Senin, 29 Maret 2021

Kerkhoven 03

-3-
Balkon

 

- Dinten Katilu –

Sejauh ini, aku menikmati sesi karantinaku. Memasuki hari ketiga, aku merasa ini adalah vacation in disguise. Meja kerjaku berada di sebuah balkon cantik dengan pot-pot bunga besar, pinggir tebing, menghadap pemandangan hutan, sawah, dan perbukitan yang luas. Di sebelah kiriku Gunung Pangrango tampak raksasa dan dekat.

Aku menghabiskan hari kedua karantina menulis konten. Sekitar tiga tulisan berhasil kuselesaikan dalam mood yang sangat baik. Aku menghadiahi diriku dengan sesi minum teh dan biskuit yang menenangkan pukul empat sore. Kebetulan, cuaca sangat cerah kemarin. Kubiarkan diriku bersantai hingga matahari terbenam, terbangun ketika langit sudah gelap dan azan isya bersahutan dari masjid-masjid di area desa.

Hari ketiga, aku bangun agak siang. Matahari sudah tinggi, tidak menerangi kamarku dengan silau lagi. Ketika membuka mata, aku langsung berguling ke arah balkon, mencoba melihat suasana di luar seperti apa. Tirai-tirai putih tipis membuat pandanganku kabur keluar.

Namun, aku menemukan sesuatu yang aneh.

Di luar, di balkon, seseorang sedang duduk di atas kursi yang kududuki sepanjang hari kemarin. Seseorang yang juga sedang asyik minum teh. Aku melihat sikunya naik untuk menyodorkan gelas ke mulut, lalu menyesap minuman hangat yang ada di dalamnya.

Siapa itu? batinku. Apa itu tamu dari kamar lain?

Aku bangkit dengan santai sambil meregangkan tubuhku. Sangat wajar tamu kamar lain bermain-main ke balkonku. Kamarku adalah satu-satunya ruangan dengan balkon. Aku sempat mengobservasi gedung Kerkhoven setelah makan siang. Dari balkonku, kulihat setiap kamar hanya mendapat jendela besar yang diberikan teralis besi dari dalam. Dari halaman rumput luas yang ada di pinggir tebing, ada tangga menurun yang tersambung ke balkon. Sangat mudah bagi seseorang mengakses balkon ini.

Kusapa saja, putusku.

Aku bangkit dan mengambil masker di atas meja. Kubuka pintu kamar dan kulangkahkan kaki keluar.

....

Sosok itu sudah tidak ada.

....

Bahkan, peralatan minum teh yang aku yakin kulihat di atas meja, juga tidak ada. Padahal, aku yakin laki-laki itu masih ada di luar sana ketika aku berjalan ke pintu. Malah, aku ingat dia mengenakan jas hitam dengan rapi. Aku nyaris melihat wajahnya. Dia berkumis tebal.

Aku berjalan mengitari balkon untuk mengecek ke mana perginya sosok itu. Tidak ada tanda-tanda seseorang baru saja pergi dari tempat ini. Wajar sih kalau dia kabur. Waktu aku membuka kunci pintu balkon, suara bukaan kuncinya cukup keras. Bisa jadi dia lari sebelum aku muncul.

Tapi, ke mana?

Sejauh mata memandang, tak ada tanda-tanda seseorang sedang berkeliaran.

Tak ada pula tanda-tanda bekas minum teh di atas meja.

Aku menyentuh tempat duduk yang diduduki sosok tadi ... tempat duduknya masih dingin.

Lah, ke mana ya orang tadi?

Angin dingin berembus di sekitar balkon, mencubit kulitku hingga tubuhku menggigil. Jadi, kuputuskan untuk masuk ke dalam kamar saja. Toh langit hari ini agak kelabu, sama seperti langit pada hari pertama aku tiba di desa ini. Kukunci pintu dari dalam, kemudian aku berdiri lagi di depan jendela, memastikan aku tak salah melihat gara-gara tirai tipis transparan ini. Aku celingukan menatap ke luar jendela dari berbagai sudut, lalu—

“Cari siapa?”

“Argh!”

Aku melompat kaget sambil mencengkram tirai tipis di depanku. Seseorang melongokkan kepala di ambang pintu kamarku.

Dian. “Punten. Tadi saya udah ketok-ketok, tapi enggak dijawab waé sama Aa. Punten kalau lancang.”

Aku mengatur napas sambil mengurut dada. “Gapapa, kok. Maaf. Tadi aku habis dari balkon.”

“Ooohhh ....” Dian manggut-manggut sambil membuka pintu lebih lebar. Namun, dia masih berdiri di ambang pintu. Membungkuk kecil dengan sopan. “Maaf atuh kalau ganggu.”

Aku menghampirinya. “Enggak kok, gapapa. Ada yang bisa dibantu, Mas?”

“Mau ngecek aja. Siapa tahu kemarin-kemarin ada masalah di sini. Air ngalir kan, A?”

“Ngalir, kok. Listrik juga kuat nyalain rice cooker saya. Jadi saya belum pake dapurnya.”

“Oh, bagus atuh. Tapi palingan, kadang-kadang aja ini mah A, suka ada aliran listrik. Tapi nanti kalau ada info mau aliran listrik, saya pasti infoin ke Aa sama tamu yang lain.”

Aku mengernyitkan kening. “Bukannya ... listrik ngalir terus dari kemarin?”

Dian membelalak dan langsung menepuk jidatnya. “Eh, astagfirullah. Salah. Maksudna, A, suka ada mati listrik. Hehehe. Di Sunda téh, kalau listrik enggak ngalir, disebutnya: ‘aliran’. Maaf.” Dian menggaruk tengkuknya dengan malu. Di mataku, gestur itu tampak imut.

Baiklah, aku mengaku. Aku gay. Tulen sejak bayi. Namun aku mengekspresikannya secara discreet, sehingga tidak ada yang tahu bahwa aku sukanya sesama laki-laki. Aku tidak punya pacar. Jarang berhubungan seks sesama jenis. Prioritas hidupku sekarang hanyalah mencari uang untuk tabungan. Kemungkinan besar, suatu hari, aku akan menikahi seorang perempuan.

Namun, kalau urusannya ketemu cowok ganteng dengan badan bagus, tubuhku tak pernah bisa berbohong. Tubuhku akan bereaksi seperti seharusnya: jantung berdebar, kulit panas dingin, penis ereksi, kadang lutut terasa lemas.

Gejala-gejala tersebut sedang kualami sekarang. Gara-gara, Dian mengenakan kaus tipis lengan pendek yang longgar, yang ketika satu tangannya diangkat untuk menggaruk tengkuk, aku bisa melihat bisep-trisep itu mengembang keras. Malah, aku bisa melihat sejumput rambut ketiaknya mengintip keluar.

Pemandangan seperti itu membuatku meriang. Aku jadi teringat lagi tubuh berototnya selumbari, ketika dia telanjang dada dan mengantarku melewati genangan air menuju rumah Pak Munarman. Otot basah besar, keras, lebar, dan kokoh. Pikiran kotorku berharap Dian telanjang saja di depanku sekarang. Namun tak mungkin aku memintanya melakukan itu.

Yang benar saja.

“Banyak nyamuk juga enggak?” tanyanya, sambil merogoh sesuatu dari saku celana jinsnya. Dia mengeluarkan seuntai losion anti nyamuk merek murah, lalu menyodorkannya kepadaku. “Pake ini aja , A. Lumayan ampuh.”

“Oh, makasih Mas.”

Sebenarnya, tidak ada nyamuk satu pun selama aku ada di sini. Bahkan di balkon. Mungkin karena aku sudah memasang anti nyamuk elektrik sejak malam pertama. Namun, aku tak mau menolak tawaran losion saset dari Dian. Selain karena wajahnya tampan, enggak enak juga menolak tawaran itu setelah Dian jauh-jauh ke sini membawakannya.

Dian lalu berkacak pinggang dan memindai seisi kamarku. Setelah puas, dan mungkin memastikan kamarku baik-baik saja, dia pun tersenyum lebar. “Saya mau ngasih tahu satu lagi,” katanya, sambil mundur dan membimbingku ke lorong. Dian membuka pintu kamar yang berada tepat di sebelah kamarku. “Untuk sementara, saya tinggal di kamar ini.”

“Apa?” tanyaku, membelalak.

“Karena gedung ini penuh banget, A, dan untuk bantu tamu yang lagi isolasi, saya diminta Pak Kades buat tinggal di sini. Kebetulan, kemarin yang isolasi di sini udah keluar dan udah masuk ke desa. Orangnya alhamdulillah sehat, enggak kena Corona. Kalau Aa butuh bantuan saya, ketok aja pintu kamar saya ya, A.”

Aku menelan ludah. Bantuan apa maksudnya? Apa pun? Mana mungkin, Rizki. Mana mungkin bantuan memuaskan hasrat adalah salah satu di antaranya. “Oh, oke, Mas. Makasih banyak infonya.”

Dian mengangguk dengan canggung. Dia tersenyum, tetapi matanya lagi-lagi memindai seisi kamarku. “Ya udah atuh kalau gitu mah. Saya cuma mau ngasih tahu itu aja. Oh iya, air minum masih ada?”

“Masih,” jawabku sambil menoleh ke arah dispenser galon.

“Ada bocor gara-gara hujan?”

“Enggak ada.”

“Tikus? Cucunguk?

Aku terkekeh kecil. “Enggak kok, Mas. Enggak ada. Makasih banyak untuk perhatiannya. Nanti kalau ada tikus, saya ketok kamar Mas.”

Wajah Dian memerah karena malu. Dia menggaruk lagi tengkuknya, sambil melemparkan pandangan ke arah lain. Lagi-lagi aku bisa melihat bisep-trisepnya mengembang dari lengan baju longgar yang tersingkap itu. Giliran wajahku yang memerah karena bergairah.

“Ya udah atuh. Saya pamit dulu.” Dian mengangguk. Dia menutup pintu dengan rapat setelah memberikan senyuman lebar malu-malu.

Aku jadi ikutan malu.

Aku takut ketahuan sedang kasmaran sesaat ke pemuda desa ganteng yang baru kutemui dua kali.

Kamu benar-benar memalukan, Rizki. Ketemu seratus kali dulu, kek. Baru naksir. Memangnya ini Grindr? Sekali ketemu langsung kumpul kebo?

Aku menggelengkan kepala dan kembali naik ke atas tempat tidur. Tanpa sengaja, aku menoleh ke arah balkon lagi. Jantungku nyaris berhenti berdetak saat kulihat sosok itu ada lagi di sana.

Sosok yang sama seperti beberapa menit lalu.

Sosok berjas hitam, duduk di kursi yang sama, sedang menyesap sesuatu dari cangkir. Kali ini, sosok itu menoleh ke arahku yang ada di dalam kamar. Dia tersenyum. Kumisnya kelihatan sangat jelas meski tirai tipis yang menghalangi kami sebenarnya mengaburkan pandanganku di balik jendela. Dia menganggukkan kepalanya dengan sopan kepadaku.

Tentu saja, ketika aku melompat dari tempat tidur menuju balkon, sosok itu langsung lenyap begitu aku membuka pintu. Jejaknya tak ditemukan di mana-mana.

* * *

Malam itu, aku mengulang mimpi yang sama seperti malam pertama.

Aku berbaring di dalam peti mati yang terbuka. Ruangan gelap seperti tak berlampu, tetapi aku bisa melihat semua perabot kamar dalam kegelapan. Sebagian besar perabotannya tak kukenali. Tak ada meja rias maupun beberapa nakas yang kutahu seharusnya ada di situ. Lemari yang berjejer pun tampak berbeda.

Nuansa kamar terasa sunyi, sepi, dan dingin. Selama beberapa menit pertama, aku sendirian. Kemudian, pintu kamar terbuka.

Seseorang berjalan masuk ke dalam kamar. Dia lalu berdiri di ujung peti matiku. Kedua tangannya saling berjabatan di bawah perut. Dia menatapku yang ada di dalam peti.

Emosinya tak bisa kubaca. Mungkin karena gelap. Mungkin karena tak ada ekspresinya.

Yang pasti dia menatapku terus-menerus sepanjang malam.

Selama berjam-jam.

Dan aku masih tak bisa menggerakkan tubuhku.

....

Sosok itu adalah laki-laki berkumis yang kulihat menyesap teh di balkon pagi ini.



To be continued ....


<<< Part 02  |  Kerkhoven  |  Part 04 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Nude 33

  ssendrawkwA emitefiL .33     Pada suatu pagi lima tahun lalu, Miza bangun lebih pagi dari biasanya meski semalaman tak bisa tidur. D...