002 The Manager
Pamungkas mengepalai bidang marketing
dalam struktur perusahaan Yavadvipa Jet. Posisinya cukup tinggi dengan tanggung
jawab dan gaji yang besar. Di tangan Pamungkas, klien-klien baru didapat,
sementara klien lama dipertahankan. Sebelum The
Flying Paradise siap diantar ke Indonesia, Pamungkas sudah mengantongi
jadwal terbang bersama sebelas klien berduit banyak yang ingin merasakan
pesawat baru tersebut.
Meski begitu, publisitas atas The
Flying Paradise tetap harus gencar dilakukan—kalau bisa sempurna. Dia
mengeluarkan kocek yang banyak untuk memanggil penulis dan videografer terbaik,
dipadu dengan model paling tampan yang pernah dia temui. Seluruh perjalanan The Flying Paradise sejak melaksanakan
instalasi kabin hingga mendarat di Jakarta akan direkam dan disunting
seolah-olah ini penerbangan paling heroik.
Namun tentu, sebagai pekerja di perusahaan swasta, Pamungkas harus
memangkas biaya. Dia tak bisa memboyong lebih dari satu videografer ke Amerika.
Dia juga tak sanggup mengisi penerbangan feri ini dengan lebih banyak orang
karena more people means more fuel.
Semakin berat pesawat, semakin banyak bahan bakar yang harus dihabiskan.
Pamungkas harus berhemat-hemat agar prestasinya di mata perusahaan tetap baik.
Pamungkas mengincar posisi CEO. Pak Hartono yang akan pensiun dalam
waktu dekat meninggalkan satu posisi lowong paling atas. Kandidatnya adalah
Pamungkas dan dua orang dari manajerial lain. Kalau Pamungkas berhasil
memberikan publisitas sangat baik untuk The
Flying Paradise, otomatis dia akan menempati posisi tersebut.
Semoga penerbangan ini berlangsung lancar.
Sebelum pukul sepuluh pagi Pamungkas sudah berada di airport untuk mengurus perizinan. Ketika
dia bangun tidur, Harry sudah tak ada di sampingnya. Sebuah pesan di atas
kertas menyatakan Harry pergi berlari pagi seperti yang selalu dilakukannya
menginap di hotel mana pun. Setelah membereskan kopernya, Pamungkas
berbasa-basi dengan perwakilan dari Boeing sekaligus membahas order pesawat BBJ
lain yang sedang menjadi wacana di perusahaannya.
Yavadvipa adalah salah satu perusahaan penyewaan pesawat pribadi
terbesar di Asia Tenggara. Jumlah pesawat dalam armadanya baru mencapai 80
termasuk The Flying Paradise, tetapi seluruh armadanya menggunakan mesin jet.
Dua Boeing 747-nya selalu disewa Garuda maupun Saudia untuk penerbangan haji,
dan lima belas Boeing 737-800 dengan konfugrasi pesawat komersial aktif disewa
Garuda Indonesia, Lion Air, dan Malaysia Airlines ketika mereka membutuhkan
armada tambahan.
The Flying Paradise menggunakan model Boeing BBJ 777-VIP, salah satu
keluaran terbaru Boeing yang canggih. Mesinnya lebih tenang dibandingkan Boeing
B777 pendahulunya. Sehingga, ketika arsitek kabin mendesain master bedroom di bagian belakang
pesawat, Pamungkas menyetujuinya. Apalagi ketika seluruh dinding di kabin master bedroom itu dilapisi oleh
material peredam suara.
“Can you provide your medical
certificate, Sir?” tanya seorang petugas check in setelah dia mengecek paspor dan dokumen lain.
“I still need to provide them?” tanya
Pamungkas balik sambil merogoh saku jasnya.
“Yes, we still need your medical
certificate. Even though you’re flying back to your country, we can’t guarantee
that you didn’t catch a virus during your stay here.”
“Alright.”
Pamungkas menyerahkan surat itu dengan jantung berdebar-debar. Petugas
perempuan yang menganalisa surat sehatnya membaca dengan saksama lalu
memberikan cap, “CHECKED”
Pamungkas lega bukan main ketika menerima lagi paspor dan semua
dokumennya. Meski dia terbang dengan pesawat pribadi, yang tentunya memiliki
daftar manifest jelas dan lain sebagainya, peraturan setempat tetap
mengharuskan setiap penumpang memiliki surat kesehatan terbaru. Untuk itulah
secara bergilir semua penumpang dan kru DV999 melakukan swab test (viral dan antibody
blood test) kemarin. Semua melaksanakannya dengan patuh, dibiayai oleh
perusahaan.
Kecuali Pamungkas.
Pria berumur 39 tahun itu terlalu sibuk berkutat dengan dokumen di
kantor Boeing sehingga dia melewatkan tes untuk dirinya sendiri. Pada malam
hari dia memerintahkan Mora, seorang teknisi junior yang akan ikut dalam
penerbangan ini, membuat surat kesehatan palsu untuk Pamungkas yang menyatakan
dirinya negatif Covid-19. Pamungkas tak punya waktu lagi untuk melakukan swab test. Melakukan hari ini pun pasti
tidak sempat. Lagi pula dirinya yakin tak dihinggapi Covid-19 selama lima hari
berada di sini. Toh, Pamungkas hanya beraktivitas seputaran hotel, bandara,
hanggar, kantor Boeing, dan semalam ke mal bersama Harry. Itu saja.
Setelah mendaftarkan dokumennya, Pamungkas pergi keluar untuk menyambut
Harry yang baru saja tiba bersama Kristian, sang videografer.
Pamungkas seorang biseksual berzodiak Gemini. Dia menyukai seks sejak
remaja. Perjalanan sanggamanya sudah tak terhitung lagi. Baik laki-laki maupun
perempuan sama saja, Pamungkas selalu dapat menikmatinya. Namun khusus Harry,
Pamungkas sudah terpikat setengah mati. Dia merasa harus memfasilitasi Harry
agar terus berada di sampingnya.
“Halo, Daddy!” sapa Harry tanpa suara sambil mengirimkan kecupan melalui
udara.
Pamungkas membalasnya dengan kedipan mata dan kecupan udara juga. Ketika
dia melihat Kristian bangkit dari berjongkok, Pamungkas kembali menyembunyikan
wajah genitnya menatap Harry yang tampan. Dia melemparkan senyum profesional di
depan Kristian.
“Dokumen-dokumennya sudah siap?” tanya Pamungkas sembari memimpin
keduanya berjalan ke petugas yang akan mendeklarasi keberangkatan mereka.
“Sudah,” jawab Kristian, agak kesulitan memegang surat-surat di
tangannya. “Ini paspor sama medical
ceritificate yang kemarin. Punya kamu mana?” Kristian menyikut Harry.
Harry langsung merogoh isi tas Burberry-nya dan mengeluarkan dokumen
yang dimaksud. Pamungkas membawa mereka mendaftarkan semua bagasi ke satu
petugas yang nanti akan mengangkut semuanya ke dalam pesawat. Peralatan
Kristian yang cukup banyak didaftarkan terlebih dahulu. Harry menunggu di
belakangnya.
Ketika Kristian sibuk menaikkan koper, Harry menyikut Pamungkas.
“Daddy—”
“Ssst!” desis Pamungkas
segera, memelotot. “Jangan panggil Daddy.”
Harry memutar bola mata. “Bapak Pamungkas,” ralatnya, “surat deklarasi
barang-barang saya sudah siap belum?” Harry mengedipkan mata.
“Udah. Kamu daftarin aja bagasi kamu.” Pamungkas mengeluarkan selembar
surat dari dalam jasnya.
“Termasuk konfeti?”
“Iya.”
Ketika giliran Harry memasukkan bagasi, Pamungkas menemaninya. Petugas check in menyapa Harry dengan senyum
lebar, “Ah, hello again! Did you get what
you need?”
Harry mengangguk. “Yes, I did! Here’s
my current declaration letter.” Harry menyikut Pamungkas di sampingnya.
“Let me see,” tanya
petugas perempuan itu seraya mengambil surat dari tangan Pamungkas. “Okay, then. But we still need to check this
visually, alongside scanning.”
“Ripper!” Harry memberikan
jempol. Petugas check in membuka isi
koper Harry dan meminta satu petugas TSA bandara untuk mengeceknya bersama.
Dalam penerbangan ini, Harry membawa beberapa barang terlarang seperti konfeti.
Ini bukan konfeti miliknya, sebenarnya. Pamungkas punya ide merayakan
kesuksesan The Flying Paradise dalam
perjalanan nanti. Biasanya dalam penerbangan komersial, konfeti tidak diizinkan
berada di kabin maupun di bagasi terdaftar. Karena ini hanya penerbangan feri
dan Pamungkas punya alasan kuat mengapa harus membawanya, dia mendaftarkan beberapa
barang berbahaya ke otoritas setempat.
Selain konfeti, ada juga botol-botol makeup
dan produk kecantikan berisi cairan di atas 100 ml pesanan teman-temannya di
Indonesia, makeup prostetik dari
bahan silikon untuk pesta kostum di Jakarta saat selebrasi The Flying Paradise (karena Harry ngotot ingin menjadi
Frankenstein), snow globes berlatar
Seattle untuk oleh-oleh anaknya, vaping
devices, pepper spray asli
Amerika karena di Indonesia jarang yang jual, dan juga beberapa benda tajam
seperti perkakas untuk berkebun.
Dalam penerbangan komersial, semua benda itu tidak boleh diangkut ke
dalam pesawat. Pamungkas rela mendatangi TSA
official setempat untuk melaporkan benda-benda itu agar diizinkan terbang
dengan alasan tertentu.
Hanya saja, Pamungkas tak ingin ketahuan perusahaan membawa
barang-barang berbahaya itu. Selain alasan pajak, dia juga tak mau diaudit
perusahaannya tentang barang-barang berbahaya dalam penerbangan. Kecuali barang
ini dibawa tamu, bukan dirinya, pasti tak masalah.
Jadi, setelah dia menyetubuhi Harry dua malam lalu, Pamungkas memohon sugar baby-nya agar mau mendaftarkan
sebagian barang berbahaya itu atas nama Harry. Dengan imbalan Harry boleh
mencari makeup prostetik ke Los
Angeles untuk kostum Frankensteinnya, Harry pun bersedia.
Klik! Klik!
Pamungkas menoleh saat melihat Kristian mengambil gambar dirinya bersama
Harry di depan petugas check in.
Pamungkas melangkah mundur dan dengan panik bertanya, “Kamu moto saya?!”
Kristian terkejut. “I-iya, Pak. Untuk dokumentasi perjalanan, kan?”
“Saya sih enggak usah!” ujar Pamungkas agak berang. Selain karena dia
enggak suka seseorang mengambil gambar dirinya tanpa izin, dia enggak mau
kelihatan berduaan dengan Harry dalam media apa pun. Orang-orang bisa curiga
mereka berdua punya hubungan gelap. “Yang kamu rekam Harry aja. Kan, dia brand ambassador-nya. Jangan saya!”
“M-maaf, Pak.” Kristian cengar-cengir sambil mulai merekam proses check in Harry.
Setelah lima belas menit menginspeksi isi koper Harry, para petugas
bandara memberikan approval. Semua
barang itu pun dikumpulkan dan akan dimasukkan ke kabin sebelum penerbangan.
Kristian masih sibuk merekam dan memotret Harry melakukan check in. Harry bahkan memberikan introduction dalam rekaman.
“G’day! S’arvo, we’re goin with The
Flyin Paradise to Jakarta!” sapa Harry gembira ke kamera sambil melepas masker.
Harry mengenakan kacamata hitam Cartier Panthere mahal yang dipinjamnya dari
Pamungkas. Bahasa Inggrisnya fasih berlogat Australia, dan karena zodiaknya Leo,
Harry dengan mudah cuap-cuap tentang pengalaman dirinya sendiri. “It’s gon be stoked! Now I’m don with rego,
I’m havin my cozzie, my sunnies, champers are available on the A/C. Every in is
gon be fully sick! So follow mey to the amazin Flyin Paradise, where you’ll get
the heaven right on 40,000 feet! Crikey!”
Enggak salah Harry menjadi spokeperson
Yavadvipa Jet. Kepribadiannya yang bubbly,
fun, positive, dan inviting
membuat figurnya sangat cocok sebagai brand
ambassador. Pamungkas selalu jatuh cinta setiap Harry berbicara dalam
bahasa Inggris. Senyum Pamungkas lebar meski dia mati-matian menjaga diri agar
tidak tersorot kamera Krsitian.
Harry berjalan menuju ruang tunggu sementara Kristian membuntutinya dari
belakang. Setelah gambar diambil, Harry pun berbalik sambil mengacungkan
tangan, “Kita langsung masuk?”
“Kalian duluan aja,” jawab Pamungkas, menghampiri keduanya. “Saya masih
harus ngurusin dokumen dan bantu clearance
flight crew sama Randian, arsiteknya. Dia kayaknya belum datang. Kalian
lanjutin aja shoot-nya dari sini
sampai ke ruang tunggu.”
Kristian mengacungkan jempol. “Oke.”
* * *
Sepuluh menit sejak kepergian Harry dan Kristian, kru penerbangan muncul
membawa koper masing-masing. Dua orang pilot berseragam hitam putih, seorang
pramugara berseragam Yavadvipa Jet warna hitam dengan garis-garis emas, dan dua
teknisi penerbangan. Satu teknisi senior hadir untuk memberikan statement teknis pesawat kepada seorang
penulis, satu teknisi junior hadir sebagai in-flight
engineer.
“Kami makan siang dulu tadi, Pak. Maaf baru muncul,” sapa Mike, kapten
dalam penerbangan DV999 ini. Dia menjabat tangan Pamungkas, diikuti semua flight crew-nya. “Laurence juga barusan
balik dulu ke hotel karena ada dokumen dia yang ketinggalan.”
“Medical certificate aku ketertinggalan,”
terang Laurence, dalam bahasa Indonesia kurang sempurna, karena dia bukan
penutur asli. Namun, pengalamannya bekerja sebagai pilot selama delapan tahun
di Indonesia membuatnya memahami dan sanggup berkomunikasi dalam basantara (lingua franca) Indonesia.
“Tapi semua dokumen lengkap? Kalian sudah final check pesawat hari ini?” Pamungkas menunjuk Andre, teknisi
senior.
Andre mengangguk. “Pukul delapan tadi saya sama Mora sudah ke sini untuk
cek pesawat. Balik ke hotel sebentar jam 10, terus ke sini lagi buat nyalain
GPU. Sebentar lagi kita mau loading.”
“Sudah check in?”
“Saya sama Mora sudah,” jawab Andre.
“Oke, Mike dan yang lain silakan check
in dulu. Saya masih harus menunggu Randian datang. Oke? Saya mau ke toilet
dulu. Quick.”
“Oke, Pak.” Mike memberikan tanda hormat. “Setelah check in kami langsung visual
check. So, see you in flight.”
“Oke.”
Pamungkas berjalan ke toilet terdekat. Dia masuk ke salah satu bilik dan
duduk di atas toilet sambil melipat kakinya. Bandara ini tidak punya
penerbangan komersial yang banyak. Sehingga tidak ada penumpang hilir mudik di
setiap tempat. Kebanyakan adalah para pekerja dari perusahaan Boeing.
Ketika Pamungkas mengatakan ingin ke toilet dan quick, itu tak lebih sebagai sebuah kode kepada seseorang. Apakah
Harry satu-satunya orang yang dia nikmati di luar istrinya sendiri? Tidak.
Sebagai pria berzodiak Gemini, Pamungkas senang bertualang ke banyak laki-laki.
Bagi Pamungkas, setiap orang seharusnya bisa dinikmati. Apalagi Pamungkas mudah
bosan.
Kecuali kepada dua orang.
Selain Harry, Pamungkas punya hubungan istimewa dengan salah satu
karyawannya. Bukan sejenis hubungan di mana Pamungkas memberikan barang-barang
mahal agar orang ini setia. Bersama karyawannya ini, Pamungkas mendapatkan
sentuhan seksual seperti surga. Dan, orangnya tulus melayani Pamungkas. Jadi,
Pamungkas akan dengan setia menggunakan jasanya terus-menerus.
Karyawan itu masuk ke dalam toilet. Dia berjalan ke satu-satunya bilik
yang pintunya tertutup. Dia mengetuk empat kali sebagai kode bahwa itu dirinya,
lalu Pamungkas membuka pintu toilet.
Sang karyawan menghambur masuk sambil menutup pintu dan merangkulkan
tangan ke bahu Pamungkas. “Harry udah check
in?” tanyanya.
Pamungkas mengangguk. “Belum lama, lah. Tapi dia udah di dalam.”
“Oke.” Karyawan itu melepas masker yang menutup wajahnya, menurunkan masker
Pamungkas, lalu mengecup bibir atasannya sambil menghela napas. “Aku enggak
tahu apa aku bisa melakukan ini.”
“Kamu bisa melakukannya. Sabar aja,” jawab Pamungkas, mencumbu
karyawannya itu penuh nafsu.
Karena cumbuannya benar-benar nikmat, Pamungkas merasakan kemaluannya
mengeras di balik celana. Dia pun meremas pantat sang karyawan, benar-benar
berharap bisa menikmati tubuh ini meski dia tahu mereka tak punya banyak kesempatan.
Setelah bibir itu terlepas, sang karyawan tetap menunjukkan raut sedih.
“Mas kan tahu, aku ini orangnya cemburuan. Aku enggak suka Mas dekat-dekat sama
Harry.”
“Ck. Cuma perjalanan sebelas
jam aja, kok. Begitu nyampe Shanghai, saya samperin kamu dulu di kamar. Terus
kita main ke Bund. Saya tahu ada satu restoran yang view-nya bagus. Gedungnya bisa mutar.”
“Pokoknya aku enggak mau ada di ruangan yang sama di mana ada Mas dan
Harry.”
“Mana bisa, lah,” sergah Pamungkas. “Kamu harus ada di sana. Jangan
bikin semua orang curiga dengan kamu. Gimana pun, kamu harus profesional.”
Karyawan itu mengangguk dan kembali mencium Pamungkas dengan lembut.
Pamungkas dibuat meleleh dan menggelinjang pada waktu bersamaan. Ayah dua anak
itu tak sabar lagi menikmati sang karyawan di depannya, sampai-sampai dia
mengelus-elus kelamin si karyawan dan memohon untuk membukanya. “Saya pengin
lihat, please.”
“Ck. Kita enggak punya waktu
banyak, Mas. Aku harus ke pesawat sekarang juga.”
“Bentar aja. Saya pengin lihat si cuncun
kesayangan.”
Karyawan itu memutar bola mata lalu membuka celananya.
Pamungkas duduk lagi di atas toilet, takjub dengan kemaluan sang
karyawan yang kini sudah mengacung ke atas dan mengeras juga. Dikecupnya
kemaluan itu dengan penuh sayang, diendusnya dengan penuh nikmat. Namun
Pamungkas setuju bahwa mereka enggak punya banyak waktu. Jadi dengan berat
hati, Pamungkas kembali berdiri dan membiarkan karyawannya menarik celana.
“Pokoknya, kalau semua orang tidur, saya pengin gaulin kamu di
penerbangan,” tegas Pamungkas.
“Terserah Mas aja. Yang penting enggak ada Harry di sekitar situ!”
Karyawan itu keluar dengan wajah cemberut.
Pamungkas membuntutinya sambil terkekeh. “Iya, iya, Dek Maul. Kamu ini gemecin banget cih kalau ngambek gitu.”
“Udah, ah. Aku mau ke pesawat sekarang. Bentar lagi catering datang.”
Karyawan itu bernama Maulana. Satu-satunya kru kabin dalam penerbangan
DV999.
* * *
Jauh sebelum pesawat lepas landas, kru penerbangan sudah berada di
pesawat untuk melakukan persiapan. Mike, Laurence, dan Maulana masuk ke dalam
pesawat sambil menyimpan koper mereka di kabin istirahat kru. Lokasinya berada
di kabin depan, menuruni sebuah tangga sempit di bawah lobi depan, di mana
terdapat delapan tempat tidur khusus kru.
Namun, karena ini penerbangan feri dengan penumpang non-VIP, kru yang
bertugas hanya terdiri dari tiga orang saja. Biasanya, dibutuhkan setidaknya
tiga pilot dan empat kru kabin dalam setiap penerbangan charter eksklusif,
apalagi untuk perjalanan jauh seperti ini.
Peraturan FAA (Federal Aviation Administration) atau lembaga berbasis
Amerika Serikat yang mengatur regulasi aviasi dunia, menyatakan bahwa kru
terbang hanya boleh bekerja secara efektif selama delapan jam saja. Setelah
delapan jam, mereka harus berhenti bekerja. Dalam penerbangan selama enam belas
jam, akan terdapat dua set kru terbang, yang akan bekerja bergantian setelah
kru pertama menyelesaikan delapan jamnya. Nah, shift kedua yang belum bekerja biasanya beristirahat di kabin
istirahat kru ini.
Meski perjalanan Seattle-Shanghai ditempuh sekitar sebelas jam, ketiga
kru terbang itu tetap akan bekerja secara penuh hingga mendarat.
Setelah meletakkan kopernya, Maulana keluar terakhir dari kabin
istirahat kru, lalu bergegas membuka pintu loading
catering yang berada di sebelah kanan. Truk yang mengantar makanan masih
memosisikan kontainernya sejajar dengan pintu. Karena sistem hidroliknya cukup
lama, Maulana menggunakan kesempatan itu untuk mengecek isi kabin.
Maulana menginspeksi common room
yang terdiri dari sofa-sofa empuk berdesain mewah dengan bantal cushion emas 400 jalinan benang. Dia
memastikan semua bantal tersedia, pun bantal cadangan. Di bar, Maulana
memastikan setiap botol sampanye dan minuman beralkohol lain tersedia dalam
kondisi penuh. Bunga-bunga alstroemeria
dan berbagai jenis anggrek dipastikan berdiri tegak di dalam vas. Dan semua
peralatan makan tersimpan aman di tempatnya.
Setelah Maulana selesai mengecek setiap wastafel mengalirkan air, dia
kembali ke galley depan. Kontainer catering sudah selesai diangkat oleh
mesin hidrolik sejajar dengan lantai kabin. Seorang petugas membawa masuk
seluruh makanan yang dipesan sebelumnya.
Maulana memasukkan seluruh makanan itu ke dalam kompartemen berkode C1
sampai C5. Baik appetizer, main dish,
desserts, dan minuman. Dia menghitung semua barang yang masuk sesuai dengan
ceklis.
“We didn’t order this,” ujar
Maulana sambil mengerutkan alis.
“Yes?” tanya petugas catering yang sedang sibuk memasukkan
kue-kue ke dalam kompartemen.
“No. Wait. That one.”
Maulana menunjuk beberapa kue yang baru akan disimpan petugas catering. “These are not on the list.”
“No?” tanya petugas itu
bingung. Dia mengeluarkan list-nya. “But I have it here. Look! Rice cake, and
soft pastries, and … gyoza.”
“No. It’s not available on my list.”
Maulana menunjukkan list yang dia
punya. List itu dibuat oleh flight
management dari perusahaannya. Seseorang di Indonesia sana sudah menentukan
in-flight meal, memesannya lewat email ke otoritas darat setempat, dan
menentukan jadwal loading. Maulana
hanya perlu mencocokkan apa yang ada dalam daftar dengan apa yang dia terima di
galley. Beberapa kue tidak ada di
daftarnya, tetapi ada di atas meja.
“But I have it in my list. Look,” ujar
petugas catering bersikukuh.
Maulana memeriksa daftar si petugas dan menemukan beberapa kue tambahan.
Sisanya sama persis dengan apa yang ada dalam daftar. “Are you sure you’re having the correct list?”
“Of course! Look,” dia
menarik bahu Maulana mendekat, “this for
Yavad … Yava … how to spell this?”
“Just call it Java Island,” jawab
Maulana, mengartikan secara harfiah kata Yavadvipa.
“Whatever. But I saw the name here,
and I deliver it here. Everything is based on the list.”
“Are you sure these foods are ours?” tanya
Maulana sekali lagi, memastikan. “Have my
company paid for these? Are we free from accusation in case this is a wrong
delivery?”
“Look, Man. I’m just a delivery guy.
I get the list, I checked the food, I send it here, and that’s it. If these are
on my list, then these were being orderd by your company. I dunno, maybe a
bonus or something. Do you wanna check with your superordinate first?”
Ini bukan kejadian pertama. Beberapa kali makanan yang masuk ke galley berjumlah lebih banyak dari
seharusnya. Katering kadang menambahkan bonus agar maskapai mau menggunakan
jasanya lagi pada penerbangan berikutnya. Jadi, Maulana menggeleng dan berkata.
“Okay, this is fine. We’re using yours.”
Toh, yang penting, bukan jumlahnya kurang.
“Semua aman?” Mike muncul di ujung galley,
tepat di koridor menuju common room.
Maulana menoleh dan tersenyum. “Aman. Tadi ada tambahan makanan aja. Visual check?”
Mike mengangguk dan menoleh ke arah depan. Dilihatnya Laurence sudah
keluar dari pesawat untuk melakukan pengecekan visual di luar. Dia mengedikkan
kepala ke arah Maulana agar membuntutinya sebentar ke common room.
Maulana memastikan petugas catering
itu sudah mengeluarkan semua makanan yang dipesan. Setelahnya dia menyetop
petugas memasukkan makanan ke dalam kompartemen. “It’s okay, I’ll do the rest.” Petugas catering itu pergi setelah Maulana menandatangani dokumen. Pintu galley pun ditutup dan Maulana
menghampiri Mike yang kini duduk di atas salah satu sofa.
Maulana mengecup Mike di kening. “Jangan macam-macam,” ujarnya sambil
terkekeh.
“Mana ada saya macam-macam. Saya cuma mau bilang kangen,” balas Mike
sambil tersenyum. “Kamu, nih …. Sombong banget enggak datang-datang ke kamar
saya.”
“Kamunya, sih udah punya istri!” Maulana mencubit pipi Mike dengan
gemas.
“Tapi enggak ada yang seenak kamu.” Mike bangkit untuk mencumbu bibir
Maulana sejenak. Dia memastikan tak ada orang yang melihat mereka, lalu Mike
tersenyum lebar. “Gimana kalau kita fun
di Shanghai entar? Please …. Di Amrik
ini saya jadi jablai.”
Maulana menggeleng. “Aku enggak bisa janji. Paling nanti di Jakarta aku
bisanya.”
“Oke, siap. Yang penting saya udah book
janji sama kamu.” Mike mengecup lagi Maulana dengan gemas sebelum akhirnya
berdiri dan berjalan keluar. Dia harus melakukan pengecekan visual bersama
Laurence. Kopilotnya itu pasti sudah menunggunya di bawah. “Enjoy the flight, ya! I bet this is gonna be an exciting flight!”
To be continued ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar