lortnoC muC .72
Gebrak!
Ponsel itu melayang menyeberangi
ruangan, jatuh ke atas karpet bulu tebal warna pastel. Entah langsung rusak,
entah masih dipakai. Yang punya ponsel marah bukan main. Dia juga mengumpat,
“ANJING! Cewek bangsat!”
Tommy yang masih sibuk memijat
tangan kiri Jerome, terkejut saat tangan kanan yang digunakan main ponsel itu
mendadak teracung dan melemparkan benda. Tommy bahkan diam sejenak, menunggu
apakah dia perlu pergi dari situ sesegera mungkin, atau dia bisa lanjut memijat.
Napas Jerome tampak memburu. Tommy
tak berani bertanya ada apa, karena kelihatan jelas mood Jerome sedang tidak baik. Biasanya, Jerome akan secara
mendadak memerintahkan Tommy pergi dari tempat ini. Jadi Tommy sudah
mengantisipasi, apa saja yang bisa dia bawa turun secara tergesa ke dapur,
sebelum akhirnya dia pulang ke rumah. Karena terbiasa diburu-buru seperti itu,
tasnya selalu disimpan di dapur sebelum Tommy naik ke kamar membawa
mangkuk-mangkuk. Tommy juga sudah menarget baju kotornya yang disampirkan di
salah satu sofa.
Gara-gara di-bully Revan, baju Tommy kotor. Karena tak mungkin Tommy meminjam
baju Jerome yang pastinya lebih besar beberapa ukuran dari Tommy, apalagi nanti
bajunya bakal kena minyak misal Tommy jadi meminjam, Tommy meminta izin untuk
bertelanjang dada saja.
“Kak, karena bajuku kotor, gapapa misal aku nggak pake baju juga?”
“Serah lu, lah,” jawab Jerome
sebelum sesi pijat dimulai.
Jadi sepanjang memijat Jerome,
Tommy bertelanjang dada. Tommy merasa tak nyaman. Karena ketika dia setengah
telanjang dan pasien pijatnya telanjang bulat, Tommy lebih horny dibandingkan biasanya.
Sekarang, Tommy sedang menunggu
instruksi berikutnya. Namun Jerome, setelah mengambil jeda beberapa detik dari
aksi melempar ponsel barusan, menoleh ke arah Tommy dan mengerutkan alis.
“Kenapa elo diem?
Lanjut!”
Tommy membelalak kecil. Dia tak
menyangka sesi pijat masih berlangsung. Dengan cekatan, Tommy mengambil lagi
tangan kiri Jerome dan mulai memijatnya sesuai prosedur.
Situasi Tommy sedang tak keruan.
Perasaan dan hasrat seksualnya diombang-ambing oleh sosok yang kini berbaring
di depannya. Pagi hari tadi Tommy yakin sekali hatinya tertambat pada Arthur.
Sejak tangannya digenggam malam itu, setiap hari Tommy kasmaran dan
guling-guling seperti orang gila di atas tempat tidur. Dia punya banyak sekali
fantasi pacaran dengan Arthur di tempat-tempat romantis. Misal pergi makan es
krim bareng, jalan ke pantai bareng, bangun tidur telanjang dan sosok Arthur
ada di samping Tommy, segala jenis hal romantis yang pernah Tommy baca dari
novel-novel Wattpad di reading list-nya
dia bayangkan bersama Arthur. Hari Jumat lalu Tommy membaca sebuah cerita dari
Wattpad sampai tamat, nomor 1 kategori teenlit,
dan yang dia bayangkan sebagai tokoh perempuan adalah dirinya, sementara tokoh
laki-laki adalah Arthur.
Separah itu dia jatuh cinta kepada
Arthur. Padahal sepanjang Kamis dan Jumat Arthur sibuk bukan main mengurusi
ekskul renangnya yang baru sehingga interaksi Tommy benar-benar terbatas di
kelas IBB saja.
Tiba-tiba saja, sore ini, Jerome
datang menolong seperti pahlawan berkuda putih. Jerome menarik Revan dari
menendangi perutnya, tampak sangat ngegas ingin menghabisi Revan. Di tengah
tangis ketakutan Tommy, dia terpesona pada Jerome. Yah, meski Tommy gagal
melihat Jerome menendang Revan sampai mampus karena Teuku menengahi, setidaknya
Tommy merasa tersanjung Jerome mau membelanya seperti itu.
Gimana enggak meleleh coba? Apalagi
setelahnya Jerome memaksa Tommy agar ikut ke rumahnya. Yah, alasannya untuk
pijat, sih. Dan bukannya jadi bete
karena masih saja diperlakukan sebagai tukang pijat, Tommy malah semakin
kesengsem. Cara
Jerome memaksanya memijat, seperti seorang pacar yang posesif. Seolah-olah
Tommy dimiliki Jerome. Dan Tommy, anehnya tak merasa keberatan.
Tommy juga tak perlu khawatir
kehilangan visual surga dalam benaknya. Dia tak perlu repot-repot membayangkan
kemaluan Syahri maupun Bara, atau semua pemandangan telanjang 90% di ruang
ganti GOR, karena pemandangan indah di depannya ini bisa Tommy nikmati berpuluh-puluh
menit lamanya. Kalau Spongebob membuat Krabby Patty penuh cinta, Tommy percaya
dia memijat tubuh Jerome penuh cinta pula.
Yang awalnya hanya horny biasa melihat hamparan kulit mulus
Jerome, lama-lama Tommy merasa sayang dan ingin merengkuhnya dalam pelukan.
Maka dari itu Tommy merasa
batinnya tak keruan. Semakin lama memijat, semakin Tommy yakin dia punya
perasaan kepada Jerome. Semua fantasinya tentang Arthur tiba-tiba menguap entah
ke mana, digantikan sosok Jerome yang nyata berada di depannya. Kini Tommy
sudah berpindah memijat pantat Jerome yang menggembung itu, memainkan bujur
yang melintang dari atas ke bawah menggunakan jempolnya. Setiap jempol Tommy
menyentuh lubang pantat Jerome, tubuh Ketua OSIS itu menggelinjang kecil.
Cukup lama Tommy memijat area
pantat, dia menarik napas untuk meminta Jerome berbalik. Jujur saja Tommy harus
menyiapkan diri. Karena ini akan menjadi penampilan perdana menatap kelamin
Jerome dari jarak sangat-sangat dekat—bukan dari video, bukan dari lemari,
bukan balik baju-baju yang digantung. Semua fantasi Tommy tentang Jerome Junior
berkelebat lagi dalam kepala. Tommy belum pernah ketemu secara formal dengan
Jerome Junior, tetapi Tommy sudah merasa sayang padanya.
Apa pun situasinya, ereksi atau
terkulai lemas, Tommy jelas tak akan keberatan.
“Balik badan, Kak?” pinta Tommy.
Jerome mengangkat kepalanya lalu
membalikkan tubuh menjadi terlentang.
Tommy menguasai diri mati-matian
agar tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Dan itu sulit bukan main. Apalagi
sekarang kepala Jerome menghadap ke depan, yang berarti Jerome dapat melihat
wajah Tommy dengan mudah. Segala jenis ekspresi seperti gembira, jijik, horny, sedih, sange, pasti dapat diamati oleh Jerome. Tommy mengatasinya dengan
menunduk menatap kain di bawah tubuh Jerome.
Tidak bisa. Sekuat apa pun Tommy
mencoba mengalihkan pandangan, ekor matanya dapat menangkap sosok Jerome
Junior. Dan kontol
Jerome itu ternyata sedang mengacung keras. Batangnya berkedut-kedut.
Tommy menarik napas panjang
kemudian mulai membalur bagian selangkangan dengan minyak. Dia dapat melihat
Jerome mendesah, “Ooohhh ....” Apalagi ketika tangan Tommy tak sengaja menyentuh
batang kemaluan itu. Tommy menyadari betul, kelamin ini tidak ereksi karena
Tommy bertelanjang dada. Jadi Tommy berusaha untuk tidak terlalu baper atas apa yang terjadi.
Desah uh-ah-uh-ah itu semakin
sering bermunculan semakin Tommy mengusap perut bagian bawah Jerome. Seharusnya
Tommy memijat kembali kaki dan paha dalam posisi terlentang. Namun Tommy
terlalu terobsesi dengan area selangkangan Jerome, sehingga tangan Tommy
terus-menerus mengusap di daerah sana.
Jerome mengangkat kedua tangannya
menutup mata. Tommy melihat Jerome memejamkan mata kuat-kuat seolah-olah sedang
menahan sesuatu. Mungkin karena lipatan lengannya terkuak, aura hangat tubuh
Jerome menguar dan membuat Tommy merasa nyaman. Pemandangan dua puting susu
yang seksi itu membuat Tommy bersedia melanggar prosedur. Tommy balur lagi
tangannya dengan minyak, lalu dia mulai menggenggam kelamin Jerome yang gemuk.
“Aaahhh ...!” desahan itu begitu
keras. Tubuh Jerome menggeliat seperti ulat, tetapi dia tidak marah atau
terkejut akan aksi Tommy.
Sehingga, Tommy melanjutkan
aksinya menggerakan naik turun genggamannya yang licin pada batang kemaluan
Jerome.
“Anjing ...!” pekik Jerome
tertahan, mencoba menahan, tetapi tak dia hentikan.
Tommy di lain sisi sedang terpukau
dan terpana karena dirinya menggenggam kelamin gemuk itu dalam tangannya.
Seolah-olah ini adalah pencapaian terbesar dalam hidupnya. Ini kali pertama
Tommy menggenggam kemaluan orang lain yang sedang ereksi. Biasanya, dalam
beberapa pijat vitalitas terakhir bersama ayahnya, Tommy hanya melihat sang
ayah mengocok kelamin para pasien. Tommy
tak pernah berkesempatan menyentuhnya.
Perasaan ini benar-benar
mendebarkan.
Inikah yang dinamakan
sentuhan-sentuhan surga seperti plang sebuah tempat yang dia lihat kapan hari
itu?
....
Tommy membiarkan Jerome menggeliat
dan menggelinjang di atas tempat tidur. Desahannya semakin keras dan
mendesis—persis orang yang sedang kepedesan. Jerome juga memejamkan matanya
semakin kuat, seolah-olah dia sedang mencoba melawan perasaan itu. Tommy
mencoba menenangkan Jerome dengan cara memainkan salah satu puting susu
menggoda itu, yang rupa-rupanya membuat Jerome mengerang lebih keras, “Aaargh!”
Pada akhirnya, Jerome kalah.
Karena tak lama kemudian, cairan
putih hangat itu berlompatan keluar dari lubang kemaluan Jerome, mendarat di sandaran
kepala tempat tidur, di rambut Jerome, di tangan yang sedang menutup mata
Jerome, di wajah Jerome, di dada, di perut, juga ada di atas rambut-rambut
pubis halus itu.
Napas Jerome memburu seperti habis
berlari maraton. Dadanya kembang kempis. Jerome Junior masih saja keras, tetapi
sekarang berkedut-kedut lebih sering sambil mengeluarkan tetesan-tetesan
terakhir air mani yang belum keluar.
Jeda sekitar lima menit dalam
hening. Tommy perlahan-lahan menarik satu handuk dan berusaha mengelap pejuh
yang berlompatan jauh itu.
Namun Tommy mendengar Jerome
berkata, “Pergi.”
“Gimana, Kak?”
“Pulang kamu.”
Dan tanpa banyak bicara, Tommy pun
bangkit sambil menyambar kausnya. Berlari meninggalkan kamar Jerome menuju
dapur untuk mengambil tas. Tommy tidak merasa diusir. Malah, dia juga ingin
sekali segera pergi dari sana. Tommy sudah tak sanggup lagi. Tommy sudah
terangsang sejak di GOR tadi dan dia belum berkesempatan melampiaskan gairah
seksualnya.
Ketika Tommy masuk ke Pajero Sport
itu, kelaminnya mengeras sampai linu. Tommy bahkan berbaring di jok belakang,
meringkuk sambil menjepit pahanya.
“Kenapa, A?” tanya Pak Yanto
sambil memulai perjalanan.
“Gapapa, Pak.”
“Sakit perut?”
Tommy memutuskan untuk berbohong
saja. “I-iya.”
“Mau ke toilet dulu atuh? Mumpung masih deket dari rumah?”
“Gapapa, Pak. Jalan aja.”
Sepanjang perjalanan Tommy
berbaring di jok belakang sambil mengepit kelaminnya sendiri di balik paha,
seolah-olah menyembunyikannya, tetapi justru itu membuatnya terasa lebih enak.
Tommy menatap tangannya yang tadi mengocok kelamin Jerome. Mungkin dia tak akan
pernah mencucinya lagi seumur hidup, khawatir rasa-rasa genggaman itu akan
hilang dari telapak tangannya. Apalagi,
Tommy sampai detik itu masih bisa merasakan kelamin Jerome di tangannya. Baik
itu ukurannya, visualnya ....
Ah, tidak. Tommy sudah akan
orgasme.
Apa
yang harus kulakukan? Masa iya aku muncrat di dalam celana ini? Rugi! jerit Tommy dalam hati. Namun
perjalanan menuju Setrasari masih sangat-sangat jauh. Baru saja keluar dari
kompleks perumahan menuju Jalan Buah Batu, macetnya minta ampun. Tommy baru
menyadari bahwa sekarang malam minggu. Sudah sepantasnya jalan ini menjadi
jalan paling tak menyenangkan sekota Bandung.
Jadi selama setengah jam ke depan,
dalam situasi yang sangat tak mengenakkan karena Tommy ingin sekali orgasme,
Tommy berbaring seperti orang yang sedang sakaratul maut. Pak Yanto
berkali-kali bertanya apakah Tommy ingin ke toilet? Dan Tommy berkali-kali
menjawab, “Enggak
usah, Pak. Jalan aja.” Tommy enggak
mau masturbasi di toilet. Dia ingin melakukannya dengan sakral. Di atas tempat
tidurnya. Memasang celana dalam Jerome di kepalanya. Menonton video Jerome
bersama Sheena. Begitulah ritual sakral masturbasi yang ingin dia lakukan
sekarang!
Ponselnya berbunyi.
Dengan susah payah Tommy merogoh
sakunya mengambil ponsel. Arthur menelepon.
“Hi,
Tom! Lagi ngapain?”
“Aku ... aku lagi OTW pulang.
Habis nonton basket.”
“Ah, iya. Great. Well, aku
juga baru nyampe rumah.”
“B-bukannya kamu ke Jakarta?”
“I did,” jawab Arthur. “Nganterin ibuku dan beberapa temennya buat
event di sana. Tapi aku pulang lagi
karena besok sore ada trial renang di
Saraga. Jadi sekarang, yah ... I’m by myself here.”
“Oh ... okay.”
Hening mencuat dalam obrolan itu.
“Kamu
... mau nginep di rumahku?”
tawar Arthur. “It’s totally empty, I guess. Kali aja kamu mau nonton Netflix bareng sama aku? Remember that series I
told you days ago about sex education?”
“I-iya ....”
“Mau
nonton bareng?”
Ya
Tuhan, bunuh saja aku,
batin Tommy. Dia remaja yang masih baru, masih harus belajar banyak menghadapi
pilihan-pilihan sulit dalam hidup. Bagi Tommy ini adalah pilihan sulit dalam
hidup. Dilema ini membuat situasinya semakin tak mengenakan.
Ini Arthur, lho. Arthur! Mana
mungkin Tommy menolak tawaran Arthur. Tawaran yang mungkin datang 72 tahun
sekali seperti Komet Halley. Namun kesempatan untuk menikmati Jerome secara
seksual juga hanya punya rentang durasi kurang yang pendek. Belum tentu satu
jam ke depan Tommy masih sengebet ini ingin masturbasi sambil berfantasi akan
Jerome.
Namun Tommy harus membuat
keputusan dewasa dan bijak. Dengan berat hati Tommy menjawab, “Kayaknya aku enggak bisa, Thur. Maaf.”
“No?” Arthur terdengar kecewa.
“Oh, okay.”
Tak lama kemudian telepon itu
tertutup setelah mereka menyampaikan salam pamit. Tommy kembali meringkuk di
jok belakang, menahan diri agar tak orgasme di balik celana dalamnya yang belel
itu. Menahan diri juga untuk tak membuka video Jerome, karena begitu dia
membukanya dan melihat lagi sosok telanjang menakjubkan sang Ketua OSIS, sudah
pasti orgasmenya menghampiri.
Namun setengah jam kemudian,
ketika langit sudah gelap, Pajero Sport itu masih saja ada di Jalan Buah Batu.
Sudah dekat dengan perempatan Buah Batu dan Jalan BKR, tetapi masih terjebak
macet. Mobil hanya bisa bergerak 5 cm per menit. Tommy sudah tak kuat lagi.
Dan entah dapat dorongan dari
mana, Tommy menelepon Arthur kembali. “Thur, rumah kamu di mana?”
“Lodaya.
Dari Hotel Horison seberangnya ada jalan, kan? Lurus terus, kemudian ....”
Tommy mendengarkan dengan saksama dan menyadari lokasi rumah
itu bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Ide gila tiba-tiba melintas dalam benak
Tommy. Mungkin Tommy harus menyerah dengan ritual sakralnya. Mungkin Tommy
harus melakukannya di kamar mandi sesegera mungkin, karena air mani di pangkal
kemaluannya sudah menunggu untuk disembur keluar. Disentuh sedikit saja oleh
jemari, pasti langsung menghambur dan berlompatan. Jadi Tommy melakukannya
di kamar mandi rumah
Arthur saja.
“Oke, kayaknya aku jadi ke situ,”
ungkap Tommy tak tahan lagi.
“Great! Aku share location-ku, ya.
Wait.”
Tommy bangkit duduk dan membuka
pintu. “Pak Yanto, makasih banget udah nganterin, tapi kayaknya saya mau ke
rumah temen aja, Pak. Macet banget ini. Pasti di Pasteur macet juga.”
Pak Yanto menghela napas dan
mengangguk setuju. “Iya, sih. Malam minggu jam segini mah pasti macet di mana-mana.”
“Aku turun di sini aja, ya Pak.”
“Gapapa, A?”
“Gapapa lah, Pak. Makasih banget udah nganterin.”
“Ya udah, hati-hati.”
Tommy turun dari mobil dan berlari
menyusuri jalan ramai menuju lokasi yang dibagikan Arthur. Kecepatan lari
seseorang rupanya meningkat kalau sedang sange.
Tommy tak pernah mengira dirinya begitu sporty
melompati lubang, trotoar, menghindari motor yang menghalangi jalan, dan semua
dilakukannya sambil berlari terbirit-birit. Pun dalam kondisi kemaluan ereksi
di balik celananya.
Sesampainya di lokasi, Tommy
membelalak melihat Arthur tinggal di sebuah rumah besar dua lantai dengan taman
hijau yang ditata rapi. Tak heran sih, apalagi SMP-nya pun swasta di Jakarta.
Tommy dengan lancang membuka pagar, menghampiri pintu depan yang besar, lalu
mengetuknya. Tak ada jawaban signifikan, sehingga Tommy menelepon Arthur.
“Aku udah di depan!”
“Oh, sorry. Aku lagi di atas. Enggak kedengeran.”
Napas Tommy sudah tenang sekarang,
kecuali kelaminnya yang masih saja tegang dan berkedut-kedut, siap memuntahkan
sperma. Hal pertama yang akan dilakukannya adalah minta izin ke kamar mandi,
membuka ponsel menonton video Jerome, lalu coli.
Baru setelah itu Tommy bisa berpikir jernih. Tommy mengepit kemaluannya lagi di
antara paha, seperti orang yang menahan pipis. Dia yakin betul, sperma itu
sudah mendobrak benteng hingga hancur. Namun Tommy bersikukuh ingin
mempertahankannya agar tidak meleber di dalam celana dalam.
Pintu depan pun berderit. Arthur
membukanya lebar-lebar dan menyapa Tommy dengan senyuman manis. Tommy kalah
perang.
Crot!
Crot! Crot!
Kemaluannya memuntahkan sperma di dalam celana. Tommy sampai berlutut di depan
teras karena merasa K.O.
Semua gara-gara Arthur. Dia membuka pintu dalam kondisi telanjang, hanya dibaluti handuk putih yang tebal di bawah perutnya. Tubuhnya yang atletis masih basah, dengan busa-busa sabun yang belum terbilas sempurna. “Sorry, barusan aku lagi mandi, jadinya ....”
Fuck you, Arthur! jerit Tommy dalam hati. Yang pada akhirnya orgasme gara-gara sahabat yang dicintainya tampil sensual bak malaikat.
To be continued ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar