-2-Kerkhoven
Kerkhoven
adalah sebuah bangunan Belanda yang berdiri di tepi bukit. Bangunannya hanya
satu lantai, tetapi memanjang seperti rumah sakit. Kamar-kamar berjejer di
lorong panjang yang menghubungkan semua ruangan. Dindingnya tebal dan dingin,
tipikal semua bangunan Belanda yang berdiri di berbagai tempat di Indonesia.
Kali
pertama aku memasuki area Kerkhoven setelah hujan reda, kesan angker langsung
menyergapku. Mungkin karena aku terdoktrin masyarakat lokal bahwa bangunan
Belanda pasti berhantu. Padahal, kalau bangunan ini penuh diisi pengunjung yang
sedang karantina, berarti bangunan ini aman. Kurasakan mobilku melintas di atas
halaman berumput hijau yang dipangkas rapi. Yang berarti ada orang yang merawat
gedung ini.
(Yang
berarti ini bukan gedung tua Belanda berisi kuntilanak di mana-mana.)
Dian
menyetir mobilku sementara aku duduk di jok penumpang. Pak Munarman ada di jok
belakang mobil sambil bercerita banyak hal tentang desa ini. Tentang sawahnya,
atau hutan bambunya, atau camilan lokal manis yang tersohor.
“Bangunan
ini téh salah satu bangunan milik
Rudolf Kerkhoven,” ungkap Pak Munarman, secara otomatis memberikan penjelasan
tanpa diminta. “Tapi dianya mah
jarang tinggal di sini. Waktu zaman Belanda téh,
keluarga sama temennya yang tinggal di sini. Sebab pemandangan di sebelah sana
bagus.”
Dinding
luar rumah Kerkhoven pun tipikal rumah Belanda di Indonesia. Setengahnya adalah
dinding batu kali yang dicat hitam, setengah ke atas adalah dinding putih
gading. Tanaman kuping gajah berjejer di sepanjang lobi masuk. Lampu di dalam
rumah tampak menyala. Pijar keemasan. Setidaknya aku tahu bahwa rumah Belanda
ini dihuni manusia.
“Emang
di kamar nu mana kitu, Pak?” tanya Dian, sambil memarkir mobil cukup dekat ke pintu
masuk. “Perasaan masih penuh.” Dian yang kini sudah mengenakan kaus di
badannya, menggaruk kepala bingung.
“Ada.
Yang ujung,” jawab Pak Munarman sabar.
“Yang
paling gede?”
“Iya.
Kamar utama.”
“Tapi—”
“Nah,
Dek Rizki ....” Dian tak sempat menyelesaikan kata-katanya karena Pak Munarman keburu
memotong, “... kita sudah sampai, nih. Mulai hari ini istirahat aja dulu ya.
Nanti hari ke-14 saya akan kunjungi lagi Dek Rizki. Kalau mau makan, nanti ada
ART yang bantu masakin. Tapi Dek Rizki diam di kamar aja, enggak usah ke dapur.
Semua yang sedang isolasi juga begitu. Takutnya malah meningkatkan risiko
penyebaran virus.”
Dapat dipahami, pikirku. Maka
dari itu, aku membawa cukup banyak camilan dan makanan instan yang bisa kumasak
menggunakan penjerang air. Aku juga membawa penanak nasi dan peralatan makan
sendiri. Secara teknis, aku sudah tidak butuh dapur. Aku hanya butuh listrik.
Kami
semua turun dari mobil. Dian secara sukarela membawakan semua barangku yang
berat, sementara aku menggeret satu koperku saja. Kami masuk ke lobi utama,
lalu berbelok ke sebuah lorong yang sangat panjang. Di kanan-kiri lorong itu berjejer
pintu-pintu. Suasananya persis lorong rumah sakit.
Pak
Munarman membawaku ke kamar paling ujung, melewati beberapa undakan, bahkan
harus keluar ke gedung sebelahnya. Sepanjang melewati lorong, aku mendengar
sayup-sayup kesibukan dari semua kamar yang kulewati. Namun, pintu setiap
ruangan itu tertutup rapat. Mereka pasti pengunjung yang sudah melakukan
isolasi berhari-hari di sini.
Mendapati
fakta itu, aku merasa sedikit lebih lega. Jujur saja aku sempat ngeri dengan
angkernya bangunan tua ini. Namun kalau orang-orang ini saja bisa bertahan
beberapa hari, harusnya aku bisa melakukannya juga.
Kamar
yang akan kutempati cukup besar. Dekorasinya bagus, malah. Seperti kamar
putri-putri Disney dengan tempat tidur berkelambu besar dan meja rias dari kayu
jati. Lemari-lemari berukir berjejer di satu dinding, diakhiri dengan lemari
buku yang dipenuhi buku-buku berbahasa Belanda. Ada dua area sofa di dalam
kamar. Satu area diisi oleh sofa panjang antik bergaya abad pertengahan, satu
area lain menempel ke dinding jendela raksasa. Tempat tidur diletakkan tepat di
tengah-tengah ruangan, posisinya strategis untuk memantau seluruh kamar.
Aku
terpukau oleh adanya balkon di luar. Sebuah balkon luas yang berada di pinggir
tebing, menampilkan pemandangan hijau yang menakjubkan. Kursi-kursi besi ala
Prancis ditempatkan dengan manis mendekati pagar. Pak Munarman memberitahuku
bahwa aku tidak boleh melewati pagar balkon atas alasan karantina. Namun, aku
diperbolehkan berada di area balkon kapan pun aku mau.
Terakhir,
selain beberapa foto hitam putih berukuran besar yang ditempel di dinding, dan
dekorasi antik mahal dari kayu, aku melihat ada dua pintu yang mengarah ke
ruangan lain. Satu pintu menuju kamar mandi.
“Sementara
pintu yang ini,” kata Pak Munarman, “ke kamar tamu yang lain. Jadi, jangan
dibuka, ya.”
Aku
mengangguk. “Baik, Pak. Terima kasih banyak atas akomodasinya. Ini lebih dari
cukup.”
“Kalau
ada apa-apa, gunakan telepon ini saja ya Dek Rizki. Putar ke angka 0 aja.”
Telepon
yang ditunjuk Pak Munarman di atas meja adalah telepon tua berwarna hijau telur
asin, yang tombolnya harus kita putar ke sebelah kanan. Belum pernah aku
melihat telepon semacam itu secara langsung. Namun aku sering melihatnya di TV.
Satu
hal yang membuatku agak terganggu adalah aroma serai yang kental di udara. Aku
suka aroma serai seperti ini. Banyak hotel bintang empat menyemprotkannya di
lobi atau lorong kamar hotel. Namun di ruangan ini seperti disemprotkan setiap
detik. Agak berlebihan.
“Nah,
Dek Rizki, silakan beristirahat dan lakukan isolasi selama empat belas hari.
Semoga Dek Rizki betah dan bisa sehat selalu, tidak terjangkit virus Corona.
Semoga dalam perjalanan ke sini pun semua baik-baik saja.”
“Amin,”
balasku sambil tersenyum.
“Ada
beberapa peraturan isolasi, bisa dibaca di sini,” Pak Munarman menyerahkan handout peraturan isolasi di Kerkhoven.
“Nanti, pintunya tidak akan dikunci, tetapi dimohon untuk tidak keluar kamar ya
Dek. Apalagi kami pasang sensor di pintu, ada CCTV juga di lorong. Kalau Dek
Rizki melanggar peraturan, mohon maaf nanti saya harus menolak izin masuk Dek
Rizki.”
“Oh,
saya paham kok, Pak.”
“Pintu
paling dibuka kalau Dek Rizki minta dibuatkan makanan, atau petugas yang
bersihkan ruangan masuk.”
Petugas yang membersihkan ruangan? pikirku
heran. Maksudnya akan ada orang yang keluar-masuk membersihkan ruangan ini?
“Saya
pulang dulu kalau begitu,” pamit Pak Munarman sambil mengangguk. “WA saya aktif
terus kok, Dek Rizki. Kalau ada urusan langsung ke saya, bisa langsung Whatsapp
aja.”
“Baik,
Pak.”
Pak
Munarman pun pergi dari kamar dibuntuti Dian yang sudah selesai merapikan
barang-barangku di satu sudut dekat jejeran lemari. Aku masih berdiri di ambang
pintu, menatap kedua sosok itu berjalan di gelapnya lorong. Kulihat Dian
menoleh selama beberapa detik ke belakang, menatapku yang sedang berdiri di
pintu. Dari raut mukanya Dian tampak tak yakin. Alisnya berkerut heran. Namun
aku terlalu lelah untuk berpikir yang bukan-bukan.
Aku
menutup pintu dan beristirahat. Perjalanan hari ini terasa sangat panjang
bagiku.
* * *
Malam
harinya, aku bermimpi aneh.
Aku
berada di kamar yang sama di gedung Kerkhoven itu. Semua gelap. Tak ada lampu
yang menyala. Namun aku bisa melihat seluruh siluet perabotan yang ada di
kamar. Posisiku berada di tempat tidur. Hanya saja, tempat tidurnya tak ada.
Aku
berbaring di atas sebuah dipan sempit.
Bukan.
Aku
berbaring di dalam peti yang terbuka.
Dinilai
dari bentuknya, dengan bagian atas agak lebar dibandingkan bagian kaki,
sepertinya ini peti mati. Aku berbaring di dalam peti mati yang terbuka.
Aku tak
bisa bergerak sama sekali, kecuali menggerakkan pandanganku ke sana kemari.
Kuperhatikan,
aku berada seorang diri di ruangan itu. Tak ada siapa pun lagi di dalam kamar.
Atau apa pun. Aku merasa seperti ada yang sedang mengawasiku, tetapi aku tak
menemukan siapa.
Aku
berbaring tak bisa bergerak dalam mimpi itu selama berjam-jam.
Tak ada
kejadian apa pun, kecuali fakta bahwa aku terbaring di dalam peti mati yang
sempit, di dalam ruangan gelap, sendirian, dan tak punya kemampuan bergerak.
....
Seolah-olah aku sedang terbujur mati.
To be continued ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar