-1-Cimenong
- Dinten Kahiji -
Ketika
aku tiba di belokan terakhir, hujan deras turun. Jutaan tetes air menabuh kap
mobilku, mengalahkan Top of the World-nya
Carpenters dari pemutar lagu. Aku menaikkan volume hingga maksimal, berperang
dengan bising hujan deras yang muncul tiba-tiba. Jalanan sungguh sepi. Hanya
mobilku yang melaju di jalan beraspal gelap dan licin ini.
Pukul 13.45.
Seharusnya
dalam lima menit aku sudah tiba di Desa Cimenong, Kabupaten Cianjur. Desa ini
terisolasi dari desa lain di sekitar. Dipisahkan oleh kompleks persawahan,
sebuah bukit yang menjadi salah satu kaki dari Gunung Pangrango, dan areal
hutan berpohon tinggi. Menurut mbak kasir Indomaret yang kukunjungi sepuluh
menit lalu, kalau aku sudah bertemu dua pohon beringin besar di kanan-kiri
jalan, berarti aku sedang melewati gerbang masuk Desa Cimenong.
Aku
baru saja melewati bukit-bukit tinggi hijau yang dingin. Di kanan-kiriku
hanyalah pepohonan tropis besar yang kaku. Air hujan menembus rimbunnya
dedaunan, sehingga di mana-mana basah. Aspal yang kususuri berwarna lebih gelap
oleh air. Setidaknya aku bersyukur, jalan menuju Desa Cimenong sudah dilapisi
aspal.
Hingga
lima belas menit kemudian, aku masih belum bertemu dua pohon beringin itu.
Malah mobilku sempat tergelincir kecil ke luar jalur gara-gara kukira ada anak
harimau.
Setelah
wiper mobil membersihkan titik-titik
air, ternyata yang kulihat adalah segunduk dedaunan basah yang menumpuk agak ke
tengah jalan. Aku menarik napas setelah menenangkan jantung yang berdebar,
kemudian melanjutkan perjalananku.
Tak
lama dari lokasi itu, kulihat dua pohon beringin di kejauhan. Pohonnya sangat
besar, tak mungkin siapa pun melewatkannya. Pohon itu berdiri di tengah-tengah
lapang rumput kecil yang sunyi. Saling berhadapan. Saling menyambut siapa pun
yang akan masuk.
Dan, di
titik itu pula, aspal berhenti.
Permukaan
jalan menuju desa setelah pohon beringin nyatanya sebatas tanah merah biasa.
Tanah merah yang basah, berlumpur, dan berlubang di mana-mana.
Genangan-genangan air menyambutku di sepanjang jalan, sehingga aku harus
menurunkan kecepatan sambil bermanuver menghindari lubang.
Aku
bersyukur saat menemukan beberapa rumah warga di kanan-kiri jalan. Kukira aku
akan berakhir di tengah hutan antah berantah dan tersesat selamanya.
Rumah-rumah itu sederhana. Setengahnya berdinding kayu dengan halaman luas yang
tak berumput. Tak ada orang berkeliaran di sekitar rumah-rumah itu, meski aku
tahu ada orang di dalamnya—karena lampu menyala. Mungkin karena hujan deras,
mereka memutuskan untuk diam di dalam.
Perjalananku
harus terhenti di sebuah tebing yang dialiri air dari atas. Seperti air terjun.
Satu tebing tinggi di sebelah kiriku, satu tebing curam ke bawah di sebelah
kananku. Dari tebing kiri ada aliran air yang jatuh seperti air terjun,
membasahi jalan tanah merah yang harus kulalui. Aliran air itu mengalir ke
tebing sebelah kanan, jatuh lagi menjadi air terjun ke bawah. Entah ke mana.
Apa aku perlu melewati aliran air itu? tanyaku
dalam hati. Enggak besar sih arusnya. Harusnya mobilku bisa melewatinya dengan
mudah. Namun permukaan jalan yang berlumpur membuatku ragu.
....
Sudahlah,
bablas saja.
Aku
menginjak pedal gas pelan-pelan, berancang-ancang untuk melaju cukup kencang
melewati aliran air itu. Namun belum juga aku melompat—
BUG-BUG-BUG-BUG-BUG!
Sesuatu
memukul-mukul bagian belakang mobilku, sehingga aku mengerem secara mendadak.
Aku
menoleh ke belakang seketika. Kulihat sesosok laki-laki berlari di bawah hujan,
memayungi dirinya dengan sebatang daun pisang besar di atas kepala. Selama
sepersekian detik, dadaku berdegup saat melihat laki-laki itu tak mengenakan
atasan. Dia hanya mengenakan celana jins pendek selutut dan sepatu bot karet
yang dipenuhi air. Aku bisa melihat dadanya bidang, perutnya berotot, dan
bisep-trisepnya keras dalam tempo singkat.
Wow. Laki-laki desa, batinku.
Namun
aku bisa menguasai diriku dengan baik saat dia membungkuk di samping jendela.
“A,
enggak bisa lewat sini. Licin. Parkirin di sana aja dulu!” katanya, mengetuk
jendela mobilku, menunjuk sebuah rumah di belakang.
Aku
menurunkan kaca jendela seperempat, membiarkan tetesan air hujan masuk ke
dalam. “Saya mau ke rumah kades, Mas. Lurus, kan?”
“Iya
tapi ini téh lagi enggak bisa
dilewatin sama mobil. Takutnya mobil Aa palid
ke bawah nanti. Kalau Aa-nya aja mah
bisa lewat situ. Parkir aja dulu di rumah sana, nanti kalau air udah berhenti
ngalir, saya temenin lagi ke sini.”
Dia bahkan
lebih tampan dari dugaanku.
Hidungnya
bangir dengan alis tebal, seolah-olah dia punya campuran Eropa. Dari facial hair-nya yang tumbuh subur tetapi
dicukur, mungkin dia ada keturunan Kaukasia. Versi ganteng. Dan versi berotot.
Namun, tinggal di desa.
“Ya
udah.” Aku tak bisa mendebatnya.
Aku
memundurkan mobil menuju rumah yang ditunjuk si ganteng, dan parkir di halaman
depannya yang luas. Dia menyambutku ketika aku keluar. Malah, dia memberiku
sebuah payung lebar berwarna hitam, padahal aku sudah menyiapkan payung
mungilku yang berwarna pink, yang
selalu kusimpan di dasbor penumpang.
“Pake
itu mah tetep basah, A. Mending pake
ini aja,” katanya.
Boleh
dibilang, payung itu nyaris menyaingi payung tempat duduk outdoor yang disponsori Teh Botol. Tapi enggak segede itu juga.
Hanya saja aku tak terbiasa dengan payung besar yang bisa menaungi seluruh
badanku dari air hujan. Bahu dan sepatuku tidak sebasah biasanya.
“Pakai
ini juga, A,” dia mengacungkan sepasang bot karet besar. “Supaya enggak licin.”
Aku
menemukan diriku berjalan kaki di bawah hujan deras sebuah desa yang tak
kukenal. Di depanku, cowok ganteng berdarah campuran itu berjalan dengan gagah
melompati genangan air pinggir jalan. Di atas kepalanya masih ada daun pisang
yang sama. Padahal, seluruh tubuhnya sudah basah kuyup. Aku mengamati
titik-titik air hujan menempel di punggungnya yang kokoh dan berotot sepanjang
berjalan.
Sekali
dua kali, laki-laki itu mengajakku mengobrol. “Aa yang dari Jakarta, bukan?”
“Iya,
saya yang mau ngeliput di sini.”
“Udah
tahu soal kewajiban karantina?”
“Udah.
Saya udah siapin peralatan buat dua minggu, kok.”
“Iya,
ini téh lagi musim hujan. Kalau hujan
gede kayak gini téh, di tebing sana
suka jadi air terjun. Bahaya buat mobil lewat. Alirannya bisa sampai ke Sungai Cimenong
di bawah, Aa bisa dibawa sampe ke Sukabumi entarnya.”
“Dalam
ya tebingnya?”
“Lumayan,
A. Dua puluh meter, lah. Tapi di bawahnya langsung ada sungai kecil, kok. Yang
kalau musim hujan kayak gini mah jadi
gede arusnya. Nah, itu rumah pak kadesnya. Namanya Pak Munarman.”
Kepala
Desa Cimenong menyambutku dengan ramah di rumahnya. Dia mengenakan batik yang
sangat bagus (dugaanku dia menunggu-nunggu kedatanganku ke sini). Rumahnya
cukup besar, sebagian terbuat dari kayu, sebagian dari tembok. Di sebelah rumah
ada pendopo besar dari kayu jati yang permukaannya dipelitur. Aku diajak ke
pendopo tersebut agar bisa mengobrol sambil menatap pemandangan sawah dan hutan
di belakang rumah Pak Munarman.
Di
tengah pendopo sudah disajikan pisang goreng dan teh hangat. Laki-laki yang
mengantarku tadi duduk di tepi pendopo karena seluruh tubuhnya basah. Aku dan
Pak Munarman duduk di atas lantai bambu yang dingin, tetapi kering, dikelilingi
bantal-bantal cushion bermotif batik
cianjur berwarna cerah yang dipenuhi gambar-gambar padi.
“Susah
enggak nemu desanya?” tanya Pak Munarman setelah mempersilakanku menyantap
pisang goreng. “Maaf, kita belum ngeaspal semua jalan. Jadi yang di sana tuh
suka licin.”
“Gapapa
kok, Pak,” balasku, menyesap teh hangat itu.
“Dek
Rizki gapapa kan karantina dulu empat belas hari sebelum mulai liputan?”
“Gapapa,
Pak. Saya yang justru bakal ngerepotin Bapak karena harus karantina dulu di
sini.”
“Ah,
kita mah gapapa, Dek.” Pak Munarman
mengibaskan tangannya. “Yang penting angka kasus Covid-19 di sini tetap nol,
saya mah siap melakukan berbagai
upaya supaya warga sini tetap sehat.”
“Memang
harus begitu, Pak.”
Ya,
itulah alasanku berada di sini. Namaku Rizki, bekerja sebagai penulis di sebuah
portal berita terkenal Jakarta. Desa Cimenong tercatat menjadi satu-satunya
desa dengan kasus Covid-19 terendah (bahkan nol kasus) hingga Februari 2021. Tak
ada laporan kematian terkait Covid-19 datang dari desa ini, kecuali kematian natural.
Fakta ini menjadi perbincangan di masyarakat Indonesia, sampai-sampai kantorku
mengirimku khusus ke sini, dan rela membiayai 14 hari karantina demi liputan lebih
mendalam.
Kabarnya,
enam bulan pertama pandemi dimulai, desa ini melakukan lockdown total. Mereka menutup akses dari dunia luar. Beberapa
bulan berikutnya, akses dibuka dengan pengawasan ketat. Semua orang yang
berkunjung wajib melakukan karantina selama 14 hari di sini. Mau itu turis,
keluarga, jurnalis, atau siapa pun, tidak diizinkan lewat begitu saja ke desa
tanpa karantina.
Aku
menjadi jurnalis pertama yang datang. Sebelumnya, tak ada jurnalis lain yang
bersedia datang tanpa mengikuti karantina. Semua media sepakat bahwa liputan ke
sini menghabiskan waktu saja. Sialnya kantorku tertarik meliput Desa Cimenong,
sehingga aku kebagian kerjaan yang wasting
time ini.
Jadi,
sembari melakukan karantina, kantorku juga memintaku menulis 50 tulisan konten
sebelum akhirnya aku melakukan liputan tunggal.
“Di
mana saya bisa tinggal untuk karantina, Pak?” tanyaku setelah melahap sepotong
pisang goreng.
Pak
Munarman sudah cukup tua, tetapi tampak bugar. Dia tipe-tipe orang kampung yang
mungkin pendidikannya tidak tinggi, tetapi dianggap bijaksana karena umurnya
sudah sepuh. Kurasa Pak Munarman orang baik, meski ada dinding tak kasatmata
yang kurasakan sejak pertama kali berjumpa. Sesuatu yang sangat wajar dilakukan
ketika orang asing mengunjungi rumahmu.
“Nanti
diantar sama Dian,” jawab Pak Munarman.
Laki-laki
di tepi pendopo menoleh. Dia menatap kami berdua, lalu tersenyum lebar sambil
menatap ke arahku.
Namanya
Dian.
“Tapi
tunggu hujan reda dulu, ya,” sambung Pak Munarman penuh sayang. “Lagi pula
tempatnya lagi diberesin sama si Nunung.”
“Teh Nunung
yang rumahnya dekat sungai?” tanya Dian, nimbrung.
“Iya.
Dia udah disuruh beres-beres dari pagi. Paling jam empat selesai, lah.”
“Di
rumah yang mana gitu Pak, karantina buat A Rizkina?”
Pak
Munarman tersenyum lebar dulu sebelum menjawab, “Di Kerkhoven wé.”
Dian
mengerutkan alisnya. “Bukannya di sana téh
udah penuh?”
Pak
Munarman menggeleng ramah. “Aya kénéh
hiji deui, Yan.” Beliau menoleh ke arahku dan menerjemahkannya, “Masih ada
satu kamar yang kosong. Kalau urusannya karantina mah, di sini benar-benar serius, Dek. Misal kamar penuh pun, saya
usahakan dapat fasilitas terbaik.”
“Makasih
banyak, Pak.” Aku mengangguk saja dengan sopan.
Namun,
kulihat Dian tak terima dengan informasi itu. Dia masih mengerutkan alisnya
sambil kembali memunggungi kami di tengah pendopo. Kelihatan jelas Dian mencoba
berpikir keras.
Sejauh
ini, kuakui usaha Desa Cimenong memberantas penyebaran Covid-19 patut diacungi
jempol. Khususnya perihal karantina. Daerah lain, sih jarang banget yang
seserius ini menerapkan karantina bagi para pendatang. Mungkin inilah salah
satu alasan mengapa hingga hari ini kasus Covid-19 di Desa Cimenong berada pada
angka nol.
Hanya saja, aku agak kepikiran sesuatu ....
... seaman itukah desa ini sampai-sampai Dian maupun Pak Munarman tidak mengenakan masker sepanjang kami mengobrol bareng?
To be continued ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar