003 The Captain
Ketika berjalan keluar dari common
room, Mike terkejut melihat seorang pemuda berkemeja kotak-kotak sedang
asyik memotret lorong kabin. Terlebih karena tiga detik lalu Mike baru saja
bermesraan dengan Maulana di ruang sebelah. Hatinya cemas, berharap tak ada
dokumentasi apa pun atas apa yang dilakukannya bersama Maulana. Memang, sih
sosok laki-laki itu masih berada di lobi depan kabin, tetapi siapa tahu dia
mengendap-endap dan mengambil gambar.
“Can I help you?” tanya
Mike dengan rahang mengeras.
Sosok itu melepaskan kamera dari wajahnya. “Oh. Maaf. Saya Kristian,
Mas. Saya videografernya,” jawab Kristian dalam bahasa Indonesia.
Mike belum dapat bernapas lega. “Sudah diizinkan masuk memangnya?” Satu
alisnya terangkat sambil dengan siaga meletakkan tangan di belakang punggung.
“Saya mau videoin proses boarding.
Jadi saya mau setting kamera di
sini.”
Mike mengambil jeda sejenak untuk memercayai kata-kata orang ini. Mike
belum pernah bertemu dengannya sebelumnya. Namun dia sudah sudah membaca daftar
manifest penumpang, seorang videografer memang akan ikut bersamanya dalam
penerbangan. Karena penumpangnya sedikit, Mike hafal siapa saja penumpang
pesawat dan profesinya. Yang bernama Kristian memang tercatat berprofesi
sebagai videografer.
Maulana muncul dari belakang Mike, ikut terkejut melihat orang asing di
dalam kabin pesawat. “Ada yang bisa dibantu, Pak?” tanya Maulana dengan suara dalam
sesuai prosedur kru kabin pria.
Kristian menarik tasnya ke depan dan menunjukkan beberapa kamera kecil.
“Saya mau pasang kamera buat dokumentasi. Sudah dapat izin dari Pak Pamungkas.”
Mike dan Maulana berpandangan sejenak. Maulana lalu maju dan memberikan
senyum lebar, “Baik, Pak. Mari saya temani dan bantu memasang kameranya.”
Mike menganggap urusan Kristian sudah aman di tangan Maulana. Meski
berat hati, Mike berjalan keluar dari pesawat dan bergabung bersama Laurence
yang sedang menginspeksi engine 1, di
sayap kiri pesawat.
Mike telah menikah dan dikaruniai seorang putri. Umurnya masih 35 tahun
tetapi sudah mencicil beberapa rumah mewah di Pantai Indah Kapuk dan
menyekolahkan putrinya yang berumur enam tahun ke sekolah internasional mahal.
Sebagai Aries, Mike berani mengambil risiko, impulsif, dan berambisi. Dia
menikahi istrinya pada umur 24 tahun ketika belum mendapat pekerjaan di mana-mana,
melamar bekerja di perusahaan charter
yang jadwalnya tak menentu, bahkan mengambil banyak sekali cicilan
barang-barang mewah tanpa memikirkan apakah keuangan akan mendukungnya atau
tidak.
Mike representasi terbaik dari Aries: nyemplung dulu, baru setelahnya belajar bahwa nyemplung ke air bisa bikin tenggelam.
Mike merasa dirinya memiliki kualitas pemimpin. Sehingga tak ada yang
lebih diinginkannya selain menjadi kapten di setiap penerbangan. Kalau perlu,
Mike melakukan berbagai cara agar kesempatannya menjadi first officer atau kopilot tidaklah begitu lama. Melalui ambisinya,
dengan jam terbang yang belum cukup banyak, Mike sudah diperbolehkan menjadi
kapten untuk tipe pesawat Boeing 777.
Karena sifat impulsifnya, Mike tak berpikir dua kali ketika Maulana
menggodanya ke dalam kenikmatan seksual bersama laki-laki. Mungkin saat itu
Mike sedang mabuk dalam sebuah pesta. Dia menenggak terlalu banyak vodka
sampai-sampai tak bisa berpikir jernih. Namun, ketika Maulana mendorongnya ke
kamar dan membelai titik-titik sensitif dalam tubuhnya, Mike malah tersenyum
dan melepaskan kancing kemeja. Mike membiarkan pramugara itu menunjukkannya
surga hubungan seksual sesama jenis.
Apa Mike menikmatinya? Anehnya, sangat. Awalnya Mike mengira ini hanya
efek minuman alkohol. Namun tiga hari kemudian ketika dia menemui Maulana di
toilet karyawan kantornya, sentuhan-sentuhan surga itu terjadi lagi. Mike
kembali menikmatinya. Entah karena permainan Maulana begitu profesional dan
memuaskan, entah karena Mike sebenarnya tertarik juga pada sesamanya.
Selain Maulana, ada laki-laki lain yang secara kasual menikmati tubuh
telanjang Mike, pun Mike menikmati lubang kenikmatan laki-laki itu. Namun
antara laki-laki ini maupun Maulana, Mike tidak pernah menaruh hati. Bagi Mike,
ini semua urusan kejantanan semata. Urusan melepas syahwat yang meleleh di
pangkal kemaluannya.
Apa Mike punya masalah dengan istrinya? Tidak. Mike masih cukup sering
menggauli istrinya ketika kesempatan itu ada. Khususnya ketika dia pulang ke
rumah. Namun dalam perjalanan dinas ke kota atau negara lain, Mike tak pernah
membatasi dirinya.
Jujur saja, Mike ingin sekali menggauli Maulana dalam perjalanan mereka
ke Amerika kali ini. Mike terbang bersama kru lainnya dalam penerbangan
komersial tiga hari lalu. Mike membayangkan dirinya menyelinap ke kamar Maulana
lalu menggenjot pantat menggembung itu semalaman. Sayangnya, Maulana tak pernah
ada di kamar.
“Aku lagi keluar. Belanja oleh-oleh sama Andre, sama Mora. Kamu tadi
diajakin, tapi Whatsapp-ku enggak dibalas.”
“Aku lagi enggak di kamar. Harry sama Pak Mungkas ngajak main.”
“Aku udah mau tidur. Capek banget, ah tadi briefing soal kabinnya lama banget. Jangan datang ke kamar.”
Begitulah alasan-alasan yang dikemukakan Maulana setiap Mike
menghubunginya. Alhasil, tiga hari terakhir, Mike hanya bisa menelanjangi
dirinya di kamar, menuang losion ke tangan, meraba dan mengusap kelaminnya,
sambil menatap foto-foto Maulana yang seksi di Instagram. Dia bahkan tak pernah
mengelap sperma yang berlompatan dan jatuh di atas perut maupun dadanya. Mike
langsung tertidur kelelahan, kecewa karena tak bisa menyentuh siapa-siapa.
Mike bukan gay. Jadi dia tidak
tahu dunia gay. Dalam artian, dia
tidak tahu siapa saja yang gay untuk
dia ajak bercinta dan bersenang-senang? Apa Laurence gay? Mike tidak tahu. Mike jarang dipasangkan dengan Laurence dalam
penerbangan. Apa Andre gay? Entahlah.
Teknisi itu pendiam, enggak banyak bicara. Padahal, Andre tampak sangat cute seperti selebritas. Mora? Misal
iya, terlalu muda. Dan juga, Andre bersama Mora berkutat terus dengan pesawat
baru ini. Lebih-lebih enggak mungkin Mike mengajak mereka bercinta, andai
mereka gay sekalipun.
Harry?
Sejarah Mike dengan Harry aneh. Cowok jangkung yang tampan itu sering
menggodanya. Namun Mike tak pernah tahu apakah Harry serius ingin bersetubuh
dengannya, atau itu semua sekadar bercanda.
“Abang kapten ganteng! Haduuuh … jangan pesawat mulu dong yang
disetirin. Gue mau kok disetirin Abang. Muahahahaha ….”
“Bang, kalau Abang itu pesawat, gue mau kok jadi landasan buat elo,
Bang. Eeeaaa …!”
“Bang Mike ini kayak Indomie goreng rasa ayam bawang. Makan di Indonesia
ngebosenin. Makan di luar negeri malah ngangenin. Ciyeee …!”
Nah, seperti itulah Harry setiap menggoda Mike. Enggak sering, sih.
Karena mereka pun jarang bertemu. Namun godaan seperti itu bagi Mike seperti
ajakan untuk bergulat tanpa busana, berkeringat bersama-sama, mendaratkan
pesawat di lubangnya. Energi Harry meluap-luap, sampai-sampai Mike ragu bisa
menyamainya.
Belum lagi Harry rajin memberi oleh-oleh setiap dia pulang dari berbagai
daerah. Harry pernah memberikannya jam tangan desainer sepulang fashion week dari Eropa, atau dompet
kulit mahal saat kembali dari Jepang, atau sepatu sneakers gaya masa kini ketika Harry pulang dari Bali. Entah itu
hadiah karena menyukai Mike, atau Harry bingung mau membuang barang-barangnya
ke mana sehingga dia memberikannya cuma-cuma.
Sudahlah. Lagi-lagi, misal iya Harry gay
dan mau bersamanya, belum tentu Harry ada waktu untuk bersetubuh dengannya.
Sebelum pesawat berangkat, pilot biasanya melakukan pengecekan visual di
bagian luar pesawat. Pilot harus memastikan apakah ada keropos, kotoran,
penyok, atau hambatan apa pun yang mungkin bisa mengganggu sebuah penerbangan.
Pilot akan berjalan mengelilingi pesawat sambil mengamati setiap bagian dengan
penglihatan visual saja.
Ketika Mike bergabung bersama Laurence mengelilingi seluruh pesawat yang
besar ini, Mike menemukan kejanggalan.
“Kenapa pintu wheel well ini
kebuka?” tunjuk Mike ke roda belakang pesawat.
Ketika terbang, pesawat jet seperti Boeing 777 harus memasukkan rodanya
ke dalam tubuh pesawat untuk mengurangi drag
(gaya hambat). Roda itu disembunyikan di sebuah kompartemen khusus yang tidak
dilengkapi tekanan kabin, nama kompartemennya wheel well. Meski sedang berada di darat di mana roda pesawat
berada di luar, pintu wheel well
tetap harus ditutup.
Di depan Mike sekarang, wheel well
untuk roda pendaratan (belakang) terbuka lebar.
Laurence mengangkat bahu. “Mungkinkah masih dimerawatkan?” Laurence
berjalan ke bawah wheel well dan
menginspeksi isinya. “Looks fine.”
Mike melakukan hal yang sama. Dia berjalan ke bawah wheel well dan mengamati setiap bagiannya. Semua tampak baru,
bersih, setiap kabel-kabelnya diletakkan dengan rapi pada tempatnya. Tidak ada
akses apa pun dari wheel well ini ke
dalam pesawat.
“Kamu tahu cara nutupnya?” tanya Mike.
Laurence menggeleng. “Jam penerbanganku dengan triple seven masih tidak tinggi. Aku masih harus membelajari
dinamika pesawat ini.”
“Kapan terakhir kali kamu nerbangin triple
seven?”
“Sewaktu aku masih di Garuda, sebelum berpindah ke sini. Kadang-kadang
aku menjadi FO penerbangan ke Jepang. Namun, tidak banyak-banyak. Mendapatkan
rating triple seven juga tidak
kesulitan di Garuda.”
“Andre!” panggil Mike tiba-tiba, mengabaikan respons Laurence karena
matanya menangkap sosok Andre berjalan bersama Mora dari delivery center. Kedua teknisi itu berjalan lebih cepat menghampiri
dua pilot yang kini berada di wheel well
yang terbuka. “Ini memang kebuka, ya?”
Andre dan Mora justru kaget. “Kok, ini kebuka?” Andre langsung ikut menginspeksi
isi wheel well, mencari potensi
bahaya yang mungkin tertanam.
Mora bahkan mengecek roda-roda belakang pesawat raksasa itu.
Masing-masing sisi memiliki enam roda. Setiap roda berukuran sangat besar,
setinggi dada laki-laki dewasa. “Enggak ada apa-apa, sih.”
“Iya, aman, kok,” Andre mengafirmasi setelah mengecek wheel well melalui penglihatannya. “Tapi
kok, bisa kebuka, ya?”
“Maintenance check juga udah confirmed,” tambah Mora. “Kami tadi
kembali lagi ke center untuk
konfirmasi MX. Pas tadi ditinggalin sih pintunya enggak kebuka.”
“Coba tutup!” ujar Andre, menyuruh bawahannya. “Cek apakah pintu kebuka
karena gravitasi, atau karena ada yang buka.”
Mora dengan patuh berjalan beberapa meter ke arah belakang pesawat. Tidak
jauh dari roda belakang, ada sebuah kompartemen kecil seperti pintu kecil untuk
mengisi bensin di mobil. Ketika dibuka, di dalamnya terdapat satu panel yang
bisa digunakan untuk membuka tutup pintu wheel
well. Mora menutupnya.
Pintu wheel well tertutup
dengan sempurna tanpa masalah.
“Berarti ada yang sengaja buka?” tanya Mike sambil menautkan alisnya.
Andre mengafirmasi dengan anggukan. “Mungkin masih ada yang mau
inspeksi?”
“Harusnya udah selesai, sih inspeksinya,” ujar Mora. “Kan kita tadi udah
dapat tanda tangan.”
“Ya udah, kita lakukan inspeksi ulang khusus landing gear,” ujar Andre memutuskan. “Mora, kamu panggil lagi satu
teknisi mereka dan ajak inspeksi landing
gear ini. Atau, sekalian tanya mereka, apa mereka ada ngebuka landing gear ini atau enggak. Saya harus
cek avionics.”
Mora tampak kecewa. “Yaaah … padahal gue penginnya ngecek avionics aja. Biar bisa naik ke atas.”
“Kalau kamu naik ke dalam, kamu malah makan.”
“Yeah, you look fat, now,”
komentar Laurence. “Dahulu bukankah masih tidak gendut?”
“Naik sepuluh kilo dia. Setiap terbang barengan VIP, terus makanan VIP
enggak dihabiskan, biasanya Mora yang ngabisin.”
“Iya, iya, entar gue diet, lah.” Malas-malasan Mora berjalan kembali ke delivery center untuk mencari teknisi
yang bisa membantunya mengecek ulang roda belakang.
“Oke kalau gitu, saya mau ke atas siapin check list,” ujar Mike, mendahului keduanya meninggalkan roda
belakang.
Tersisa Laurence dan Andre di situ. Keduanya berdiri canggung. Memandang
roda belakang dengan tatapan kosong, tak berani bicara apa pun. Ada nuansa tak
enak di antara mereka berdua. Nuansa yang sedang mereka rahasiakan dari banyak
orang.
“Hei,” ujar Laurence, malu-malu dan mencoba tak kentara.
“Hei,” balas Andre pendek. Andre masih pura-pura menginspeksi roda belakang
dari jauh, tak sedikit pun bergerak ke dalam pesawat untuk mengecek avionics, seperti yang dia katakan
beberapa saat lalu.
“Terima kasih untuk semalam,” kata Laurence. Dia menunduk menatap
sepatunya, membuat pola lingkaran dengan ujung sepatu.
“Iya. Terima kasih juga,” balas Andre grogi. Andre tak berani menoleh ke
arah Laurence. Dia takut mukanya kelihatan bersemu. “Thanks udah dengerin.”
“Terima kasih sudah membagikan cerita.”
Andre tersenyum. Dia melirik sejenak ke arah Laurence, kemudian melemparkan
lagi pandangannya ke arah sebuah pesawat yang baru saja lewat di taxiway.
“Itu bukan cerita yang mudah diceritakan,” kata Laurence lagi. “Tetapi
aku bersedia memberikan pinjam bahu untuk kamu menangis, jikalau kamu akan
membutuhkannya selagi.”
Andre terkekeh kecil mendengar bahasa Indonesia Laurence yang baku dan
aneh. Ditambah aksennya yang bule banget. “Terima kasih sudah ngasih aku
pelukan. Pelukan itu berharga banget buat aku.”
Laurence tersenyum. Sebelum Laurence kembali ke kokpit dan Andre bergegas
mengecek avionics yang berlokasi di
bawah kokpit, Laurence mengeluarkan selembar kertas dari dalam sakunya. Kertas
itu berwarna mocca, bahannya agak
tebal. Di atasnya ada tulisan bersambung yang ditorehkan melalui pena.
Setelah memberikan kertas itu, Laurence pergi duluan. Andre membaca
isinya dengan senyum.
Everything is going to be alright.
You can do it. See you on the other side of the world.
* * *
Masa lalu Jordan bersama cowok yang dilihatnya barusan seharusnya tak
perlu dipikirkan lagi. Jordan menemuinya beberapa minggu lalu, dalam usahanya
memperbaiki diri. Usaha itu enggak sepenuhnya berhasil, dan Jordan berencana
mencobanya lagi dengan cowok itu.
Namun melihatnya berada di sini, secara spesifik di Amerika Serikat,
negara bagian Washington, Kota Seattle, Bandara Internasional King County,
gedung delivery center Boeing, adalah
sebuah kebetulan yang enggak akan pernah terpikirkan oleh Jordan.
Begini, setelah lima bulan pacaran dengan Kristian, Jordan merasa
hubungan seksual mereka semakin hambar. Atau tepatnya, Kristian seperti tidak
terpuaskan oleh Jordan. Seolah-olah Kristian melakukannya sebagai formalitas
untuk menyenangkan Jordan, padahal dia sendiri belum terpuaskan. Sebagai
Pisces, ini menjadi beban yang berat. Jordan berharap hubungan apa pun itu
selalu dipenuhi passion, keintiman,
kepuasan maksimal, dan rengkuhan yang kuat.
Maka dari itu, Jordan memutuskan untuk mengetes adakah yang salah dengan
dirinya. Dia mencari info tentang gigolo kelas menengah ke atas yang budget-nya masih masuk kantong Jordan.
Mengapa harus menengah ke atas? Supaya kerahasiaannya lebih terjamin. Dan juga
karena pasti lebih menarik dibandingkan menengah ke bawah.
Kevin Disiro adalah orang yang Jordan tanya untuk rekomendasi. Meski
Kevin malah menawarkan dirinya sendiri dibandingkan gigolo, artis FTV itu
akhirnya mau memberikan nomor langganan. Cowok itu sudah sering dipakai banyak
artis gay dan katanya orangnya baik
banget.
Jordan membuat janji temu dengannya dan mengutarakan maksudnya. Cowok
itu memahami keinginan Jordan. Setelah bertemu, dia memang tampak sangat
menarik. Tepatnya, imut seperti Jordan, dengan struktur wajah khas pribumi
Jawa. Senyumnya manis, badannya berotot, orangnya sopan, dan ketika melucuti
bajunya Jordan langsung merasa bersalah karena selingkuh.
Sayangnya, tak terjadi penetrasi malam itu. Baik Jordan dan cowok itu
sama-sama berperan sebagai bottom
dalam hubungan seksual sesama jenis. Keduanya enggak bersedia melakukan
penetrasi. Jadi, mereka hanya tiduran berdua, saling mengocok kemaluan, lalu Jordan
curhat panjang lebar soal kekasihnya, Kristian.
Kesimpulan yang Jordan kira, “Mungkinkah Kristian ingin menjadi bottom sekali-sekali?” Misal begitu,
Jordan berencana untuk berlatih lagi bersama cowok itu. Kali ini, Jordan akan
berlatih menjadi top, memasukkan
penisnya ke dalam lubang pantat cowok itu. Dia akan memberikan kejutan kepada
Kristian bahwa dia bisa melakukannya.
Hanya saja, Jordan tak menyangka akan melihatnya berada di tempat ini.
Nama cowok itu Maulana. Dia pramugara penerbangan sore ini. Dia akan
berada satu pesawat bersama Jordan hingga tiba di Jakarta.
Maulana tak melihat Jordan duduk di kursi tunggu. Mugara itu berjalan di
belakang dua pilot berbadan besar sambil menggeret koper hitam. Maulana sibuk
dengan ponselnya, kemudian lenyap di garbarata menuju pesawat. Jordan tak
melihatnya lagi setelah itu. Mungkin nanti, dalam pesawat.
Tapi itu bakalan canggung banget
enggak, sih? pikir Jordan dalam hati. Memang banyak mugara yang
juga menjadi kucing, tetapi Jordan enggak menyangka akan satu pesawat dengannya
hari ini. Satu pesawat dalam penerbangan berpenumpang empat orang saja. Yang
berarti perhatian mugara itu bakalan fokus kepada empat orang. Kalau dalam
pesawat ada 200 orang, kan pasti lain ceritanya.
Selama tiga puluh menit setelah Maulana masuk ke dalam pesawat, Jordan
cemas bukan main. Dia menarik napas dan memikirkan skenario agar nuansa tidak
terasa canggung—apalagi mencurigakan. Jordan harus bersikap biasa saja di depan
Maulana—atau Kristian bakalan curiga. Jordan sedang mempertimbangkan apakah dia
perlu menghampiri Maulana sembunyi-sembunyi sebelum pesawat lepas landas, hanya
untuk memintanya melupakan apa yang pernah mereka lakukan?
Bagaimana kalau Maulana malah tampak akrab dengannya? Bagaimana Jordan
menjelaskan kepada Kristian bahwa dia dan Maulana saling mengenal sebelumnya?
Kebohongan apa yang harus Jordan sampaikan soal Maulana?
Dia betulan pramugara, kan? Bukan stripper
yang di-hire untuk membuat
penerbangan terasa hot, seperti yang
dilakukan VietJet Air dengan pramugari berbikini dalam penerbangan. Kurasa berlebihan berpikiran Maulana adalah
stripper, batin Jordan. Memangnya seluruh pesawat isinya gay? Kabar terakhir yang Jordan dengar, yang ikut penerbangan ini
kebetulan laki-laki saja.
Jordan hanya tahu dirinya dan Kristian yang gay. Tambah Harry, yang berpotensi gay. Dan sekarang Maulana.
“Hello!” sapa seseorang.
Jordan sampai terentak kaget ketika menemukan seorang cowok duduk di
hadapannya. Cowok itu berwajah sangat Indonesia. Manis seperti orang Jawa, muka
agak bulat, jambang di bawah dagu, tetapi badannya bulky sekali. Lengan dan bahunya lebar dan besar. Kemeja yang dia
kenakan terlihat sangat ketat di tubuhnya. Jadinya cowok itu kelihatan lebih
pendek dari seharusnya.
Kalau dipikir-pikir, cowok itu agak mirip dengan Maulana, tetapi lebih
dewasa dan maskulin.
“H-hai!” balas Jordan.
“Ikut pesawat ini juga, Mas?” tanya cowok itu, tampak percaya diri
menggunakan bahasa Indonesia di depan Jordan.
“Iya. Mas juga?” balas Jordan.
“Iya. Barusan saya hampir telat. Parah, semalam minum-minum di bar sampe
jam 4 pagi. Jam setengah satu dibangunin petugas hotel. Untung masih sempat ke
sini. Hahaha.”
Jordan tak memahami esensinya mengapa cowok itu perlu menceritakan
harinya. Yang Jordan langsung analisa adalah siapa cowok tersebut. Kemungkinan
besar dia arsitek yang mendesain interior pesawat. Jordan sudah bertemu Pak
Pamungkas, penumpang lain adalah Kristian dan Harry, lalu kru terbang pastinya
sudah berada di pesawat sekarang, berarti inilah arsiteknya.
“Masih jam tiga, kan ya?” ujar Jordan sambil melihat jam di ponselnya.
Pukul setengah dua.
“Kirain bakal ada ceremony,”
ujarnya. “Biasanya ferry flight juga
ada ceremony di Boeing-nya. Saya
pernah ikut waktu mereka pesan BBJ 737 tahun kemarin. Sebelum berangkat, kita
ada makan-makan bareng pihak Boeing, sama gunting pita depan pesawatnya sebelum
terbang. Padahal ini pesawat 777 pertama buat Yavadvipa. Saya pikir pasti ada
acara meriah. Tapi sepi kayaknya.”
“Ceremony-nya di Jakarta, Mas.
Setelah mendarat dan dapat water salute, ceremony
dan resepsi langsung diadakan di apron VIP Halim. Bapak Pamungkas bilang begitu
ke saya.”
“Mas penulisnya? Videografer?”
“Penulis,” jawab Jordan sambil tersenyum. “Videografernya udah masuk ke
dalam tadi. Dia harus ngambil gambar sebelum takeoff.”
“Kabarnya videografer juga ke sini kemarin-kemarin untuk ngambil gambar
perakitan, ya? Saya baru dari Las Vegas dua hari kemarin. Jadi saya enggak bisa
ikut nemenin si videografer ngambil gambar.”
“Kabarnya, sih gitu.”
“Saya Randian. Mas namanya siapa?” Cowok itu mengulurkan tangan.
“Jordan.”
Obrolan pun berlanjut basa-basi dengan topik seperti di mana Jordan
bekerja, apa saja yang sudah dibangun Randian, apakah tulisan tentang pesawat
akan dimuat di majalah, apakah Randian pernah mendesain untuk pesawat tipe yang
sama, dan lain sebagainya. Tidak ada pembicaraan menarik yang bisa diteliti
lebih dalam. Hanya obrolan yang masing-masing Jordan maupun Randian, akan
lupakan dalam beberapa jam ke depan.
Kesan pertama yang Jordan dapat dari Randian adalah orang ini terstruktur.
Randian mencintai kesempurnaan. Dapat dilihat dari caranya menceritakan dengan
detail seluruh desain yang sudah dia berikan untuk The Flying Paradise—seolah-olah Jordan bakalan enggak mengerti
kalau Randian enggak bercerita detail. Randian bahkan menyarakan beberapa jenis
pertanyaan untuk ditanyakan dalam desain, kalau-kalau Jordan terlewat.
Pertanyaan seperti safety
pesawat, emergency procedure,
anti-terrorism devices, dan kenyamanan penerbangan secara teknis. Misalnya,
di bagian mana yang paling bising dan hening, atau bikin pusing, dan
sebagainya. Jordan mencatat dalam kepalanya dengan baik. Jordan rasa itu
masukan yang sangat berarti, karena selama ini Jordan hanya berkutat di betapa
mewah, elegan, nyaman, dan mahalnya pesawat pribadi ini. Jordan belum kepikiran
sampai antiteroris segala. Padahal penumpang kelas VIP justru lebih berharga
untuk diteror dalam pesawat.
Obrolan itu cukup menyenangkan sampai-sampai Jordan lupa dia akan bersua dengan Maulana dalam penerbangan. Empat puluh menit sebelum penerbangan, Pamungkas muncul untuk mengajak Jordan dan Randian boarding.
Di garbarata, sebuah jembatan yang menghubungkan gedung terminal dengan pesawat, Randian berjalan bersama Jordan di belakang Pamungkas. Randian dengan ramah merangkul Jordan seperti sahabat dekat. Kata-kata Randian sebelum masuk pesawat adalah, “Welcome to paradise ya, Mas. Percaya, deh. Ini bakal jadi penerbangan paling mengesankan dalam hidup Mas.”
To be continued ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar