis nonton basket.”

Ah, iya. Great. Well, aku juga baru nyampe rumah.

“B-bukannya kamu ke Jakarta?”

“I did,” jawab Arthur. “Nganterin ibuku dan beberapa temennya buat event di sana. Tapi aku pulang lagi karena besok sore ada trial renang di Saraga. Jadi sekarang, yah ... I’m by myself here.”

“Oh ... okay.”

Hening mencuat dalam obrolan itu.

“Kamu ... mau nginep di rumahku?” tawar Arthur. “It’s totally empty, I guess. Kali aja kamu mau nonton Netflix bareng sama aku? Remember that series I told you days ago about sex education?”

“I-iya ....”

“Mau nonton bareng?”

Ya Tuhan, bunuh saja aku, batin Tommy. Dia remaja yang masih baru, masih harus belajar banyak menghadapi pilihan-pilihan sulit dalam hidup. Bagi Tommy ini adalah pilihan sulit dalam hidup. Dilema ini membuat situasinya semakin tak mengenakan.

Ini Arthur, lho. Arthur! Mana mungkin Tommy menolak tawaran Arthur. Tawaran yang mungkin datang 72 tahun sekali seperti Komet Halley. Namun kesempatan untuk menikmati Jerome secara seksual juga hanya punya rentang durasi kurang yang pendek. Belum tentu satu jam ke depan Tommy masih sengebet ini ingin masturbasi sambil berfantasi akan Jerome.

Namun Tommy harus membuat keputusan dewasa dan bijak. Dengan berat hati Tommy menjawab, “Kayaknya aku enggak bisa, Thur. Maaf.”

“No?” Arthur terdengar kecewa. “Oh, okay.”

Tak lama kemudian telepon itu tertutup setelah mereka menyampaikan salam pamit. Tommy kembali meringkuk di jok belakang, menahan diri agar tak orgasme di balik celana dalamnya yang belel itu. Menahan diri juga untuk tak membuka video Jerome, karena begitu dia membukanya dan melihat lagi sosok telanjang menakjubkan sang Ketua OSIS, sudah pasti orgasmenya menghampiri.

Namun setengah jam kemudian, ketika langit sudah gelap, Pajero Sport itu masih saja ada di Jalan Buah Batu. Sudah dekat dengan perempatan Buah Batu dan Jalan BKR, tetapi masih terjebak macet. Mobil hanya bisa bergerak 5 cm per menit. Tommy sudah tak kuat lagi.

Dan entah dapat dorongan dari mana, Tommy menelepon Arthur kembali. “Thur, rumah kamu di mana?”

“Lodaya. Dari Hotel Horison seberangnya ada jalan, kan? Lurus terus, kemudian ....”

Tommy mendengarkan dengan saksama dan menyadari lokasi rumah itu bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Ide gila tiba-tiba melintas dalam benak Tommy. Mungkin Tommy harus menyerah dengan ritual sakralnya. Mungkin Tommy harus melakukannya di kamar mandi sesegera mungkin, karena air mani di pangkal kemaluannya sudah menunggu untuk disembur keluar. Disentuh sedikit saja oleh jemari, pasti langsung menghambur dan berlompatan. Jadi Tommy melakukannya di kamar mandi rumah Arthur saja.

“Oke, kayaknya aku jadi ke situ,” ungkap Tommy tak tahan lagi.

“Great! Aku share location-ku, ya. Wait.”

Tommy bangkit duduk dan membuka pintu. “Pak Yanto, makasih banget udah nganterin, tapi kayaknya saya mau ke rumah temen aja, Pak. Macet banget ini. Pasti di Pasteur macet juga.”

Pak Yanto menghela napas dan mengangguk setuju. “Iya, sih. Malam minggu jam segini mah pasti macet di mana-mana.”

“Aku turun di sini aja, ya Pak.”

Gapapa, A?”

Gapapa lah, Pak. Makasih banget udah nganterin.”

“Ya udah, hati-hati.”

Tommy turun dari mobil dan berlari menyusuri jalan ramai menuju lokasi yang dibagikan Arthur. Kecepatan lari seseorang rupanya meningkat kalau sedang sange. Tommy tak pernah mengira dirinya begitu sporty melompati lubang, trotoar, menghindari motor yang menghalangi jalan, dan semua dilakukannya sambil berlari terbirit-birit. Pun dalam kondisi kemaluan ereksi di balik celananya.

Sesampainya di lokasi, Tommy membelalak melihat Arthur tinggal di sebuah rumah besar dua lantai dengan taman hijau yang ditata rapi. Tak heran sih, apalagi SMP-nya pun swasta di Jakarta. Tommy dengan lancang membuka pagar, menghampiri pintu depan yang besar, lalu mengetuknya. Tak ada jawaban signifikan, sehingga Tommy menelepon Arthur.

“Aku udah di depan!”

Oh, sorry. Aku lagi di atas. Enggak kedengeran.

Napas Tommy sudah tenang sekarang, kecuali kelaminnya yang masih saja tegang dan berkedut-kedut, siap memuntahkan sperma. Hal pertama yang akan dilakukannya adalah minta izin ke kamar mandi, membuka ponsel menonton video Jerome, lalu coli. Baru setelah itu Tommy bisa berpikir jernih. Tommy mengepit kemaluannya lagi di antara paha, seperti orang yang menahan pipis. Dia yakin betul, sperma itu sudah mendobrak benteng hingga hancur. Namun Tommy bersikukuh ingin mempertahankannya agar tidak meleber di dalam celana dalam.

Pintu depan pun berderit. Arthur membukanya lebar-lebar dan menyapa Tommy dengan senyuman manis. Tommy kalah perang.

Crot! Crot! Crot! Kemaluannya memuntahkan sperma di dalam celana. Tommy sampai berlutut di depan teras karena merasa K.O.

Semua gara-gara Arthur. Dia membuka pintu dalam kondisi telanjang, hanya dibaluti handuk putih yang tebal di bawah perutnya. Tubuhnya yang atletis masih basah, dengan busa-busa sabun yang belum terbilas sempurna. “Sorry, barusan aku lagi mandi, jadinya ....”

Fuck you, Arthur! jerit Tommy dalam hati. Yang pada akhirnya orgasme gara-gara sahabat yang dicintainya tampil sensual bak malaikat.



To be continued ....


<<< Part 26  |  Nude  |  Part 28 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Nude 33

  ssendrawkwA emitefiL .33     Pada suatu pagi lima tahun lalu, Miza bangun lebih pagi dari biasanya meski semalaman tak bisa tidur. D...