Selasa, 30 Maret 2021

The Flying Paradise 03

003 The Captain

 


Ketika berjalan keluar dari common room, Mike terkejut melihat seorang pemuda berkemeja kotak-kotak sedang asyik memotret lorong kabin. Terlebih karena tiga detik lalu Mike baru saja bermesraan dengan Maulana di ruang sebelah. Hatinya cemas, berharap tak ada dokumentasi apa pun atas apa yang dilakukannya bersama Maulana. Memang, sih sosok laki-laki itu masih berada di lobi depan kabin, tetapi siapa tahu dia mengendap-endap dan mengambil gambar.

“Can I help you?” tanya Mike dengan rahang mengeras.

Sosok itu melepaskan kamera dari wajahnya. “Oh. Maaf. Saya Kristian, Mas. Saya videografernya,” jawab Kristian dalam bahasa Indonesia.

Mike belum dapat bernapas lega. “Sudah diizinkan masuk memangnya?” Satu alisnya terangkat sambil dengan siaga meletakkan tangan di belakang punggung.

“Saya mau videoin proses boarding. Jadi saya mau setting kamera di sini.”

Mike mengambil jeda sejenak untuk memercayai kata-kata orang ini. Mike belum pernah bertemu dengannya sebelumnya. Namun dia sudah sudah membaca daftar manifest penumpang, seorang videografer memang akan ikut bersamanya dalam penerbangan. Karena penumpangnya sedikit, Mike hafal siapa saja penumpang pesawat dan profesinya. Yang bernama Kristian memang tercatat berprofesi sebagai videografer.

Maulana muncul dari belakang Mike, ikut terkejut melihat orang asing di dalam kabin pesawat. “Ada yang bisa dibantu, Pak?” tanya Maulana dengan suara dalam sesuai prosedur kru kabin pria.

Kristian menarik tasnya ke depan dan menunjukkan beberapa kamera kecil. “Saya mau pasang kamera buat dokumentasi. Sudah dapat izin dari Pak Pamungkas.”

Mike dan Maulana berpandangan sejenak. Maulana lalu maju dan memberikan senyum lebar, “Baik, Pak. Mari saya temani dan bantu memasang kameranya.”

Mike menganggap urusan Kristian sudah aman di tangan Maulana. Meski berat hati, Mike berjalan keluar dari pesawat dan bergabung bersama Laurence yang sedang menginspeksi engine 1, di sayap kiri pesawat.

Mike telah menikah dan dikaruniai seorang putri. Umurnya masih 35 tahun tetapi sudah mencicil beberapa rumah mewah di Pantai Indah Kapuk dan menyekolahkan putrinya yang berumur enam tahun ke sekolah internasional mahal. Sebagai Aries, Mike berani mengambil risiko, impulsif, dan berambisi. Dia menikahi istrinya pada umur 24 tahun ketika belum mendapat pekerjaan di mana-mana, melamar bekerja di perusahaan charter yang jadwalnya tak menentu, bahkan mengambil banyak sekali cicilan barang-barang mewah tanpa memikirkan apakah keuangan akan mendukungnya atau tidak.

Mike representasi terbaik dari Aries: nyemplung dulu, baru setelahnya belajar bahwa nyemplung ke air bisa bikin tenggelam.

Mike merasa dirinya memiliki kualitas pemimpin. Sehingga tak ada yang lebih diinginkannya selain menjadi kapten di setiap penerbangan. Kalau perlu, Mike melakukan berbagai cara agar kesempatannya menjadi first officer atau kopilot tidaklah begitu lama. Melalui ambisinya, dengan jam terbang yang belum cukup banyak, Mike sudah diperbolehkan menjadi kapten untuk tipe pesawat Boeing 777.

Karena sifat impulsifnya, Mike tak berpikir dua kali ketika Maulana menggodanya ke dalam kenikmatan seksual bersama laki-laki. Mungkin saat itu Mike sedang mabuk dalam sebuah pesta. Dia menenggak terlalu banyak vodka sampai-sampai tak bisa berpikir jernih. Namun, ketika Maulana mendorongnya ke kamar dan membelai titik-titik sensitif dalam tubuhnya, Mike malah tersenyum dan melepaskan kancing kemeja. Mike membiarkan pramugara itu menunjukkannya surga hubungan seksual sesama jenis.

Apa Mike menikmatinya? Anehnya, sangat. Awalnya Mike mengira ini hanya efek minuman alkohol. Namun tiga hari kemudian ketika dia menemui Maulana di toilet karyawan kantornya, sentuhan-sentuhan surga itu terjadi lagi. Mike kembali menikmatinya. Entah karena permainan Maulana begitu profesional dan memuaskan, entah karena Mike sebenarnya tertarik juga pada sesamanya.

Selain Maulana, ada laki-laki lain yang secara kasual menikmati tubuh telanjang Mike, pun Mike menikmati lubang kenikmatan laki-laki itu. Namun antara laki-laki ini maupun Maulana, Mike tidak pernah menaruh hati. Bagi Mike, ini semua urusan kejantanan semata. Urusan melepas syahwat yang meleleh di pangkal kemaluannya.

Apa Mike punya masalah dengan istrinya? Tidak. Mike masih cukup sering menggauli istrinya ketika kesempatan itu ada. Khususnya ketika dia pulang ke rumah. Namun dalam perjalanan dinas ke kota atau negara lain, Mike tak pernah membatasi dirinya.

Jujur saja, Mike ingin sekali menggauli Maulana dalam perjalanan mereka ke Amerika kali ini. Mike terbang bersama kru lainnya dalam penerbangan komersial tiga hari lalu. Mike membayangkan dirinya menyelinap ke kamar Maulana lalu menggenjot pantat menggembung itu semalaman. Sayangnya, Maulana tak pernah ada di kamar.

“Aku lagi keluar. Belanja oleh-oleh sama Andre, sama Mora. Kamu tadi diajakin, tapi Whatsapp-ku enggak dibalas.”

“Aku lagi enggak di kamar. Harry sama Pak Mungkas ngajak main.”

“Aku udah mau tidur. Capek banget, ah tadi briefing soal kabinnya lama banget. Jangan datang ke kamar.”

Begitulah alasan-alasan yang dikemukakan Maulana setiap Mike menghubunginya. Alhasil, tiga hari terakhir, Mike hanya bisa menelanjangi dirinya di kamar, menuang losion ke tangan, meraba dan mengusap kelaminnya, sambil menatap foto-foto Maulana yang seksi di Instagram. Dia bahkan tak pernah mengelap sperma yang berlompatan dan jatuh di atas perut maupun dadanya. Mike langsung tertidur kelelahan, kecewa karena tak bisa menyentuh siapa-siapa.

Mike bukan gay. Jadi dia tidak tahu dunia gay. Dalam artian, dia tidak tahu siapa saja yang gay untuk dia ajak bercinta dan bersenang-senang? Apa Laurence gay? Mike tidak tahu. Mike jarang dipasangkan dengan Laurence dalam penerbangan. Apa Andre gay? Entahlah. Teknisi itu pendiam, enggak banyak bicara. Padahal, Andre tampak sangat cute seperti selebritas. Mora? Misal iya, terlalu muda. Dan juga, Andre bersama Mora berkutat terus dengan pesawat baru ini. Lebih-lebih enggak mungkin Mike mengajak mereka bercinta, andai mereka gay sekalipun.

Harry?

Sejarah Mike dengan Harry aneh. Cowok jangkung yang tampan itu sering menggodanya. Namun Mike tak pernah tahu apakah Harry serius ingin bersetubuh dengannya, atau itu semua sekadar bercanda.

“Abang kapten ganteng! Haduuuh … jangan pesawat mulu dong yang disetirin. Gue mau kok disetirin Abang. Muahahahaha ….”

“Bang, kalau Abang itu pesawat, gue mau kok jadi landasan buat elo, Bang. Eeeaaa …!”

“Bang Mike ini kayak Indomie goreng rasa ayam bawang. Makan di Indonesia ngebosenin. Makan di luar negeri malah ngangenin. Ciyeee …!”

Nah, seperti itulah Harry setiap menggoda Mike. Enggak sering, sih. Karena mereka pun jarang bertemu. Namun godaan seperti itu bagi Mike seperti ajakan untuk bergulat tanpa busana, berkeringat bersama-sama, mendaratkan pesawat di lubangnya. Energi Harry meluap-luap, sampai-sampai Mike ragu bisa menyamainya.

Belum lagi Harry rajin memberi oleh-oleh setiap dia pulang dari berbagai daerah. Harry pernah memberikannya jam tangan desainer sepulang fashion week dari Eropa, atau dompet kulit mahal saat kembali dari Jepang, atau sepatu sneakers gaya masa kini ketika Harry pulang dari Bali. Entah itu hadiah karena menyukai Mike, atau Harry bingung mau membuang barang-barangnya ke mana sehingga dia memberikannya cuma-cuma.

Sudahlah. Lagi-lagi, misal iya Harry gay dan mau bersamanya, belum tentu Harry ada waktu untuk bersetubuh dengannya.

Sebelum pesawat berangkat, pilot biasanya melakukan pengecekan visual di bagian luar pesawat. Pilot harus memastikan apakah ada keropos, kotoran, penyok, atau hambatan apa pun yang mungkin bisa mengganggu sebuah penerbangan. Pilot akan berjalan mengelilingi pesawat sambil mengamati setiap bagian dengan penglihatan visual saja.

Ketika Mike bergabung bersama Laurence mengelilingi seluruh pesawat yang besar ini, Mike menemukan kejanggalan.

“Kenapa pintu wheel well ini kebuka?” tunjuk Mike ke roda belakang pesawat.

Ketika terbang, pesawat jet seperti Boeing 777 harus memasukkan rodanya ke dalam tubuh pesawat untuk mengurangi drag (gaya hambat). Roda itu disembunyikan di sebuah kompartemen khusus yang tidak dilengkapi tekanan kabin, nama kompartemennya wheel well. Meski sedang berada di darat di mana roda pesawat berada di luar, pintu wheel well tetap harus ditutup.

Di depan Mike sekarang, wheel well untuk roda pendaratan (belakang) terbuka lebar.




Laurence mengangkat bahu. “Mungkinkah masih dimerawatkan?” Laurence berjalan ke bawah wheel well dan menginspeksi isinya. “Looks fine.”

Mike melakukan hal yang sama. Dia berjalan ke bawah wheel well dan mengamati setiap bagiannya. Semua tampak baru, bersih, setiap kabel-kabelnya diletakkan dengan rapi pada tempatnya. Tidak ada akses apa pun dari wheel well ini ke dalam pesawat.

“Kamu tahu cara nutupnya?” tanya Mike.

Laurence menggeleng. “Jam penerbanganku dengan triple seven masih tidak tinggi. Aku masih harus membelajari dinamika pesawat ini.”

“Kapan terakhir kali kamu nerbangin triple seven?”

“Sewaktu aku masih di Garuda, sebelum berpindah ke sini. Kadang-kadang aku menjadi FO penerbangan ke Jepang. Namun, tidak banyak-banyak. Mendapatkan rating triple seven juga tidak kesulitan di Garuda.”

“Andre!” panggil Mike tiba-tiba, mengabaikan respons Laurence karena matanya menangkap sosok Andre berjalan bersama Mora dari delivery center. Kedua teknisi itu berjalan lebih cepat menghampiri dua pilot yang kini berada di wheel well yang terbuka. “Ini memang kebuka, ya?”

Andre dan Mora justru kaget. “Kok, ini kebuka?” Andre langsung ikut menginspeksi isi wheel well, mencari potensi bahaya yang mungkin tertanam.

Mora bahkan mengecek roda-roda belakang pesawat raksasa itu. Masing-masing sisi memiliki enam roda. Setiap roda berukuran sangat besar, setinggi dada laki-laki dewasa. “Enggak ada apa-apa, sih.”

“Iya, aman, kok,” Andre mengafirmasi setelah mengecek wheel well melalui penglihatannya. “Tapi kok, bisa kebuka, ya?”

Maintenance check juga udah confirmed,” tambah Mora. “Kami tadi kembali lagi ke center untuk konfirmasi MX. Pas tadi ditinggalin sih pintunya enggak kebuka.”

“Coba tutup!” ujar Andre, menyuruh bawahannya. “Cek apakah pintu kebuka karena gravitasi, atau karena ada yang buka.”

Mora dengan patuh berjalan beberapa meter ke arah belakang pesawat. Tidak jauh dari roda belakang, ada sebuah kompartemen kecil seperti pintu kecil untuk mengisi bensin di mobil. Ketika dibuka, di dalamnya terdapat satu panel yang bisa digunakan untuk membuka tutup pintu wheel well. Mora menutupnya.

Pintu wheel well tertutup dengan sempurna tanpa masalah.

“Berarti ada yang sengaja buka?” tanya Mike sambil menautkan alisnya.

Andre mengafirmasi dengan anggukan. “Mungkin masih ada yang mau inspeksi?”

“Harusnya udah selesai, sih inspeksinya,” ujar Mora. “Kan kita tadi udah dapat tanda tangan.”

“Ya udah, kita lakukan inspeksi ulang khusus landing gear,” ujar Andre memutuskan. “Mora, kamu panggil lagi satu teknisi mereka dan ajak inspeksi landing gear ini. Atau, sekalian tanya mereka, apa mereka ada ngebuka landing gear ini atau enggak. Saya harus cek avionics.”

Mora tampak kecewa. “Yaaah … padahal gue penginnya ngecek avionics aja. Biar bisa naik ke atas.”

“Kalau kamu naik ke dalam, kamu malah makan.”

“Yeah, you look fat, now,” komentar Laurence. “Dahulu bukankah masih tidak gendut?”

“Naik sepuluh kilo dia. Setiap terbang barengan VIP, terus makanan VIP enggak dihabiskan, biasanya Mora yang ngabisin.”

“Iya, iya, entar gue diet, lah.” Malas-malasan Mora berjalan kembali ke delivery center untuk mencari teknisi yang bisa membantunya mengecek ulang roda belakang.

“Oke kalau gitu, saya mau ke atas siapin check list,” ujar Mike, mendahului keduanya meninggalkan roda belakang.

Tersisa Laurence dan Andre di situ. Keduanya berdiri canggung. Memandang roda belakang dengan tatapan kosong, tak berani bicara apa pun. Ada nuansa tak enak di antara mereka berdua. Nuansa yang sedang mereka rahasiakan dari banyak orang.

“Hei,” ujar Laurence, malu-malu dan mencoba tak kentara.

“Hei,” balas Andre pendek. Andre masih pura-pura menginspeksi roda belakang dari jauh, tak sedikit pun bergerak ke dalam pesawat untuk mengecek avionics, seperti yang dia katakan beberapa saat lalu.

“Terima kasih untuk semalam,” kata Laurence. Dia menunduk menatap sepatunya, membuat pola lingkaran dengan ujung sepatu.

“Iya. Terima kasih juga,” balas Andre grogi. Andre tak berani menoleh ke arah Laurence. Dia takut mukanya kelihatan bersemu. “Thanks udah dengerin.”

“Terima kasih sudah membagikan cerita.”

Andre tersenyum. Dia melirik sejenak ke arah Laurence, kemudian melemparkan lagi pandangannya ke arah sebuah pesawat yang baru saja lewat di taxiway.

“Itu bukan cerita yang mudah diceritakan,” kata Laurence lagi. “Tetapi aku bersedia memberikan pinjam bahu untuk kamu menangis, jikalau kamu akan membutuhkannya selagi.”

Andre terkekeh kecil mendengar bahasa Indonesia Laurence yang baku dan aneh. Ditambah aksennya yang bule banget. “Terima kasih sudah ngasih aku pelukan. Pelukan itu berharga banget buat aku.”

Laurence tersenyum. Sebelum Laurence kembali ke kokpit dan Andre bergegas mengecek avionics yang berlokasi di bawah kokpit, Laurence mengeluarkan selembar kertas dari dalam sakunya. Kertas itu berwarna mocca, bahannya agak tebal. Di atasnya ada tulisan bersambung yang ditorehkan melalui pena.

Setelah memberikan kertas itu, Laurence pergi duluan. Andre membaca isinya dengan senyum.

Everything is going to be alright. You can do it. See you on the other side of the world.

*  *  *

Masa lalu Jordan bersama cowok yang dilihatnya barusan seharusnya tak perlu dipikirkan lagi. Jordan menemuinya beberapa minggu lalu, dalam usahanya memperbaiki diri. Usaha itu enggak sepenuhnya berhasil, dan Jordan berencana mencobanya lagi dengan cowok itu.

Namun melihatnya berada di sini, secara spesifik di Amerika Serikat, negara bagian Washington, Kota Seattle, Bandara Internasional King County, gedung delivery center Boeing, adalah sebuah kebetulan yang enggak akan pernah terpikirkan oleh Jordan.

Begini, setelah lima bulan pacaran dengan Kristian, Jordan merasa hubungan seksual mereka semakin hambar. Atau tepatnya, Kristian seperti tidak terpuaskan oleh Jordan. Seolah-olah Kristian melakukannya sebagai formalitas untuk menyenangkan Jordan, padahal dia sendiri belum terpuaskan. Sebagai Pisces, ini menjadi beban yang berat. Jordan berharap hubungan apa pun itu selalu dipenuhi passion, keintiman, kepuasan maksimal, dan rengkuhan yang kuat.

Maka dari itu, Jordan memutuskan untuk mengetes adakah yang salah dengan dirinya. Dia mencari info tentang gigolo kelas menengah ke atas yang budget-nya masih masuk kantong Jordan. Mengapa harus menengah ke atas? Supaya kerahasiaannya lebih terjamin. Dan juga karena pasti lebih menarik dibandingkan menengah ke bawah.

Kevin Disiro adalah orang yang Jordan tanya untuk rekomendasi. Meski Kevin malah menawarkan dirinya sendiri dibandingkan gigolo, artis FTV itu akhirnya mau memberikan nomor langganan. Cowok itu sudah sering dipakai banyak artis gay dan katanya orangnya baik banget.

Jordan membuat janji temu dengannya dan mengutarakan maksudnya. Cowok itu memahami keinginan Jordan. Setelah bertemu, dia memang tampak sangat menarik. Tepatnya, imut seperti Jordan, dengan struktur wajah khas pribumi Jawa. Senyumnya manis, badannya berotot, orangnya sopan, dan ketika melucuti bajunya Jordan langsung merasa bersalah karena selingkuh.

Sayangnya, tak terjadi penetrasi malam itu. Baik Jordan dan cowok itu sama-sama berperan sebagai bottom dalam hubungan seksual sesama jenis. Keduanya enggak bersedia melakukan penetrasi. Jadi, mereka hanya tiduran berdua, saling mengocok kemaluan, lalu Jordan curhat panjang lebar soal kekasihnya, Kristian.

Kesimpulan yang Jordan kira, “Mungkinkah Kristian ingin menjadi bottom sekali-sekali?” Misal begitu, Jordan berencana untuk berlatih lagi bersama cowok itu. Kali ini, Jordan akan berlatih menjadi top, memasukkan penisnya ke dalam lubang pantat cowok itu. Dia akan memberikan kejutan kepada Kristian bahwa dia bisa melakukannya.

Hanya saja, Jordan tak menyangka akan melihatnya berada di tempat ini.

Nama cowok itu Maulana. Dia pramugara penerbangan sore ini. Dia akan berada satu pesawat bersama Jordan hingga tiba di Jakarta.

Maulana tak melihat Jordan duduk di kursi tunggu. Mugara itu berjalan di belakang dua pilot berbadan besar sambil menggeret koper hitam. Maulana sibuk dengan ponselnya, kemudian lenyap di garbarata menuju pesawat. Jordan tak melihatnya lagi setelah itu. Mungkin nanti, dalam pesawat.

Tapi itu bakalan canggung banget enggak, sih? pikir Jordan dalam hati. Memang banyak mugara yang juga menjadi kucing, tetapi Jordan enggak menyangka akan satu pesawat dengannya hari ini. Satu pesawat dalam penerbangan berpenumpang empat orang saja. Yang berarti perhatian mugara itu bakalan fokus kepada empat orang. Kalau dalam pesawat ada 200 orang, kan pasti lain ceritanya.

Selama tiga puluh menit setelah Maulana masuk ke dalam pesawat, Jordan cemas bukan main. Dia menarik napas dan memikirkan skenario agar nuansa tidak terasa canggung—apalagi mencurigakan. Jordan harus bersikap biasa saja di depan Maulana—atau Kristian bakalan curiga. Jordan sedang mempertimbangkan apakah dia perlu menghampiri Maulana sembunyi-sembunyi sebelum pesawat lepas landas, hanya untuk memintanya melupakan apa yang pernah mereka lakukan?

Bagaimana kalau Maulana malah tampak akrab dengannya? Bagaimana Jordan menjelaskan kepada Kristian bahwa dia dan Maulana saling mengenal sebelumnya? Kebohongan apa yang harus Jordan sampaikan soal Maulana?

Dia betulan pramugara, kan? Bukan stripper yang di-hire untuk membuat penerbangan terasa hot, seperti yang dilakukan VietJet Air dengan pramugari berbikini dalam penerbangan. Kurasa berlebihan berpikiran Maulana adalah stripper, batin Jordan. Memangnya seluruh pesawat isinya gay? Kabar terakhir yang Jordan dengar, yang ikut penerbangan ini kebetulan laki-laki saja.

Jordan hanya tahu dirinya dan Kristian yang gay. Tambah Harry, yang berpotensi gay. Dan sekarang Maulana.

“Hello!” sapa seseorang.

Jordan sampai terentak kaget ketika menemukan seorang cowok duduk di hadapannya. Cowok itu berwajah sangat Indonesia. Manis seperti orang Jawa, muka agak bulat, jambang di bawah dagu, tetapi badannya bulky sekali. Lengan dan bahunya lebar dan besar. Kemeja yang dia kenakan terlihat sangat ketat di tubuhnya. Jadinya cowok itu kelihatan lebih pendek dari seharusnya.

Kalau dipikir-pikir, cowok itu agak mirip dengan Maulana, tetapi lebih dewasa dan maskulin.

“H-hai!” balas Jordan.

“Ikut pesawat ini juga, Mas?” tanya cowok itu, tampak percaya diri menggunakan bahasa Indonesia di depan Jordan.

“Iya. Mas juga?” balas Jordan.

“Iya. Barusan saya hampir telat. Parah, semalam minum-minum di bar sampe jam 4 pagi. Jam setengah satu dibangunin petugas hotel. Untung masih sempat ke sini. Hahaha.”

Jordan tak memahami esensinya mengapa cowok itu perlu menceritakan harinya. Yang Jordan langsung analisa adalah siapa cowok tersebut. Kemungkinan besar dia arsitek yang mendesain interior pesawat. Jordan sudah bertemu Pak Pamungkas, penumpang lain adalah Kristian dan Harry, lalu kru terbang pastinya sudah berada di pesawat sekarang, berarti inilah arsiteknya.

“Masih jam tiga, kan ya?” ujar Jordan sambil melihat jam di ponselnya. Pukul setengah dua.

“Kirain bakal ada ceremony,” ujarnya. “Biasanya ferry flight juga ada ceremony di Boeing-nya. Saya pernah ikut waktu mereka pesan BBJ 737 tahun kemarin. Sebelum berangkat, kita ada makan-makan bareng pihak Boeing, sama gunting pita depan pesawatnya sebelum terbang. Padahal ini pesawat 777 pertama buat Yavadvipa. Saya pikir pasti ada acara meriah. Tapi sepi kayaknya.”

Ceremony-nya di Jakarta, Mas. Setelah mendarat dan dapat water salute, ceremony dan resepsi langsung diadakan di apron VIP Halim. Bapak Pamungkas bilang begitu ke saya.”

“Mas penulisnya? Videografer?”

“Penulis,” jawab Jordan sambil tersenyum. “Videografernya udah masuk ke dalam tadi. Dia harus ngambil gambar sebelum takeoff.”

“Kabarnya videografer juga ke sini kemarin-kemarin untuk ngambil gambar perakitan, ya? Saya baru dari Las Vegas dua hari kemarin. Jadi saya enggak bisa ikut nemenin si videografer ngambil gambar.”

“Kabarnya, sih gitu.”

“Saya Randian. Mas namanya siapa?” Cowok itu mengulurkan tangan.

“Jordan.”




Obrolan pun berlanjut basa-basi dengan topik seperti di mana Jordan bekerja, apa saja yang sudah dibangun Randian, apakah tulisan tentang pesawat akan dimuat di majalah, apakah Randian pernah mendesain untuk pesawat tipe yang sama, dan lain sebagainya. Tidak ada pembicaraan menarik yang bisa diteliti lebih dalam. Hanya obrolan yang masing-masing Jordan maupun Randian, akan lupakan dalam beberapa jam ke depan.

Kesan pertama yang Jordan dapat dari Randian adalah orang ini terstruktur. Randian mencintai kesempurnaan. Dapat dilihat dari caranya menceritakan dengan detail seluruh desain yang sudah dia berikan untuk The Flying Paradise—seolah-olah Jordan bakalan enggak mengerti kalau Randian enggak bercerita detail. Randian bahkan menyarakan beberapa jenis pertanyaan untuk ditanyakan dalam desain, kalau-kalau Jordan terlewat.

Pertanyaan seperti safety pesawat, emergency procedure, anti-terrorism devices, dan kenyamanan penerbangan secara teknis. Misalnya, di bagian mana yang paling bising dan hening, atau bikin pusing, dan sebagainya. Jordan mencatat dalam kepalanya dengan baik. Jordan rasa itu masukan yang sangat berarti, karena selama ini Jordan hanya berkutat di betapa mewah, elegan, nyaman, dan mahalnya pesawat pribadi ini. Jordan belum kepikiran sampai antiteroris segala. Padahal penumpang kelas VIP justru lebih berharga untuk diteror dalam pesawat.

Obrolan itu cukup menyenangkan sampai-sampai Jordan lupa dia akan bersua dengan Maulana dalam penerbangan. Empat puluh menit sebelum penerbangan, Pamungkas muncul untuk mengajak Jordan dan Randian boarding.

Di garbarata, sebuah jembatan yang menghubungkan gedung terminal dengan pesawat, Randian berjalan bersama Jordan di belakang Pamungkas. Randian dengan ramah merangkul Jordan seperti sahabat dekat. Kata-kata Randian sebelum masuk pesawat adalah, “Welcome to paradise ya, Mas. Percaya, deh. Ini bakal jadi penerbangan paling mengesankan dalam hidup Mas.”



To be continued ....


<<< Part 02  |  The Flying Paradise  |  Part 04 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Nude 33

  ssendrawkwA emitefiL .33     Pada suatu pagi lima tahun lalu, Miza bangun lebih pagi dari biasanya meski semalaman tak bisa tidur. D...