-4-Slaapkamer
- Dinten Kagenep -
Apa aku
terganggu dengan kejadian aneh itu? Awalnya, ya. Namun aku manusia rasional
yang seharusnya tak menggantungkan
rasa takutku pada sesuatu yang belum terbukti. Bagiku, hantu belum terbukti
keberadaannya—setakut apa pun aku pada ide itu.
Kurasa,
sosok laki-laki berkumis itu hanya halusinasiku. Mungkin efek terisolasi di
satu yang tempat sama berhari-hari. Kemudian, sosok itu mulai masuk ke mimpiku.
Mungkin
..., aku sedang butuh bersosialisasi.
Aku
ingin sekali bertemu manusia lain untuk mengobrolkan apa pun. Kehadiran Dian di
kamarku pada hari ketiga, membuatku sedikit mendingan. Maka dari itu, hari
keempat dan kelima aku tak pernah bertemu lagi sosok berkumis itu. Yang
menguatkan dugaanku bahwa itu hanyalah halusinasi sampah semata.
Kalau
ada satu hal yang harus membuatku ngeri tinggal di sini, adalah rapinya tempat
tidurku setiap pukul delapan pagi. Aku tahu, kamarku pasti dirapikan oleh
seseorang. Pak Munarman sudah menyebutkan soal ini pada hari pertama.
Anehnya,
aku tak pernah bertemu sosok yang membersihkan kamarku hingga hari keenam.
Kalau
aku bangun sebelum pukul delapan, lalu aku mandi atau bekerja di balkon, aku
selalu menemukan tempat tidurku rapi setelah pukul delapan. Tong sampahku
biasanya sudah dikosongkan, gelas dan piring yang kubawa dari Jakarta sudah
dirapikan, apa pun yang tidak berada di tempatnya akan kembali ke tempatnya
secara ajaib. Lantai pun seperti disapu dan dipel—karena aku juga mencium aroma
Wipol yang kuat—tetapi aktivitas bersih-bersih itu tak pernah tepergok olehku.
Pagi
ini, aku sengaja duduk di atas tempat tidur, menunggu pukul delapan pagi.
Seperti
dugaanku, pintu kamarku terbuka. Tukang bersih-bersih itu masuk.
“Eh,
maaf,” sapanya, saat melihatku berada di ruangan. Dia baru saja melongokkan
kepala di pintu, berniat menutupnya lagi. “Saya datang nanti aja—”
“Eh,
enggak usah. Sekarang juga gapapa,” kataku, melompat dari tempat tidur ke arah
pintu. Dengan kilat kusambar masker di atas meja, dan kukenakan di wajahku. Aku
menarik pintu kamar agar tidak tertutup sempurna. Dia masih ada di depan pintu.
“Masuk aja. Silakan kalau mau beres-beres. Saya mau kerja di balkon juga, kok.”
“Oh.”
Dia menunduk sambil mengangguk-angguk. “Punten
atuh, Pak.”
Dia
seorang perempuan. Umurnya mungkin awal 30-an. Tubuhnya kecil, mungil,
mengenakan setelan batik yang sudah lusuh. Persis seperti seorang ART. Dia
menarik satu troli berisi ember, sapu, pel, dan peralatan pembersih lainnya. Tidak
ada masker di wajahnya.
Kubiarkan
perempuan itu masuk untuk membereskan kamarku. Aku membawa laptopku ke balkon,
mulai mengerjakan pekerjaanku sendiri di sana. Namun setelah lima menit
memandangi Microsoft Word di depanku, aku tak bisa menulis apa-apa. Aku tak
punya ide harus mengerjakan tulisan konten yang mana, atau apa yang perlu
kuriset untuk tulisan tersebut.
Pikiranku
terganggu oleh kehadiran perempuan itu. Kepalaku berkali-kali menoleh ke arah
jendela kamar, mengecek sedang apa perempuan itu di dalam sana. Kulihat dia
membereskan tempat tidurku, menyapu dan mengepel, bahkan membersihkan kaca
jendela dari dalam. Aktivitasnya cukup padat dan heboh. Aku tak percaya aku
melewatkan semua ini pada lima hari pertama aku di sini.
Sudahlah,
kembali ke laptop.
....
Tidak
bisa. Kepalaku tetap berpaling ke arah kamar.
....
Eh,
tunggu. Perempuan itu sudah tidak ada.
Aku
meninggalkan kursiku, masuk ke kamar karena penasaran. Troli yang membawa ember
dan peralatan kebersihannya masih ada di tengah ruangan. Lantai kamarku baru
akan mengering dari hasil pel yang basah.
Apa dia
di kamar mandi?
Tidak. Pintu
kamar mandi terbuka dan tidak ada tanda-tanda manusia di dalamnya.
Ke mana
dia? Kenapa aroma serai ini muncul lagi dengan kuat?
Cekrek!
Perempuan
itu keluar dari pintu satunya lagi! Pintu yang dilarang kubuka karena
terkoneksi dengan kamar tamu lain. Apa mungkin dia beres-beres juga di ruangan
itu?
Kalau
begitu, kenapa trolinya dia tinggal di kamarku?
Dan
mengapa aroma serai ini semakin tajam?
“Ah!”
Perempuan itu terkejut melihatku berdiri di ambang pintu, memergokinya keluar
dari ruangan sebelah. Dia buru-buru mengunci pintu itu, kemudian menghampiri
trolinya. Kurasa wajahnya memucat, seolah-olah darah tidak mengalir lagi di
tubuhnya.
Aku
menduga dia akan pergi meninggalkan kamarku. Namun aku terlanjur menyetopnya,
“Tunggu!”
Dia
berhenti di tengah ruangan. Menunduk, tanpa berani menoleh ke arahku.
“Namanya
siapa, Mbak?” tanyaku, menghampirinya lebih dekat.
Agak
lama dia menjawab, “Nunung.”
“Mbak
Nunung ngebersihin semua kamar di sini?”
Nunung
mengangguk pelan.
“Biasanya
jam berapa Mbak ngebersihin ruangan saya?”
Nunung
tidak menjawab.
“Baru
hari ini saya ngelihat Mbak, padahal ini udah hari keenam saya. Mbak masuknya
kapan?”
Nunung
menoleh sebentar, meski masih tak berani menatap wajahku. “Saya ... pas saya
masuk ... Akang biasanya masih tidur, atau sedang di kamar mandi ... atau ....”
Nunung mendongak sedetik, menatapku, dan menatap sesuatu yang berdiri di
belakangku, lalu dia menunduk lagi, “... atau sedang kerja di luar situ.”
Aku
menoleh ke arah yang dilihat Nunung barusan. Kukira ada orang di belakangku.
Namun kurasa Nunung melihat ke arah balkon, menunjukkan posisiku ketika dia
bekerja kemarin.
Aku
masih belum puas dengan jawaban Nunung. Tidak mungkin aku tidak menyadari
kehadiran Nunung yang sedang beres-beres di ruangan ini. Masak iya aku tidur
sepulas itu sampai-sampai tidak bangun oleh kehadiran orang yang menyapu dan
mengepel lantai? Aku memang tak pernah mengunci pintu kamar ini. Namun aku jadi
kepikiran bahwa siapa pun bisa saja masuk ke dalam kamar ini kalau mereka mau.
Baik itu kepada desa, tukang bersih-bersih, atau maling sekalian.
Kuputuskan,
mulai saat ini, aku akan selalu mengunci pintu kamar.
“S-sudah,
A?” tanya Nunung, mulai agak ketakutan.
Aku
mengerutkan alis dengan bingung. Ada apa dengan perempuan ini? Memangnya aku menakutkan?
Aku ini gay, lho. Menghabiskan masa
awal sekolah diejek sebagai banci, pas gede menjadi sosok yang pendiam dan
biasa-biasa saja. Tipe laki-laki kantoran normal yang tidak populer, pun tidak
garang menyeramkan seperti preman.
Tidak
ada alasan untuk merasa terintimidasi olehku.
“Sudah,”
jawabku. “Mbak boleh pergi. Makasih banyak ya Mbak sudah beresin ruangan ini.”
* * *
Ya,
mimpi aneh itu muncul lagi.
Semuanya
berulang. Persis sama.
Aku
berbaring di peti mati. Kamar gelap. Seluruh perabotan berada pada tempatnya.
Malah, setelah kuperhatikan, setiap benda berada di posisi yang sama sebelum
aku tidur. Laptopku ada di meja depan sofa panjang, masih terbuka. Pada mimpi
malam ketiga, laptop itu tertutup.
Aku tak
tahu caranya bisa mengetahui keadaan ruangan padahal aku sedang terbaring di
peti mati. Tapi aku tahu dan yakin sekali.
Laki-laki
berkumis itu masuk beberapa menit kemudian. Kali ini dia mengajak dua orang
perempuan berpakaian Belanda masa kolonial di belakangnya. Gaunnya tidak persis
sama, tetapi sama-sama putih, lengan panjang, dan menjuntai hingga ke lantai.
Satu gaun memiliki renda, satu gaun memiliki lipatan horisontal di bagian
roknya. Keduanya mengenakan headpiece
berbeda.
Ketiga
orang itu berdiri di ujung peti matiku. Dengan gaya berdiri yang sama,
ketiganya mengamatiku yang terbaring.
Selama
berjam-jam.
Aku menghabiskan seluruh tidurku hanya untuk bermimpi membalas tatapan tiga sosok di depanku. Sosok yang tak kukenal, tak pernah kulihat sebelumnya, dan jelas bukan orang Indonesia.
Ketiganya persis seperti orang Belanda.
To be continued ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar