Senin, 29 Maret 2021

Kerkhoven 08

-8-
Gemeenschap

 

- Dinten Kasapuluh -

Malam ini, aku meminta Dian untuk datang ke kamarku.

Bukan. Bukan untuk mengaku bahwa aku memotretnya diam-diam, bukan untuk memintanya berpose agar aku bisa memotret lagi, bukan pula untuk melakukan sesuatu yang tidak senonoh. Aku tetap merasa perlu menceritakan soal apa yang kualami kepadanya. Pun untuk memberi tahu bahwa kemarin aku mencoba menemuinya, tetapi dia sedang tidur. (Barangkali CCTV mengira aku sedang akan kabur dari kamarku.)

Rencananya aku ingin menemui Dian sejak pagi, tetapi hari ini hujan mengguyur Desa Cimenong sepanjang hari. Aku mencoba menelepon melalui telepon tua itu, tak ada yang mengangkatnya. Kucoba Whatsapp Pak Munarman, sampai sore belum dibalas juga. Melalui Whatsapp, Dian sepakat untuk datang ke kamarku pukul delapan malam. Katanya, dia harus melakukan sesuatu di desa begitu hujan selesai. Jadi, aku menghabiskan waktu yang kupunya untuk menyelesaikan artikelku saja.

Pukul tujuh malam, pintu kamarku diketuk.

Hujan sudah lama berhenti. Bahkan sebelum magrib, sudah tak ada air menetes dari langit. Namun ketika kubuka pintu, Dian tampak basah kuyup. Dia tersenyum manis sambil mengacak-acak rambutnya yang kini basah.

“Maafkan. Tadi di jalan hujan,” sapanya.

“Oh. Gapapa. Bentar, saya ambilkan handuk, ya.”

Ini bukan pertanda bagus. Ternyata Dian yang basah kuyup tampak lebih seksi. Kepalaku langsung memutar memori pada hari pertama tiba di desa ini. Ketika aku berjalan membuntuti Dian di bawah hujan deras, lalu aku mengamati setiap titik air menempel di permukaan kulitnya.

Dian masuk ke kamar mandi untuk mengelap kepala dan tubuhnya dengan handukku. Ketika keluar, Dian sudah telanjang lagi, dengan sehelai handuk melilit di pinggangnya. Tubuhnya lembap, rambutnya masih basah. Dan aku sudah mengantisipasi hal tersebut dengan menyiapkan bajuku untuk dia pakai. Kuhamparkan di atas tempat tidur.

“Pakai baju saya aja, Mas. Gapapa,” kataku, memunggunginya sambil pura-pura sibuk dengan ponsel. Padahal aku sedang menghindari visual sosok jantan yang indah itu.

“Cukup emang?” tanyanya. Aku tidak menjawab pertanyaan itu.

Ternyata, tak ada yang cukup. Semua bajuku kekecilan di tubuh Dian yang besar dan jangkung. Selain tubuhku lebih kecil dari Dian, aku juga gay. Yang berarti semua pakaianku ngepas badan. Bukan baju-baju longgar yang sering dikenakan cowok straight.

“Saya pakai baju saya yang di sebelah saja,” ujar Dian sambil berjalan ke arah pintu. Kemudian, dia berhenti. “Saya baru teringat. Semua baju saya sudah diambil Nunung untuk dicuci.”

Dia berbalik. Mengangkat bahunya bingung.

“Mungkin saya seperti ini saja,” katanya, tetiba duduk di sofa panjang. “Tidak apa-apa kan, Pak?”

Aku membelalak kaget. Tentu saja apa-apa, batinku. Karena nanti aku jadi terangsang lagi. “Enggak apa-apa, Mas.” Aku mencoba tersenyum dan berbalik ke arah Dian.

Tak dapat kupungkiri, Dian semakin memesona. Dia duduk di atas sofa dengan manis. Kedua tungkainya agak membuka sedikit, layaknya laki-laki kalau duduk pakai celana. Namun karena dia mengenakan handuk, kepalaku jadi fokus ke apa yang ada di antara paha itu.

Tidak, Rizki. Tidak boleh. Dan tidak bisa juga pakai ponsel untuk memotret apa pun di sini.

“Jadi, Pak Rizki ingin bercerita soal apa?” tanya Dian, serius.

Aku mencoba menguasai diriku sendiri. Sebisa mungkin aku menatap wajahnya. Bukan ke dadanya, bukan ke perutnya, bukan ke selangkangannya. “Soal ... soal sejarah rumah ini.”

“Sejarah rumah ini?”

Aku mengangguk. “Kayaknya saya diganggu hantu deh, Mas. Saya enggak masalah, sih. Toh hantu-hantunya enggak melakukan sesuatu yang berbahaya. Tapi saya jadi ingin tahu, apa saya mengganggu mereka sampai-sampai mereka muncul terus? Kalau saya tahu sejarah tempat ini, mungkin saya bisa lebih paham. Dan tolong jangan ngeles lagi. Yang saya maksud adalah hantu di kamar ini, bukan di pohon beringin atau di mana pun.”

“Baiklah,” jawab Dian tenang. Dia mengangguk paham, matanya masih menatapku dengan serius. Dia lalu menjawab, “Memang tempat ini berhantu.”

Aku cukup terkejut karena Dian tidak berkelit lagi seperti sebelumnya.

“Kamar ini adalah pusat dari seluruh kerajaan hantu yang ada di gedung ini,” lanjut Dian.

Sial.

Apa aku bisa request ganti kamar sekarang? Sudah hari kesepuluh, sebenarnya. Sisa empat hari lagi.

Dalam kondisi seperti ini, pun dengan muka serius macam Dian, aku langsung percaya saja semua yang dia katakan. Mungkin pada akhirnya Dian lelah berkelit soal hantu. Lelah membuatku berpikiran positif bahwa tak ada apa-apa di sini. Padahal nyatanya, memang ada apa-apa. Memang semua penampakan itu nyata.

Dian melanjutkan jawabannya, “Ini kamar utama keluarga Kerkhoven. Tidak pernah diisi setiap hari, tetapi selalu diisi keluarga itu setiap ada anggota keluarga yang beristirahat di sini. Sejak keluarga Kerkhoven menetap dalam masa berkembangnya kebun teh, rumah ini ramai dikunjungi. Hingga suatu hari, ketika beberapa keluarga Kerkhoven sedang menetap di sini untuk akhir pekan, bersama dengan bawahannya—baik itu orang Belanda atau orang pribumi, rumah ini terbakar.

“Semua orang mati dalam kebakaran itu. Satu-satunya yang selamat adalah rumah ini. Rumah ini tetap berdiri kokoh dan tegap. Paling ... genting-gentingnya saja yang berjatuhan. Menurut warga desa, sering ada penampakan laki-laki dan dua wanita berkeliaran di sekitar lorong—”

“Nah, iya! Itu!” penggalku antusias. “Saya juga lihat mereka, Mas!”

Dian tersenyum kecil sebelum melanjutkan, “Mereka keluarga yang terbakar itu. Mereka sering terlihat menghantui gedung ini, bahkan setelah gedungnya berubah fungsi menjadi kantor desa. Dukun-dukun setempat sepakat bahwa kamar ini adalah sumber semua penampakan itu. Sehingga kamar ini ditutup agar tidak ada penampakan yang meresahkan warga.”

“Lalu kenapa diberikan kepada saya?”

“Jiwa-jiwa yang terkurung di sini tak pernah punya niatan jahat kepada siapa pun. Mereka hanya ingin memiliki gedung ini sepenuhnya. Tidak pernah mereka menyakiti atau melukai manusia. Malah manusianya yang menyakiti satu sama lain di sini. Mereka tidak suka.”

Aku terpukau pada lancarnya Dian menjelaskan ini semua. Seperti dugaanku, Dian pasti tahu banyak tentang tempat ini. Dia hanya tak ingin membuatku panik dengan cerita hantu, sehingga dia selalu berkelit dengan pertanyaan langit-langit bocor atau kecoa. Mungkin dia rasa ini saat yang tepat untuk membeberkan semuanya. Apalagi aku sudah bertemu para “jiwa” tersebut beberapa kali. Setidaknya dalam mimpi aneh itu.

Sejak Pak Munarman memberiku kamar ini, aku tahu Dian tak setuju. Aku masih ingat hari pertama, ketika aku asyik menyantap pisang goreng bersama kepala desa, Dian tampak tak terima. Bahkan hingga mengantarku ke dalam kamar, Dian seperti mempertanyakan keputusan Pak Munarman. Fakta bahwa dia sekarang tinggal di kamar sebelah, seperti mengindikasikan bahwa dia menjagaku. Atau ketika aku pingsan, dia adalah orang yang menolongku. Seolah-olah dia tahu bahwa semua ini akan terjadi.

Aku tak bisa menyalahkannya.

“Lalu kenapa saya ditempatkan di sini?” tanyaku.

Dian menggelengkan kepala. “Itu saya tidak tahu. Itu keputusan Bapak Munaman.”

“Apa tidak ada tempat isolasi lain selain di sini?”

“Saya juga tidak tahu.”

Tidak tahu, ya? Kukira dia tahu.

“Pak Rizki jangan khawatir,” lanjut Dian, “hantu-hantu itu tak pernah mengganggu siapa pun. Mereka—”

“Memang enggak, kok,” selaku, ingin menyetujui poin Dian. “Mereka enggak ganggu sama sekali. Meski sering banget masuk ke mimpi, tapi enggak ngapa-ngapain. Dan saya juga biasa aja sebenarnya. Saya cuma pengin memastikan apakah saya berhalusinasi atau memang itu semua ada.”

“Itu semua ada,” tegas Dian, serius.

Agak ngeri juga sih dengan Dian malam ini. Aku menduga dia sudah ingin sekali memindahkanku dari sini, tetapi dia enggak punya kuasa untuk melakukan itu. Aku memahami sudut pandangnya. “Oke, oke. Saya udah paham, Mas.” Aku tersenyum, mencoba mencairkan suasana. “Sekarang nyantai aja, hehe. Saya udah legaan, kok.”

Dian pun mengangguk. Dia tersenyum manis sekali ke arahku. Menatap mataku agak lama ...

...

Eh, bukan. Cukup lama sampai-sampai aku penasaran apa yang sedang dia pikirkan soal aku.

“Kenapa?” tanyaku.

“Itu saja?” tanyanya, tergelak kecil masih sambil memandangku dengan tatapan ganteng.

Wajahku memerah. “A-ada lagi?” tanyaku balik, bingung.

Dian diam sejenak sebelum akhirnya berkata. “Saya tahu, kok,” katanya.

Aku membelalak kecil.

Tahu? Maksudnya tahu? Tahu apa?

“Saya tahu ada yang memfoto saya kemarin,” lanjutnya to the point. “Atau kemarinnya lagi. Dan orangnya pakai foto itu untuk onani. Enggak sengaja saya lihat dari jendela balkon waktu saya menyiram pot-pot bunga di luar sana kemarin malam.” Dian masih saja tersenyum.

Di lain sisi, aku membeku. Ketakutan. Merasa sangat malu karena tepergok.

Aku tak bisa menggerakkan tanganku. Jantungku berdegup kencang, kali ini untuk alasan ingin mati. Ya. Aku ingin mati. Aku malu banget. Kalau harus mati saat ini juga, di sini, dengan cara apa pun, aku rela melakukannya. Tanganku dan sekujur tubuhku langsung basah oleh keringat dingin. Seperti aku kesemutan sebadan-badan. Kesetrum oleh rasa malu.

Aku ingin sekali meminta maaf dan berjanji tak akan melakukannya lagi, kalau perlu menghapus semua foto itu selamanya, di depannya sekarang juga. Namun meski mulutku terbuka, tak ada kata-kata keluar dari mulutku.

“Enggak apa-apa,” ujar Dian dengan tenang dan manis. Senyumnya tak pudar sedikit pun. Dan itu bukan senyum jahat atau licik. Itu senyum manis yang menenangkan.

“Ga ... gapapa?” tanyaku terbata-bata, dengan suara tercekat, seperti suara cecurut mungil.

“Saya bisa paham,” ujarnya. Dian lalu bangkit dan menghampiriku ke tempat tidur. Dia langsung duduk di sampingku. Tubuhnya masih terasa dingin dan lembap, mungkin karena dia kehujanan barusan. “Apalagi saya juga merasakan perasaan yang sama.”

Aku mengerutkan alis. Tak paham.

Aku tak menjawab apa-apa. Aku hanya menatap wajah Dian dari dekat, membeku tak bisa bergerak. Yang bisa kudengar saat ini hanyalah suara detak jantungku sendiri. Aku begitu tersihir oleh sempurnanya wajah Dian di depanku. Seolah-olah tak ada cacat di sana. Kulitnya mulus, menggoda, dengan wajah tampan yang membuatku ingin membelainya.

Tak ada kata-kata apa pun lagi setelahnya. Aku dan Dian saling berpandangan. Saling tersenyum. Susah payah aku menghalau mukaku yang bersemu karena malu.

Yang ada malah aku terangsang lagi. Secara langsung. Bukan dengan menggeser gambar seksi di ponsel. Sosok tampan pemuda kampung itu ada di depanku sekarang. Nyata. Bisa kupegang dan kugerayangi sepuasnya. Telanjang. Tak berdaya. Dan baru saja mengaku punya perasaan yang sama.

Lalu, bibir itu mendekati bibirku.

Dan kami berciuman.

....

Tidak hanya itu, kami bercinta di atas tempat tidur.

Setelah ciuman yang terasa sejuk, Dian berdiri di depanku, melepas handuknya. Aku bisa melihat kemaluan itu sekarang. Tampak nyata dan detail. Lebih gemuk dari perkiraanku, apalagi ketika kemaluan itu membesar dan mengeras.

Mungkin karena Dian orang kampung, dia tidak tahu foreplay. Namun aku tak peduli. Ketika Dian tiba-tiba mendorongku ke atas tempat tidur, menelanjangiku dengan mulutnya, dan memasukkan kemaluannya ke tubuhku, aku tak peduli. Aku tak membutuhkan itu.

Aku hanya membutuhkan tubuh Dian yang sempurna untuk menggagahiku.

Jadi aku hanya diam berbaring di atas tempat tidur, mengangkang, memberikan lubang pantatku kepadanya. Dian memasukkan kemaluannya perlahan-lahan, dilicinkan oleh ludah, lalu menggenjotnya dengan gentle juga. Aku hanya diam merasakan kenikmatan itu. Diam sambil memandangi indahnya Dian di hadapanku.

Mataku hanya fokus pada wajah Dian yang tampan.

Lalu, pada dada bidang dan perut kotak-kotak itu.

Atau bisep-trisep kokoh di lengannya yang memukau. Membuatku serasa dilindungi pangeran berkuda.

Aku terpesona oleh senyum Dian yang manis. Pun pada lembutnya dia mempermainkan tubuhku menggunakan kemaluannya.

Sekitar pukul delapan malam, setelah bermenit-menit pada posisi seks yang sama—tetapi aku tak peduli—akhirnya aku orgasme. Aku menyemburkan spermaku tanpa sedikit pun menyentuh kemaluan sendiri. Tahu-tahu tubuhku menggelinjang dan bergetar dan aku merasakan kepuasan tiada tara.

Setelah aku merasakan kenikmatan itu, Dian pun mengeluarkan kemaluannya dari tubuhku.

“Kamu mau dikeluarin juga?” tanyaku.

Dian menggeleng. “Tidak usah.”

Pada saat yang sama, teleponku berdering. Aku tergelak kecil sambil menatap Dian, bersyukur bahwa telepon dari siapa pun itu tidak mengganggu momenku bersama Dian. “Untung enggak nelepon di tengah-tengah barusan,” ungkapku.

Dian tersenyum lagi.

Aku duduk di tempat tidur, masih dalam kondisi kemaluanku mengeras dan mengacung menantang langit. Kuambil ponsel di atas meja dan kutemukan nomor tak dikenal memanggil.

“Halo?” sapaku setelah mengangkatnya.

“Halo? A? Ini Dian, A. Aduh, punten hape saya téh lowbat. Ini juga pake hape temen saya, terus minta nomor Aa ke Pak Kades. Saya bakal agak telat A ke Kerkhovennya gapapa, A? Masih belum beres bantuin satu tetangga saya, A. Lagi ada musibah. Punten nya, A. Punteeen pisan. Palingan saya bisa datang jam sepuluhan. Gapapa, A?”

Pluk!

Aku langsung menjatuhkan ponsel ke atas lantai. Tubuhku membeku. Mataku memelotot oleh rasa ngeri. Kemudian, dari belakang aku mendengar seseorang yang kukira Dian berkata, “Baru nyadar, ya?”

....

Perlahan-lahan aku menoleh ke belakang.

Sosok itu masih ada di sana.

Telanjang di atas tempat tidurku, berbaring menyamping sambil membelai kumisnya yang tebal.

....

Namun sosok itu bukan Dian.

Dia adalah laki-laki berkumis yang sering menyesap teh di balkon.

Di belakangnya, di samping tempat tidur, berdiri empat belas sosok yang kulihat dalam mimpiku semalam. Semuanya menatapku. Sama seperti mereka menatapku berjam-jam dalam mimpi.



To be continued ....


<<< Part 07  |  Kerkhoven  |  Part 09 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Nude 33

  ssendrawkwA emitefiL .33     Pada suatu pagi lima tahun lalu, Miza bangun lebih pagi dari biasanya meski semalaman tak bisa tidur. D...