Senin, 29 Maret 2021

Kerkhoven 02

-2-
Kerkhoven

 

Kerkhoven adalah sebuah bangunan Belanda yang berdiri di tepi bukit. Bangunannya hanya satu lantai, tetapi memanjang seperti rumah sakit. Kamar-kamar berjejer di lorong panjang yang menghubungkan semua ruangan. Dindingnya tebal dan dingin, tipikal semua bangunan Belanda yang berdiri di berbagai tempat di Indonesia.

Kali pertama aku memasuki area Kerkhoven setelah hujan reda, kesan angker langsung menyergapku. Mungkin karena aku terdoktrin masyarakat lokal bahwa bangunan Belanda pasti berhantu. Padahal, kalau bangunan ini penuh diisi pengunjung yang sedang karantina, berarti bangunan ini aman. Kurasakan mobilku melintas di atas halaman berumput hijau yang dipangkas rapi. Yang berarti ada orang yang merawat gedung ini.

(Yang berarti ini bukan gedung tua Belanda berisi kuntilanak di mana-mana.)

Dian menyetir mobilku sementara aku duduk di jok penumpang. Pak Munarman ada di jok belakang mobil sambil bercerita banyak hal tentang desa ini. Tentang sawahnya, atau hutan bambunya, atau camilan lokal manis yang tersohor.

“Bangunan ini téh salah satu bangunan milik Rudolf Kerkhoven,” ungkap Pak Munarman, secara otomatis memberikan penjelasan tanpa diminta. “Tapi dianya mah jarang tinggal di sini. Waktu zaman Belanda téh, keluarga sama temennya yang tinggal di sini. Sebab pemandangan di sebelah sana bagus.”

Dinding luar rumah Kerkhoven pun tipikal rumah Belanda di Indonesia. Setengahnya adalah dinding batu kali yang dicat hitam, setengah ke atas adalah dinding putih gading. Tanaman kuping gajah berjejer di sepanjang lobi masuk. Lampu di dalam rumah tampak menyala. Pijar keemasan. Setidaknya aku tahu bahwa rumah Belanda ini dihuni manusia.

“Emang di kamar nu mana kitu, Pak?” tanya Dian, sambil memarkir mobil cukup dekat ke pintu masuk. “Perasaan masih penuh.” Dian yang kini sudah mengenakan kaus di badannya, menggaruk kepala bingung.

“Ada. Yang ujung,” jawab Pak Munarman sabar.

“Yang paling gede?”

“Iya. Kamar utama.”

“Tapi—”

“Nah, Dek Rizki ....” Dian tak sempat menyelesaikan kata-katanya karena Pak Munarman keburu memotong, “... kita sudah sampai, nih. Mulai hari ini istirahat aja dulu ya. Nanti hari ke-14 saya akan kunjungi lagi Dek Rizki. Kalau mau makan, nanti ada ART yang bantu masakin. Tapi Dek Rizki diam di kamar aja, enggak usah ke dapur. Semua yang sedang isolasi juga begitu. Takutnya malah meningkatkan risiko penyebaran virus.”

Dapat dipahami, pikirku. Maka dari itu, aku membawa cukup banyak camilan dan makanan instan yang bisa kumasak menggunakan penjerang air. Aku juga membawa penanak nasi dan peralatan makan sendiri. Secara teknis, aku sudah tidak butuh dapur. Aku hanya butuh listrik.

Kami semua turun dari mobil. Dian secara sukarela membawakan semua barangku yang berat, sementara aku menggeret satu koperku saja. Kami masuk ke lobi utama, lalu berbelok ke sebuah lorong yang sangat panjang. Di kanan-kiri lorong itu berjejer pintu-pintu. Suasananya persis lorong rumah sakit.

Pak Munarman membawaku ke kamar paling ujung, melewati beberapa undakan, bahkan harus keluar ke gedung sebelahnya. Sepanjang melewati lorong, aku mendengar sayup-sayup kesibukan dari semua kamar yang kulewati. Namun, pintu setiap ruangan itu tertutup rapat. Mereka pasti pengunjung yang sudah melakukan isolasi berhari-hari di sini.

Mendapati fakta itu, aku merasa sedikit lebih lega. Jujur saja aku sempat ngeri dengan angkernya bangunan tua ini. Namun kalau orang-orang ini saja bisa bertahan beberapa hari, harusnya aku bisa melakukannya juga.

Kamar yang akan kutempati cukup besar. Dekorasinya bagus, malah. Seperti kamar putri-putri Disney dengan tempat tidur berkelambu besar dan meja rias dari kayu jati. Lemari-lemari berukir berjejer di satu dinding, diakhiri dengan lemari buku yang dipenuhi buku-buku berbahasa Belanda. Ada dua area sofa di dalam kamar. Satu area diisi oleh sofa panjang antik bergaya abad pertengahan, satu area lain menempel ke dinding jendela raksasa. Tempat tidur diletakkan tepat di tengah-tengah ruangan, posisinya strategis untuk memantau seluruh kamar.

Aku terpukau oleh adanya balkon di luar. Sebuah balkon luas yang berada di pinggir tebing, menampilkan pemandangan hijau yang menakjubkan. Kursi-kursi besi ala Prancis ditempatkan dengan manis mendekati pagar. Pak Munarman memberitahuku bahwa aku tidak boleh melewati pagar balkon atas alasan karantina. Namun, aku diperbolehkan berada di area balkon kapan pun aku mau.

Terakhir, selain beberapa foto hitam putih berukuran besar yang ditempel di dinding, dan dekorasi antik mahal dari kayu, aku melihat ada dua pintu yang mengarah ke ruangan lain. Satu pintu menuju kamar mandi.

“Sementara pintu yang ini,” kata Pak Munarman, “ke kamar tamu yang lain. Jadi, jangan dibuka, ya.”

Aku mengangguk. “Baik, Pak. Terima kasih banyak atas akomodasinya. Ini lebih dari cukup.”

“Kalau ada apa-apa, gunakan telepon ini saja ya Dek Rizki. Putar ke angka 0 aja.”

Telepon yang ditunjuk Pak Munarman di atas meja adalah telepon tua berwarna hijau telur asin, yang tombolnya harus kita putar ke sebelah kanan. Belum pernah aku melihat telepon semacam itu secara langsung. Namun aku sering melihatnya di TV.

Satu hal yang membuatku agak terganggu adalah aroma serai yang kental di udara. Aku suka aroma serai seperti ini. Banyak hotel bintang empat menyemprotkannya di lobi atau lorong kamar hotel. Namun di ruangan ini seperti disemprotkan setiap detik. Agak berlebihan.

“Nah, Dek Rizki, silakan beristirahat dan lakukan isolasi selama empat belas hari. Semoga Dek Rizki betah dan bisa sehat selalu, tidak terjangkit virus Corona. Semoga dalam perjalanan ke sini pun semua baik-baik saja.”

“Amin,” balasku sambil tersenyum.

“Ada beberapa peraturan isolasi, bisa dibaca di sini,” Pak Munarman menyerahkan handout peraturan isolasi di Kerkhoven. “Nanti, pintunya tidak akan dikunci, tetapi dimohon untuk tidak keluar kamar ya Dek. Apalagi kami pasang sensor di pintu, ada CCTV juga di lorong. Kalau Dek Rizki melanggar peraturan, mohon maaf nanti saya harus menolak izin masuk Dek Rizki.”

“Oh, saya paham kok, Pak.”

“Pintu paling dibuka kalau Dek Rizki minta dibuatkan makanan, atau petugas yang bersihkan ruangan masuk.”

Petugas yang membersihkan ruangan? pikirku heran. Maksudnya akan ada orang yang keluar-masuk membersihkan ruangan ini?

“Saya pulang dulu kalau begitu,” pamit Pak Munarman sambil mengangguk. “WA saya aktif terus kok, Dek Rizki. Kalau ada urusan langsung ke saya, bisa langsung Whatsapp aja.”

“Baik, Pak.”

Pak Munarman pun pergi dari kamar dibuntuti Dian yang sudah selesai merapikan barang-barangku di satu sudut dekat jejeran lemari. Aku masih berdiri di ambang pintu, menatap kedua sosok itu berjalan di gelapnya lorong. Kulihat Dian menoleh selama beberapa detik ke belakang, menatapku yang sedang berdiri di pintu. Dari raut mukanya Dian tampak tak yakin. Alisnya berkerut heran. Namun aku terlalu lelah untuk berpikir yang bukan-bukan.

Aku menutup pintu dan beristirahat. Perjalanan hari ini terasa sangat panjang bagiku.

* * *

Malam harinya, aku bermimpi aneh.

Aku berada di kamar yang sama di gedung Kerkhoven itu. Semua gelap. Tak ada lampu yang menyala. Namun aku bisa melihat seluruh siluet perabotan yang ada di kamar. Posisiku berada di tempat tidur. Hanya saja, tempat tidurnya tak ada.

Aku berbaring di atas sebuah dipan sempit.

Bukan.

Aku berbaring di dalam peti yang terbuka.

Dinilai dari bentuknya, dengan bagian atas agak lebar dibandingkan bagian kaki, sepertinya ini peti mati. Aku berbaring di dalam peti mati yang terbuka.

Aku tak bisa bergerak sama sekali, kecuali menggerakkan pandanganku ke sana kemari.

Kuperhatikan, aku berada seorang diri di ruangan itu. Tak ada siapa pun lagi di dalam kamar. Atau apa pun. Aku merasa seperti ada yang sedang mengawasiku, tetapi aku tak menemukan siapa.

Aku berbaring tak bisa bergerak dalam mimpi itu selama berjam-jam.

Tak ada kejadian apa pun, kecuali fakta bahwa aku terbaring di dalam peti mati yang sempit, di dalam ruangan gelap, sendirian, dan tak punya kemampuan bergerak.

....

Seolah-olah aku sedang terbujur mati.



To be continued ....


<<< Part 01  |  Kerkhoven  |  Part 03 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Nude 33

  ssendrawkwA emitefiL .33     Pada suatu pagi lima tahun lalu, Miza bangun lebih pagi dari biasanya meski semalaman tak bisa tidur. D...