22 The Silence
Kristian percaya, Jordan tak melakukannya.
Namun, semua orang terlanjur membencinya. Tabel yang tersebar ke media
itu sangat sensitif. Bahkan, meski Jordan bukan pelakunya, setiap orang di
pesawat ini ingin Jordan mati saja. Andre terkena serangan panik, Maulana harus
menenangkannya dengan oksigen. Dua pilot di kokpit berseru-seru marah, hingga
terdengar ke kabin penumpang.
Mike, melalui interkom yang terkoneksi ke seluruh kabin, berteriak, “FUCK YOU, JORDAN!”
Tiga botol sudah pecah ke atas lantai. Satu sofa digulingkan dan
dirobek. Randian menyemprot Jordan dengan ludahnya ketika Kristian dengan berat
hati memborgol kekasihnya. Semua orang marah. Marah di depan Jordan yang kini
menunduk menutup muka sambil menangis, tak tahu apa-apa.
Termasuk Harry. “Jadi gue self-centered?!”
teriaknya tak percaya.
Tidak semua kolom dalam tabel dikirim. Yang diterima media adalah kolom zodiac, secret, dan possible motives. Tabel lengkap masih berada dalam laptop Jordan—di
mana kini semua orang sudah membacanya. Termasuk siapa mencintai siapa. Nuansa
canggung merebak di seluruh kabin. Beberapa orang tak berani bicara dengan orang
yang lain. Mereka lupa bahwa ini bisa saja ulah mata-mata, masuk ke ruang kerja
ketika Jordan beristirahat di kamarnya.
Kristian dan Randian tak dapat melihat siapa yang masuk ke ruang kerja
karena tak ada yang lewat di depan ruang meeting
kecil. Namun untuk mengakses ruang kerja bisa dilakukan dari conference room, jadi tak selamanya
melewati ruang meeting kecil.
Karena merasa rahasia dan motifnya tak begitu memberatkan, Kristian pun
membantu Maulana menangani Andre yang tangannya bergetar seperti tremor. Andre
bilang napasnya sesak. Semua orang sempat mengira Andre kena racun sianida
seperti Mora, tetapi itu hanya reaksinya karena rahasia dan motifnya tersebar
luas. Andre tak sanggup membayangkan apa kata orang, meskipun sebenarnya info
yang diterima untuk baris Andre adalah Aquarius, bukan namanya.
Sejak masuk wilayah Indonesia, masalah berdatangan. Seolah-olah pembajak
menunggu pesawat memasuki area ini sebelum melancarkan aksi-aksinya.
Problem terbaru adalah layar TV menayangkan sebuah surat hasil tes HIV
yang nama pasiennya dicoret, tetapi hasil tesnya ditunjukkan jelas-jelas. Hasil
tes menunjukkan HIV reaktif (positif). Selama semenit layar itu menayangkan
informasi tersebut, diikuti dengan pesan si pembajak:
Ini hasil tes HIV salah satu orang di
dalam pesawat. Sudah diambil sejak tiga bulan lewat. Nah, jujur aja, tadi pakai
kondom, atau langsung coblos karena sudah enggak kuat?
Kristian berlutut ke atas lantai dan menangkupkan wajahnya ke salah satu
sofa. Kristian menangis.
….
Sudah selesai? Belum.
Pamungkas dengan bengis memerintahkan Maulana, “Matiin aja itu TV
SIALAN! MATIIN! Jangan terima pesan dari dia lagi! MATIIN!”
Maulana pun berdiri untuk berjalan menuju station-nya, bermaksud mematikan semua layar di kabin. Namun belum
juga mencapai tengah perjalanan, seluruh listrik di dalam pesawat padam.
Layar padam sendiri, lampu mati tiba-tiba, common room gelap gulita karena seluruh jendela ditutup sedari
tadi.
“What the fuck …,” gumam
Pamungkas sambil berkacak pinggang.
Apa yang lebih seram dari itu?
Suara mesin pesawat dari luar tidak terdengar.
Mesin pesawat mati.
Hanya ada suara angin yang bersiul dari luar. Suara angin yang hening
dengan mengerikan.
* * *
Tidak berhasil.
“Oke, percobaan ketiga!” teriak Mike.
Laurence mengangguk. Keringat mengucur deras dari pelipisnya, tetapi dia
harus tetap tenang. Percobaan ketiga menyalakan mesin pesawat pun dilakukan.
Namun Laurence menemukan satu masalah lain. “APU
is down.”
“FUCK!” umpat Mike geram.
Dia membanting buku ceklis ke atas dasbor.
Laurence ingin sekali memeluk Mike dan menenangkannya. Namun ini bukan
waktu yang tepat untuk itu. Mereka dalam kondisi genting. Andre masih mengalami
mental breakdown di belakang sana.
Mike ngamuk-ngamuk sejak tulisan Jordan tersebar ke media. Kalau orang sepenting
Mike harus kena mental breakdown
juga, tak perlu bom di landing gear
untuk membuat The Flying Paradise
meledak. Sekarang juga bisa.
Dua mesin pesawat mati tiba-tiba. Sudah dua kali mereka mencoba me-restart-nya, tetapi gagal. Ketika sebuah
pesawat kehilangan daya dorong dari seluruh mesin yang ada, maka segala sistem
akan mati. Biasanya, APU dapat digunakan untuk tetap mengalirkan listrik ke
dalam kabin. Namun, APU kembali bermasalah. Pilihan berikutnya adalah
menggunakan RAT (Ram Air Turbine), sebuah kipas kecil yang jatuh karena
gravitasi dan menggantung di bawah pesawat. RAT otomatis keluar begitu pesawat
tak dialiri listrik apa pun. Melalui kipas tersebut akan lahir daya listrik
yang cukup untuk tetap mengendalikan pesawat meski mesinnya mati.
Pesawat jet seperti Boeing 777 didesain untuk dapat meluncur (glide) meski tak memiliki daya dorong. Setiap 10 mil meluncur ke depan, ketinggian pesawat turun 1 mil mendekati bumi. Dari ketinggian 40.000 kaki, pesawat bisa tetap melayang lurus ke depan selama sekitar 40 menit sebelum akhirnya menghantam daratan (atau lautan).
Prosedur pertama ketika mesin mati adalah menyalakannya. Mike dan Laurence sudah melakukan semua prosedur restart engine dari buku manual, tetapi keduanya gagal dilakukan. Pada percobaan ketiga ini, Mike sudah berada pada puncak tekanan. Air mata mengucur dari sudut mata Mike.
Laurence tak sanggup melihat hal tersebut. Sehingga, Laurence mengambil
alih radio. “Pan-pan-pan! This is Delta
Victor Niner Niner Niner. We have lost both engines. I repeat, we have lost
both engines. We’re gliding straight towards … Tarakan. And about to do our
third attempt in restarting the engines. Roger.”
Laurence mengulurkan tangannya, memegang tangan Mike dan berkata, “Everything is going to be alright.”
Laurence menarik napas panjang. Suara napasnya bahkan menggaung di dalam
kokpit, lebih besar dari suara aliran udara di luar pesawat. “Third attempt?”
Sudah delapan menit sejak mesin mati dan dua percobaan menyalakan ulang
dilakukan, tetapi gagal. Laurence melaporkan kondisi terbaru kepada menara
kontrol dan berkomunikasi tentang cara menyelesaikan solusi. Beberapa
pertanyaan seperti apakah pembajak mengintervensi matinya dua mesin, Laurence
menjawab tidak tahu. Semua orang terlalu fokus pada berita di media soal
catatan Jordan yang tersebar.
Percobaan ketiga menyalakan mesin dilakukan. Namun, tetap tak berhasil.
Laurence dapat melihat tangan Mike bergetar. Tekanan yang membebaninya di luar
kapasitas Mike sebagai manusia.
“Ini pasti karma,” gumam Mike. Bahunya berguncang.
“Karma?”
“DV897. DV897. DV897.” Mike mengulang-ulang nomor penerbangan itu.
Jujur saja Laurence tidak mengenali maksudnya. Inikah yang dimaksud
catatan Jordan tentang “crashing a plane”
yang ada pada barisnya Mike dan Andre?
Namun Laurence tak mau mempermasalahkan itu. Saat ini, yang menjadi
prioritasnya adalah keselamatan semua orang. Laurence duduk tegak di kursinya,
kembali menghubungi radio.
“This is Delta Victor Niner Niner
Niner, can you inform us nearest airport?”
“Tarakan airport has 2.500 meters of runway.”
Laurence menggelengkan kepala.
“Negative. Any alternatives? Roger.”
“Can you reach Balikpapan?” tanya Radio.
Laurence melihat layar, menghitung dengan manual di atas kertas, lalu
menjawab, “Negative. Roger.”
“Can you reach Kota Kinabalu Airport?”
Laurence mengitung lagi jarak posisi pesawat saat ini. Yang dihitung
adalah apakah meluncur tanpa mesin pesawat akan mencapai Bandara Kota Kinabalu,
Malaysia? Perhitungan dilihat dari vertical
speed (kecepatan naik atau turun pesawat) yang tercatat di layar. Melalui
perhitungan itu, Laurence kembali menjawab, “With
some good luck, yes. But risky. Roger.”
“Fuel?” tanya Radio.
“Fuel is available. We’re still
looking for the cause.”
Tidak ada kemajuan hingga pesawat berada di ketinggian 20.000 kaki di
atas permukaan laut. Mike sudah mulai tenang dan memutuskan pesawat mendarat di
Juwata International Airport, Tarakan apa pun yang terjadi. Selama dua puluh
menit pesawat berputar-putar di atas Kalimantan Utara, bersiap-siap untuk
mendarat di sana.
Di common room, suasana tak
kurang ngeri dari kokpit. Kristian berkali-kali memohon kepada Pamungkas untuk
membuka borgol Jordan, agar ketika pesawat mendarat darurat, Jordan punya
kesempatan untuk menyelamatkan diri juga. Namun Pamungkas pura-pura tak mendengar.
“Pak, atas dasar kemanusiaan,” ujar Maulana, ikut campur, “bisa
dibukakan dulu borgolnya? Tidak ada gunanya Bapak membunuh Jordan. Itu tidak
akan mengembalikan semua yang sudah terjadi.”
“Please ….”
Kristian menangis. Dia menutup wajahnya dengan tangan, bahunya berguncang.
Setiap orang di common room
duduk di atas kursinya masing-masing, terikat ke sabuk pengaman mereka. Jordan
terborgol dan menutup wajahnya sambil menangis. Kristian di sebelahnya. Andre
terbaring di atas sofa, nyaris tak bisa bergerak karena syok. Perutnya
diamankan oleh sabuk pengaman. Maulana duduk di sebelahnya, menenangkan.
Di seberang mereka, Randian duduk di atas kursinya sambil memijat-mijat
kepala. Pamungkas berada tiga kursi dari sana, menggenggam bir dan tak
mendengarkan permohonan Kristian yang memelas-melas seperti tak punya harga
diri. Harry duduk di sebelahnya, habis menangis. Sesekali setiap dari mereka
menggaruk selangkangannya, tanpa menyadari nyaris setiap orang melakukannya.
“I hate flying! I hate flying! I hate
flying!” Harry merapalkan kalimat itu berulang-ulang,
seolah-olah sedang membaca istighfar berkali-kali. “I hate flying! I hate flying! I hate flying!”
Tak ada yang repot-repot menghentikannya mengoceh di ruangan.
Benar-benar mengganggu.
“Gue mau ke toilet.” Harry pun melepas sabuk pengaman dan berdiri. Tak
ada satu pun yang peduli.
Baru saja sedetik Harry masuk ke lavatory
yang berada di belakang bar common room,
model itu berteriak. “Fuck me!”
umpatnya. Kali ini semua orang menoleh ke arahnya. Harry mengacungkan sebuah
surat dari bahan tebal warna salmon. “Ada surat! Tapi gue mau pipis. Nih!”
Surat itu dilemparkan ke atas lantai, lalu Harry masuk dan pipis.
Maulana membuka sabuk pengaman dan memungutnya.
“Dari pembajak,” gumam Maulana.
Semua orang kini tertarik.
“Gimana caranya? Semua orang ada di ruangan ini. Enggak ada yang masuk
ke lavatory dari tadi,” ungkap
Randian. Ikut melepas sabuk pengaman dan membaca surat itu.
Kirim 9 juta dolar di dalam kantung
fitnes ke alamat di bawah ini. Masukkan ke kantung sampah dan clear area selama
lima menit. Setelah itu mesin akan menyala.
“Ada alamat di bawahnya,” ungkap Maulana. Dia memberikan surat itu
kepada Pamungkas.
Pamungkas melihatnya dan mulai menangis.
“Kenapa?”
“Ini alamat rumah saya, GOBLOK!”
* * *
Satu-satunya komunikasi yang bisa dilakukan adalah melalui radio.
Pamungkas berbicara dengan flight
dispatcher, mengatakan mesin akan dinyalakan jika 9 juta dolar itu
dilemparkan ke tong sampah di depan rumahnya. Ketika menginformasikannya,
Pamungkas seperti mayat hidup. Pamungkas tak peduli pesawat ini jatuh, meledak,
selamat, apa pun. Pamungkas muncul di kokpit tanpa nyawa. Dia membawa kertas
berisi pesan terbaru pembajak, dan hanya bisa mengomunikasikannya dengan flight dispatcher melalui radio di dalam
kokpit.
Ketika Pamungkas keluar dari kokpit, ketinggian pesawat di bawah 12.000
kaki. Laurence tengah berkonsentrasi menjaga pesawat agar meluncur dengan
seimbang, berputar-putar di atas Tarakan.
Menurut Laurence, hal itu patut dicoba. Berita tentang The Flying Paradise sudah menyebar di
media. Tak mungkin ditutupi lagi dari siapa pun. Bahkan jika pesawat betulan
mendarat darurat di Tarakan, koresponden setiap media di Kalimantan Utara akan
berkumpul di sini. Bisa jadi sekarang mereka sudah mengambil gambar pesawat
berputar-putar di atas Tarakan.
Yang artinya, mungkin saja maskapai mau membantu mengeluarkan 9 juta
dolar sesuai arahan pembajak.
Harga pesawat ini 395-an juta, belum termasuk biaya interior yang mahal.
Kalau pesawat bisa mendarat dengan selamat menggunakan roda belakang (tanpa bom
meledak), pesawat bisa digunakan lagi dan menghasilkan uang untuk menutup
kerugian pembajakan. Risikonya hanyalah terkuaknya kebobrokan maskapai yang
bisa menyebabkan satu negara kacau.
Tapi, kan kalau permintaan kedua dipenuhi, yaitu merestrukturisasi
pemangku jabatan di Yavadvipa Jet, seharusnya publik bisa percaya bahwa
maskapai charter ini mau berbenah.
Malah, menurut Laurence, ini bisa meningkatkan kepercayaan konsumen baru.
(Meski mungkin akan ditinggalkan konsumen lama, karena kebanyakan konsumennya
memang orang-orang kotor ini.)
Laurence menggaruk selangkangannya. Untuk kesekian kali. Dan, dia mulai
mengamati sebuah persamaan. Mike juga melakukannya.
Meski Mike tampak lebih kalem sekarang, setelah kena gelombang depresi
berkali-kali, Mike tak hentinya menggaruk selangkangan. Kadang pantatnya,
kadang di bagian kelaminnya. Sesuatu yang juga dirasakan oleh Laurence pada
saat yang sama.
“Itchy?” tanya Laurence.
Mike mendengus kesal. Tanpa pikir panjang, Mike melepas kaitan ikat
pinggang, membuka kancing celana, dan menarik ritsleting turun. Karena sudah
tidak kuat, dia mengeluarkan kemaluannya keluar.
Laurence membelalak sejenak melihat kemaluan itu. Kemaluan orang yang
dicintainya. Ingin rasanya menoleh ke arah lain, tetapi percuma. Mike sudah
tahu Laurence mencintainya. Toh, tujuan Mike pasti ingin menunjukkan sesuatu
yang berkaitan dengan garuk-garuk itu.
“Apa ada kutu, ya?” gumam Mike penasaran. Dia menarik kepala
kemaluannya, lalu mengamati area di pangkal penis.
Laurence menelan ludah. Akhirnya memalingkan wajah ke luar, demi
menguasai dirinya sendiri. Selama berminggu-minggu, Laurence mendambakan
pelukan seksi bersama Mike. Namun karena rasa cinta, dia tak berani
membayangkan yang bukan-bukan.
“Coba kamu cek,” ujar Mike. “Ada yang salah enggak?”
Laurence awalnya ragu. Namun dia tahu Mike tidak bermaksud mengajaknya
melakukan hal tak senonoh. Fakta bahwa keduanya menggaruk-garuk selangkangan
sedari tadi, bisa menjadi indikasi masalah baru di pesawat.
Namun karena Laurence terlalu lama berpikir, Mike pun melepas sabuk
pengaman dan beranjak dari kursinya. Dengan kemaluan masih tercuat keluar, Mike
berdiri mendekati Laurence. “Tolong lihat lebih dekat, apa ada kutunya? Sebab
kalau iya, berarti kamu pun ada. Karena, saya perhatikan kamu garuk-garuk
juga.”
Laurence mendekatkan wajah ke kemaluan Mike. Penis itu terkulai layu,
dan batangnya sedang dibetot menjauh agar Laurence bisa melihat dengan detail
rambut kemaluan Mike. Tidak ada kutu yang terlihat oleh mata telanjangnya.
Namun Laurence melihat bercak-bercak merah di beberapa titik di antara rambut
pubis Mike.
Rambut pubis ini berwarna hitam,
keriting, dan sungguh indah, batin Laurence, nyaris keluar fokus.
“Ada bentol-bentol kecil-kecil,” jawab Laurence.
Mike memasukkan lagi kemaluannya ke dalam celana. “Berarti memang ada
kutu. You should check yours. Saya
hubungi dulu Maulana untuk mengecek apakah ini hanya kita berdua, atau satu
pesawat kena juga. Kalau semua kena, berarti pembajaknya yang menginvestasikan
kutu.”
Laurence mengangguk. Namun tak bersedia mengecek kemaluannya di depan
Mike karena malu. Gimana, ya? Kalau bersama orang yang dicintai, tuh … beda.
Sebelum Mike menghubungi siapa pun, sebuah pesan masuk kembali ke dalam
kokpit.
“Dari hijackers,” ujar Laurence.
Mike mengerutkan alisnya. “Mereka masih mengirim komunikasi lewat ini?”
“Sepertinya begitu.”
“Apa kita masih punya power
untuk nge-print pesan?”
Laurence mengangkat bahu. Dia menunggu Mike memberikan aba-aba untuk
mencetak pesan. Memang, ada suplai tenaga dari RAT, tetapi dibandingkan
mencetak pesan, lebih baik menggunakan daya untuk menggerakkan hidrolik
pesawat. Dalam waktu dekat, pesawat harus mendarat. Mike membutuhkan semua
fungsi hidrolik bekerja dengan baik.
Hidrolik menggerakkan aileron,
elevator, dan rudder. Ini adalah
tiga fungsi penting menggerakkan pesawat di udara, baik itu berbelok, mengubah
orientasi arah, hingga naik-turunnya sebuah pesawat. Kalau satu saja dari tiga
trio ini tidak berfungsi, bisa gawat. Kalau tiga-tiganya tidak berfungsi karena
gangguan dalam sistem hidrolik, semua harus mulai membaca kalimat syahadat atau
menulis surat wasiat.
“Oke, cetak,” ujar Mike mengambil risiko. “Seberapa besar sih daya buat
mencetak kertas?”
Laurence mencetaknya. Pesan itu singkat.
Terima kasih atas kirimannya! Silakan
restart mesinnya.
Mike dan Laurence berpandangan. Ketinggian pesawat sudah mendekati 8.000
kaki. Sebentar lagi pesawat akan melakukan proses approach ke Bandara Internasional Juwata, Tarakan. Mike tidak tahu
bagaimana persiapan di bandara dilakukan. Yang pasti, semua traffic dihentikan. Pemadam kebakaran
dan medis disiapkan, tetapi foam atau busa di atas landasan belum tentu
disediakan.
Mike mengangguk, meski agak ragu. “Oke …. Fourth attempt.”
Mike dan Laurence kembali membaca ceklis dan melakukan penyalaan ulang
turbin mesin.
….
Mesin menyala dengan sempurna. Pesawat, dapat terbang kembali.
* * *
Di common room, penemuan soal
kutu kemaluan lebih maju lagi dibandingkan di kokpit. Semua orang sudah
menyadari itu. Bahkan sudah dengan lugas menuduh Harry pelaku utamanya.
“Masa gara-gara gue enggak dapat kutu jadi gue mata-matanya?!” sergah
Harry enggak terima.
Kristian yang menuduk Harry dengan kuat. “Karena, pertama, kamu
bolak-balik toilet terus. Selain mungkin kamu nyimpan kutu di toilet, kamu juga
yang nyimpan pesan dari pembajak itu. Siapa lagi yang rajin masuk toilet selain
kamu?! Dan kedua, kamu enggak punya jembut! Pasti kamu sengaja cukuran biar
kamu enggak kena.”
Harry membelalak tak percaya. “Gue enggak punya pubic hair karena gue supermodel!”
“Itu bukan alasan!”
“Dari mana Mas tahu Harry enggak ada jembutnya?” tanya Randian, bingung.
Kristian enggak menjawab alasannya. Kristian malah memerintahkan, “Cek
aja!”
“Memang enggak ada!” balas Harry sambil melorotkan celananya dan
memamerkan ke semua orang kemaluannya yang bersih dari rambut. Harry melakukan waxing total. Tunas-tunas kecil rambut
pubis pun enggak ada. “Nih! Emang kemarin siang gue manscape di Seattle. Tapi bukan berarti gue nyebarin kutu!”
Semua orang memandang takjub kemaluan Harry yang dipamerkan. Sampai
akhirnya semua sadar tak seharusnya mereka mengagumi kejantanan itu.
“Selain kutu dan HIV, apa lagi yang kamu sebarkan?” desak Kristian tanpa
ampun.
“Gue enggak HIV!” balas Harry tak terima.
“Dari mana kamu tahu Harry HIV?” tanya Randian, masih belum bisa
mengikuti pembicaraan Kristian. “Memangnya Harry juga ngentot sama banyak orang
kayak Maulana?”
“Seperti yang sudah saya bilang, saya enggak HIV. Saya melakukan tes VCT
bulan lalu karena saya sexually active.
Status saya selalu non-reaktif!” balas Maulana, jengah karena terus-menerus
disudutkan gara-gara isu HIV positive
dari sang pembajak.
“Yang lonte di sini, kan tinggal Harry. Berarti dia yang HIV!” tuduh
Kristian, tanpa ampun. Satu-satunya obyektif Kristian adalah membebaskan Jordan
dari borgol. Dia tahu persis kekasihnya bukan penyebar info rahasia di media.
Jordan diborgol karena orang-orang marah, bukan karena Jordan mata-matanya.
“Bukan saya membela Harry, tapi enggak selamanya frekuensi partner dan
aktivitas seksual menentukan terjangkitnya HIV,” terang Maulana, memberi
pengertian. “Karena saya rajin ngecek, saya jadi tahu bahwa penyebarannya
enggak sebatas menjadi ‘lonte’.”
“Kalau gitu jelaskan alasannya, ketika semua orang kena kutu jembut, dia
enggak kena!” balas Kristian, sambil menggaruk selangkangannya, karena gatal
lagi.
“Karena gue enggak punya jembut, Bangsat!” Harry menarik lagi celananya.
“What a bumtoucher!”
Pamungkas yang sedang kelelahan dan terkapar di atas sofa, merasa
terganggu dengan keributan itu. Dia berjalan dengan sempoyongan mendekati meja,
mengeluarkan kunci borgol dari dalam jasnya. “Nih, nih, nih! Borgol aja si
Harry, biar kamu diam. Berisik, tahu!”
“Jadi gue mata-mata?!” Harry membelalak terkejut sambil memegang
pipinya.
“Ya! Kamu mata-mata!” sahut Pamungkas berang, menghempaskan tubuh ke
atas sofa. “You know what, sejak awal
Harry adalah mata-mata. Puas?”
Kristian mengerutkan alis. “Maksudnya?”
“Siapa lagi yang paling punya motif buat ngancurin pesawat ini selain
dia?” Pamungkas memutar bola mata. “Pacarnya mati gara-gara maskapai, dan
maskapai cuma ngasih tunjangan aja ke keluarga, tanpa ngumumin ke media. Namanya
Joey—”
“Jangan bawa-bawa Joey!” sahut Harry tiba-tiba. Semua orang di ruangan
kaget karena karakter Harry berubah total. Napas Harry mendengus seperti
kerbau. Dari sudut matanya, keluar lagi air mata. “Jangan bawa-bawa Joey.”
“Alaaah …! Udah ngaku aja. Kamu dendam sama maskapai atas kematian Joey
yang enggak jelas. Lalu kamu ngebajak pesawat ini buat balas dendam. Udah
kebaca dari awal kamu melakukan ini semua, tapi saya diam aja karena saya masih
enggak mau terima fakta itu. Kamu satu-satunya orang di sini yang tahu alamat saya.”
Kristian, yang sedari tadi ngotot ingin memborgol Harry, malah menjadi
ragu. “Tapi gimana caranya Harry melakukan semua ini? Ini aksi yang besar.”
Pamungkas mengangkat bahu. “Yang ngelakuinnya orang lain, tapi Harry
sebagai umpannya, kali? Dia, kan paling cocok buat dijadiin mata-mata. Siapa
sih orang yang bakal curiga ama dia?”
Semua orang, dalam hati mereka, setuju. Harry adalah orang terakhir yang
akan dicurigai sebagai mata-mata. Tak peduli apakah Harry mastermind pembajakan ini atau hanya diperalat pembajak di luar
sana. Lebih sangat mungkin berinvestasi kepada Harry dibandingkan penumpang
yang lain. Karena orang tak akan curiga, Harry bisa bertahan hingga pembajakan
berakhir. Baca saja semua novel Dan Brown, orang paling tak mungkin menjadi
penjahat, adalah penjahatnya.
Harry’s ignorance is bliss.
Kini semua orang terdiam. Termasuk Harry yang masih tersedu-sedu.
“How?” tanya Kristian,
kepada Harry.
“What the fuck, Mate?!” balas
Harry, murka. Ini adalah ekspresi frustrasi yang akhirnya ditunjukkan Harry
sepanjang penerbangan. “Gue. Bukan. Mata-mata!”
“Meski yang paling aneh …,” ujar Pamungkas tetap bicara, “mengapa motif
Harry tidak tercatat di catatannya Jordan.”
Semua orang menatap Jordan. Penulis itu hanya menggelengkan kepala
kecil, tak bisa mengatakan apa-apa. Dia masih syok pada bocornya tulisan di
laptop dan bagaimaan semua orang menghujatnya di ruangan.
“Si Joey itu—” mulai Pamungkas lagi, tetapi dipotong oleh Harry.
“Jangan bawa-bawa Joey!” penggalnya nafsu. “Dan jangan pernah ngomong sama
gue lagi!” Harry menunjuk Pamungkas dengan telunjuknya. Tangan itu bergetar,
seperti gunung berapi yang siap meledak dari dalam. “Bertahun-tahun gue harus
sembuh dari trauma kehilangan Joey. Gue harus ngadepin kenyataan bahwa Joey
udah pergi, dan maskapai enggak ngasih kejelasan apa-apa. Gue ikutan semua
terapi, gue ikutan semua program pemulihan mental, gue bahkan maksain buat
tetap terbang padahal gue benci terbang!
“Malah, setelah gue tolak jutaan kali tapi kalian maksa-maksa, gue
terima job jadi brand ambassador di sini! Karena apa? Karena gue kuat ngadepin masa
lalu gue! Karena gue hargain usaha maskapai buat memperbaiki semua
kesalahannya. Untuk apa gue hancurin maskapai ini, hah?!”
“Kerjaan ini ditawarkan?” tanya Kristian.
“Iyalah!” sungut Harry. “Namanya juga maskapai bobrok. Kalau mereka tahu
gue bakal koar-koar di media soal keanehan maskapai, ya mereka bikin gue jadi
bagian dari mereka.”
“Kenapa kamu terima?” tanya Maulana.
“Gue juga awalnya kagak mau! Tapi kematian Joey ngajarin gue buat
ikhlas. Buat move on. Buat tetap jadi
diri gue sendiri.” Harry mulai menutup wajahnya dengan lipatan tangan. Dari
bahunya yang berguncang, semua orang tahu supermodel itu berkata jujur. “Dan
juga karena Daddy pedekate ama gue supaya gue mau jadi brand ambassador. Gue dibikin percaya bahwa dedikasi gue ke
maskapai bisa bayar kematian Joey yang enggak adil. Dan bahwa gue bisa bantu
menegakkan keadilan.”
Semua orang menoleh ke arah Pamungkas. Manager marketing itu hanya memutar bola matanya lagi. “Ya, ya …. Karena
ini orang susah banget diajak kerja sama, jadinya kita paksa buat gabung. Terus
akhirnya dia mau. Mungkin karena maskapai masih enggak ngasih jawaban jelas,
dia bikin pembajakan ini untuk menekan maskapai—”
“What the fuck?! I’ve changed!” umpat
Harry, mukanya memerah. “Butuh lima tahun sampe gue bisa jadi diri sendiri
lagi. Bisa jadi the best version of
myself, dan elo dengan mudahnya gunain masa lalu gue buat nuduh?”
Tak ada yang berbicara di common
room selama beberapa saat. Randian akhirnya mengangguk, “Well, saya harus setuju sama Pak
Pamungkas. Kalau memang kematian kekasihnya itu benar, dialah yang motifnya
paling kuat.”
“Fuck you!” Harry
mengacungkan jari tengah.
Kristian dengan berat hati mengambil kunci borgol dan melepaskan Jordan.
Dia lalu berjalan ke arah Harry, bermaksud memborgol Harry di sofanya, tetapi
Pamungkas menampik.
“Jangan di sini. Borgol di ruang meeting
kecil aja,” titah Pamungkas. “Biar enggak berisik.”
Harry membelalak. “Sama mayat Mora?! No!
Di sini aja! Kenapa Jordan boleh di sini tapi gue balik lagi ke sana?!”
Namun sang daddy terlalu
mabuk, lelah, tertekan, dan kehilangan simpati gara-gara insiden pembajakan
ini. Dia enggak peduli lagi pada apa pun. Pada Harry, maupun pada Maulana.
Pamungkas hanya diam, menenggak birnya, lalu menatap puluhan masker oksigen
yang masih saja menggantung di dalam kabin.
Harry akhirnya diborgol di ruang meeting
kecil. Harry menjerit-jerit ketakutan karena disatukan dengan jenazah Mora. Meski
mengaku sudah pulih, kemungkinan besar Harry masih trauma pada mayat. Pintu
ruang meeting ditutup supaya suara
jeritan Harry tidak membahana keluar.
Pada saat yang sama, semua penumpang dapat mendengar mesin pesawat kembali menderu. Tanda sabuk pengaman kembali menyala. Setelahnya, Mike berbicara dari interkom.
“Quick announcement. Dana untuk pembajak sudah dikirimkan, pesawat kembali dihidupkan. Kita akan kembali mengudara menuju Jakarta karena bandara di sana lebih siap menampung emergency landing dibandingkan Tarakan. Thanks."
To be continued ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar