Senin, 29 Maret 2021

Kerkhoven 07

-7-
Leger

 

- Dinten Kasalapan -

Kurasa memang ada yang salah dengan kamar ini. Kurasa aku tak boleh menyepelekan probabilitas bahwa ruangan ini berhantu, percaya atau enggak percaya.

Aku enggak percaya pada hantu. Film horor juga bukan genre favoritku. Namun dengan semua yang kualami, sebelum ada penjelasan ilmiahnya, aku harus memasukkan kemungkinan bahwa sesuatu dari dunia entah di mana mencoba berkomunikasi denganku.

Apa aku takut? Ya. Namun aku bukan takut pada hantu. Aku takut pada ketidakpastian. Aku takut pada ketidaktahuan. Aku takut pada apa yang bersembunyi dalam gelap, bukan gelapnya itu sendiri. Aku sudah mencoba bersikap tenang menghadapi segala jenis penampakan yang muncul akhir-akhir ini. Kalau perlu, aku menunggu kehadiran mereka agar kami bisa duduk bareng. Akan tetapi, sepanjang makan siang, tak ada penampakan apa pun.

Balkon sepi. Kursi panjang itu tidak diisi dua perempuan bergaun putih seperti kemarin.

Apa aku stres gara-gara karantina ini?

Salah satu temanku pernah membuat konten Efek Samping Karantina Akibat Pandemi. Dia menulis soal halusinasi. Entah tulisan itu ilmiah, atau dia comot dari sana-sini melalui pencarian Google. Namun saat ini, aku perlu mempertimbangkan pilihan itu. Bisa jadi aku hanya berhalusinasi saja. Kurangnya sosialisasi, ruang gerak, makanan bergizi, atau terlalu kentalnya aroma serai di ruangan, membuatku melihat hal-hal yang sebenarnya tidak nyata.

Pertanyaannya, mengapa selalu sosok yang sama yang muncul di depanku? Secara konsisten mengenakan baju yang sama, melakukan aktivitas yang sama, memengaruhi mimpiku .... Apa memang halusinasi bekerja seperti itu?

....

Pukul satu siang kuputuskan untuk mengunjungi Dian di kamar sebelah. Aku tak peduli jika aku melanggar aturan karantina. Aku perlu mengobrol dengan seseorang untuk menyampaikan apa yang terjadi kepadaku. Bahkan jika ini hanyalah halusinasi, Dian bisa meminta pertolongan medis, misalnya membawaku ke rumah sakit untuk berkonsultasi dengan dokter atau psikiater misalnya.

Kuketuk pintu kamar Dian beberapa kali, tetapi tak ada jawaban. Lorong tempatku berdiri mulai terasa menyeramkan. Lorongnya gelap, sepi, dan panjang sekali. Jadi aku mengetuk agak galak ke pintu kamar Dian.

TOK, TOK, TOK!

Apa Dian tidak sedang di kamarnya?

TOK, TOK, TOK—

Pintu kamar tiba-tiba terbuka kecil. Aku tak tahu sekencang apa aku mengetuk sampai-sampai kenop bisa berputar sendiri dan membukakan pintu. Namun aku memanfaatkan kesempatan itu untuk melongokkan saja kepalaku ke dalam.

“Mas ...?” panggilku.

Dian ada di dalam kamarnya. Namun, dia sedang tertidur. Dengan sepasang headphone belel menangkup kedua telinganya, melantunkan musik entah apa.

Ruangan itu lebih kecil dari kamarku. Tempat tidur ukuran single menempel di satu tembok, dan di seberangnya ada meja maupun kursi. Lemari kaca tua berdiri di dekat pintu ke kamar mandi. Nyaris tak ada apa pun lagi di ruangan ini kecuali tumpukan pakaian kotor Dian, pun yang digantung di belakang lemari. Aroma kamarnya seperti aroma laki-laki. Maskulin dan creamy.

Aku merindukan aroma natural seperti ini. Bukan aroma lemongrass yang menyengat. Ditambah kehangatan yang rasanya berbeda dibandingkan kamarku. Seolah-olah di ruangan ini ada heater khusus untuk membuat kamarnya bersuhu lebih normal.

Dian ada di atas tempat tidurnya, berbaring dengan kedua tangan dilipat di belakang kepala. Matanya terpejam pulas. Mulutnya menganga sedikit, tampak tak berdaya. Pantas saja dia tak mendengar semua ketukanku di pintu.

Aku menelan ludah dan mencoba mengendalikan diriku. Yang membuat tubuhku gelisah kali ini adalah ...

... Dian hanya mengenakan sarung saja.

....

Ya. Dia telanjang. Sehelai sarung bermotif kotak-kotak membelit pinggangnya, itu pun agak merosot. Lalu, bagian bawahnya tersingkap hingga memamerkan setengah pahanya. Aku bisa melihat lebih banyak permukaan kulit Dian, dibandingkan sarung itu menutupi tubuhnya. Aku bisa melihat putingnya yang berwarna gelap, atau rambut ketiaknya, atau otot perutnya yang kembang kempis, atau bisep trisepnya, atau otot betisnya yang kokoh ..., aku bisa menyebutkan setiap inci tubuhnya yang indah.

Termasuk bagaimana Dian tampak sangat tampan untuk ukuran pemuda kampung.

Dan dia tak berdaya.

Aku bisa melakukan apa pun semauku, kalau aku sekurang ajar itu. Namun tidak. Aku tidak akan melecehkannya hanya karena aku terangsang. Aku tidak ingin seseorang melecehkanku saat aku tertidur, jadi aku tak akan melecehkan Dian juga.

....

Klik. Klik.

Mungkin satu atau dua foto enggak apa-apa kali, ya? Sumpah aku tidak akan menyebarkannya kepada siapa pun.

Klik. Klik. Klik.

Aku semakin dekat dengan Dian, supaya kamera ponselku bisa mengambil gambar dengan sangat jelas dan jernih.

Klik—

Pluk!

Pada saat bersamaan, aku mendengar satu pakaian Dian terjatuh dari gantungannya. Aku sampai melompat kaget. Panik. Takut ketahuan seseorang. Kukira ada siapa gitu membuka pintu dan mengintipku memotret seseorang tanpa konsen. Pintu kamar masih terbuka sedikit—aku tidak menutupnya tadi. Namun, tak ada siapa pun di sana.

Ya sudah, aku pergi saja. Aku tak perlu membangunkan Dian. Dan tak perlu memotret lebih lama lagi.

....

Sebenarnya kalau sarung itu disingkap, Dian pasti enggak akan bangun.

Sial. Tiba-tiba saja pikiran kotor itu muncul dalam kepalaku. Tentu saja aku tak akan melakukannya!

Tapi Dian sedang tidur.

Tapi itu enggak sopan!

Intip bentar aja. Lihat apakah dia pakai celana dalam atau enggak? Orang kampung, kalau salat, mereka enggak pakai apa-apa lagi di balik sarungnya.

Ya tapi bukan berarti aku dengan kurang ajar ngangkat sarungnya juga!

Alah, banyak cowok sering jail ngangkat rok cewek. Gapapa, kok.

Enggak.

....

Aku sudah setengah berjalan menuju pintu, bermaksud kembali ke kamarku saja. Namun aku kalah oleh pikiran kotor itu.

Klik. Klik.

Aku memotret selangkangan Dian. Kuangkat sarung itu, dan kupotret apa pun yang ada di situ. Aku tidak melihatnya, sih. Aku hanya memasukkan ponselku dan memencet banyak-banyak.

Klik. Klik—

Bruk!

Seluruh pakaian di gantungan pintu jatuh secara bersamaan.

Aku kaget bukan main sehingga aku melompat pergi dengan panik, kembali ke kamarku. Aku menenangkan napasku di balik pintu. Kemudian, dengan perasaan sangat bersalah, aku melemparkan ponselku ke atas tempat tidur. Aku menyeduh teh dan duduk di balkon. Kuhabiskan setengah jam di sana memutuskan apa aku perlu menghapus semua foto yang kuambil, atau kusimpan saja untuk koleksi pribadiku.

Sumpah, untuk koleksi pribadiku!

Setengah jam kemudian aku masuk dan memeriksa ponselku.

....

Dian tak memakai celana dalam di balik sarung. Kameraku menangkap dengan sempurna alat kelaminnya.

* * *

Oke, ini gila, sih.

Aku datang ke sini untuk tugas kantor, dengan patuh menjalani karantina, kemudian stres dan mulai berhalusinasi, terus sekarang aku horny pada pemuda kampung baik hati yang gantengnya keterlaluan.

Karena horny, aku pun coli.

Ya. Masturbasi.

Sampai tiga kali.

Kalau dipikir-pikir, sudah nyaris dua minggu aku tidak orgasme. Sembilan hari tak melakukan apa-apa yang signifikan, tak ada godaan seksual yang berarti banget (kecuali setiap Dian muncul), membuatku tak sanggup menahan gairah.

Sebelum magrib, aku masturbasi sambil menatap setiap foto Dian yang kuambil. Baik itu foto saat dia memotong rumput maupun tidur telanjang siang ini. Dadaku berdebar kencang setiap aku menggeser setiap foto dan mengamati indahnya hamparan kulit telanjang itu. Satu tanganku yang mengocok kemaluan berhasil membantuku menyemburkan sperma putih banyak sekali hingga ke atas seprai.

Namun aku belum puas.

Sperma belum kering, aku sudah menghajar lagi kemaluanku. Kali ini aku menatap cukup lama foto di balik sarung Dian. Aku orgasme sepuluh menit kemudian.

Setelahnya, aku merasa sangat bersalah karena sudah memfoto Dian diam-diam dan menggunakannya untuk keuntunganku sendiri. Semalaman aku bimbang, apa aku perlu menghapus foto-foto ini sekarang, atau bolehkah aku menikmati foto ini seumur hidupku dengan janji suci bahwa aku tak akan menunjukkannya kepada siapa pun?

Setengah diriku berteriak dengan waras bahwa aku harus menghapusnya.

Setengah diriku yang lain berkata bahwa menyimpannya tak akan merugikan siapa-siapa—toh Dian juga enggak tahu, kan?

Tak pernah aku bimbang seperti ini sepanjang hidupku. Memilih jurusan kuliah pun lebih mudah dari ini. Rasa bersalah yang menggerogoti tubuhku membuatku hanya bisa bergelung baper seperti anak remaja di balik selimut.

Pukul sebelas malam, aku akhirnya tertidur.

....

Setelah aku masturbasi sekali lagi sambil menatap setiap foto Dian di ponselku.

* * *

Seperti biasa, bahkan dalam kondisi lelah karena coli tiga kali sepanjang malam, aku masih mendapatkan mimpi aneh itu.

Peti mati, gelap kamar, perabotan bisu, dan satu per satu sosok tanpa ekspresi itu masuk. Laki-laki berkumis, dua wanita bergaun putih, empat bule tambahan, tiga cowok lokal berbeskap ...

... dan malam ini ada tambahan lain. Sekitar lima orang baru masuk. Kesemuanya adalah perempuan berkebaya putih yang rambutnya digelung sangat rapi. Mereka berjalan sambil menunduk sopan. Namun setelah lima perempuan itu bergabung di belakang yang lain, mereka juga ikutan memandangku tanpa ekspresi.

Selama berjam-jam, aku mengalami lagi kegiatan yang sama. Ditatap tanpa ekspresi oleh sosok-sosok di sekitar peti matiku.

Sebelum matahari terbit, akhirnya kulihat mereka melakukan sesuatu yang baru.

Semua sosok itu menggelengkan kepala berbarengan sambil tetap menatapku yang terbujur kaku di dalam peti.



To be continued ....


<<< Part 06  |  Kerkhoven  |  Part 08 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Nude 33

  ssendrawkwA emitefiL .33     Pada suatu pagi lima tahun lalu, Miza bangun lebih pagi dari biasanya meski semalaman tak bisa tidur. D...