Senin, 29 Maret 2021

Kerkhoven 04

-4-
Slaapkamer

 

- Dinten Kagenep -

Apa aku terganggu dengan kejadian aneh itu? Awalnya, ya. Namun aku manusia rasional yang seharusnya tak menggantungkan rasa takutku pada sesuatu yang belum terbukti. Bagiku, hantu belum terbukti keberadaannya—setakut apa pun aku pada ide itu.

Kurasa, sosok laki-laki berkumis itu hanya halusinasiku. Mungkin efek terisolasi di satu yang tempat sama berhari-hari. Kemudian, sosok itu mulai masuk ke mimpiku.

Mungkin ..., aku sedang butuh bersosialisasi.

Aku ingin sekali bertemu manusia lain untuk mengobrolkan apa pun. Kehadiran Dian di kamarku pada hari ketiga, membuatku sedikit mendingan. Maka dari itu, hari keempat dan kelima aku tak pernah bertemu lagi sosok berkumis itu. Yang menguatkan dugaanku bahwa itu hanyalah halusinasi sampah semata.

Kalau ada satu hal yang harus membuatku ngeri tinggal di sini, adalah rapinya tempat tidurku setiap pukul delapan pagi. Aku tahu, kamarku pasti dirapikan oleh seseorang. Pak Munarman sudah menyebutkan soal ini pada hari pertama.

Anehnya, aku tak pernah bertemu sosok yang membersihkan kamarku hingga hari keenam.

Kalau aku bangun sebelum pukul delapan, lalu aku mandi atau bekerja di balkon, aku selalu menemukan tempat tidurku rapi setelah pukul delapan. Tong sampahku biasanya sudah dikosongkan, gelas dan piring yang kubawa dari Jakarta sudah dirapikan, apa pun yang tidak berada di tempatnya akan kembali ke tempatnya secara ajaib. Lantai pun seperti disapu dan dipel—karena aku juga mencium aroma Wipol yang kuat—tetapi aktivitas bersih-bersih itu tak pernah tepergok olehku.

Pagi ini, aku sengaja duduk di atas tempat tidur, menunggu pukul delapan pagi.

Seperti dugaanku, pintu kamarku terbuka. Tukang bersih-bersih itu masuk.

“Eh, maaf,” sapanya, saat melihatku berada di ruangan. Dia baru saja melongokkan kepala di pintu, berniat menutupnya lagi. “Saya datang nanti aja—”

“Eh, enggak usah. Sekarang juga gapapa,” kataku, melompat dari tempat tidur ke arah pintu. Dengan kilat kusambar masker di atas meja, dan kukenakan di wajahku. Aku menarik pintu kamar agar tidak tertutup sempurna. Dia masih ada di depan pintu. “Masuk aja. Silakan kalau mau beres-beres. Saya mau kerja di balkon juga, kok.”

“Oh.” Dia menunduk sambil mengangguk-angguk. “Punten atuh, Pak.”

Dia seorang perempuan. Umurnya mungkin awal 30-an. Tubuhnya kecil, mungil, mengenakan setelan batik yang sudah lusuh. Persis seperti seorang ART. Dia menarik satu troli berisi ember, sapu, pel, dan peralatan pembersih lainnya. Tidak ada masker di wajahnya.

Kubiarkan perempuan itu masuk untuk membereskan kamarku. Aku membawa laptopku ke balkon, mulai mengerjakan pekerjaanku sendiri di sana. Namun setelah lima menit memandangi Microsoft Word di depanku, aku tak bisa menulis apa-apa. Aku tak punya ide harus mengerjakan tulisan konten yang mana, atau apa yang perlu kuriset untuk tulisan tersebut.

Pikiranku terganggu oleh kehadiran perempuan itu. Kepalaku berkali-kali menoleh ke arah jendela kamar, mengecek sedang apa perempuan itu di dalam sana. Kulihat dia membereskan tempat tidurku, menyapu dan mengepel, bahkan membersihkan kaca jendela dari dalam. Aktivitasnya cukup padat dan heboh. Aku tak percaya aku melewatkan semua ini pada lima hari pertama aku di sini.

Sudahlah, kembali ke laptop.

....

Tidak bisa. Kepalaku tetap berpaling ke arah kamar.

....

Eh, tunggu. Perempuan itu sudah tidak ada.

Aku meninggalkan kursiku, masuk ke kamar karena penasaran. Troli yang membawa ember dan peralatan kebersihannya masih ada di tengah ruangan. Lantai kamarku baru akan mengering dari hasil pel yang basah.

Apa dia di kamar mandi?

Tidak. Pintu kamar mandi terbuka dan tidak ada tanda-tanda manusia di dalamnya.

Ke mana dia? Kenapa aroma serai ini muncul lagi dengan kuat?

Cekrek!

Perempuan itu keluar dari pintu satunya lagi! Pintu yang dilarang kubuka karena terkoneksi dengan kamar tamu lain. Apa mungkin dia beres-beres juga di ruangan itu?

Kalau begitu, kenapa trolinya dia tinggal di kamarku?

Dan mengapa aroma serai ini semakin tajam?

“Ah!” Perempuan itu terkejut melihatku berdiri di ambang pintu, memergokinya keluar dari ruangan sebelah. Dia buru-buru mengunci pintu itu, kemudian menghampiri trolinya. Kurasa wajahnya memucat, seolah-olah darah tidak mengalir lagi di tubuhnya.

Aku menduga dia akan pergi meninggalkan kamarku. Namun aku terlanjur menyetopnya, “Tunggu!”

Dia berhenti di tengah ruangan. Menunduk, tanpa berani menoleh ke arahku.

“Namanya siapa, Mbak?” tanyaku, menghampirinya lebih dekat.

Agak lama dia menjawab, “Nunung.”

“Mbak Nunung ngebersihin semua kamar di sini?”

Nunung mengangguk pelan.

“Biasanya jam berapa Mbak ngebersihin ruangan saya?”

Nunung tidak menjawab.

“Baru hari ini saya ngelihat Mbak, padahal ini udah hari keenam saya. Mbak masuknya kapan?”

Nunung menoleh sebentar, meski masih tak berani menatap wajahku. “Saya ... pas saya masuk ... Akang biasanya masih tidur, atau sedang di kamar mandi ... atau ....” Nunung mendongak sedetik, menatapku, dan menatap sesuatu yang berdiri di belakangku, lalu dia menunduk lagi, “... atau sedang kerja di luar situ.”

Aku menoleh ke arah yang dilihat Nunung barusan. Kukira ada orang di belakangku. Namun kurasa Nunung melihat ke arah balkon, menunjukkan posisiku ketika dia bekerja kemarin.

Aku masih belum puas dengan jawaban Nunung. Tidak mungkin aku tidak menyadari kehadiran Nunung yang sedang beres-beres di ruangan ini. Masak iya aku tidur sepulas itu sampai-sampai tidak bangun oleh kehadiran orang yang menyapu dan mengepel lantai? Aku memang tak pernah mengunci pintu kamar ini. Namun aku jadi kepikiran bahwa siapa pun bisa saja masuk ke dalam kamar ini kalau mereka mau. Baik itu kepada desa, tukang bersih-bersih, atau maling sekalian.

Kuputuskan, mulai saat ini, aku akan selalu mengunci pintu kamar.

“S-sudah, A?” tanya Nunung, mulai agak ketakutan.

Aku mengerutkan alis dengan bingung. Ada apa dengan perempuan ini? Memangnya aku menakutkan? Aku ini gay, lho. Menghabiskan masa awal sekolah diejek sebagai banci, pas gede menjadi sosok yang pendiam dan biasa-biasa saja. Tipe laki-laki kantoran normal yang tidak populer, pun tidak garang menyeramkan seperti preman.

Tidak ada alasan untuk merasa terintimidasi olehku.

“Sudah,” jawabku. “Mbak boleh pergi. Makasih banyak ya Mbak sudah beresin ruangan ini.”

* * *

Ya, mimpi aneh itu muncul lagi.

Semuanya berulang. Persis sama.

Aku berbaring di peti mati. Kamar gelap. Seluruh perabotan berada pada tempatnya. Malah, setelah kuperhatikan, setiap benda berada di posisi yang sama sebelum aku tidur. Laptopku ada di meja depan sofa panjang, masih terbuka. Pada mimpi malam ketiga, laptop itu tertutup.

Aku tak tahu caranya bisa mengetahui keadaan ruangan padahal aku sedang terbaring di peti mati. Tapi aku tahu dan yakin sekali.

Laki-laki berkumis itu masuk beberapa menit kemudian. Kali ini dia mengajak dua orang perempuan berpakaian Belanda masa kolonial di belakangnya. Gaunnya tidak persis sama, tetapi sama-sama putih, lengan panjang, dan menjuntai hingga ke lantai. Satu gaun memiliki renda, satu gaun memiliki lipatan horisontal di bagian roknya. Keduanya mengenakan headpiece berbeda.

Ketiga orang itu berdiri di ujung peti matiku. Dengan gaya berdiri yang sama, ketiganya mengamatiku yang terbaring.

Selama berjam-jam.

Aku menghabiskan seluruh tidurku hanya untuk bermimpi membalas tatapan tiga sosok di depanku. Sosok yang tak kukenal, tak pernah kulihat sebelumnya, dan jelas bukan orang Indonesia.

Ketiganya persis seperti orang Belanda.



To be continued ....


<<< Part 03  |  Kerkhoven  |  Part 05 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Nude 33

  ssendrawkwA emitefiL .33     Pada suatu pagi lima tahun lalu, Miza bangun lebih pagi dari biasanya meski semalaman tak bisa tidur. D...