Senin, 29 Maret 2021

Kerkhoven 06

-6-
Canapé

 

Aku terbangun di atas tempat tidurku beberapa jam kemudian. Dian ada di samping tempat tidur, duduk di sofa antik panjang yang beberapa saat lalu membuatku pingsan.

Bukan sofanya yang membuatku pingsan, melainkan apa yang kulihat di atasnya.

“Jam berapa ini?” tanyaku, mencoba mengganggu keasyikan Dian memainkan ponsel.

Dian mendongak segera, melompat menghampiriku sambil membawakan segelas air putih. “Minum dulu.”

“Jam berapa sekarang?”

“Jam tiga sore.”

Aku menghabiskan air putih yang Dian sodorkan, lalu duduk bersandar ke kepala tempat tidur. Aku tidak tahu bagaimana caranya Dian bisa ada di sini. Apakah dia mendengar teriakanku, atau dia masuk setelah aku terkapar pingsan di atas lantai? Aku ingat betul energiku seperti disedot habis, kemudian aku jatuh. Aku ingat detik-detik saat semuanya gelap.

“Mas kapan masuknya?” tanyaku.

Dian menjawab, “Pas Aa tadi ngejerit. Saya langsung lari dari ujung gedung.”

“Emang kedengaran sampai ujung lain?”

Dian mengangguk, kembali duduk di atas sofa antik panjang itu. “Takutnya ada yang bocor, jadi saya langsung lari ke sini. Ternyata baik-baik aja. Saya cek seluruh ruangan, enggak ada apa-apa.”

“Enggak ada apa-apa?”

Dian menggeleng. “Semuanya bersih. Enggak ada tikus, kecoa, langit-langit bocor.”

Karena yang membuatku pingsan bukan itu. “Apa di sini ada tamu cewek dari luar negeri? Yang kayak bule?”

Dian mengerutkan alisnya dan memberi jeda beberapa saat. “Bule? Enggak ... enggak ada.”

“Atau tamu cewek yang cantik banget. Suka pakai gaun panjang?”

Dian tak memahami pertanyaanku. “Gaun panjang?”

Sia-sia. Kemungkinan besar dua perempuan yang kulihat itu tidak ada di dunia nyata. Entah itu produk imajinasiku, atau memang ada hantu di rumah ini. Untuk ukuran bangunan menyeramkan dan perabot terlalu antik seperti ini sih akan mustahil kalau enggak ada hantunya. Harusnya sejak hari pertama aku sudah bertemu kuntilanak atau pocong di mana-mana.

“Saya kayaknya ngelihat hantu,” ungkapku jujur.

Dian mendengarkan dengan saksama, tanpa memberikan respons.

Aku agak kecewa karena Dian tak memberikan reaksi. Jadi kudesak lagi dengan pertanyaan, “Ruangan ini ada hantunya, ya?”

Dian menelan ludah. Lalu, mengangkat bahu. “Enggak tahu, A,” jawabnya polos. “Tapi kalau hantu mah sih adanya di pohon beringin depan. Suka ada kuntilanaknya. Aa mau lihat entar malam?”

“Hah? Ngapain?!” Aku terkekeh karena Dian malah menawarkan opsi lain. “Kan saya lagi isolasi, Mas.”

“Oh, iya.” Dian menggaruk kepalanya, yang aku yakin tidak gatal. “Yang rumah ini mah saya enggak tahu. Kalau Aa ketemu, ajak kenalan aja atuh. Hehe.”

Mana mungkin. Melihat dua penampakan di atas kursi saja, aku langsung pingsan. Padahal penampakan itu tidak melakukan apa-apa selain duduk di sana.

“Saya tadi teriak, karena saya kira saya lihat hantu.”

“Hantu apa?”

Aku mengangkat bahu. “Dua cewek pake gaun putih panjang.”

“Kuntilanak?”

Aku menggeleng. “Saya sebenarnya enggak tahu juga bentuk kuntilanak tuh gimana. Apa yang di TV tuh bener atau enggak. Yang pasti kayaknya ini bukan kuntilanak. Tapi udah, lah. Mungkin saya kecapean aja, Mas. Jadinya saya mulai halusinasi.”

Dian terkekeh kecil. “Ngalindur,” katanya. Aku tidak tahu maksudnya apa.

Kami terdiam selama beberapa menit dalam pikiran masing-masing. Dian menatap lantai, seolah-olah mencari topik apa lagi untuk dibicarakan, tetapi dia tak menemukannya. Aku menoleh beberapa kali ke luar jendela, mengira laki-laki berkumis akan tampak juga di balkon sana. Namun kamar ini sedang dalam mode aman dari penampakan apa pun.

Pada akhirnya, Dian pamit. Dia menatap jam di layar ponselnya, kemudian bangkit berdiri. “Aa udah enggak apa-apa, kan? Atau Aa masih lemas?”

“Saya baik-baik aja.”

Dian mengangguk. “Kalau gitu, saya izin pamit. Mau ke rumah Pak Kades.”

Aku membalas anggukannya. “Oh, iya. Makasih ya, Mas. Hati-hati di jalan.”

Dian pun lenyap ke lorong seraya menutup pintu kamar.

* * *

Mimpi itu kembali muncul.

Latarnya, sama. Situasinya, sama persis.

Aku berbaring lagi di peti matiku, dalam kegelapan kamar di mana aku masih bisa melihat setiap perabot kamar. Posisi barang-barangku berada di tempat terakhir sebelum aku jatuh tertidur. Laptopku tertutup, di atas meja sebelah kiri. Celana panjangku jatuh dari gantungannya sebelum aku tidur, dan aku sedang malas untuk menaikkannya, sehingga celana itu masih menggunduk di atas lantai. Segelas Pop Mie yang sudah kuhabiskan setengah ada di atas meja.

Yang kuingat sih harusnya meja rias. Namun sekarang hanyalah meja tua biasa yang berwarna gosong.

Kemudian, seperti biasa, pintu terbuka. Laki-laki berkumis itu masuk dan berdiri di ujung peti matiku. Dua perempuan bergaun panjang itu pun membuntuti, dan melakukan hal yang sama. Kali ini, tujuh orang baru bergabung bersama mereka.

Empat di antara tujuh orang itu adalah bule juga. Mereka mengenakan setelan zaman kolonial yang serba panjang dan putih. Tiga orang sisanya tampak seperti orang lokal, mengenakan pakaian tradisional bangsawan Sunda. Ketujuh orang itu mengelilingi peti matiku. Mereka berdiri dengan gaya yang sama, memandangiku juga.

Kini, semalaman, aku beradu pandang dengan sepuluh orang. Aku mengamati mereka satu per satu, mencoba menerka apa yang sedang mereka pikirkan. Namun tak satu pun dari mereka menunjukkan emosi atau ekspresi. Aku ingin sekali berbicara, bertanya, sedang apa mereka di sini, mengapa aku memimpikan ini, apa artinya ini ... tetapi mulutku tak pernah bisa kubuka.

Persis seperti malam-malam lalu.

Aku tak bisa bergerak. Tak bisa bersuara. Tak bisa berbicara.

Aku hanya sanggup menggerakkan mataku untuk membalas satu per satu tatapan mereka.

Dan aku akan melakukannya selama berjam-jam. Seperti malam-malam sebelumnya.

....

....

Kurasa ini sudah terlalu lama. Aku tahu, aku biasanya langsung bosan setelah beberapa menit. Mimpi yang seharusnya kuanggap buruk, karena mungkin saja mereka hantu, lama-lama menjadi mimpi yang menjemukan. Ini juga terjadi kemarin-kemarin. Aku seperti sudah terbiasa ditatapi seperti ini. Rasa takutku mulai menguap, tidak seperti mimpi pada malam pertama.

....

Namun ini terlalu lama. Aku diam tak bergerak berjam-jam, sampai-sampai matahari terbit dan menyinari ruangan. Cahayanya terasa nyata.

Ketika ruangan sudah lebih terang dari sebelumnya, orang-orang ini mulai bubar. Namun mereka masih ada di ruangan. Laki-laki berkumis itu pergi ke balkon untuk menyesap teh. Dua perempuan bergaun panjang duduk di sofa panjang antik sambil mengobrol dan tertawa-tawa kecil. Tujuh orang sisanya berpencar dan melakukan aktivitas masing-masing.

Untuk kali pertama aku bisa bergerak.

Aku bisa menggerakkan tanganku, kakiku, bahkan aku bangkit perlahan-lahan dari berbaring. Aku keluar dari peti matiku, berjalan pelan mengamati setiap sosok di dalam ruangan. Laki-laki berkumis di balkon luar menoleh dan mengangguk, persis seperti yang dilakukannya tempo hari. Satu dari perempuan di sofa antik mulai mengeluarkan kipas dan mengipasi dirinya. Padahal, suhu ruangan ini dingin.

Satu orang laki-laki lokal dengan jas beskap hitam dan jarik batik cokelat berdiri di depan pintu ke kamar tamu sebelah. Dia, selain laki-laki berkumis di luar, satu-satunya yang mengamatiku berkeliling ruangan. Dia membuka pintu itu dengan lebar. Mempersilakan aku untuk masuk.

Anehnya, ruangan di dalam sana gelap dan pekat. Cahaya matahari dari kamarku tidak berhasil menembus masuk, bahkan untuk sesenti saja.

Aku berjalan mendekati pintu. Berdiri tepat di ambangnya, ragu apakah aku perlu masuk atau tidak. Laki-laki berbeskap itu mengangguk, seolah-olah mengatakan bahwa aku diizinkan masuk.

Aku tidak tahu mimpi aneh ini akan membawaku ke mana. Namun yang kutahu, karena ini hanyalah mimpi, kurasa tak apa memasuki semua ruangan yang belum kuketahui isinya apa.

Aku melangkahkan kakiku untuk masuk ke ruangan sebelah—

BRUK!

Pintu itu tertutup. Lalu, Nunung tiba-tiba berdiri di depannya dengan wajah memelotot. “Jangan, Pak!” sergahnya panik. “Bapak enggak boleh masuk ke sini,” tegasnya sekali lagi.

Hah?

Kemudian, aku tersadar. Aku tidak sedang tidur. Aku sedang berdiri di depan pintu itu, di depan Nunung. Aku masih mengenakan pakaian yang kubawa tidur dan matahari di luar memang sudah terbit. Cahaya yang masuk ke kamar ini sama dengan cahaya yang ada dalam mimpiku.

“Ini dilarang dimasuki, Pak,” ujar Nunung, dengan berani menatap mataku untuk kali pertama.

“O-oke ... saya kira ....” Aku kira aku bermimpi.

Aku berjalan mundur, perlahan-lahan, menuju tempat tidurku. Kurasakan dadaku berdebar. Napasku juga pendek, sehingga aku menarik napas sangat panjang untuk menenangkan diri. Kulihat Nunung kembali ke aktivitasnya menyapu lantai. Kepalaku masih dipenuhi pertanyaan, rasa ngeri, dan mengapa ini terasa nyata sekali.

“Ini bukan mimpi, kan Mbak?” gumamku.

Nunung berhenti menyapu. Dia menoleh pelan-pelan ke arahku, mengamatiku, lalu menjawab pelan, “Ini ... ini sudah pagi, Pak.”

“Saya bukan masih tidur, kan?” Seperti dalam film-film, aku mencoba mencubit kulitku sendiri. Rasanya sakit. Aku juga mencoba mengendalikan tubuhku seperti mengambil ponsel, meletakkannya lagi, meregangkan otot, berdiri, dan duduk lagi. Semua yang ingin kulakukan dapat kulakukan di bawah kontrolku sendiri. Biasanya, dalam mimpi, kita tidak bisa mengontrol apa pun.

Kalau aku sudah bangun, kapan aku mengalami transisi dari tidur ke sadar?

....

“Waktu Mbak masuk ke sini, saya sedang apa, Mbak?” tanyaku. Aku tahu sia-sia mengunci pintu ini, karena Nunung nyatanya punya kunci untuk semua ruangan. Dia tetap akan nyelonong masuk tanpa permisi atau membangunkanku terlebih dahulu.

Nunung berhenti menyapu lagi. “Bapak sedang tidur,” jawabnya, menoleh dengan normal seperti manusia seharusnya. Biasanya, Nunung menunduk dan tak berani melihat ke arahku.

“Terus kapan saya bangunnya?”

“Barusan, Pak. Saya masih sapu-sapu, Bapak ujug-ujug bangun dan buka pintu.”

Aku menatap ke luar jendela sambil menghela napas. “Jadi ... jadi ini sudah di dunia nyata?”

Nunung kebingungan. “I ... iya, kali?”

“Lalu ... lalu kenapa laki-laki berkumis itu masih ada di balkon sambil menyesap teh, Mbak?”



To be continued ....


<<< Part 05  |  Kerkhoven  |  Part 07 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Nude 33

  ssendrawkwA emitefiL .33     Pada suatu pagi lima tahun lalu, Miza bangun lebih pagi dari biasanya meski semalaman tak bisa tidur. D...