Senin, 29 Maret 2021

Kerkhoven 01


-1-
Cimenong

 

- Dinten Kahiji -

Ketika aku tiba di belokan terakhir, hujan deras turun. Jutaan tetes air menabuh kap mobilku, mengalahkan Top of the World-nya Carpenters dari pemutar lagu. Aku menaikkan volume hingga maksimal, berperang dengan bising hujan deras yang muncul tiba-tiba. Jalanan sungguh sepi. Hanya mobilku yang melaju di jalan beraspal gelap dan licin ini.

Pukul 13.45.

Seharusnya dalam lima menit aku sudah tiba di Desa Cimenong, Kabupaten Cianjur. Desa ini terisolasi dari desa lain di sekitar. Dipisahkan oleh kompleks persawahan, sebuah bukit yang menjadi salah satu kaki dari Gunung Pangrango, dan areal hutan berpohon tinggi. Menurut mbak kasir Indomaret yang kukunjungi sepuluh menit lalu, kalau aku sudah bertemu dua pohon beringin besar di kanan-kiri jalan, berarti aku sedang melewati gerbang masuk Desa Cimenong.

Aku baru saja melewati bukit-bukit tinggi hijau yang dingin. Di kanan-kiriku hanyalah pepohonan tropis besar yang kaku. Air hujan menembus rimbunnya dedaunan, sehingga di mana-mana basah. Aspal yang kususuri berwarna lebih gelap oleh air. Setidaknya aku bersyukur, jalan menuju Desa Cimenong sudah dilapisi aspal.

Hingga lima belas menit kemudian, aku masih belum bertemu dua pohon beringin itu. Malah mobilku sempat tergelincir kecil ke luar jalur gara-gara kukira ada anak harimau.

Setelah wiper mobil membersihkan titik-titik air, ternyata yang kulihat adalah segunduk dedaunan basah yang menumpuk agak ke tengah jalan. Aku menarik napas setelah menenangkan jantung yang berdebar, kemudian melanjutkan perjalananku.

Tak lama dari lokasi itu, kulihat dua pohon beringin di kejauhan. Pohonnya sangat besar, tak mungkin siapa pun melewatkannya. Pohon itu berdiri di tengah-tengah lapang rumput kecil yang sunyi. Saling berhadapan. Saling menyambut siapa pun yang akan masuk.

Dan, di titik itu pula, aspal berhenti.

Permukaan jalan menuju desa setelah pohon beringin nyatanya sebatas tanah merah biasa. Tanah merah yang basah, berlumpur, dan berlubang di mana-mana. Genangan-genangan air menyambutku di sepanjang jalan, sehingga aku harus menurunkan kecepatan sambil bermanuver menghindari lubang.

Aku bersyukur saat menemukan beberapa rumah warga di kanan-kiri jalan. Kukira aku akan berakhir di tengah hutan antah berantah dan tersesat selamanya. Rumah-rumah itu sederhana. Setengahnya berdinding kayu dengan halaman luas yang tak berumput. Tak ada orang berkeliaran di sekitar rumah-rumah itu, meski aku tahu ada orang di dalamnya—karena lampu menyala. Mungkin karena hujan deras, mereka memutuskan untuk diam di dalam.

Perjalananku harus terhenti di sebuah tebing yang dialiri air dari atas. Seperti air terjun. Satu tebing tinggi di sebelah kiriku, satu tebing curam ke bawah di sebelah kananku. Dari tebing kiri ada aliran air yang jatuh seperti air terjun, membasahi jalan tanah merah yang harus kulalui. Aliran air itu mengalir ke tebing sebelah kanan, jatuh lagi menjadi air terjun ke bawah. Entah ke mana.

Apa aku perlu melewati aliran air itu? tanyaku dalam hati. Enggak besar sih arusnya. Harusnya mobilku bisa melewatinya dengan mudah. Namun permukaan jalan yang berlumpur membuatku ragu.

....

Sudahlah, bablas saja.

Aku menginjak pedal gas pelan-pelan, berancang-ancang untuk melaju cukup kencang melewati aliran air itu. Namun belum juga aku melompat—

BUG-BUG-BUG-BUG-BUG!

Sesuatu memukul-mukul bagian belakang mobilku, sehingga aku mengerem secara mendadak.

Aku menoleh ke belakang seketika. Kulihat sesosok laki-laki berlari di bawah hujan, memayungi dirinya dengan sebatang daun pisang besar di atas kepala. Selama sepersekian detik, dadaku berdegup saat melihat laki-laki itu tak mengenakan atasan. Dia hanya mengenakan celana jins pendek selutut dan sepatu bot karet yang dipenuhi air. Aku bisa melihat dadanya bidang, perutnya berotot, dan bisep-trisepnya keras dalam tempo singkat.

Wow. Laki-laki desa, batinku.

Namun aku bisa menguasai diriku dengan baik saat dia membungkuk di samping jendela.

“A, enggak bisa lewat sini. Licin. Parkirin di sana aja dulu!” katanya, mengetuk jendela mobilku, menunjuk sebuah rumah di belakang.

Aku menurunkan kaca jendela seperempat, membiarkan tetesan air hujan masuk ke dalam. “Saya mau ke rumah kades, Mas. Lurus, kan?”

“Iya tapi ini téh lagi enggak bisa dilewatin sama mobil. Takutnya mobil Aa palid ke bawah nanti. Kalau Aa-nya aja mah bisa lewat situ. Parkir aja dulu di rumah sana, nanti kalau air udah berhenti ngalir, saya temenin lagi ke sini.”

Dia bahkan lebih tampan dari dugaanku.

Hidungnya bangir dengan alis tebal, seolah-olah dia punya campuran Eropa. Dari facial hair-nya yang tumbuh subur tetapi dicukur, mungkin dia ada keturunan Kaukasia. Versi ganteng. Dan versi berotot. Namun, tinggal di desa.

“Ya udah.” Aku tak bisa mendebatnya.

Aku memundurkan mobil menuju rumah yang ditunjuk si ganteng, dan parkir di halaman depannya yang luas. Dia menyambutku ketika aku keluar. Malah, dia memberiku sebuah payung lebar berwarna hitam, padahal aku sudah menyiapkan payung mungilku yang berwarna pink, yang selalu kusimpan di dasbor penumpang.

“Pake itu mah tetep basah, A. Mending pake ini aja,” katanya.

Boleh dibilang, payung itu nyaris menyaingi payung tempat duduk outdoor yang disponsori Teh Botol. Tapi enggak segede itu juga. Hanya saja aku tak terbiasa dengan payung besar yang bisa menaungi seluruh badanku dari air hujan. Bahu dan sepatuku tidak sebasah biasanya.

“Pakai ini juga, A,” dia mengacungkan sepasang bot karet besar. “Supaya enggak licin.”

Aku menemukan diriku berjalan kaki di bawah hujan deras sebuah desa yang tak kukenal. Di depanku, cowok ganteng berdarah campuran itu berjalan dengan gagah melompati genangan air pinggir jalan. Di atas kepalanya masih ada daun pisang yang sama. Padahal, seluruh tubuhnya sudah basah kuyup. Aku mengamati titik-titik air hujan menempel di punggungnya yang kokoh dan berotot sepanjang berjalan.

Sekali dua kali, laki-laki itu mengajakku mengobrol. “Aa yang dari Jakarta, bukan?”

“Iya, saya yang mau ngeliput di sini.”

“Udah tahu soal kewajiban karantina?”

“Udah. Saya udah siapin peralatan buat dua minggu, kok.”

“Iya, ini téh lagi musim hujan. Kalau hujan gede kayak gini téh, di tebing sana suka jadi air terjun. Bahaya buat mobil lewat. Alirannya bisa sampai ke Sungai Cimenong di bawah, Aa bisa dibawa sampe ke Sukabumi entarnya.”

“Dalam ya tebingnya?”

“Lumayan, A. Dua puluh meter, lah. Tapi di bawahnya langsung ada sungai kecil, kok. Yang kalau musim hujan kayak gini mah jadi gede arusnya. Nah, itu rumah pak kadesnya. Namanya Pak Munarman.”

Kepala Desa Cimenong menyambutku dengan ramah di rumahnya. Dia mengenakan batik yang sangat bagus (dugaanku dia menunggu-nunggu kedatanganku ke sini). Rumahnya cukup besar, sebagian terbuat dari kayu, sebagian dari tembok. Di sebelah rumah ada pendopo besar dari kayu jati yang permukaannya dipelitur. Aku diajak ke pendopo tersebut agar bisa mengobrol sambil menatap pemandangan sawah dan hutan di belakang rumah Pak Munarman.

Di tengah pendopo sudah disajikan pisang goreng dan teh hangat. Laki-laki yang mengantarku tadi duduk di tepi pendopo karena seluruh tubuhnya basah. Aku dan Pak Munarman duduk di atas lantai bambu yang dingin, tetapi kering, dikelilingi bantal-bantal cushion bermotif batik cianjur berwarna cerah yang dipenuhi gambar-gambar padi.

“Susah enggak nemu desanya?” tanya Pak Munarman setelah mempersilakanku menyantap pisang goreng. “Maaf, kita belum ngeaspal semua jalan. Jadi yang di sana tuh suka licin.”

“Gapapa kok, Pak,” balasku, menyesap teh hangat itu.

“Dek Rizki gapapa kan karantina dulu empat belas hari sebelum mulai liputan?”

“Gapapa, Pak. Saya yang justru bakal ngerepotin Bapak karena harus karantina dulu di sini.”

“Ah, kita mah gapapa, Dek.” Pak Munarman mengibaskan tangannya. “Yang penting angka kasus Covid-19 di sini tetap nol, saya mah siap melakukan berbagai upaya supaya warga sini tetap sehat.”

“Memang harus begitu, Pak.”

Ya, itulah alasanku berada di sini. Namaku Rizki, bekerja sebagai penulis di sebuah portal berita terkenal Jakarta. Desa Cimenong tercatat menjadi satu-satunya desa dengan kasus Covid-19 terendah (bahkan nol kasus) hingga Februari 2021. Tak ada laporan kematian terkait Covid-19 datang dari desa ini, kecuali kematian natural. Fakta ini menjadi perbincangan di masyarakat Indonesia, sampai-sampai kantorku mengirimku khusus ke sini, dan rela membiayai 14 hari karantina demi liputan lebih mendalam.

Kabarnya, enam bulan pertama pandemi dimulai, desa ini melakukan lockdown total. Mereka menutup akses dari dunia luar. Beberapa bulan berikutnya, akses dibuka dengan pengawasan ketat. Semua orang yang berkunjung wajib melakukan karantina selama 14 hari di sini. Mau itu turis, keluarga, jurnalis, atau siapa pun, tidak diizinkan lewat begitu saja ke desa tanpa karantina.

Aku menjadi jurnalis pertama yang datang. Sebelumnya, tak ada jurnalis lain yang bersedia datang tanpa mengikuti karantina. Semua media sepakat bahwa liputan ke sini menghabiskan waktu saja. Sialnya kantorku tertarik meliput Desa Cimenong, sehingga aku kebagian kerjaan yang wasting time ini.

Jadi, sembari melakukan karantina, kantorku juga memintaku menulis 50 tulisan konten sebelum akhirnya aku melakukan liputan tunggal.

“Di mana saya bisa tinggal untuk karantina, Pak?” tanyaku setelah melahap sepotong pisang goreng.

Pak Munarman sudah cukup tua, tetapi tampak bugar. Dia tipe-tipe orang kampung yang mungkin pendidikannya tidak tinggi, tetapi dianggap bijaksana karena umurnya sudah sepuh. Kurasa Pak Munarman orang baik, meski ada dinding tak kasatmata yang kurasakan sejak pertama kali berjumpa. Sesuatu yang sangat wajar dilakukan ketika orang asing mengunjungi rumahmu.

“Nanti diantar sama Dian,” jawab Pak Munarman.

Laki-laki di tepi pendopo menoleh. Dia menatap kami berdua, lalu tersenyum lebar sambil menatap ke arahku.

Namanya Dian.

“Tapi tunggu hujan reda dulu, ya,” sambung Pak Munarman penuh sayang. “Lagi pula tempatnya lagi diberesin sama si Nunung.”

“Teh Nunung yang rumahnya dekat sungai?” tanya Dian, nimbrung.

“Iya. Dia udah disuruh beres-beres dari pagi. Paling jam empat selesai, lah.”

“Di rumah yang mana gitu Pak, karantina buat A Rizkina?”

Pak Munarman tersenyum lebar dulu sebelum menjawab, “Di Kerkhoven .”

Dian mengerutkan alisnya. “Bukannya di sana téh udah penuh?”

Pak Munarman menggeleng ramah. “Aya kénéh hiji deui, Yan.” Beliau menoleh ke arahku dan menerjemahkannya, “Masih ada satu kamar yang kosong. Kalau urusannya karantina mah, di sini benar-benar serius, Dek. Misal kamar penuh pun, saya usahakan dapat fasilitas terbaik.”

“Makasih banyak, Pak.” Aku mengangguk saja dengan sopan.

Namun, kulihat Dian tak terima dengan informasi itu. Dia masih mengerutkan alisnya sambil kembali memunggungi kami di tengah pendopo. Kelihatan jelas Dian mencoba berpikir keras.

Sejauh ini, kuakui usaha Desa Cimenong memberantas penyebaran Covid-19 patut diacungi jempol. Khususnya perihal karantina. Daerah lain, sih jarang banget yang seserius ini menerapkan karantina bagi para pendatang. Mungkin inilah salah satu alasan mengapa hingga hari ini kasus Covid-19 di Desa Cimenong berada pada angka nol.

Hanya saja, aku agak kepikiran sesuatu ....

... seaman itukah desa ini sampai-sampai Dian maupun Pak Munarman tidak mengenakan masker sepanjang kami mengobrol bareng? 



To be continued ....


Kerkhoven  |  Part 02 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Nude 33

  ssendrawkwA emitefiL .33     Pada suatu pagi lima tahun lalu, Miza bangun lebih pagi dari biasanya meski semalaman tak bisa tidur. D...