-10-Droom
- Dinten Kadua Belas -
Hingga
hari ke-12 berakhir, aku tak pernah bertemu Dian lagi. Wajahnya terakhir
kulihat kemarin pagi. Setelah itu, sepanjang hari, aku kepikiran oleh kata-kata
Nunung. Namun hari ini kuputuskan untuk menanyakan langsung, siapa tahu Nunung
yang mengada-ada.
Sayangnya,
aku tak berhasil menemukan Dian di mana pun. Kamarnya kosong. Selain kosong
dari Dian, kosong pula dari pakaian-pakaian kotor yang menumpuk dan menggantung—seperti
yang kulihat tempo hari. Seolah-olah Dian sudah tak menetap di kamar ini lagi.
Nunung
menolak permintaanku untuk menceritakan lebih lanjut soal Dian. Dia hanya
mengulang-ulang perintah untuk berhati-hati, menjaga diri dari Dian.
Seolah-olah semua kebaikan Dian hanyalah kedok sebelum Dian melakukan sesuatu
yang berbahaya kepadaku.
Namun
sisa karantinaku tinggal dua hari lagi. Aku sudah harus menyetor 50 tulisan
sebelum aku memulai liputanku di desa ini. (Yang semakin sini semakin
kuragukan, apakah aku tetap perlu meliput soal Desa Cimenong?) Jadi, aku
menyibukkan diriku pada hari ke-12 karantina untuk menyelesaikan tulisan.
Kuselesaikan semua pada pukul 11 malam.
Lalu,
aku tertidur.
Dan aku
bertemu lagi mimpi aneh itu.
Rutinitasnya
masih sama. Aku ada di dalam peti mati, kamar tampak gelap dengan semua
perabotan terlihat jelas, lalu pintu terbuka, diikuti lima belas orang itu
masuk satu per satu ke dalam ruangan. Semuanya berdiri mengitari peti matiku,
menatapku lagi tanpa ekspresi. Bedanya, kali ini ada sekitar lima belas orang
lain, entahlah, yang masuk dan berdiri mengisi ruangan. Ada yang berdiri dekat
meja, sofa, nakas, meja rias, pintu ke balkon, pintu ke kamar mandi,
sudut-sudut ruangan, semua terisi penuh. Mereka pun sama-sama menatapku yang
terbujur kaku di dalam peti.
Selama
beberapa jam pertama, mereka hanya menatapku. Seperti biasa. Namun aku sedang
sebal kepada Thomas, sehingga aku melemparkan pandangan ke arah lain, sengaja tak
melihat sosoknya. Thomas memerkosaku tempo hari. Meski aku memberikan konsen,
tetapi dia menggunakan wujud yang bukan sebenarnya, jadi kuanggap saja dia
melakukan pemerkosaan.
Memangnya
ini Grindr, foto dan aslinya beda?
....
“Tolong,” kata Thomas tiba-tiba.
Ini
adalah malam pertama ada percakapan di dalam mimpi anehku ini. Dengan terpaksa,
aku menoleh ke arah Thomas. Namun, aku belum mengatakan apa-apa.
“Kami tidak suka mayat-mayat di sebelah.”
Mayat-mayat?
Ngomong
apa, sih?
Karena
aku tahu ini mimpi, aku merasa tidak takut kepada mereka. Malah, aku mulai
terbiasa dengan mimpi aneh ini. Seolah-olah sudah menjadi rutinitasku, sehingga
rasa ngeriku hilang total. Jadi kalau mereka bahas mayat-mayat, responsku ya
biasa-biasa saja.
“Ini bukan mimpi,” ujar Thomas kemudian.
Aku seperti
membelalak kaget, meski aku tahu mataku tidak memelotot seperti yang kukira.
“Pak Rizki tidak sedang bermimpi,” lanjut
Thomas.
Tiga puluh orang di dalam ruangan mengangguk.
Thomas menambahkan, “Pak Rizki sedang bangun sekarang. Bahkan, setiap malam, Pak Rizki tidak tidur. Pak Rizki sedang hidup saat ini. Pak Rizki tidak sedang berada di tempat tidur. Pak Rizki sedang berada di wujud asli tempat tidur yang dulunya terbakar ... lalu kayu-kayu jatinya yang bertahan diubah menjadi peti mati.”
To be continued ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar