Senin, 29 Maret 2021

Kerkhoven 09

-9-
Geestesziekte

 

- Dinten Kasabelas -

Aku tak tahu apa yang terjadi setelahnya.

Yang kutahu, aku terbangun keesokan paginya dengan tubuh lebih segar. Kali pertama membuka mata, aku langsung melihat langit-langit tempat tidurku yang disaungi kelambu. Napasku teratur, tubuhku bergelung dengan nyaman di bawah selimut. Sinar matahari pagi menyeruak masuk melalui kaca jendela yang tirainya disibak lebar-lebar.

Aku langsung waspada. Kupandangi area di mana aku melihat empat belas sosok hantu itu berdiri menatapku. Kuraba perlahan-lahan dengan tanganku, area di mana laki-laki berkumis itu baru saja menggagahiku dalam bentuk Dian.

Lalu, aku menoleh ke arah balkon. Di luar sana, Dian sedang melakukan sesuatu dengan salah satu tanaman.

Aku bangkit duduk. Kudapati tubuhku masih telanjang bulat sisa bercinta dengan sosok itu. Kutarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhku, lalu Dian pun masuk ke dalam sambil membawa beberapa kuntum bunga berwarna kuning. Aku tidak tahu ada bunga kuning di sana. Terlihat seperti bunga liar yang tumbuh di rerumputan.

“Eh, udah bangun, A?” sapa Dian ramah. Senyumnya manis dan lebar seperti semalam. Namun yang ini terasa lebih hangat. “Pusing enggak? Atau mual?” Dian mengganti bunga di dalam vas meja dengan bunga yang baru. Kemudian dia menyodorkanku air putih untuk diminum.

“Kamu ... kamu bukan—”

“Bukan,” jawabnya. Dan dia tersenyum lagi.

Aku masih ragu untuk menerima sodoran air minum itu. Jadinya malah kupandangi saja air di dalam gelas.

“Tenang aja , A. Saya bukan jurig, da.” Dian terkekeh akrab. “Ini minum dulu. Takutnya Aa dehidrasi.”

Aku ingat betul Dian tak pernah memanggilku selain dengan sebutan Aa. Kuputuskan bahwa Dian di depanku ini Dian yang asli. Jadi, kuambil gelas dan kuteguk sampai habis.

“Ada pusing-pusing enggak? Mun ada, entar saya beliin Panadol. Mau?” tawar Dian sambil meletakkan gelasku ke atas meja. Dia juga mengambil sepiring nasi goreng hangat yang entah kapan dimasaknya.

Aku menggelengkan kepala. “Kenapa Mas jawab ‘bukan’?” todongku. “Kenapa Mas langsung bahas jurig?”

“Makan dulu. Nanti saya cerita. Tenang .” Dia tersenyum lagi.

Aku menerima sodoran nasi goreng itu meski agak ragu. Kusuap dua kali seraya Dian membereskan sesuatu di sofa panjang. Sehelai selimut. Dian melipat selimut itu, merapikan bantal, lalu meminggirkannya ke ujung sofa.

“Semalam téh saya tidur di sini. Gapapa kan, A?” tanyanya.

Aku mengangguk, masih mengunyah nasiku.

“Aa enggak saya apa-apain, kok. Sumpah.” Dia bahkan menunjukkan satu tangan yang jemarinya membentuk huruf V.

“Jam berapa sekarang?”

Dian melihat ponselnya. “Masih jam setengah delapan, A. Nanti setelah ini, kalau Aa mau bobo lagi, mangga A. Cuma saya mah yakin Aa pasti pengin nanyain banyak hal ke saya. Bener teu?”

Aku mengangguk.

“Saya enggak bisa nyembunyiin lagi rahasia soal kamar ini, A. Maaf pisan ini mah mun Aa jadi keganggu gara-gara ditempatin di sini. Tapi kamar ini téh memang ... gimana, ya A ... ya gitulah.”

“Semalam Mas datang jam berapa?” tanyaku, sambil melanjutkan menyantap nasi goreng.

“Saya datang jam sebelas sesuai janji saya. Sebenernya saya téh pengin langsung datang seudah saya nelepon, tapi saya beneran enggak bisa ninggalin rumah tetangga saya itu. Mereka lagi berkabung jadinya saya perlu bantuin mereka meringankan beban, kayak bantu salatin, bantu kafanin, gitu-gitulah.”

Ada yang meninggal, ya?

Aku ingin bertanya siapa yang meninggal dan kenapa meninggal, tetapi aku lebih tertarik pada masalahku sendiri. “Terus, apa yang Mas temukan pas masuk ke sini?”

“Aa téh pingsan di atas lantai. Buligir.” Dian menarik napas. Wajahnya lebih serius sekarang, tetapi masih terasa hangat. “Dan mereka masih ada pas saya datang. Jadi ... jadi saya paham masalahnya apa, A.”

“Mereka?” ulangku.

“Iya. Yang berdiri di sana berombongan,” kata Dian, menunjuk area pinggir tempat tidur, di mana aku melihat empat belas sosok itu berdiri sambil menatapku tanpa ekspresi. “Ada lebih dari tiga puluh.”

“Tiga puluh?” ulangku.

Dian mengangguk. “Enya, A. Tiga puluh, kan? Biasana mah 33, A. Emang Aa lihat berapa?”

Ini menyeramkan, sih. Dengan jujur kukatakan, “Aku cuma lihat lima belas, termasuk ... termasuk yang—”

Dian mengangguk dan menyelaku. “Termasuk Thomas. Yang kumisnya tebel itu, pan?” Dian tersenyum lebar lagi, mencoba menenangkan dan memberi kode bahwa semua baik-baik saja. “Biasanya mereka ada 33, A. Kalau Aa cuma sedikit, berarti belum keluar semua. Kan mereka téh butuh energi buat tampil di depan Aa. Enggak gampang buat mereka nunjukin diri. Makanya mereka nyicil, A.

“Biasanya dimulai dari Thomas. Terus Eva sama Mila muncul. Terus yang lain ngikutin. Untuk muncul di depan manusia, harus ada energi si manusia yang melemah. Karena Aa terus-terusan diisolasi di sini, energi Aa téh semakin hari semakin lemah. Jadi mereka bisa muncul satu per satu.

“Sekali lagi saya minta maaf mun Aa jadi keganggu sama situasi ini. Saya pengin ngasih tahu Pak Kades kalau kamar ini enggak boleh dipake, tapi saya teu bisa ngalawan Pak Kades. Saya mah cuma suruhan. Ya udah, saya coba jagain Aa sebisa saya .”

“Ada apa dengan kamar ini?”

“Bukannya Thomas Kerkhoven udah cerita ke Aa?” tanya Dian. “Thomas bilang dia udah cerita semuanya.”

Mana aku tahu apakah itu semuanya atau tidak. Fakta bahwa dia menipuku dalam bentuk Dian saja membuatku kesal bukan main.

Tunggu, Thomas tidak bercerita soal apa yang kulakukan dengan dirinya kepada Dian, kan? Tentang aku bercinta dengan hantu itu, dalam bentuk Dian, dan bla-bla-bla memalukan lainnya? Apa Thomas juga cerita soal aku gay, lalu aku punya foto-foto Dian, lalu aku menikmati sosok Dian melakukan penetrasi ke tubuhku?

Mukaku langsung bersemu merah. Aku tak berani menatap Dian sekarang.

“Thomas juga menceritakan semua yang kalian lakukan di sini,” tambah Dian. (Mati saja aku! Mati saja!) “Dengan detail. Dari awal sampai akhir. Saya mah enggak apa-apa, A. Yang penting Aa baik-baik aja.”

Aku tetap tak berani menatap wajah Dian. Tak bisa membayangkan laki-laki berkumis itu bercerita dengan tenang soal diriku yang naksir Dian.

“Mereka bukan makhluk jahat. Tapi mereka merasa terganggu,” ungkap Dian jujur.

“Terganggu karena saya, Mas?” tanyaku, hati-hati.

“Bukan.” Dian mendesah. “Aa bakal tahu nanti.”

“Dari mana Mas bisa tahu semua ini? Dan gimana caranya Mas bisa ngobrol sama mereka santai-santai begitu? Memangnya Mas enggak takut?”

Dian terkekeh kecil. “Enggak, lah.” Dia menggaruk kepalanya sebentar. “Mereka ... mereka téh memang cuma bisa ngobrol sama saya aja, A. Warga sedesa mah enggak bisa ngobrol ama mereka. Selain warga desa enggak berani, Thomas dan lain-lain enggak maueun.”

“Kok bisa gitu?”

“Karena saya,” Dian menelan ludahnya, “saya keturunan mereka. Mereka cuma merasa aman bicara sama saya.”

Ini mengejutkan, pikirku. Namun ini menjawab banyak pertanyaan seperti mengapa Dian bisa sangat ganteng untuk ukuran pemuda yang tinggal di desa. Aku yakin sekali ada darah orang Eropa di wajahnya, tetapi aku selalu menampik teori itu.

“Oke, karena Mas keturunan mereka, dan Mas bikin mereka merasa aman, kenapa mereka bisa merasa terganggu. Apa alasannya?”

“Aa bakal tahu nanti. Saya enggak bisa bilang apa-apa. Tapi ... tapi mungkin ada alasan kenapa Pak Kades harus menempatkan Aa di sini.”

“Memangnya kenapa?” Akhirnya aku mendongak, dengan cemas berharap Dian memberikan petunjuk.

“Nanti Aa bakal tahu sendiri,” ulangnya untuk kali ketiga. Pandangan Dian mulai sayu. “Aa masih sanggup buat karantina?”

Aku mengangkat bahu. Dan aku pun mengulang pertanyaanku, “Memangnya kenapa?”

Dian balas mengangkat bahu. “Yaaa ..., saya téh pengin Aa pergi dari sini, supaya enggak digangguin. Supaya aman. Tapi saya juga pengin Aa tinggal di sini buat ... buat ....”

“Buat apa? Aman dari apa?”

Giliran Dian yang menunduk sambil menggosok tengkuknya. Dian tampak bimbang. Sesekali dia mencuri pandang ke arahku, mempertimbangkan, lalu menunduk lagi dan memikirkan ulang. “Ya udahlah, pecat mah pecat saya,” gumamnya pelan, tetapi aku bisa mendengarnya. Dian menghela napas, “Tolong jangan bilang saya yang bilang ya, A. Tapi ada sesuatu di desa ini yang enggak beres. Kalau suatu hari Aa—”

Cekrek!

Pintu kamarku terbuka tiba-tiba. Dian langsung menghentikan kata-katanya. Kami berdua menoleh dan menemukan Nunung sudah berdiri di ambang pintu.

Nunung menatap Dian sambil mengerutkan alisnya, “Keur naon sia di dieu?” tanyanya, dalam bahasa Sunda yang tak kumengerti sama sekali.

Henteu ...,” jawab Dian gugup dan berdiri. “Teu nanaon.

Indit!” seru Nunung, tampak tak senang. Aku sama sekali tak mengerti apa yang Nunung katakan. “Indit, siah! Manéh téh kan teu menang aya di dieu. Ngadéngékeun teu ceuk si Bapak kumaha?

Enya ..., enya ...,” gumam Dian mengalah. Dian menatapku sebentar, lalu berjalan keluar dari kamar. Dian tak menoleh lagi setelah dia masuk ke lorong dan lenyap dari pandangan.

Karena aku tak mengenakan sehelai benang pun, tubuhku masih terbalut oleh selimut yang kulilitkan ke seluruh tubuh, aku tak bisa turun dan menyusul Dian. Pun menghampiri Nunung yang mulai mengeluarkan sapunya. Namun aku tetap bertanya kepada perempuan itu, “Ada apa, sih?”

Nunung menoleh. Akan tetapi, baru menoleh sebentar, dia langsung menundukkan lagi pandangannya. Tak berani melihat wajahku. “Ah, bukan apa-apa, kok Pak.”

“Kenapa Dian langsung pergi? Dia disuruh sama Pak Kades?”

Nunung menggeleng. Dia malah bertanya, “Bapak gapapa, kan?”

“Maksudnya?”

“Bapak enggak diapa-apain sama si Dian, kan Pak?”

Aku mengerutkan alis. “Dia udah bantu saya banyak banget justru. Dia udah nolongin saya beberapa kali. Emang kenapa?”

Nunung mulai mengelap meja. Tanpa berani menoleh ke arahku, dia menjawab, “Saya kira Bapak sudah tahu.”

“Tahu apa?”

Badanku mulai merinding. Seolah-olah sebuah aliran listrik meremang ke setiap pembuluh darahku, bersiap mendengar fakta yang tak ingin kudengar sebelumnya. Aku mulai meragukan penilaianku kepada Dian, meski Nunung belum mengatakan apa-apa.

Nunung menarik napas panjang dan menjawab, “Dian kan kena gangguan jiwa, Pak. Dia téh ... dia téh orang gila.”



To be continued ....


<<< Part 08  |  Kerkhoven  |  Part 10 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Nude 33

  ssendrawkwA emitefiL .33     Pada suatu pagi lima tahun lalu, Miza bangun lebih pagi dari biasanya meski semalaman tak bisa tidur. D...