-6-Canapé
Aku
terbangun di atas tempat tidurku beberapa jam kemudian. Dian ada di samping
tempat tidur, duduk di sofa antik panjang yang beberapa saat lalu membuatku
pingsan.
Bukan
sofanya yang membuatku pingsan, melainkan apa yang kulihat di atasnya.
“Jam
berapa ini?” tanyaku, mencoba mengganggu keasyikan Dian memainkan ponsel.
Dian
mendongak segera, melompat menghampiriku sambil membawakan segelas air putih.
“Minum dulu.”
“Jam
berapa sekarang?”
“Jam
tiga sore.”
Aku
menghabiskan air putih yang Dian sodorkan, lalu duduk bersandar ke kepala
tempat tidur. Aku tidak tahu bagaimana caranya Dian bisa ada di sini. Apakah
dia mendengar teriakanku, atau dia masuk setelah aku terkapar pingsan di atas
lantai? Aku ingat betul energiku seperti disedot habis, kemudian aku jatuh. Aku
ingat detik-detik saat semuanya gelap.
“Mas
kapan masuknya?” tanyaku.
Dian
menjawab, “Pas Aa tadi ngejerit. Saya langsung lari dari ujung gedung.”
“Emang
kedengaran sampai ujung lain?”
Dian
mengangguk, kembali duduk di atas sofa antik panjang itu. “Takutnya ada yang
bocor, jadi saya langsung lari ke sini. Ternyata baik-baik aja. Saya cek
seluruh ruangan, enggak ada apa-apa.”
“Enggak
ada apa-apa?”
Dian
menggeleng. “Semuanya bersih. Enggak ada tikus, kecoa, langit-langit bocor.”
Karena
yang membuatku pingsan bukan itu. “Apa di sini ada tamu cewek dari luar negeri?
Yang kayak bule?”
Dian
mengerutkan alisnya dan memberi jeda beberapa saat. “Bule? Enggak ... enggak
ada.”
“Atau
tamu cewek yang cantik banget. Suka pakai gaun panjang?”
Dian
tak memahami pertanyaanku. “Gaun panjang?”
Sia-sia.
Kemungkinan besar dua perempuan yang kulihat itu tidak ada di dunia nyata.
Entah itu produk imajinasiku, atau memang ada hantu di rumah ini. Untuk ukuran
bangunan menyeramkan dan perabot terlalu antik seperti ini sih akan mustahil
kalau enggak ada hantunya. Harusnya sejak hari pertama aku sudah bertemu
kuntilanak atau pocong di mana-mana.
“Saya
kayaknya ngelihat hantu,” ungkapku jujur.
Dian
mendengarkan dengan saksama, tanpa memberikan respons.
Aku
agak kecewa karena Dian tak memberikan reaksi. Jadi kudesak lagi dengan
pertanyaan, “Ruangan ini ada hantunya, ya?”
Dian
menelan ludah. Lalu, mengangkat bahu. “Enggak tahu, A,” jawabnya polos. “Tapi
kalau hantu mah sih adanya di pohon
beringin depan. Suka ada kuntilanaknya. Aa mau lihat entar malam?”
“Hah?
Ngapain?!” Aku terkekeh karena Dian malah menawarkan opsi lain. “Kan saya lagi
isolasi, Mas.”
“Oh,
iya.” Dian menggaruk kepalanya, yang aku yakin tidak gatal. “Yang rumah ini mah saya enggak tahu. Kalau Aa ketemu,
ajak kenalan aja atuh. Hehe.”
Mana
mungkin. Melihat dua penampakan di atas kursi saja, aku langsung pingsan.
Padahal penampakan itu tidak melakukan apa-apa selain duduk di sana.
“Saya
tadi teriak, karena saya kira saya lihat hantu.”
“Hantu
apa?”
Aku
mengangkat bahu. “Dua cewek pake gaun putih panjang.”
“Kuntilanak?”
Aku
menggeleng. “Saya sebenarnya enggak tahu juga bentuk kuntilanak tuh gimana. Apa
yang di TV tuh bener atau enggak. Yang pasti kayaknya ini bukan kuntilanak.
Tapi udah, lah. Mungkin saya kecapean aja, Mas. Jadinya saya mulai halusinasi.”
Dian
terkekeh kecil. “Ngalindur,” katanya.
Aku tidak tahu maksudnya apa.
Kami
terdiam selama beberapa menit dalam pikiran masing-masing. Dian menatap lantai,
seolah-olah mencari topik apa lagi untuk dibicarakan, tetapi dia tak
menemukannya. Aku menoleh beberapa kali ke luar jendela, mengira laki-laki
berkumis akan tampak juga di balkon sana. Namun kamar ini sedang dalam mode
aman dari penampakan apa pun.
Pada
akhirnya, Dian pamit. Dia menatap jam di layar ponselnya, kemudian bangkit
berdiri. “Aa udah enggak apa-apa, kan? Atau Aa masih lemas?”
“Saya
baik-baik aja.”
Dian
mengangguk. “Kalau gitu, saya izin pamit. Mau ke rumah Pak Kades.”
Aku
membalas anggukannya. “Oh, iya. Makasih ya, Mas. Hati-hati di jalan.”
Dian
pun lenyap ke lorong seraya menutup pintu kamar.
* * *
Mimpi
itu kembali muncul.
Latarnya,
sama. Situasinya, sama persis.
Aku
berbaring lagi di peti matiku, dalam kegelapan kamar di mana aku masih bisa
melihat setiap perabot kamar. Posisi barang-barangku berada di tempat terakhir
sebelum aku jatuh tertidur. Laptopku tertutup, di atas meja sebelah kiri.
Celana panjangku jatuh dari gantungannya sebelum aku tidur, dan aku sedang
malas untuk menaikkannya, sehingga celana itu masih menggunduk di atas lantai.
Segelas Pop Mie yang sudah kuhabiskan setengah ada di atas meja.
Yang
kuingat sih harusnya meja rias. Namun sekarang hanyalah meja tua biasa yang
berwarna gosong.
Kemudian,
seperti biasa, pintu terbuka. Laki-laki berkumis itu masuk dan berdiri di ujung
peti matiku. Dua perempuan bergaun panjang itu pun membuntuti, dan melakukan
hal yang sama. Kali ini, tujuh orang baru bergabung bersama mereka.
Empat
di antara tujuh orang itu adalah bule juga. Mereka mengenakan setelan zaman
kolonial yang serba panjang dan putih. Tiga orang sisanya tampak seperti orang
lokal, mengenakan pakaian tradisional bangsawan Sunda. Ketujuh orang itu mengelilingi
peti matiku. Mereka berdiri dengan gaya yang sama, memandangiku juga.
Kini,
semalaman, aku beradu pandang dengan sepuluh orang. Aku mengamati mereka satu
per satu, mencoba menerka apa yang sedang mereka pikirkan. Namun tak satu pun
dari mereka menunjukkan emosi atau ekspresi. Aku ingin sekali berbicara,
bertanya, sedang apa mereka di sini, mengapa aku memimpikan ini, apa artinya
ini ... tetapi mulutku tak pernah bisa kubuka.
Persis
seperti malam-malam lalu.
Aku tak
bisa bergerak. Tak bisa bersuara. Tak bisa berbicara.
Aku
hanya sanggup menggerakkan mataku untuk membalas satu per satu tatapan mereka.
Dan aku
akan melakukannya selama berjam-jam. Seperti malam-malam sebelumnya.
....
....
Kurasa
ini sudah terlalu lama. Aku tahu, aku biasanya langsung bosan setelah beberapa
menit. Mimpi yang seharusnya kuanggap buruk, karena mungkin saja mereka hantu,
lama-lama menjadi mimpi yang menjemukan. Ini juga terjadi kemarin-kemarin. Aku
seperti sudah terbiasa ditatapi seperti ini. Rasa takutku mulai menguap, tidak
seperti mimpi pada malam pertama.
....
Namun
ini terlalu lama. Aku diam tak bergerak berjam-jam, sampai-sampai matahari
terbit dan menyinari ruangan. Cahayanya terasa nyata.
Ketika
ruangan sudah lebih terang dari sebelumnya, orang-orang ini mulai bubar. Namun
mereka masih ada di ruangan. Laki-laki berkumis itu pergi ke balkon untuk
menyesap teh. Dua perempuan bergaun panjang duduk di sofa panjang antik sambil
mengobrol dan tertawa-tawa kecil. Tujuh orang sisanya berpencar dan melakukan
aktivitas masing-masing.
Untuk
kali pertama aku bisa bergerak.
Aku
bisa menggerakkan tanganku, kakiku, bahkan aku bangkit perlahan-lahan dari
berbaring. Aku keluar dari peti matiku, berjalan pelan mengamati setiap sosok
di dalam ruangan. Laki-laki berkumis di balkon luar menoleh dan mengangguk,
persis seperti yang dilakukannya tempo hari. Satu dari perempuan di sofa antik
mulai mengeluarkan kipas dan mengipasi dirinya. Padahal, suhu ruangan ini
dingin.
Satu
orang laki-laki lokal dengan jas beskap hitam dan jarik batik cokelat berdiri
di depan pintu ke kamar tamu sebelah. Dia, selain laki-laki berkumis di luar,
satu-satunya yang mengamatiku berkeliling ruangan. Dia membuka pintu itu dengan
lebar. Mempersilakan aku untuk masuk.
Anehnya,
ruangan di dalam sana gelap dan pekat. Cahaya matahari dari kamarku tidak
berhasil menembus masuk, bahkan untuk sesenti saja.
Aku
berjalan mendekati pintu. Berdiri tepat di ambangnya, ragu apakah aku perlu
masuk atau tidak. Laki-laki berbeskap itu mengangguk, seolah-olah mengatakan
bahwa aku diizinkan masuk.
Aku
tidak tahu mimpi aneh ini akan membawaku ke mana. Namun yang kutahu, karena ini
hanyalah mimpi, kurasa tak apa memasuki semua ruangan yang belum kuketahui
isinya apa.
Aku
melangkahkan kakiku untuk masuk ke ruangan sebelah—
BRUK!
Pintu
itu tertutup. Lalu, Nunung tiba-tiba berdiri di depannya dengan wajah memelotot.
“Jangan, Pak!” sergahnya panik. “Bapak enggak boleh masuk ke sini,” tegasnya
sekali lagi.
Hah?
Kemudian,
aku tersadar. Aku tidak sedang tidur. Aku sedang berdiri di depan pintu itu, di
depan Nunung. Aku masih mengenakan pakaian yang kubawa tidur dan matahari di
luar memang sudah terbit. Cahaya yang masuk ke kamar ini sama dengan cahaya
yang ada dalam mimpiku.
“Ini dilarang
dimasuki, Pak,” ujar Nunung, dengan berani menatap mataku untuk kali pertama.
“O-oke
... saya kira ....” Aku kira aku bermimpi.
Aku
berjalan mundur, perlahan-lahan, menuju tempat tidurku. Kurasakan dadaku
berdebar. Napasku juga pendek, sehingga aku menarik napas sangat panjang untuk
menenangkan diri. Kulihat Nunung kembali ke aktivitasnya menyapu lantai.
Kepalaku masih dipenuhi pertanyaan, rasa ngeri, dan mengapa ini terasa nyata
sekali.
“Ini
bukan mimpi, kan Mbak?” gumamku.
Nunung
berhenti menyapu. Dia menoleh pelan-pelan ke arahku, mengamatiku, lalu menjawab
pelan, “Ini ... ini sudah pagi, Pak.”
“Saya
bukan masih tidur, kan?” Seperti dalam film-film, aku mencoba mencubit kulitku
sendiri. Rasanya sakit. Aku juga mencoba mengendalikan tubuhku seperti
mengambil ponsel, meletakkannya lagi, meregangkan otot, berdiri, dan duduk
lagi. Semua yang ingin kulakukan dapat kulakukan di bawah kontrolku sendiri.
Biasanya, dalam mimpi, kita tidak bisa mengontrol apa pun.
Kalau
aku sudah bangun, kapan aku mengalami transisi dari tidur ke sadar?
....
“Waktu
Mbak masuk ke sini, saya sedang apa, Mbak?” tanyaku. Aku tahu sia-sia mengunci
pintu ini, karena Nunung nyatanya punya kunci untuk semua ruangan. Dia tetap
akan nyelonong masuk tanpa permisi atau membangunkanku terlebih dahulu.
Nunung
berhenti menyapu lagi. “Bapak sedang tidur,” jawabnya, menoleh dengan normal
seperti manusia seharusnya. Biasanya, Nunung menunduk dan tak berani melihat ke
arahku.
“Terus
kapan saya bangunnya?”
“Barusan,
Pak. Saya masih sapu-sapu, Bapak ujug-ujug
bangun dan buka pintu.”
Aku
menatap ke luar jendela sambil menghela napas. “Jadi ... jadi ini sudah di
dunia nyata?”
Nunung kebingungan. “I ... iya, kali?”
“Lalu ... lalu kenapa laki-laki berkumis itu masih ada di balkon sambil menyesap teh, Mbak?”
To be continued ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar