23 The Fall
Atas pertimbangan keamanan, pesawat kembali terbang ke Halim karena
infrastruktur di sana lebih lengkap dibandingkan Tarakan. Kalau memang pesawat
harus written off (atau dibunuh),
masih banyak suku cadang dan bagian interior yang bisa dijual, sehingga pesawat
enggak rugi-rugi banget. Dan, kalau dipreteli di Halim, biaya kirim akan lebih
murah dan mudah.
Pesawat kembali memanjat ke altitude
yang lebih tinggi. Kali ini di ketinggian 36.000 kaki saja, sesuai izin terbang
dari menara kontrol Jakarta Center.
“Oke, saya enggak kuat lagi,” ujar Mike sambil menggosok kemaluannya
kuat-kuat. Dia menekan komunikasi interkom dan memanggil, “Cabin crew, you’re needed in the cockpit. Thank you.”
“Ke mana?” tanya Laurence.
“Saya harus cuci selangkangan. Gatal banget dari tadi.”
Ketika Maulana meminta akses masuk, Mike membukakan pintu dan melesat
keluar. Mike sengaja pergi ke kamar mandi untuk membersihkan selangkangannya
dengan sabun banyak-banyak. Rasanya perih dan menggigit, tetapi Mike tetap
bertahan agar rasa gatal itu tidak menyerangnya terus-menerus.
Sebelum kembali ke kokpit, Mike mendengar seseorang berteriak-teriak
dari ruang meeting kecil yang
pintunya tertutup. Mike membuka untuk melihat apa yang terjadi. Di dalamnya ada
Harry sedang memeluk lutut ketakutan. Harry tampak tak nyaman pada keberadaan
jenazah Mora di seberangnya.
“Kapten!” seru Harry, ingin melompat untuk memeluk Mike dan meminta
bantuan. Namun tangannya masih terborgol ke meja. “Tolong! Gue bukan
mata-mata.”
Mike tentu saja tak tahu perkembangan terbaru di dalam kabin. Dia hanya
tahu mendaratkan pesawat dengan selamat apa pun itu kejadian di belakangnya.
“Kenapa kamu ada di sini?” Mike masuk dan mengecek borgol di pergelangan
tangan Harry. Dia duduk di samping sang model dengan cemas.
“Gue dituduh mata-mata.” Harry mencoba memeluk Mike dengan satu
tangannya yang tersisa. Harry benar-benar ketakutan.
Mike menerima pelukan itu. Selama beberapa detik dia mengusap punggung
Harry dan berbisik. “Tenang aja. Tenang.”
“Takuuut …!” tangis Harry.
Mike dapat merasakan guncangan di bahu Harry. Mike tahu, Harry benci
terbang. Sudah beberapa kali Harry me-mention
hal itu, tetapi karena tuntutan pekerjaan, Harry tetap melakukannya. Ini bukan
kali pertama Mike menyemangatinya, atau merangkulnya agar tenang. Kali pertama
Mike memeluk Harry adalah saat kekasih Harry meninggal dunia dalam sebuah
penerbangan yang dirahasiakan. Sejak itu Mike dan Harry dekat. Sejak itu pula
Harry rajin memberi Mike hadiah-hadiah mahal.
Mike sempat curiga Harry menyukainya. Namun menurut daftar buatan
Jordan, Harry mencintai Pamungkas. Malah Laurence yang diam-diam mencintainya
selama ini.
“Kenapa kamu enggak minta diborgol di ruangan yang lain aja?”
“Gue bukan mata-mata,” isak Harry, mendadak manja di depan Mike padahal
biasanya pecicilan dan menyebalkan.
“Memang bukan,” jawab Mike. “Saya curiga Andre yang melakukannya.”
“Pokoknya bukan gue,” balas Harry. “Gue enggak mau seruangan ama mayat.
Huhuhu ….”
“Kamu sabar aja. Nanti juga kita mendarat di Halim dan minta regu
penyelamat bebasin kamu.”
“Takuuut!” Pelukan Harry semakin erat. “Gue pengin pulaaang!”
“Iya, ini kita mau pulang.”
“Gue sayang ama Kapten!” Lalu, pelukan itu terasa lebih erat lagi.
Seolah-olah, Harry tak mau melepaskannya agar Mike tidak melihat wajah Harry
yang memerah.
“Iya, saya juga sayang sama Harry.”
“Sayang gue lebih dari itu.” Harry terisak-isak sebentar. “Gue cinta
Kapten.”
Benar dugaannya. Ada perasaan berbeda yang Harry tanam setiap model itu
memberikannya hadiah-hadiah mahal. Sebab, tak ada pilot lain yang mendapatkan
perlakuan sama. Seolah-olah, harus Mikelah orang pertama yang menerima hadiah
barang-barang fashion darinya.
Tentu saja Mike tidak bisa membalas cinta itu. Karena, dia tak pernah
berniat meninggalkan keluarganya sejak awal. Semua skandal yang dia lakukan
bersama Maulana maupun Randian sebatas seks kasual yang tak ada artinya.
Tulisan Jordan soal love interest kepada
Maulana pun salah total. Faktanya, Mike tidak mau cinta-cintaan dengan siapa
pun karena itu bakalan repot. Kalau seorang cowok butuh kemaluan Mike untuk
menyodok pantatnya, Mike bersedia meminjamkannya. Namun, tak lebih dari itu.
Jadi, Mike bingung total dengan pernyataan perasaan Harry.
“Harry sabar aja. Kita pasti bisa selamat,” ujar Mike sambil mengecup
telinga Harry, berharap cowok itu memahami kondisinya.
Namun bukannya paham, Harry malah semakin baper. “Jangan lepasin pelukannya.”
“Ya enggak bisa, lah. Saya mesti nyetir.”
“Enggak mau.”
Huh, manja, batin
Mike. Untung ganteng. “Oke, lima
menit aja, ya. Setelah itu saya kembali ke kokpit.”
“Ikut ….”
“Enggak bisa, Harry.”
Harry tak merespons apa-apa. Pelukannya semakin erat, sehingga Mike pun
mencoba membalas pelukan itu sesanggupnya. Setelahnya, Mike meninggalkan Harry
dalam kondisi memprihatinkan. Harry memeluk lututnya lagi, ketakutan pada
jenazah di depannya. Bahunya berguncang.
Mike tak dapat menahan diri untuk bersimpati. Dia berjanji, sesampainya
di Jakarta nanti, dia akan menemui Harry secara pribadi untuk memeluknya
semalaman.
* * *
Randian muak dengan pembajakan ini.
Dia muak dengan sikap maskapai yang tak memedulikan nyawa di dalam
pesawat, mungkin juga tak peduli nyawa di darat andai pesawat ini jatuh ke
perkampungan padat penduduk. Dia muak pada Pamungkas yang plin-plan, egois, dan
sekarang malah mabuk-mabukan. Dia muak pada pembajak yang mengombang-ambing
psikologis orang-orang di dalam pesawat.
Lama-lama Randian berpikir bom itu hanyalah metafora semata.
Jangan-jangan, semua situasi di dalam pesawat ini adalah bomnya.
Mulai dari kematian, masker oksigen, keracunan, foto-foto skandal,
kondom-kondom dilubangi, benda tajam di balik lapisan furnitur, penyebaran data
ke media, HIV positive, kutu
kemaluan, apa lagi berikutnya? Rentetan kejadian tersebut sudah sanggup
meledakkan setiap orang di pesawat tanpa perlu bomnya meledak saat mendarat.
Lihat saja Pamungkas, pikir
Randian. Laki-laki itu sudah kacau dan berantakan. Dia diuji untuk menjaga rahasia
dan nama baik perusahaan, tetapi pembajak menggerogoti rahasianya sendiri dari
dalam.
Harry berteriak-teriak ketakutan, dan mungkin akan sangat impulsif
ketika dia berada dalam ancaman. Sifatnya yang kekanakan bukan enggak mungkin
membuat Harry melompat ke kokpit lalu menabrakkan pesawat ke darat. Ini bukan
pembajakan sekelas kacang rebus. Pembajaknya tahu untuk memasukkan Harry ke
dalam penerbangan karena motif dia paling kuat. Motif balas dendam selalu
menjadi pertimbangan utama dalam setiap investigasi.
Motif Randian sendiri hanya lelang yang gagal? Apaan itu? Kurang kuat!
Motif Harry nomor satu di antara semua orang dan bocah itu malah mengungkapnya
dengan mudah. Randian tahu persis ini hanyalah pancingan. Supaya apa? Supaya
fokus semua orang beralih kepada Harry. Bahkan, mereka sengaja membuat Harry
diborgol belakangan, ketika pesawat sudah di atas Indonesia. Karena mungkin
sebentar lagi mendarat.
Mungkin sebentar lagi pembajakan ini selesai.
Tujuannya, tak lain dan tak bukan agar mata-mata asli sudah diborgol
sebelum-sebelumnya, atau tidak sempat lagi diborgol sama sekali. Kalau Harry
diborgol awal-awal pembajakan, rentetan insiden bisa membuat Harry dilepas dari
tuduhan.
Dalam hati, Randian bertepuk tangan salut pada siapa pun yang merancang
ini semua. Bahkan, mengeksekusinya dengan mulus.
Bagi Randian, bom sudah meledak.
Lihat Maulana, cowok itu sudah gila, kayaknya. Dituntut untuk
profesional dalam tekanan, padahal dia sendiri sedang ingin menjerit marah.
Kalau kesabaran Maulana habis, pesawat langsung meledak. Jordan sang penulis
menggigil ketakutan karena merasa bersalah. Padahal Randian yakin, bukan Jordan
pelakunya. Namun itu diperburuk oleh Kristian yang hanya bisa marah-marah ke
semua orang karena Jordan jadi depresi.
Semua orang juga depresi, Bangsat!
Apalagi Andre.
Randian menarik napas dan merasa sangat kasihan kepada Andre. Dia
betulan mencintai Andre, kok. Terlepas dari apa yang selalu Randian perbuat
kepada teknisi itu. Sekarang kondisi Andre benar-benar mengkhawatirkan. Bagi
Andre, semua rahasianya adalah penting. Ketika seseorang yang tak seharusnya
mengetahui menjadi tahu, Andre stres bukan main.
Andre sudah berhasil duduk di atas sofa meski masih terdiam memandang
karpet. Randian melihat tangannya bergetar, meremas ujung sofa dengan kuat.
Ingin sekali Randian maju ke sana dan memeluknya, tetapi dia tahu itu bukan
langkah yang tepat. Andre masih membencinya, dan selalu membencinya, tak peduli
seberapa banyak hadiah Randian kirimkan ke kosannya.
Randian marah karena sang pembajak membuat jantung hatinya depresi macam
begitu.
Dengan tegar, Randian tiba-tiba berdiri di tengah ruangan dan berjalan
mondar-mandir di depan semua orang. “Saya menolak dipermainkan,” mulainya. “Dan
saya mulai meragukan apakah bom itu ada di bawah sana atau enggak.”
“Elaaahhh …,” desah Pamungkas sambil terkekeh meledek. Dia mengeluarkan
ponselnya, menggulir galeri hingga menunjukkan foto bom, lalu melemparkan
ponsel ke tubuh Randian. Ponsel itu mengenai perut Randian dan langsung
ditangkap oleh sang arsitek. “Tuh!”
“Sudah dicek belum apakah ini bom betulan atau hanya hiasan?”
“Situ bego atau tolol?!” balas Pamungkas. Dia melemparkan botol bir di
tangannya ke sofa lain, tetapi botol itu menggelinding jatuh ke atas lantai. “Lu
mau ngecek bomnya meledak apa kagak, hah?! Hahaha …! Silakan cek! Silakan!”
“Karena ada kemungkinan,” ujar Randian, “bomnya ada dalam diri kita
sendiri. Bukan dari roda pesawat. Bomnya mengaduk-aduk psikologis kita, emosi
kita, perasaan kita, sengaja memasangkan semua partner seksual dalam satu
tabung besi di udara, supaya kita semua meledak bareng-bareng.”
“Anjing, bullshit!” umpat
Pamungkas sambil tertawa.
“Saya juga setuju,” ujar Kristian, menghela napas dan menyugar
rambutnya. “Lama-lama saya merasa kitalah bomnya.”
“Kalau gitu saya demand satu
pilot dan Maulana berkumpul di sini untuk menyusun strategi.”
“Sekalian aja dua pilotnya ke sini. Biarin pesawatnya terbang sendiri.
Hahaha ….” Pamungkas meledek.
“Untuk apa Mas manggil semua orang ke sini?”
“Kita desak semua orang di sini untuk mengaku siapa mata-matanya.”
“Bego, bego, bego!” umpat Pamungkas sambil terbahak. “Lu pikir bakal
ngaku orangnya?!”
“Kita desak untuk jawab apa yang dia inginkan sebenarnya.”
“Kan tadi udah disebut tiga permintaan mereka! Buahahaha …!” Pamungkas
tertawa sampai ludah muncrat dari mulutnya. “Lu mau nanya apa lagi, bego?!”
Randian tak mendengarkan. Dia berbalik pergi dan mendesak satu pilot
bersama Maulana bergabung ke ruang tengah. Karena kondisi sudah membaik, entah
mengapa Mike mengizinkan kepergian Laurence dan Maulana. Mike ditinggalkan
sendiri di dalam kokpit. Selain membawa dua orang itu, Randian juga menarik
lepas sebuah papan flip chart dari conference room, seraya membawa sebatang
spidol temporer.
Untuk kali pertama, nyaris kesembilan orang itu berkumpul dalam satu
ruangan. (Tidak termasuk Harry, karena ada atau tidak Harry sama saja.) Mike di
kokpit, Harry masih menjerit-jerit dari ruang meeting kecil, dan tujuh orang lain berada di common room. Duduk dengan sangat canggung dalam pikiran berbahaya
masing-masing.
Satu orang memikirkan siapa yang kena HIV, satu orang memikirkan apa
kata orang tentang data yang tersebar, atau foto yang ada di Twitter, satu
orang masih memikirkan apakah orang itu tetap mencintai dirinya, bahkan satu
orang berharap agar pesawat meledak saja sekarang supaya tidak perlu ribet.
“Saya memutuskan membawa Mas Laurence ke sini, karena beliau punya
hubungan dengan tersangka kita yang sekarang, yaitu Harry,” ujar Randian. “Dalam
artian, Mas Laurence lebih memungkinkan menjadi tersangka dibandingkan Kapten
Mike.”
“Terserahkan,” gumam Laurence sambil memutar bola mata.
“Karena pada dasarnya kita sedang menjelajah,” lanjut Randian, “dan pada
masa lalu cukup umum meninggalkan pilot sendirian di kokpit, jadi saya putuskan
memercayakan penerbangan kepada Mike.”
“Cut the crap!” sembur
Pamungkas. “Mau lu apa?”
Dengan sabar Randian berkata, “Saya perlu menjelaskan soal itu karena
saya percaya Mike bukan mata-matanya. Ya, dia bercinta sama saya di pesawat
ini, tetapi dia sama kagetnya dengan saya saat tahu kondom-kondom itu bocor.
Saya juga ingat betul dia enggak menanam kamera di kabin istirahat kru, jadi
saya yakin betul mata-matanya bukan Mike. Mata-matanya, ada di antara enam
orang yang ada di depan saya ini.”
“PFFFTTT …!” Pamungkas tergelak sambil menyemburkan ludahnya. “Seriously?! Terus elu kagak ngitung diri
lu sendiri?! HAHAHA …!”
Randian mengambil napas panjang. “Oke, saya ralat. Mata-matanya ada di
antara tujuh orang di ruangan ini, termasuk saya.”
“Bukannya Harry yang jadi mata-mata?” tanya Maulana.
“Admit it. Kita semua di sini
ngurung Harry bukan karena dia mata-mata. Tapi karena dia nyebelin.”
Maulana menggeleng, “Kita mengurung dia karena motifnya paling kuat—”
“Dan kamu enggak curiga?” potong Randian. Arsitek itu terkekeh kecil sambil
meledek. “To be honest, saya biarkan dia diborgol supaya kita bisa diskusi
dengan tenang tanpa ada orang yang teriak-teriak ular kadut. Dan buat saya …
motif Harry yang sangat kuat justru mencurigakan. Ibaratnya, ketika kalian pake
sepeda motor NMax yang besar lalu enggak pake helm, terus di persimpangan depan
ada polisi, kalian bakal ngumpet di mana? Di balik orang yang lagi naik sepeda,
atau di balik truk yang juga lagi lewat?”
Maulana ingin sekali menyanggah, tetapi dia menutup kembali mulutnya.
Randian dapat melihat semua orang terpaksa setuju pada analogi itu.
Randian meletakkan kedua tangannya di atas meja tengah, menatap satu per
satu orang di ruangan. “So …. Ada kemungkinan, motif mata-mata bersembunyi di
balik motif Harry yang kuat. Supaya apa? Supaya enggak ada yang lihat dia.”
“Tapi dia tetap berpotensi menjadi mata-mata,” tukas Kristian. “Kasus
kutu ini aja dugaannya kuat banget ke Harry. Apalagi soal surat di toilet itu.”
“Come on!” sergah
Randian sambil berkacak pinggang. “That’s only a bait. Kamu dan saya aja sempat
difitnah, kok ama ini bajingan. Apa bedanya sama Harry? Pembajaknya emang dari
awal sengaja ngebikin siapa pun tampak seperti penjahatnya.
“Buat saya, nih ya …. Kalau orang kayak Harry ternyata mata-matanya,
saya ikhlas kalian perkosa saya setiap malam sebagai taruhan. Enggak mungkin
manusia se-childish dan setolol Harry
bisa mengatur situasi-situasi depressing
kayak yang kita alami di sini. Selain karena dia selalu ada di samping kita
tanpa berbuat apa-apa, dia aja enggak tahu cara pakai masker oksigen tuh
gimana. Apa sih kerjaan dia? Main hape? Kalau dia communicate ama pembajak lewat hape, cek aja hapenya sekarang. Mana
hapenya?!”
Semua orang celingukan menatap seisi ruangan. Ponsel Harry tertinggal di
meja samping kursi yang didudukinya tadi. Ketika Pamungkas memerintahkan Harry
diborgol, sang supermodel terlalu panik sehingga tak ingat membawa benda yang
membuatnya nyaman selama pembajakan.
Karena Maulana paling dekat, dia bangkit dan meletakkan ponsel Harry ke
atas meja. Ponsel itu tidak dikunci. Latarnya langsung menampilkan background Harry foto telanjang sambil
menutup kemaluannya dengan tangan.
“Ada aplikasi aneh?” tanya Randian, memasukkan kedua tangan ke dalam
saku.
Maulana menggeser setiap laman berisi aplikasi ponsel. Sejauh ini tak
ada aplikasi aneh-aneh.
“Apa itu yang oren?!” sahut Pamungkas, diam-diam mengikuti guliran
tangan Maulana.
“Ini?” tanya Maulana. “Ini Hornet.”
“Apa itu aplikasi pembajakan?”
Nyaris semua orang di ruangan itu memutar bola mata. Mungkin Pamungkas
satu-satunya gay yang enggak tahu
apa-apa soal dating apps.
“Ini aplikasi kencan,” jawab Maulana. Dia bahkan membukanya dan
menunjukkan isinya. “Tidak ada yang membahayakan di sini, kecuali fakta bahwa
dia pake Hornet. Dibandingkan Grindr dan Blued, Hornet tuh agak-agak—”
“Buka Whatsapp-nya,” potong Randian, tak mau berbasa-basi.
Maulana membuka Whatsapp dan menunjukkan nyaris ke semua orang di dalam
ruangan isi ponsel Harry. Isinya adalah broadcast
Harry ke teman-temannya soal pembajakan pesawat. Pesan-pesan narsis dengan hashtag saveharry di mana-mana, mengira trending topic juga muncul di Whatsapp
seperti halnya Twitter. Semua kontak yang tampak aneh dilihat satu per satu,
tetapi tetap saja tak ada yang mencurigakan. Semua percakapan bersama Pamungkas,
Kristian, dan Laurence bahkan dipertontonkan, kalau-kalau Harry tidak bekerja
sendirian.
Jawabannya sama. Tak ada satu pun yang membahayakan dari penelusuran
ponsel Harry. Aplikasi lain seperti SMS, log
call, Grindr, Tinder, Blued, Twitter, Instagram, Facebook, Ms Word, Notes,
Excel, hingga Netflix dibuka. Semua tampak sangat normal. Tak ada percakapan
aneh-aneh dengan pembajak atau apa pun yang mencurigakan.
“Perlu kita buka TikToknya juga?” tanya Maulana.
“Enggak usah.”
“Tidak perlu.”
“No, no.”
Semua orang dengan kompak menjawab tidak.
Karena pencarian tak membuahkan hasil, hening menyeruak di dalam common room. Saking heningnya, jeritan
Harry dari kabin depan dapat terdengar. “Tolooong!
Heeelp! Voítheia! Aidez-moi! Hilfeee!”
Harry meneriakkan kata tolong dalam berbagai bahasa.
Tujuh orang di common room
diam-diam harus setuju pada hipotesa Randian, bahwa mungkin Harry hanya umpan saja karena motifnya terlalu kuat.
“Jadi, melalui pertemuan ini, saya berharap kita bisa memetakan dengan
benar siapa sebenarnya mata-mata dalam insiden ini,” ungkap Randian. “Saya tahu
orangnya enggak akan pernah mengaku. Tapi kita bisa berdiskusi untuk menentukan
siapa yang alibinya paling lemah dalam setiap insiden ini.”
“Bagaimana kita tahu alibi seseorang lemah?” tanya Kristian.
“Kalau enggak ada saksi yang melihat apa yang dia lakukan.”
“Hahaha …!” Pamungkas tertawa seperti orang gila.
Randian mencoba mengabaikan Pamungkas yang seperti meremehkannya.
“Misalnya, masker oksigen jatuh. Siapa pun yang melakukan, yang paling mungkin
melakukannya adalah Laurence dan Maulana. Harry, Kristian, dan Jordan ada di common room. Correct me if I’m wrong. Lalu saya berada di ruang kerja, karena
saya sedang menguping Pamungkas, Mike, dan Andre di conference room. Memang tidak ada yang melihat saya di ruang kerja,
tetapi saya tahu ada tiga orang sedang rapat.”
“Tapi kalau gitu alibi Mas lemah,” ujar Kristian. “Saya cuma mau
bersikap adil.”
“Oh, saya setuju.” Randian mengangguk dan menulis namanya sendiri
beserta Laurence dan Maulana. “Kedua, keracunan makanan ….”
Obrolan itu berlangsung selama sekitar sepuluh menit. Papan flip chart penuh coretan, nama, garis
terhubung, dan tanda tanya. Padahal, diskusi baru sampai ke insiden ketiga,
yaitu tersebarnya foto-foto. Namun, fokus mereka teralihkan oleh satu layar TV
di common room yang tiba-tiba
menyala.
Sejak kejadian terakhir, seluruh layar monitor yang biasanya menampilkan
peta perjalanan pesawat dipadamkan. Maka dari itu sang mata-mata mengirim pesan
melalui surat kepada Harry, bukan melalui layar. Namun kali ini, satu layar di common room hidup dan berubah terang.
Layar menampilkan pesan dengan font
berwarna hitam seperti sebelumnya.
Tahu enggak sih bahwa satu di antara
kalian positif Covid-19?
“Fuck,” gumam Randian.
Semua orang duduk dengan tegak, mencoba mencerna informasi tersebut.
“Hasil swab saya negatif,”
ujar Kristian. “Jordan juga. Kami tes barengan.”
“Ya saya juga negatif,” balas Randian.
Dan, pesan itu pun berganti menjadi:
Enggak usah repot-repot nanya. Enggak
akan ada yang mengakuinya. Makanya, jangan lupa pake maskernya.
“Ini hanya usaha dia membuat kita down,”
sergah Randian segera, menarik napas panjang sambil berpegangan ke sofa. “Belum
ada bukti valid bahwa ada yang Covid-nya positif. Bahkan, soal HIV itu pun,
belum tentu benar. Di sinilah bomnya. Mereka pengin kita saling menyerang dan
saling menuduh.”
“Kalau kita semua di sini sibuk membahas mata-mata, terus siapa yang
mengirim pesan itu ke monitor?” tanya Maulana sambil menyipitkan mata.
Randian mengangkat kepala. “Harry?” gumamnya.
“Tapi, kan hapenya di sini,” ujar Maulana, mengangkat ponsel Harry yang
tergeletak di atas meja. Tak ada yang menyentuh ponsel itu sepanjang rapat
alibi barusan.
Randian tetap penasaran. Jadi, dia melompat menyusuri koridor menuju
lobi depan. Dia berlari diikuti Kristian dan Maulana. Namun sesampainya di
ruang meeting kecil, Harry sedang
berdiri di atas sofa dan membaca mantra-mantra ke arah Mora.
“Pergi kamu setan!” lalu Harry membuat tanda silang di udara sambil
mengatakan mantra, “Lorem ipsum dolor sit
amet, consectetur adipiscing elit, sed do eiusmod tempor … hey! Tolong!
Tolong!” Harry berseru saat melihat Randian muncul di lobi depan.
“Kenapa?” Randian masuk dan mengecek jenazah Mora. Mayat itu masih
berada pada posisi yang sama seperti berjam-jam lalu.
“Lepasin, please! Gue takut
ama mayat! Please please please …!
Gue trauma ama segala jenis mayat, pleaseee
…!”
Randian menghela napas sambil mengusap mukanya. Dia berbalik dan kembali
mengajak yang lain untuk melanjutkan diskusi. “Kita tinggalin aja.”
Ketika Randian dan yang membuntutinya tadi tiba sofa, tiba-tiba pesawat
menukik ke bawah.
Zzzuuuiiinnnggg …!!!
“Kita lanjutkan dengan—AAAAAARGH!” Randian yang sedang berdiri di depan flip chart langsung terpental dan
menggelinding menabrak dinding galley.
BRUK! Kristian dan Maulana yang baru
saja duduk dan belum memasang sabuk pengaman juga terlempar dari kursinya.
Keduanya berguling menabrak dinding dan sofa yang tertanam kuat di atas lantai.
Tukikan pesawat itu tiba-tiba. Gravitasi menarik semua orang ke arah
depan, menjatuhkan segala jenis botol yang berada di dalam etalase bar. Semua
masker oksigen yang menggantung di langit-langit kabin berkibar ke arah depan.
“Aaaaaargh!” teriakan kaget dan ketakutan mengisi common room.
Kecuali Pamungkas yang malah tertawa keras dan berseru, “HAHAHA! MATI
KALIAN! MATI!”
Suasana kabin seperti di film-film. Seperti ketika pesawat betulan akan
jatuh ke atas tanah, menabrak gunung dan meledak. Bahkan, pesawat sempat
berputar sekali, membuat Randian, Kristian, dan Maulana terbanting ke dinding, lalu
ke langit-langit, lalu ke dinding, lalu ke atas lantai lagi. Kejadiannya cukup
cepat. Momentum dan gravitasi menahan tiga orang tanpa sabuk pengaman itu di
satu titik yang sama …
….
Hingga akhirnya, pesawat kembali stabil. Mengudara dengan normal.
“What the fuck …,” gumam
Laurence.
Semua orang memelotot, mengatur napas yang memburu seperti habis maraton,
dan berpegangan kuat pada kursi. Baik Randian, Kristian, maupun Maulana, segera
menduduki kursi terdekat dan mengencangkan sabuk pengaman ke perut mereka.
Setiap dada berdebar kencang karena ketakutan. Beberapa orang terluka karena
tergores botol-botol yang berjatuhan dan hancur.
Kalau mau tahu apa yang dimaksud dengan kapal pecah, common room bisa merepresentasikannya
dengan baik.
Tak ada yang bergerak dari kursinya. Semua masih waspada.
“Kira-kira ini bakal terjadi lagi?”
“Aku harus berkembali ke kokpit,” ujar Laurence. “Aku harus mengetahui
apa yang terjadi di sana.”
“Tapi gimana caranya?” ujar Randian, napasnya ngos-ngosan. Di wajah
Randian ada goresan dari pecahan botol. Tangannya juga pegal karena terantuk
satu sofa.
Laurence menggeleng.
“Gimana kondisi badan kamu?” tanya Maulana.
Laurence melihat ke tubuhnya sendiri. “Tampaknya … tampaknya aku terkenakan
keseleo.” Laurence menunjuk kaki kirinya. “Sakit dan pegal di sana.”
Maulana menggelengkan kepala. “Enggak bisa.”
“Tapi aku harus ke kokpit!” sahut Laurence, masih mempertimbangkan
caranya kembali.
“Tapi gimana kalau pesawatnya nose
dive lagi?” balas Maulana.
Laurence berdecak. “Kenapa Mike melakukan hal itu?”
“Antara dia mendapat tekanan dari seseorang,” ujar Randian, “atau dialah
mata-matanya.”
Diam sejenak selama lima menit. Secara harfiah tak ada yang berani turun
dari kursinya, khawatir pesawat akan menukik lagi membuat tubuh siapa pun
terbanting ke depan.
Kecuali Laurence. Tumitnya mengentak-entak lantai dengan tidak sabar.
Dia ingin sekali pergi ke kokpit. “Aku harus ke kokpit,” putusnya, sambil
membuka sabuk pengaman.
“Jangan!” sergah Maulana, membungkuk dan menahan Laurence agar tetap
duduk. “Kita tunggu PA dari Mike. Kalau memang ada bahaya kita harus siaga.”
“Mike pasti butuh aku!” tukas Laurence.
Pada saat yang sama, Andre mendongak menatap Laurence di seberangnya.
“Mike pasti bisa menangani ini,” ungkap Maulana. “At least, tunggu lima menit sampai Mike memberikan PA. Karena pasti
dia memberikan PA. Misal dia mata-mata pun, dia pasti memberikan pesan buat
kita. Please.”
Mata Laurence berkaca-kaca. Dia menggeleng. “Tidak bisa.” Bahunya
berguncang. “Aku harus melihat Mike. Aku harus melihat kondisinya sekarang.”
“Kenapa?”
Laurence tampak seperti sesak napas. Tenggorokannya tercekat. Dia tak
menjawab.
“Please, duduk dulu. Wait for five
minutes! Kalau tidak ada announcement
apa-apa dari Mike maupun hijacker,
saya temenin ke kokpitnya.”
“Tidak bisa,” kukuh Laurence. Suaranya sudah sangat bergetar.
“Kenapa tidak bisa?”
“KARENA AKU MENCINTAINYA!” teriak Laurence sambil berbalik dan berlari
melompati botol-botol minuman yang berserakan di atas lantai.
Maulana membuka sabuk pengamannya dengan segera, menyusul Laurence.
“Laurence!” Keduanya menghilang di koridor, meninggalkan lima orang di common room yang masih syok akan
kejadian mendadak tadi.
Apalagi Andre. Selain syok karena gerakan pesawat yang tiba-tiba itu,
dia juga syok karena Laurence mengumumkan rasa cintanya di depan orang-orang.
Di depan Andre.
Apakah Laurence tidak tahu bahwa kata-kata ini menyakiti hati Andre?
Membuat Andre kehilangan harapan untuk kesekian kalinya?
….
Apa tujuannya tetap hidup kalau rasa cinta saja tak pernah bisa Andre
dapatkan?
….
Ketika Laurence tiba di kokpit, pintu sudah tertutup sehingga Laurence
memohon akses. Mike belum memberikan respons meski Laurence sudah memanggilnya
berkali-kali. Di belakang mereka, Harry sedang menangis dan menjerit karena
mayat Mora sekarang berpindah tempat menjadi berada di atas sofanya. Sabuk
pengaman yang mengikat Mora terlalu longgar, sehingga jasad Mora lepas ketika
pesawat berputar, lalu menimpa Harry yang terborgol
“Argh! Argh! Argh! FUCK YOU! AAARGH!
SHOO! SHOO! SHOO!” jerit Harry sambil menangis, dada berdebar, dan
merapatkan tubuh ke dinding sambil ketakutan. “CACTUS!”
Maulana merasa kasihan, jadi Maulana masuk ke ruang meeting kecil dan kembali menggotong jasad Mora ke sofa seharusnya.
Setelah Maulana berhasil menggotong Mora yang berbadan gemuk itu, pintu kokpit
pun dibuka.
Laurence langsung menghambur masuk dan menemukan Mike sedang menangis.
Bahu Mike terguncang, wajahnya penuh air mata, dan isakan kecil
terdengar di dalam kokpit.
“Sorry …,” desah
Mike. “Sorry ….”
“Mike?” panggil Laurence.
“Sorry …,” ulang
Mike, tenggorokannya tercekat sehingga suaranya terdengar sangat parau. “I have to do that.”
To be continued ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar