Senin, 29 Maret 2021

Kerkhoven 05

-5-
Slaapzaal

 

- Dinten Kadalapan -

Dua hari kemudian, aku selalu bertemu Nunung saat dia beres-beres. Mungkin karena aku bangun lebih pagi dan memutuskan kerja di dalam kamar. Hari ketujuh, hujan deras mengguyur Desa Cimenong, membuat balkon kamarku basah. Hari kedelapan, langit kelabu. Udara sangat dingin sehingga kuputuskan untuk bergelung di balik selimut saja. Beristirahat dari seminggu penuh mengerjakan artikel.

Aku sudah menyelesaikan 20 tulisan sejauh ini. Kurasa tak apa jika hari ini aku bermalas-malasan seharian.

Beberapa jam setelah Nunung selesai membereskan kamarku (dan kamar sebelah—dia selalu masuk kamar tamu di sebelah, dan dia akan menutupnya rapat, bahkan menguncinya, selama dia berada di sana), kudengar suara berisik dari luar. Seperti suara mesin pemangkas rumput.

Awalnya aku mengabaikan suara itu. Aku tetap bergelung di bawah selimut sambil memainkan ponsel. Kemudian, aku mulai merasa terganggu. Aku tahu, aku tak bisa berbuat apa-apa. Malah sebenarnya bagus ada suara berisik mesin pemangkas rumput setelah satu minggu penuh tempat ini terdengar sunyi. Satu-satunya musik yang kudengar dari luar adalah suara hujan deras atau azan yang bersahut-sahutan.

Akan tetapi, aku mulai penasaran ... siapa yang sedang memangkas rumput, ya?

Apakah Pak Munarman? Enggak mungkin.

Apakah itu Dian?

Aku tak tahu ada berapa penjaga atau petugas serbaguna yang ada di gedung ini. (Atau desa ini.) Kuputuskan untuk mencari tahu sambil berharap itu adalah Dian.

Ketika aku mengintip dari jendela kamarku ..., perasaan gembira membuncah di dalam dadaku. Itu memang Dian.

Malah, dia sedang bertelanjang dada. Hanya mengenakan celana jins panjang dimasukkan ke sepatu botnya yang kemarin. Di tangannya, mesin pemangkas rumput dengan aktif memotong rerumputan yang mulai tinggi. Aku menyadari betul rumput-rumput tumbuh amat cepat selama seminggu terakhir.

Jantungku berdegup kencang.

Dan aku masih diam kaku di depan pintu balkon.

Apa-apaan ini? Kenapa keluar dan menyapa Dian saja aku seperti anak ABG yang deg-degan bertemu gebetannya di sekolah?

Apa yang sedang terjadi kepada diriku? Mengapa tanganku bergetar, keringat dingin mengucur di punggungku, atau dadaku berdebar hanya untuk memutuskan keluar atau tidak?

Keterlaluan.

Memangnya aku masih remaja? Keluar sana!

Aku menarik napas, berusaha bersikap seperti orang dewasa dengan memutar kenop dan berjalan keluar. Dian bahkan tidak menyadari aku ada di tepi pagar balkon sekarang, membungkuk sambil menumpukan hasta lenganku ke permukaan pagar, mencari keberanian untuk menyapanya.

“Potong rumput, Mas?” sapaku.

Pertanyaan bodoh. Memangnya dia sedang betulin meja? Jelas-jelas potong rumput!

Dian menoleh dan mendongak menatapku. Dia langsung mematikan mesin pemangkas rumputnya. Sapaanku dibalas oleh senyum lebar yang manis. “Eh, A Rizki!” Dia berbalik. Memamerkan tubuh sempurna berotot, bidang, dan kotak-kotak itu.

Sial!

Kenapa kamu bukan pemuda kampung kurus yang kurang gizi, sih Mas?

“Kemarin juga saya perhatiin rumputnya udah mulai panjang,” kataku. Cukup membual, karena aku baru kepikiran rumput itu panjang gara-gara Dian barusan memotongnya.

“Karena musim hujan mereun, nya. Jadi rumputnya cepat tumbuh.” Dian menepi mendekati gedung, meletakkan mesin pemangkas rumputnya di paving block pendek samping tembok.

“Eh, kok berhenti, Mas? Lanjutin aja!” sahutku, tak enak menginterupsinya.

Dian mengerutkan alis sambil menoleh ke arah halaman rumput. “Udah beres kok, A.”

“Oh.”

Ternyata memang sudah selesai. Rumput di area bawah balkon sudah sama tingginya sekarang.

Dian mengambil air minum dan menenggaknya dengan jantan. Tahu, kan? Mengangkatnya ke atas dan menumpahkannya ke mulut, sampai-sampai airnya ada yang mengalir di sudut bibir, jatuh ke leher, dada, dan perut. Tubuh yang basah oleh keringat dan potongan-potongan kecil rumput itu tampak semakin seksi. Tubuhku mulai gelisah gara-gara pemandangan itu.

Diam-diam, aku memotret Dian yang sedang minum. Aku zoom sampai dekat sekali, lalu kuklik berkali-kali.

Aku tahu ini salah. Namun aku janji, aku hanya akan menggunakannya untuk diriku sendiri saja.

Selesai minum, dia mengambil gunting tanaman dan menunjuk sekumpulan semak-semak di tepi tebing yang perlu dirapikan. “Tinggal yang itu. Agak susah kalau pake mesin, jadi harus dirapiin manual,” katanya, tanpa kutanya.

Dian berjalan menuju semak-semak di tepi tebing. Dia mulai memangkas daun dan batang yang tumbuh di luar estetika.

“Jadi ... Mas tuh tukang kebun?” tanyaku, sambil terkekeh kecil.

Dian membalasnya dengan kekehan juga. “Apa aja saya mah, A. Yang penting bisa dapat duit, saya lakuin.”

“Selain rapiin rumput, Mas Dian harus ngapain lagi?”

“Banyak. Kadang bantu benerin jalan, jembatan, disuruh ini-itu sama Pak Kades, atau sekarang tungguin Kerkhoven kalau ada yang butuh bantuan. Apa , A. Yang penting halal.”

Dian benar-benar memesona. Ketika dia berjongkok, lalu belahan pantatnya terlihat, aku memotretnya. Ketika dia membungkuk dan memotong ranting sekuat tenaga, aku memotret bisep dan trisepnya. Aku ingin sekali mencabuti potongan rumput yang menempel di tubuhnya oleh keringat.

“Kalau bukan karantina, gedung ini biasanya jadi apa, Mas?” Aku berinisiatif untuk memulai obrolan yang lebih panjang dan berkualitas dengan Dian. Aku ingin sekali bercakap-cakap dengan seseorang. Tak mungkin aku ngerumpi bersama Nunung. Perempuan itu selalu ketakutan setiap kuajak bicara.

Sayangnya, mengobrol bersama Dian adalah tantangan. Karena keindahan tubuh dan wajahnya mendistraksi kualitas obrolan kami.

“Ini téh kantor desa sebenernya mah, A. Tapi karena Corona, dialihfungsikan jadi salah satu area karantina,” jawab Dian, kemudian menunjuk ke arah berlawanan. “Di sebelah sana ada juga asrama sama mes yang jadi tempat karantina. Tapi lagi pada penuh.”

“Jadi setelah Belanda ninggalin tempat ini, atau setelah Kerkhoven meninggal, gedung ini jadi kantor desa?”

“Katanya mah sih enggak,” jawab Dian, berhenti sejenak dari memangkas ranting untuk mengingat-ingat. “Kalau enggak salah sempat jadi rumah sakit juga.”

“Rumah sakit?”

Dian mengangguk. “Tapi pas saya lahir mah udah jadi kantor di sini téh. Ibu saya yang bilang ini pernah jadi rumah sakit.”

“Rumah sakit apa?”

“Rumah sakit paru, mun teu salah mah.”

Untuk ukuran gedung yang sempat jadi rumah sakit, atau kantor desa, mengapa kamar yang kugunakan tampak seperti bekas digunakan Kerkhoven langsung? Perabotnya seperti diimpor dari era 1800-an. Memangnya tidak direnovasi sesuai fungsi rumah sakit? Atau kantor desa?

Aku baru akan bertanya soal kamarku ketika kulihat celana Dian agak melorot, sehingga belahan pantat yang terekspos lebih banyak lagi. Jadi, aku memotretnya dulu. Lalu, aku lupa apa pertanyaanku.

Dian yang bertanya sekarang. “Di kamar aman, kan A?” tanyanya. Dian selesai dengan memangkas ranting semak-semak. Dia meletakkan lagi perkakasnya di pinggir, mengambil air minum, lalu menghampiriku di bagian bawah. Dia duduk di atas rumput sambil meluruskan kaki. Malah, Dian berbaring dengan nyaman sekarang.

Begini posisiku: Aku ada di balkon yang elevasinya lebih tinggi dibandingkan rumput di bawah sana. Jadi, aku seperti berada di atas panggung. Lalu di bawahku, seorang tukang kebun seksi sedang berbaring telanjang dada, memamerkan tubuh jantannya yang menggoda. Wajar kan kalau aku meledak dalam gairah?

Namun aku adalah orang dewasa yang bertanggung jawab. Jadi aku tidak akan berbuat senonoh kepada Dian ...

... kecuali aku memotretnya diam-diam dengan ponselku, untuk kugunakan secara pribadi saja.

“Aman,” jawabku. Klik. Klik. Klik. Sebisa mungkin tampak seperti sedang membalas chat, padahal aku sedang memotret Dian. “Emang kenapa? Kamar aku sering kemasukan maling?”

“Ah, enggak lah itu mah. Enggak ada maling di Cimenong.” Dian terkekeh sambil memberikan senyum manis kepadaku.

“Apa dong? Hantu?”

Dian memberikan jeda sedikit sebelum akhirnya berkata, “Ya ... bocor dari hujan?”

Aku agak berharap dia menjawab, “Iya, hantu.” Supaya aku bisa mengobrol dengannya lebih panjang soal apa yang sempat kualami di sini. Misalnya, mimpi-mimpi menyeramkan itu. Aku yakin, itu hanya bagian dari kepalaku saja. Bukan berupa hantu yang gentayangan di ruangan.

Atau fenomena laki-laki di balkon itu.

Namun Dian nyatanya lebih concern soal langit-langit bocor dibandingkan hantu.

“Aman kok, Mas,” jawabku. “Enggak ada bocor sedikit pun.”

Dian mengangguk lega. “Alhamdulillah kalau gitu.”

Obrolan kami berlanjut selama sekitar lima belas menit kemudian. Gerimis turun sehingga Dian harus pamit sambil membawa peralatannya. Aku pun masuk ke dalam kamar, gembira karena bisa mengobrol dengan Dian meski tak memakan waktu lama.

Akan tetapi, ketika aku berdiri di ambang pintu, aku membeku.

Dua wanita berbusana putih yang kulihat di mimpiku sedang duduk manis di sofa antik panjang dekat tempat tidur. Satu wanita mengipasi dirinya dengan kipas bulu. Satu wanita menoleh ke arahku.

“Aaaaaargh!” Aku menjerit kencang.

Setelahnya aku pingsan.



To be continued ....


<<< Part 04  |  Kerkhoven  |  Part 06 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Nude 33

  ssendrawkwA emitefiL .33     Pada suatu pagi lima tahun lalu, Miza bangun lebih pagi dari biasanya meski semalaman tak bisa tidur. D...