001 The Writer
Enam jam sebelumnya, seorang pemuda terbangun dari tidur yang cukup
panjang. Dia mengangkat kepala dan menyipitkan mata melihat sinar matahari
menerangi kamar lewat jendela yang tak ditutup tirai. Jam kecil di atas nakas
menunjukkan pukul 11 siang waktu pesisir barat Amerika Serikat. Dia
menghempaskan kepalanya ke atas bantal sejenak untuk mengumpulkan nyawa.
Setelah itu bangkit dan duduk di tepi tempat tidur sambil menormalkan aliran
darahnya.
Nama pemuda itu Jordan, 23 tahun. Ini hari kepulangannya ke Indonesia
setelah tiga hari mengelilingi Seattle untuk mengumpulkan data. Jordan menulis
untuk banyak orang. Baik itu perusahaan, sosok tersohor, media, bahkan tulisan
fiksi untuk dirinya sendiri. Minggu ini, dia akan menulis untuk maskapai jet
pribadi terbesar di Indonesia, Yavadvipa Jet. Mereka akan punya satu tambahan
pesawat dalam armada, di mana Jordan harus menulis segala sesuatu yang keren
soal pesawat ini.
“Eeergh ….” Kekasih Jordan, Kristian menggeliat di bagian lain tempat
tidur.
Jordan menoleh dan langsung merayap naik untuk mengecup pipinya. “Good morning,” bisik Jordan,
mengecup-ngecup lagi pipi Kristian di setiap sudut.
“Jam berapa sekarang?” tanya Kristian, tanpa membuka mata.
“Sebelas.”
“Oh, shit,” umpat
Kristian pelan. Kristian meregangkan lagi tangannya seraya membuka selimut.
“Kita udah enggak bisa sarapan, ya?”
“Enggak, lah. Udah kesiangan ini.” Jordan turun dari tempat tidur dan
bergegas ke kamar mandi.
Kristian membuntutinya sambil mengecup kekasihnya dari belakang. “Aku
langsung ke kamar, ya! Mesti beresin dulu lensa-lensa sama mindahin data dari memory card ke hard disk. See you at the
airport.”
“Sama siapa kamu berangkatnya?” tanya Jordan cemberut.
“Ya sama Harry, lah. Kan, aku sepaket sama dia. Kamu jangan cemburu
gitu, dong.” Kristian mengecup Jordan di bibir seraya mengacak rambut sang
kekasih yang sudah berantakan sejak awal.
“Jangan macam-macam tapi, ya,” pinta Jordan serius.
“Ngapain aku macam-macam sama dia?” tanya Kristian sambil geleng-geleng
kepala. “Hanya karena dia model, badannya bagus, ganteng, enggak berarti aku
harus ngapa-ngapain dia.”
Jordan memeluk kekasihnya untuk beberapa saat sebelum akhirnya
membiarkan Kristian pergi dari kamar.
Ini sudah bulan kelima sejak mereka berpacaran. Jordan bertemu Kristian
dalam sebuah pesta. Mereka melakukan seks pada malam pertama dan tetap bertemu
untuk makan siang setelahnya. Setelah merasa berbagi banyak hal yang sama,
Jordan dan Kristian memutuskan untuk menjalin hubungan. Apalagi Jordan yang
memercayai astrologi gembira karena dirinya yang Pisces bisa bersama Kristian
sang Capricorn. Elemen tanah dan air yang menyatu, didukung oleh sifat cardinal dan mutable masing-masing.
Jordan seorang penulis muda Indonesia yang sudah menerbitkan lebih dari 35
judul buku. Sembilan belas di antaranya novel fiksi yang sudah mendapatkan
penghargaan dari kementerian. Namun sehari-hari, Jordan menulis untuk beberapa
majalah dan media daring. Dia punya cukup banyak waktu luang untuk mengambil
tawaran dari Yavadvipa Jet menulis tentang The
Flying Paradise.
Meski bukan penggemar dunia aviasi, Jordan sudah membekali dirinya
dengan berbagai info soal dunia penerbangan selama dua minggu terakhir. Dia
ingin memastikan pertanyaannya berbobot dan bermanfaat untuk pembaca. Target
audiensnya adalah pebisnis dan anggota keluarga kerajaan kaya yang sedang
mencari pesawat terhebat untuk disewa. Tulisannya akan dimuat di
majalah-majalah khusus orang kaya dan rilis media saat peluncuran The Flying Paradise di Jakarta nanti.
Hari itu, Jordan ingin membuat semua orang di Yavadvipa terkesan. Dia
sudah tiba di Seattle tiga hari lalu untuk mengeksplor pesawat secara visual
dan alasan perakitan kabin interior di markasnya Boeing. Catatannya sudah cukup
banyak sehingga Jordan merasa percaya diri akan penerbangannya hari ini.
Penerbangan ini bernomor DV999. Mengapa bernomor cantik? Karena ini
bukan penerbangan komersial. Ini penerbangan feri—pengiriman pesawat dari
pabrik ke maskapai. Tidak akan ada penumpang lain selain pacarnya sang
videografer, brand ambassador, arsitek
interior, dan tentunya orang dari perusahaan yang akan menjawab semua
pertanyaan Jordan.
Penerbangan sejauh 13.500 km itu akan ditempuh dalam dua tahap. Tahap
pertama dari Seattle menuju Shanghai selama sekitar sebelas jam. Tahap kedua
dari Shanghai menuju Jakarta selama enam jam. Tentu saja pesawat yang dinaiki
ini sanggup terbang dari Seattle ke Jakarta dalam satu kali terbang. Namun ada
pertemuan bisnis antara Yavadvipa Jet dengan future client di Shanghai, sehingga mereka harus melakukan stop over selama 24 jam sebelum akhirnya
melanjutkan perjalanan ke Jakarta.
Jordan mengenakan setelan terbaiknya hari itu. Celana khaki yang nyaman
dikenakan dan polo shirt berwarna
biru muda yang menampilkan otot-otot besarnya. Dia juga akan menyampirkan
sweter putih pemberian ibunya ke bahu, pokoknya tampak sangat gay tetapi Jordan enggak peduli. Justru
penampilan semacam ini dikenakan oleh banyak orang kaya. Dia tahu dirinya akan
difoto oleh Kristian untuk keperluan media.
Jordan keturunan Tionghoa dan Sunda. Kulitnya putih dengan mata sipit,
tetapi struktur muka orang Sundanya yang bundar terlihat kental. Dia rajin
pergi ke gym sejak SMA, sehingga
bentuk tubuhnya V, bahunya lebih lebar dari pinggangnya. Namun karena wajahnya baby face, semua akan mengira dia laki-laki
yang manja. Ditambah zodiaknya Pisces, orang-orang memperlakukan Jordan seperti
adik bungsu.
Pada akhirnya, Jordan tak pernah keberatan. Dia senang diberikan
perhatian.
Sebelum check out, Jordan
menelepon ibunya. “Ma, udah tidur?” sapanya ketika sang ibu mengangkat telepon.
“Belum. Lagi main Gardenscapes, nih,” jawab
ibunya. “Mama udah level 6.000. Di situ
jam berapa, Dek?”
“Jam setengah dua belas. Beda dua belas jam ama Jakarta. Hari ini ada
surat buat aku enggak?”
“Ada dua. Satu dari penerbit, satu
lagi tagihan kartu kredit kayaknya. Kamu kapan nyampe Indonesia, Dek?”
“Bentar.” Jordan mengeluarkan selembar surat undangan joyflight di atas meja yang diselipkan
ke dalam amplop berbahan tebal abu-abu dipenuhi glitter. “Sekitaran jam sembilan malam lusa. Mama bisa jemput?”
“Bisa. Mama ada arisan sama ibu-ibu
kompleks, tapi sampe maghrib doang. Entar Mama jemput ke Cengkareng?”
“Bukan, Ma. Ke Halim. Ini, kan penerbangan charter.”
“Oh, iya. Kamu kenal sama artis yang
main FTV itu? Aduh, siapa ya namanya. Yang ganteng itu, yang main FTV
Kucing-Kucing Malam?”
Kevin Disiro, batin
Jordan. Pasti dia. Kevin Disiro adalah salah satu artis muda Indonesia yang
sedang naik daun. Pada usianya yang bahkan belum menginjak 25 tahun, Kevin
sudah membintangi puluhan FTV dan belasan film. Iklannya sudah di mana-mana.
Bahkan, di belokan pertama keluar dari kompleks perumahan Jordan, ada billboard bergambar Kevin Disiro
mengiklankan produk deposito perbankan sebuah bank swasta.
Jordan mengenal Kevin ketika dirinya harus menulis buku tentang bintang
muda itu. Jordan menjadi ghostwriter,
namanya tidak tercantum dalam buku. Biografi Kevin Disiro seolah-olah dibuat
oleh Kevin sendiri, padahal Jordan yang banting tulang menyediakan konten
setebal 200 halaman buku. Yang jadi masalah adalah, Kevin ini gay, sama seperti Jordan. Dan Kevin
jatuh cinta kepadanya. Setengah jalan penulisan buku, Jordan harus berhenti
bertemu Kevin gara-gara selebritas itu enggak pernah fokus memberikan materi.
Dia malah terus-terusan mengajak menginap di hotel untuk bercinta.
“Ngapain artisnya?” tanya Jordan.
“Nyari kamu. Tapi enggak mau nyebutin
alasannya apa. Kamu temenan sama dia?”
“Enggak. Mungkin urusan buku, Ma.”
“Oh, padahal temenan aja,” saran
ibunya Jordan. “Siapa tahu Mama bisa
dekat, terus Mama bisa diajakin main film. Kan, lumayan. Mama bisa, kok akting
jadi ibu tiri, atau kayak Ibu Gayatri Devi di sinetronnya Meri Durga, mamanya
si Sanjay Prince, yang sering nge-bully si
Durga.”
Tanpa perlu dijelaskan, Jordan sebenarnya tahu siapa itu Ibu Gayatri
yang dimaksud. Ibunya rajin menonton Meri Durga setiap siang. Dan karena Jordan
harus terisolasi di rumah selama pandemi Covid-19, dia terpaksa menonton drama
India tersebut. Untung yang jadi Sanjay Prince ganteng.
Kalau enggak percaya, Jordan bersedia bagi-bagi dua foto Paras terbaik (menurut
Jordan) dari Instagramnya.
“Iya, nanti aku kontak dia, ya,” jawab Jordan berbasa-basi. Jordan
enggak akan mengontak Kevin Disiro. Cowok macam Kevin itu hobinya menyalurkan
seks saja. Sementara Jordan sang cowok Pisces menginginkan sebuah relationship penuh momen dan basa-basi
romantis.
Toh, Jordan sudah punya kekasih juga. Enggak ada alasan bagi Jordan
bertemu Kevin lagi. Urusan penulisan bukunya sudah selesai.
“Bilangin Mama aktris berbakat, ya.
Mama waktu SMP pernah ikutan kabaret. Pernah tampil juga!”
Jordan mengerutkan alis. Tak pernah mendengar cerita ini sebelumnya.
“Masa, sih?” tanya Jordan sangsi. “Jadi apa?”
“Jadi pohon.”
Setelah selesai menelepon ibunya, Jordan mengemas koper dan merapikan peralatan
menulis ke dalam ransel. Tentu saja, tak ada orang dalam keluarga Jordan yang
tahu orientasi seksualnya. Jordan tak tahu apakah keluarganya akan menerima
dengan bijak, mengecamnya, atau justru tahu sejak lama dan tetap mencintainya
apa pun itu. Jordan tak siap pada jawaban apa pun.
Papanya adalah umat Katolik yang taat. Posisinya masih cukup sama
seperti orang muslim memandang homoseksualitas, tak peduli pada setiap misa
Jordan mendengar bahwa Yesus menjunjung tinggi penyebaran cinta kasih, kalau
urusannya agama, gay selalu salah.
Agama-agama Abrahamik percaya bahwa Tuhan menciptakan Adam dan Hawa,
bukan Adam dan Bambang. Hingga hari ini, Jordan masih belum tahu siapa yang
menciptakan Bambang. Mungkin dia akan menulis buku tentang ini suatu hari, Eksistensi Origin Bambang.
Dalam dua jam, Jordan sudah berada di airport, menyantap sepotong sandwich
Subway yang dipenuhi daging ham. Dia tak sabar menantikan pengalaman paling
mendebarkan terbang bersama pesawat jet pribadi termewah di Indonesia (kabarnya
jauh lebih mewah dari pesawat Kepresidenan RI) dan menikmati semua
fasilitasnya. Terlebih, kekasihnya akan ada di sana.
Dan juga ….
… perut Jordan mendadak mulas.
Cowok itu. Cowok itu ada di sana. Mengenakan seragam kru kabin Yavadvipa
Jet, berjalan di area keberangkatan bersama dua orang pilot, menggeret koper
hitam besar dengan penuh kepercayaan diri.
Jordan tahu cowok itu bekerja untuk maskapai jet pribadi ini. Namun
Jordan tak menyangka dia akan satu penerbangan dengannya.
* * *
Secara profesional, Kristian dan Jordan tidak berkaitan. Kristian datang
bersama Harry, brand ambassador
Yavadvipa Jet untuk setiap media promosi perusahaan. Kristian akan merekam
seluruh kegiatan penerbangan feri ini dan mengambil banyak sekali gambar untuk
ditampilkan di website. Maka dari
itu, dia membawa dua koper berisi berbagai jenis kamera dan lensa yang bisa
mendukungnya mengambil beberapa macam gambar.
Ketika Kristian check out dari
hotel, dia menemukan Harry baru masuk ke dalam lobi mengenakan jaket dan sweatpants. Wajahnya penuh keringat.
Napasnya juga ngos-ngosan.
“Heeey …, Bro!” sapanya mengacungkan tangan mengajak tos.
Kristian tidak membalasnya. “Kenapa belum siap-siap?”
“Jogging dulu, lah Bro! Ini
tepok dulu, dong aaahhh …!” Harry menarik tangan Kristian dan menepukkan
sendiri tangan itu ke tangannya. Tos!
Setelahnya Harry berkacak pinggang sambil mengatur napas. “Enak banget lari
sekitaran sini.”
Kristian menoleh ke arah arlojinya. “Tapi ini udah mau jam 12. Bentar
lagi kita dijemput taksi. Mandi, gih!”
Harry dengan jail mengepit hidung Kristian dan menggoyangkan kepala
videografer itu. “Kalem, Bro! Baru juga nyampe.”
Kristian menepis cubitan tangan itu. “Lagian ini udah siang. Kenapa
masih jogging, sih?”
“Elah. Jogging-nya mah dari jam enam pagi, Bro! Tapi, kan
kagak ada metro mini di sini. Terus gue larinya kejauhan. Ya udah, lah.”
“Kamu, kan bisa naik taksi.”
“Kagak bawa duit, gue!” Harry mencolek Kristian sambil menarik lagi
tangannya. “Yuk!”
“Yuk apa?” balas Kristian dengan risih.
“Yuk! Mandi bareng gue!”
Kristian menarik lagi tangannya. “Apa, sih kamu?! Stop doing that. Entar dilihat orang gimana?”
“Biarin aja, kali. Ini, kan Amerika.”
Kristian tetap gusar. Dia menoleh kanan-kiri memastikan tak ada yang
sedang mengamatinya. Lobi hotel itu ramai oleh orang yang sedang check out, tetapi seseorang yang
Kristian cemaskan berada di sini ketika dirinya sedang bersama Harry, tampaknya
tidak ada. “Sana mandi. Cepetan!”
Harry menjulurkan lidahnya dengan bete.
“Elah. Padahal kalau udah ama gue, elo kagak bisa lepas pengin ngelonin. Huh!”
“Berisik!” balas Kristian panik.
Harry berjalan menyusuri koridor hotel menuju kamarnya. Dia merasa segar
telah berlari pagi dan sempat melakukan workout
di taman dekat hotel. Pushup, pull up,
sit up, yah siapa tahu Kristian harus memotretnya tanpa busana di pesawat,
otot-otot Harry sedang keras-kerasnya.
Harry adalah brand ambassador
untuk Yavadvipa Jet. Kontraknya dua tahun dan ini sudah masuk bulan ke-15.
Sebagai brand ambassador, Harry harus
melakukan berbagai pemotretan dan syuting untuk media, pun ikut dalam setiap
konferensi pers dan peluncuran produk. Dalam beberapa kasus, Harry harus ikut
menemani klien yang terbang dengan armada Yavadvipa Jet sebagai jamuan visual.
Cowok itu memiliki tinggi badan 195 cm, paling tinggi di antara semua
orang yang akan terbang bersamanya sore itu. Harry baru berumur 24 tahun tetapi
sudah malang melintang di dunia model. Sejak usia 16 tahun, karena badannya
sudah setinggi 185 cm, Harry sudah terbang ke Milan untuk melakukan fashion week. Setiap tahun, Harry
langganan menjadi muse model beberapa
desainer di Jakarta Fashion Week. Wajah dirinya sudah nampang di berbagai
majalah fashion dunia, termasuk Vogue
Italia. Kampanye terbesar yang terakhir kali dilakukannya adalah menjadi ikon
untuk Calvin Klein Asia.
Harry campuran Australia ras Kaukasia dari ayahnya, dan seorang ibu dari
Medan dengan rahang yang tegas. Parasnya tampan bukan main dengan iris mata
berwarna biru terang dari sang ayah. Sejak lulus SMA, Harry tinggal di Jakarta
meski sang ibu berada di Medan. Dia tinggal di sebuah apartemen mewah yang tak
pernah mau diberitahukan kepada siapa pun dari keluarganya.
Trrrt …! Trrrt …! Ponsel
Harry bergetar sesaat setelah masuk ke dalam kamar. Nama Daddy muncul di layar.
“Halooo … Daddy!” sahut Harry dengan ceria. Karena Harry berzodiak Leo,
energinya seolah tak pernah habis. Kalau berbicara suaranya keras, kalau masuk
ruangan semua orang harus menoleh ke arahnya—kalau enggak, Harry akan berteriak
sampai perhatian terpusat kepadanya. “Tebak! Gue tadi jogging ketemu apa?”
Daddy yang ada di ujung telepon mendesah pasrah. “Baby, kamu udah berangkat belum?”
“Eeehhh …, tebak dulu!” desak Harry.
“Tupai?”
“Lah, kok Daddy tahu?”
“Enggak, Daddy enggak tahu. Kan,
Daddy cuma nebak. Baby udah berangkat belum ke airport?”
“Belom, lah. Gue baru nyampe hotel juga abis jogging. Nyantai aja. Masih jam tiga, kan flight-nya?”
“Ya tapi kan ada photoshoot dulu sama kamu pas pesawat masih di ground. Cepetan ya ke bandaranya! Daddy udah
nunggu nih di kantor yang kemarin.”
“Iyaaa … mandi dulu. Daddy enggak akan ikut mandi, nih ama gue?”
“Ck! Jangan godain Daddy, ah. Entar
Daddy jadi pengin, lagi.”
“Daddy bilang kita entar bobo di master
bedroom di pesawat.”
“Ya iya, tapi kan enggak langsung
bobo. Abis takeoff Baby
harus photoshoot dulu dengan latar
interior kabin. Cepetan ya, Baby. Daddy udah kangen.”
“Iyaaa. Bye! Muach.”
“Muach.”
Bukan, itu bukan ayah kandungnya. Bukan orang Australia ras kaukasia
yang memberinya tinggi 195 cm, mata biru, dan wajah ganteng campuran
Indo-Australia. Itu adalah sejenis daddy
yang dia temui dua tahun terakhir dan selalu membalik tubuh Harry agar nungging
di atas tempat tidur, agar daddy itu
bisa menyetubuhinya. Sejenis daddy
yang membelikan Harry apartemen di pusat Kota Jakarta, agar setiap daddy itu malas menggauli istrinya, dia
bisa menggauli Harry.
Makanya Harry dipanggil Baby oleh sang daddy.
Harry tentu saja enggak mencintai daddy
yang menelepon tadi. Harry mencintai uang dan semua hadiah yang diterimanya.
Malam tadi saja, ketika mereka menyelinap ke Downtown Seattle dan menyusuri
Pacific Place, Harry berhasil membuat daddy-nya
membelikan wool and cotton coat warna
hitam seharga $6.000,- untuknya.
Demi daddy-nya, Harry harus
mau terbang ke sana kemari dengan pesawat. Jujur saja, Harry benci terbang.
Kalau bisa naik mobil, dia akan naik mobil, deh. Namun pekerjaannya sebagai professional model dan brand ambassador sebuah maskapai jet
pribadi, membuat Harry hampir selalu terbang setiap minggu. Setidaknya empat
kali. Baik itu pergi ke satu tempat tujuan, atau joyflight menemani klien. Untungnya alkohol selalu dapat membantu
Harry mengatasi cemas penerbangan.
Harry enggak menyukai ide terbang berlama-lama di dalam pesawat. Apalagi
kabarnya, pesawat ini bisa terbang dari Seattle ke Jakarta dalam 16 jam tanpa
berhenti. Bagi Harry, ini ngeri banget. Jadi Harry berhasil membujuk Daddy
untuk mencari-cari alasan berhenti di satu kota mana pun itu, stay seenggaknya seharian, lalu terbang
lagi ke Jakarta. Daddy pun mengatur penerbangan feri sehingga melakukan
pemberhentian di Shanghai, alasannya ada pertemuan bisnis, padahal sang daddy hanya ingin menyetubuhi Harry
seharian.
Harry sih enggak peduli. Yang penting cuan mengalir. Apalagi Daddy
enggak jelek-jelek amat. Daddy punya body—yang
meskipun udah tua dan agak kendor dikit—berotot dan tampak oke. Kalau sudah
barengan Daddy, Harry hidup bak raja. Harry enggak mau meninggalkan kehidupan
seperti itu.
Apakah Harry gay? Sangat.
Didukung oleh preferensi peran seksualnya yang versatile, Harry punya nilai tinggi karena bisa jadi top maupun bottom. Sifatnya yang periang dan sok akrab, didukung oleh zodiak
Leo yang membuat pride-nya tinggi,
membuat Harry merasa kegantengan itu penting. Karena harus ganteng, Harry pun
maskulin. Banyak sekali orang yang gagal menebak orientasi seksual Harry karena
cowok itu enggak menunjukkan tanda-tanda banci.
Harry menarik napas panjang seraya masuk ke dalam shower dan menikmati kucuran air hangat. “Gue bisa, gue bisa, gue
bisa,” ulangnya berkali-kali, merujuk pada penerbangan yang akan dilakukannya
dalam tiga jam ke depan. “Gue ganteng, gue macho, gue bisa naik pesawat, gue
enggak takut naik pesawat, gue ganteng, dan gue bisa terbang ke Shanghai dengan
aman.”
Harry teringat daddy-nya
bercerita soal sistem keamanan pesawat yang canggih dibandingkan pesawat
komersial biasa. “Ini pesawatnya mengadopsi semua sistem keamanan pesawat
Kepresiden Jokowi, lho Baby,” kata Daddy dua hari lalu. “Kamu tahu kan pesawat
negara kita?”
Harry mengangguk, meski sebenarnya dia enggak tahu.
Daddy-nya sampai menunjukkan blueprint
tentang sistem keamanan pesawat yang satu pun enggak dimengerti Harry. “Kita
ada cabin composite di sini,” Daddy
menunjuk sebuah ruang dalam floor plan.
“Terus ini lapisan dindingnya antipeluru.”
Harry hanya menguap tak tertarik sambil merangkul daddy-nya. “Kita ngewe
aja, yuk? Capek ah masih harus bahas ini segala.”
“Kamu harus tahu ini. Supaya kalau ditanya di depan publik kamu tahu.”
“Ya entar aja, lah belajarnya. Ngewe
aja, lah. Sini, gue bukain bajunya.”
Harry tahu dia tak akan pernah mempelajari sistem keamanan itu karena
dia enggak bisa memahaminya sedikit pun. Membuat sang daddy berhenti mengoceh sudah cukup bagi Harry. Yang penting bisa
hura-hura. Urusan kerjaan harusnya belakangan.
Mengapa Harry sampai takut terbang? Ada pengalaman masa lalu yang
menghantuinya hingga hari ini. Kekasihnya, Joey meninggal dalam kecelakaan
pesawat terbang sekitar lima tahun lalu. Sejak saat itu, Harry membenci
terbang.
Sebelum pukul satu siang waktu setempat, Harry dan Kristian sudah tiba
di lobi delivery center King County
International Airport. Saat keduanya turun dan mengeluarkan bagasi, seseorang
menunggu di lobi.
Kristian mengenalnya sebagai salah satu direksi tinggi di Yavadvipa.
Seseorang yang dengan baik hati meng-hire-nya
ke dalam penerbangan feri ini untuk pekerjaan media, dan bahkan membiayai
perjalanannya ke Amerika Serikat termasuk visa. Kristian dengan segera menjabat
tangan sosok berumur 39 tahun itu.
“Pak Pamungkas!” sapa Kristian dengan senyum lebar. “Gimana kabarnya,
Pak?”
“Kabar baik. Kemarin Mas sudah ngambil banyak foto?”
Kristian mengangguk. “Saya sudah dua kali ke hanggar. Sempat dapat
gambar pas instalasi meja-meja di common
room, juga pas bedsheet, bedcover,
sama reclining seat ditata.”
“Bagus, bagus!” Pamungkas memberikan senyum lebar. “Nanti di flight, tinggal shoot Harry sama foto wawancara aja, kan?”
“Betul, Pak. Terus saya juga sudah koordinasi sama teman saya di Halim
entar, buat merekam proses landing.
Kalau untuk takeoff sudah saya rekam
tiga hari lalu pas test flight.”
Pamungkas tersenyum lagi sambil menepuk bahu Kristian. “Makasih banyak
atas laporannya. Sekarang, check in-kan
dulu barang-barangnya, Mas. Supaya Mas enggak perlu ngangkut sendirian ke
kabin.”
“Baik, Pak. Sebentar.” Kristian pun berjongkok untuk menyiapkan beberapa
peralatan yang dibutuhkan.
Di belakang Kristian, Harry berdiri sambil mengedipkan satu matanya ke
arah Pamungkas. Tanpa suara, Harry menggerakkan bibirnya mengucapkan, “Halo,
Daddy!” sambil memberikan kecupan lewat udara.
To be continued ....
<<< Prolog | The Flying Paradise | Part 02 >>>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar