Selasa, 30 Maret 2021

The Flying Paradise 04

004 The Flight

 


Penerbangan berkode DV999 dari Seattle menuju Jakarta dengan stopover selama 24 jam di Shanghai akhirnya berangkat. Pintu pesawat ditutup pukul 14.47 waktu setempat.

“Have a safe flight!” ujar petugas garbarata ketika dokumen selesai ditandatangani. Seluruh orang dalam manifest sudah berada dalam pesawat.

Maulana menutup pintu, menguncinya, dan meraba pinggiran pintu untuk mengecek apakah masih ada udara yang masuk. Dia lalu melaporkan ke kokpit bahwa pintu sudah ditutup dan siaga. Siaga dalam artian perosotan darurat yang mengembang dari pintu dalam kondisi siap keluar kalau-kalau harus digunakan. Mulai dari titik itu, jika pintu terbuka, slide raft otomatis terkembang.

Maulana lalu memasukkan sesuatu dalam layar komputer dekat pintu masuk, menayangkan safety demo Boeing BBJ 777-8 VIP buatan maskapai.

“Selamat datang di Yavadvipa Jet. Welcome to Yavadvipa Jet. Terima kasih telah terbang bersama kami. Untuk alasan keselamatan ….

Sementara itu, di kokpit, kedua pilot baru saja menyelesaikan ceklis penerbangan.

“Flight controls?” tanya Mike, duduk di sebelah kiri kokpit.

“Free and correct,” jawab Laurence, duduk di sebelah kanan kokpit. Dia mengamati indikator kontrol kemudi yang ada di dasbor depannya.

“Recall?”

“Check.”

“Lower display unit?”

“Off.”

“Anti-Ice?”

Laurence mendongak ke panel di atas kepala dan menginspeksi indikator anti es. “On.”

“Good.” Mike menghubungi menara. “Good afternoon, KBFI Ground. This is Java with Delta Victor Niner Niner Niner bound to Shanghai, requesting taxi clearance for ….”

Dalam sebuah penerbangan, pilot tidak serta merta mengemudikan pesawat karena tahu dan ingat bagaimana melakukannya. Berapa banyak pun jam terbang seorang pilot, ada daftar ceklis yang harus selalu dibacakan dan dipenuhi. Dimulai dari pre-flight checklist ketika pesawat masih dalam kondisi parkir, hingga akhirnya melakukan permintaan bergerak ke runway seperti yang Mike lakukan barusan. Dari dua orang yang ada dalam kokpit, satu orang akan membacakan ceklis, sementara satu orang lain memeriksa panel dan dasbor atas setiap ceklis yang disebutkan.

Mike mendapat izin melakukan taxi, atau menggerakkan pesawat dari tempatnya parkir hingga ke landasan. Sebuah mobil mungil di depan pesawat mendorong roda depan Boeing BBJ 777-VIP tersebut, sehingga The Flying Paradise mundur menuju jalur taxi yang sudah ditandai dengan warna kuning. Nama kegiatan itu disebut dengan pushback. Dengan ini, penerbangan pun resmi dilakukan.

“Siap terbang dengan The Flying Paradise?” tanya Mike sambil terkekeh.

“Can’t wait!” balas Laurence, terkekeh juga.

“Mau ngapain nih sebelas jam penerbangan?”

Laurence mengangkat bahu. “Entahlah. Melakukan melamun, mungkin?”

“Kamu suka melamun? Gimana caranya kamu tetap alert?”

Laurence tersenyum lebar. “Melamun tidak jadi berarti aku tidak alert. Meskipun melamun, tangan-tangan aku tetap menyiap tekan tombol ini-itu, klik-klik-klik, dan pesawat tetap menerbang.”

Di dalam pesawat, seluruh penumpang duduk di common room dengan sabuk pengaman terikat kencang. Sebuah layar TV besar menayangkan demo keselamatan dengan Harry sebagai modelnya. Demo itu menayangkan cara memasang sabuk pengaman, prosedur keselamatan keadaan darurat, hingga lokasi-lokasi pintu darurat yang harus diketahui oleh penumpang. Maulana berdiri di samping layar sambil tersenyum lebar untuk memastikan setiap orang mengamati safety demo dengan saksama.

Pamungkas duduk di kursi paling besar di common room. Di seberangnya ada Randian yang sedang asyik mengamati Maulana di depan. Jordan duduk sambil memangku laptopnya, merasa hafal luar kepala semua demo keselamatan penerbangan. Di samping Jordan, Kristian masih sibuk memotret proses penayangan safety demo tersebut. Andre dan Mora duduk paling belakang, tidak merasa pantas berada bersama para penumpang, tetapi mereka tetap berada di ruangan yang sama.

Harry, yang duduk di sofa besar lain dekat Pamungkas, menyelonjorkan kaki ke kursi lain lalu mengacungkan tangannya. “Gue boleh ke toilet, enggak?”

“Sebentar lagi kita berangkat, Bapak. Pesawat sudah bergerak menuju landasan. Mohon ditunggu ya, Pak,” jawab Maulana dengan senyum lebar.

“Udah kebelet, nih!” Harry menggoyangkan selangkangannya. Mulutnya mengunyah permen karet, tampak santai untuk ukuran orang yang sedang kebelet.

Jordan menoleh dan memutar bola mata diam-diam melihat aksi Harry.

“Mohon sabar, ya Pak. Proses lepas landas membutuhkan waktu minimal lima menit sampai pesawat mencapai ketinggi 14.000 kaki di atas—”

“Alah, gapapa!” penggal Harry, sudah membuka seatbelt-nya sambil berdiri. Dia mencengkram kemaluannya lalu menggoyangkannya. Di mana, menurut Maulana, itu terlihat seperti menggoda seseorang berhubungan seks dibandingkan kebelet pipis. “Yah? Bentar aja, enggak nyampe tiga menit.”

“Mohon untuk duduk sejenak, Bapak.”

“Lah elo masih berdiri di situ. Gapapa, kan?”

Maulana sudah membuka mulut untuk menyanggah lagi, tetapi Pamungkas mengedikkan kepala kecil. “Gapapa, kasih aja,” katanya.

Maulana hanya bisa tersenyum lebar sambil berkata, “Saya kabari pilotnya kalau-kalau Bapak masih ada di dalam toilet saat takeoff.”

Harry pun berlalu ke lavatory yang ada di common room. Maulana berbalik ke galley, menelepon kokpit untuk memberi tahu bahwa ada penumpang yang masih berada di toilet. Laurence menjawab, “Don’t worry. We’re still 10 minutes to the runway. We got traffic, so we’re on hold.”

Di atas jalur taksi, sebuah Boeing 737-800 yang akan dikirimkan ke Southwest Airlines sedang mengantre sebelum garis kuning samping landasan. Pesawat itu tengah menunggu pesawat lain yang sedang melakukan proses mendarat. Karena landasan yang bisa digunakan pesawat-pesawat jet ini hanya satu, setiap pesawat harus bergantian melakukan lepas landas dan pendaratan. The Flying Paradise mengantre beberapa meter di belakang pesawat Southwest tersebut.

Harry hanya membutuhkan tiga menit untuk menyelesaikan urusannya di toilet. Dia keluar dari lavatory masih mengancingkan celana dan menaikkan ritsletingnya. “Tuh, kan. Enggak nyampe lima menit!” sahut Harry sambil menjulurkan lidah. Harry kembali ke kursinya, memasang sabuk pengaman, lalu kembali berkutat ke ponselnya.

Kebetulan safety demo selesai ditayangkan. Maulana memberikan salam hormat dengan cara membungkuk. Setelahnya Maulana mengatur sesuatu melalui layar di galley, meredupkan lampu kabin, dan menghubungi kokpit bahwa penumpang di lavatory sudah keluar.

Pada saat yang sama, pesawat Boeing 737-800 Southwest Airlines yang tadi mengantre di depan telah masuk ke landasan dan siap memacu mesinnya untuk terbang. Mike menggerakkan pesawat mendekati garis kuning, berhenti di titik sebelum garis kuning itu hilang dari pandangannya. “Before take-off checklist,” wara-wara Mike.

Laurence langsung duduk tegak, bersiap untuk memenuhi ceklis yang akan disebutkan oleh Mike. “Wait,” kata Laurence tiba-tiba.

Mike menoleh, melihat Laurence sibuk mengaduk sesuatu di bagian samping joknya. “Kenapa?”

“Tidak kenapa-kenapa,” jawab Laurence. “Just checking my oxygen mask. Okay. Ready.”

“Parking brake?”

“Set.”

“Cabin lights?”

“Dimmed.”

“Flight instruments?”

“Check.”




Begitu ceklis selesai dibacakan, Mike melakukan permohonan lepas landas ke menara. Setelah pesawat Southwest mengudara jauh, The Flying Paradise masuk ke landasan dan memosisikan diri di ujung landasan 14R. Dalam waktu 50 detik, roda belakang Boeing 777 VIP itu tak menyentuh tanah lagi.

*  *  *

Sesuai namanya, penerbangan itu seperti penerbangan surga. Tak pernah sebelumnya Jordan berani bermimpi menumpangi pesawat pribadi raksasa dengan fasilitas kerajaan. Selama ini, Jordan hanya pernah menaiki kelas ekonomi saja. Dia belum pernah mencoba kelas bisnis, apalagi kelas pertama. Sementara penerbangan ini levelnya jauh di atas kelas pertama.

Ketika memasuki pesawat, sebuah lobi luas dengan dinding-dinding kaca, tepian metal alumunium perak, lantai berkarpet Maroko tebal berwarna cokelat, menyambut Jordan. Lampu kristal perak menggantung kaku di atas lobi. Jordan tidak merasa sedang memasuki pesawat. Ini, sih seperti memasuki istana kerajaan yang mewah.




Ruang pertama yang menyambutnya adalah satu ruang kerja berdampingan dengan satu ruang meeting kecil untuk empat orang. Di belakangnya ada ruang meeting besar dengan meja besar di tengah-tengah, dan bisa disulap menjadi ruang makan. Ruangan itu disebut conference room. Di belakangnya, terdapat pintu keluar kedua, yang ditemani oleh sebuah galley luas yang juga berfungsi sebagai dapur. Setelah dapur tersebut, tersajilah common room, atau ruang berkumpul yang luas, futuristik, megah, dan mewah.

Di dalam common room tersebut terdapat jejeran sofa berhadapan untuk mengobrol, meja catur, bar, panggung kecil untuk live music, dan kursi-kursi santai yang menempel di dinding. Di bagian belakang common room, tepat di balik bar, terdapat dua toilet mewah dengan wastafel berlapiskan marmer dan garis-garis alumunium keemasan. Di common room itulah semua penumpang duduk selama proses lepas landas.

Ketika Jordan menginspeksi seluruh kabin sebelum berangkat, ruang berikutnya yang tersedia adalah empat baris kursi nyaman seperti di pesawat komersial biasa. Setiap kursi dilengkapi layar AVOD (Audio Video on Demand), selimut tebal yang terbungkus plastik, bantal, headphone, dan di bagian depan jejeran kursi itu ada tiga layar besar yang menunjukkan posisi pesawat di peta.

Melaju ke bagian belakang pesawat, terdapat empat kamar tidur mungil untuk tamu yang dilengkapi tempat tidur ukuran queen yang nyaman. Setelahnya, ada dua kamar mandi tamu yang berhadapan, dan di ujung lorong terdapat master bedroom yang luas, megah, dan mungkin hanya akan ditempati oleh raja, pemimpin dunia, dan orang kaya tujuh turunan saja dalam sejarah pengoperasian pesawat ini.

Setelah tanda sabuk pengaman dimatikan, Jordan melonggarkan sabuknya agar bisa bernapas lega. Dia membuka lagi laptopnya setelah barusan disimpan dengan rapi saat proses lepas landas. Microsoft Word dibuka kembali dan Jordan siap menuliskan informasi apa pun tentang The Flying Paradise.

Maulana terlihat sibuk di galley. Dia menerangkan lampu kabin, menawarkan minuman beralkohol ke setiap orang, lalu menghilang lagi untuk melakukan sesuatu. Mora, sang teknisi junior berdiri menyusul ke galley untuk membantu mengatur koneksi Wi-Fi di dalam pesawat yang sempat terganggu saat lepas landas tadi. (Terlebih karena Harry terus-menerus mengoceh, “Ini, kok lemot loading-nya, ya? Gue jadi enggak bisa nge-love video anjing lucu di Instagram.”)

Dari yang Jordan ketahui, setelah tadi bertanya kepada Pamungkas peran masing-masing kru terbang, teknisi akan beristirahat dan menunggu sampai dibutuhkan. Kecuali Andre, teknisi senior. Dia akan duduk di common room dan menjawab semua pertanyaan teknis yang Pamungkas maupun Randian tak ketahui. Beberapa saat sebelumnya Andre sempat memperbaiki salah satu layar yang tampilannya ngaco, tetapi dia sudah bergabung kembali dalam interview.

Selama satu jam pertama penerbangan, aktivitas di dalam common room berlangsung seperti dugaan. Kristian mondar-mandir mengambil gambar proses wawancara termasuk memotret Maulana yang sedang menghidangkan appetizer di galley. Pamungkas, Randian, Jordan, dan Andre duduk melingkar di jejeran sofa yang berdekatan, mengobrol dengan akrab seperti santai-santai sore. Padahal, Jordan sedang melemparkan banyak sekali pertanyaan.

“Terkait marketing,” kata Jordan, “meski masa pandemi sudah lama terlewati, apakah pasar pesawat pribadi ini masih sebagus dulu, Pak? Seperti sebelum pandemi Covid-19.”

“Ya, ya, tentu,” jawab Pamungkas sambil menyesap sampanye yang tersaji di atas meja di depan mereka. “Malah, sebenarnya, kami enggak berhenti beroperasi penuh waktu masa pandemi. Kami masih terbang, lho. Pemerintah Indonesia men-charter beberapa pesawat kami—kebanyakan yang berkonfigurasi pesawat komersial—untuk memulangkan warga Indonesia yang terjebak di luar negeri. Kami masih terbang ke Eropa, Australia, semua Asia Timur, bahkan ke Amerika.”

“Kalau untuk pesawat VIP seperti ini?”

“Sama aja. Kalian-kalian kebetulan aja enggak tahu bahwa pergerakan general aviation itu masih aktif di udara. Petinggi ini mesti terbang ke sana. Orang kaya itu meski terbang ke sini. Karena mereka enggak mau kena Corona di pesawat komersial, mereka charter jet pribadi. Mas Randian ini ke Amerika pake jet pribadi Yavadvipa waktu mau briefing desain pesawat ini sama Boeing.”

Randian terkekeh sambil meraih minumannya. Setelah menyesap minuman itu, Randian menambahkan, “Dan saya naik Boeing 737, transit dua kali di Hong Kong sama Anchorage, sebelum akhirnya nyampe ke Seattle. Untung jet pribadi.”

“Kalau prosedur kesehatan yang diterapkan, apakah sama dengan maskapai komersial?”

“Sama, lah. Ini kita di sini duduk aja agak jauhan, kan?” jawab Pamungkas sambil menunjuk keempat orang di ruangan. “Kami semprot desinfektan sebelum takeoff tadi. Secara berkala juga dibersihkan dengan alkohol.”

“Makanya saya menggunakan bahan-bahan kualitas terbaik yang maintenance-nya gampang urusan cleaning. Misalnya sofa ini,” Randian meraba sandaran tangan sofanya, “terbuat dari bahan kulit kualitas top, yang gampang banget dibersihkan. Kalau kita pake velvet, wah, bisa kacau tuh kebersihannya.”

Jordan percaya bahwa setiap elemen dalam desain ini menggunakan material kualitas tinggi. Bukan karena dirinya pengguna pertama, melainkan ketahanan dan kerapian pengerjaannya nyaris sempurna. Jordan tidak melebih-lebihkan ketika dia merasa sedang berada di dalam istana.

Maulana muncul membawa troli dan mulai membagikan camilan sebelum makan malam. Ada berbagai kue lezat yang tampak menarik disajikan di atas meja. Mugara itu juga dengan ramah dan sopan menawarkan kembali minuman dan handuk hangat untuk mengelap tangan. Sejauh ini, Jordan berhasil bersikap biasa-biasa saja setiap Maulana menghampirinya. Jordan yakin Maulana ingat siapa dirinya. Dan mungkin Maulana pun bersikap biasa-biasa saja karena dia—secara teknis—sedang bekerja.

Obrolan soal The Flying Paradise terhenti karena semua orang di common room menikmati camilan tersebut. Kecuali Jordan, dia sedang sibuk menuliskan semua yang diingatnya sebelum dia lupa. Lagi pula, Jordan baru saja menyantap sandwich Subway yang mengenyangkan.

“Ini enak lho, Mas,” Randian mengacungkan sebuah kue kenyal berwarna merah. “Makan dulu.”

“Masih kenyang, Mas,” jawab Jordan sopan sambil lanjut mengetik.

Maulana masuk ke dalam kokpit untuk menyajikan camilan bagi kedua pilot. Dua laki-laki menarik itu sedang membahas pengalaman masing-masing menerbangkan Prabowo dan timnya saat masa kampanye. Kebetulan mereka pernah di-hire untuk penerbangan charter Prabowo ke beberapa daerah.

“Snack time!” sapa Maulana sambil masuk membawa dua nampan berisi camilan berbeda.

Baik Mike maupun Laurence langsung mengeluarkan meja tempat mereka menaruh makanan atau menulis data. “Whoa … saya kebetulan udah lapar aja,” komentar Mike sambil menerima nampan itu.

“Makan malam masih dua jam lagi tapi,” balas Maulana. “Ini buat ganjal dulu.”

Hidangan Mike dan Laurence berbeda. Agar jika salah satu makanan mengandung racun, masih ada sisa satu pilot yang tidak teracuni.

“I’d like to have a hot coffee, please,” pinta Laurence setelah Maulana meletakkan nampannya di atas meja sang kopilot.

“Be right back.”

Maulana kembali lima menit kemudian, membawa segelas kopi hangat yang langsung diletakkan di cup holder khusus. “Kapten butuh sesuatu?”

Mike menggeleng. “Udah cukup. Saya udah bawa minum. Kamu lagi apa sekarang?”

“Mau serve snack kedua buat penumpang, Kep.”

“Mereka masih diskusi?”

“Masih. Dan fotografernya juga masih ngambil gambar di sana-sini. Mungkin begitu makan malam selesai disajikan, saya siapkan tempat tidur untuk semua penumpang.”

“Oke, thanks.”

Maulana keluar tepat ketika pesawat diminta melaporkan waypoint terbaru yang akan dilewatinya. Perjalanan ini sudah cukup lama. Sudah dua jam dan akan memasuki kembali wilayah udara Amerika Serikat negara bagian Alaska.

Mike mengenakan kembali kacamata hitamnya untuk menghalau silau. Matahari berada tepat di hadapan mereka sekarang. “Hm … such a boring flight.”

Laurence terkekeh. “What do you expect?”

Mike mengangkat bahunya. “A stripper?”

Keduanya tertawa. Suara pesan masuk diterima di layar kecil yang ada di antara mereka. Laurence mencetaknya dengan segera. Printer di dalam kokpit berfungsi untuk mencetak kondisi cuaca di hadapan pesawat, atau berkomunikasi dengan operator penerbangan di markas maskapai. Bentuknya seperti email, tetapi pilot dapat langsung mencetaknya ke atas kertas dengan tinta laser. Biasanya, operator penerbangan akan mengirimkan beberapa info penting seperti misalnya gate kedatangan dan prosedur khusus yang perlu dilakukan. 

Maulana kembali berkutat di galley untuk mengambil semua piring kotor dari penumpang. Dia ingin sekali meminta bantuan Mora, tetapi teknisi junior itu tidak tampak di mana-mana. Sambil menghela napas, Maulana keluar mendorong troli dan menguncinya di jarak aman. Setelahnya Maulana mengambil semua piring yang sudah kosong dari camilan. Piring-piring itu dimasukkannya ke dalam troli dengan rapi.

“Pangsa pasar kami VIP tertinggi dari berbagai negara,” ujar Pamungkas, merespons sebuah percakapan yang sudah berlangsung sedari tadi. “Biasanya untuk perjalanan kenegaraan atau liburan. Makanya kami menamai pesawat ini The Flying Paradise. Tapi dari segi security dan safety, kami menerapkan standar keamanan nomor satu. FAA approved. Pesawat ini dilengkapi sistem antiteroris, antipembajakan, antibom, dan lain sebagainya.”

Harry merasa bosan dengan Instagramnya. Dia nimbrung dalam percakapan dengan mengatakan, “Makanya gue sekarang pake jas kece ini,” katanya. “Biar raja-raja kaya ngerasa ganteng kayak gue.”

Klik-klik-klik! Kristian mengambil gambar Harry dari seberang ruangan. Harry menunjukkan huruf V dengan kedua tangannya, lalu menampilkan wajah konyol. Satu jam lalu, saat empat orang ini sibuk menjawab pertanyaan Jordan, Harry mengganti kostumnya dengan jas-jas mahal lalu mengambil foto di conference room bersama Kristian.

“Apa risikonya tinggi untuk dimasuki teroris?” tanya Jordan, siap mencatat jawaban baru.

“Semua pesawat berisiko tinggi untuk dibajak. Apalagi pesawat pribadi kayak begini yang VIP. Berdasarkan informasi itu, tentu kita tingkatkan keamanannya. Misal, pintu menuju kokpit itu bulletproof. Untuk menghindari teroris membajak pesawat sampai ke flight deck, kita kunci dari dalam. Jadi, pesawat masih bisa mendarat di bandara terdekat untuk kemudian melakukan evakuasi.

“Dan semua pintu di setiap ruangan akan otomatis terkunci,” tambah Randian. “Saya mendesain agar situasi darurat semacam pembajakan diantisipasi dengan baik. Nah, ini off the record, tapi kalau ada orang yang berani-berani membajak pesawat karena misalnya, let’s say, Presiden Indonesia sedang traveling pake ini, lalu salah satu bodyguard-nya membelot dan mengancam membunuh presiden, presidennya tinggal dimasukkan ke ruangan mana pun dan bakal terkunci dengan aman.”

“Kita invest banyak untuk setiap dinding sekat di sini. Sebanyak 70% menggunakan bulletproof wall. Agak berat sih materialnya, tapi worth it, lah,” tambah Pamungkas.

Andre pun menambahkan dari sisi teknis. “Kebetulan, pesawat BBJ ini didesain untuk 88 orang saja, termasuk jumpseat dan kru terbang. Boeing 777 pada umumnya bisa mengakomodasi sampai 400 orang Ini berarti, lebih dari 75% berat pada umumnya hilang. Maka dari itu kami berani memasang bulletproof wall yang berat, sebagai kompensasi dari kurangnya jumlah penumpang dibandingkan varian triple seven yang lain.”

Jordan mencatatnya secara cepat di laptop. Meski dia merekamnya ke dalam ponsel, mengetik langsung selalu memberinya inspirasi. Seperti mendengarkan kuliah dan Jordan perlu buru-buru mencatat atau enggak mendapat pelajarannya sama sekali.

“Jangan lupa bahwa kita juga bisa memanggil nearest military assistant pakai kode-kode khusus,” tambah Pamungkas. “Jadi nanti akan ada jet fighter yang menemani, kalau memang ada pembajakan.”

“Kalau bom?” tanya Jordan kemudian. “Gimana kalau ada bom yang ditanam atau masuk bersama penumpangnya?”

Pamungkas tertawa. Radian tersenyum dan ikutan terkekeh pada akhirnya. “Mana mungkin, lah,” ujar Pamungkas setelah berhenti tergelak. “Airport zaman sekarang tuh canggih, lho. Security-nya double-double. Bawa gunting kuku yang kecil aja pasti ketahuan. Enggak mungkin bisa masukin bom ke pesawat. Itu saya bakalan salut kalau memang berhasil. Lihat enggak tadi pas di delivery center? Padahal cuma ferry flight, tapi prosedur keamanannya tinggi. Harry aja yang bawa konfeti harus dapat rilis dan isinya dicek berkali-kali.”

“Aaah, konfeti!” sahut Harry, merasa akhirnya bisa bergabung dalam obrolan. “Kita nanti mau ngadain pesta di sini. Woohoo! Dan setelah ceremony di Halim, ada pesta topeng! Gue bakal jadi Frankenstein.”

Tidak ada yang merespons kata-kata Harry. Apalagi, Andre melanjutkan obrolan dengan kembali ke topik awal. “Semua material yang berpotensi menjadi bom rakitan sudah dilarang oleh FAA untuk naik. Pupuk aja enggak bisa masuk, mau itu di kabin atau di kargo, hanya karena pupuk bisa menjadi material bahan peledak.”

“Tapi gue berhasil bawa konfeti, kok!” sahut Harry, ingin membantah kata-kata Andre.

“Itu karena kita melakukan ferry flight di mana semua manifestnya mengenal satu sama lain. Tujuannya juga jelas,” jawab Andre.

Jujur saja, Jordan merasakan sesuatu yang aneh tentang Andre. Teknisi senior itu, meski yang ditimpali adalah Harry, pandangannya tetap tertuju kepada Randian. Bahkan, sejak pertama kali masuk ke dalam kabin, Andre seperti menjaga jarak dari Randian. Bukan karena Jordan Pisces jadinya dia mengharapkan drama, tetapi Jordan yakin ada sesuatu yang enggak beres antara Andre dan Randian.

Tatapan Andre seperti tak suka. Rahang Andre mengeras kalau Randian berbicara.

“Oh, iya, composite room!” seru Randian tiba-tiba, menoleh ke arah Jordan tetapi lagi-lagi berkata, “off the record, tapi—”

“Jangan, jangan, yang ini sebutin aja,” penggal Pamungkas sambil menyesap minumannya. “Publik perlu tahu bahwa pesawat ini bisa survive plane crash dengan korban selamat. Ini bagus untuk marketing.”

“Apa itu composite room?” tanya Jordan, bersiap mengetik.

“Lokasinya di belakang master bedroom. Sebuah ruangan kecil kapasitas 3 – 4 orang yang akan tetap utuh meski dijatuhkan dari ketinggian tertentu. Bahan kompositnya ringan tetapi sangat kuat. Sudah kami tes di Arizona, dan kotak komposit itu masih bagus setelah jatuh.”

“Dan tahan api,” tambah Pamungkas enggak sabar. “Dan tahan air.”

“Kalau pesawat ditanam bom, orang paling penting dalam pesawat bisa masuk ke dalam composite room dan selamat dari kejadian apa pun. Mengapa lokasinya di belakang? Karena bagian buntut pesawat adalah bagian teraman dari sebuah pesawat. That’s why kotak hitam disimpan di bagian ekor.”

“Mengapa tiga sampai empat orang aja?” tanya Jordan. “Mengapa enggak bikin buat semua orang di pesawat.”

Composite itu, kan mahal Mas. Sama kayak sasis mobil F1. Enggak kuat kalau setiap bagian pesawat komposit semua,” jawab Randian sang arsitek.

“Yang pasti, ini akan menjadi private jet terbesar di Indonesia begitu kita berhasil mendarat di Halim. BBJ-nya Jokowi yang biru itu,” Manager menambahkan senyum meledek, “kalah. Itu 737 doang. Yang ini, nih … Boeing 777. One of the biggest aircraft we have.”

Jordan mencatatnya lagi.

Pada saat yang sama, Maulana selesai mengumpulkan piring-piring kotor sekaligus menuang segelas sampanye lain untuk Harry. Kristian sudah duduk di kursinya, anteng menatap layar display kamera, menghapus foto-foto blur. Meski common room ini tepat berada di sayap, di mana mesin pesawat berada, suara deru jetnya memang terdengar lembut. Tidak seperti beberapa bunyi mesin pesawat yang berisik yang pernah ditumpangi Jordan.

Dan karena suasana di common room terdengar hening, hanya dipenuhi dengung jet yang stabil dari luar, suara teriakan itu terdengar jelas.

“AAARGH!” Maulana berteriak dari lorong. Dia sampai melompat mundur dari trolinya ketika sebuah sosok tiba-tiba jatuh dari arah galley.

Semua orang di common room menoleh dan menegakkan kepala. Randian melompat menghampiri sementara Jordan dan Kristian berpandangan dengan bingung.

“Dia mabuk?” tanya Harry sambil mengerutkan alis.

Ketika Jordan menyusul ke lorong, dibuntuti Pamungkas dan Kristian, dia melihat Mora sedang tergeletak kejang-kejang di atas lantai. Beberapa detik kemudian kejang-kejang itu berhenti. Seluruh kulit Mora berkeringat dan mulutnya mengeluarkan buih putih. Semua orang bisa melihat dengan jelas …

… napas Mora berhenti.

Mora mati.




“Innalillahi …!” seru Maulana terkejut dengan mata membelalak.

Randian mendekati teknisi junior itu sambil memegang pergelangan tangan Mora yang besar. “Enggak ada nadinya,” gumam Randian.

Maulana, yang sebenarnya punya sertifikasi CPR sebagai flight attendant, memberanikan diri membalik tubuh Mora yang telungkup lalu mendekatkan wajahnya ke hidung teknisi itu. Hanya sedetik dibutuhkan bagi Maulana hingga matanya berkaca-kaca karena terguncang. Dengan tangan gemetar, Maulana menekan-nekan dada Mora tiga kali, kemudian mengecek lagi hidung Mora.

Tidak ada respons.

Maulana ragu apakah dia perlu memberikan napas buatan, tetapi Randian mencegahnya. “Jangan sentuh mulut dia. Bisa jadi itu racun.”

Maulana kembali menekan-nekan dada Mora hingga sebelas kali, tidak ada respons apa pun didapat.

Harry yang baru saja bergabung langsung menyugar rambutnya tak percaya. Dia memelotot dengan napas memburu. “Is he dead? Is he dead?” ulangnya panik.

Randian kembali mengecek pergelangan tangan Mora, tak ada nadi. Pamungkas juga mengeceknya. Masih tak ada nadi terdeteksi. Bahkan, Jordan memberanikan diri menyentuh leher Mora yang dingin dan licin itu … tak ada nadi.

“Nyawanya sudah lewat,” gumam Pamungkas.

Seluruh orang berdiri kaku di depan mayat Mora. Setiap dari mereka terguncang dan terkejut atas apa yang terjadi tiba-tiba. Di belakang, Andre terduduk di atas lantai. Menangis dengan bahu terentak-entak seperti kehabisan napas. Jordan menghampiri Andre dan memeluknya. Dan tangis Andre pun pecah.

Di kokpit, kedua pilot sedang mengamati pesan yang beberapa saat lalu masuk. Pesan itu, anehnya, dalam bahasa Indonesia. Bukan berasal dari flight dispatcher maupun dari ACARS (alat komunikasi pesawat dengan darat). Bukan pula sesuatu yang mereka cetak dari layar.

“What the fuck?” umpat Laurence sambil terkekeh. “Is this a joke?”

“What?” Mike membaca pesan itu. “Salah kirim, kali.”

Dan, untuk tiga puluh menit pertama mereka mengabaikan pesan kaleng itu. Hingga akhirnya Maulana masuk dengan wajah terguncang. Dia memohon izin akses dengan terburu-buru, ketika Mike membukakan pintu, pipinya penuh air mata.

“Kenapa?”

“We got … we got ….” Maulana menelan ludah seraya mencari kekuatan untuk berbicara. “We got a situation.”

“Situation?” Mike dan Laurence berpandangan.

Maulana mengangguk dengan tangan yang bergetar. “Mora … Mora meninggal.”

Selama tiga detik pertama, baik Mike maupun Laurence tak percaya informasi tersebut. Namun ini bukan tempat mereka bisa bermain-main dengan informasi perihal nyawa. Hal pertama yang Laurence lakukan adalah mengambil kembali remasan kertas yang tadi sudah mereka buang.

Membacanya lagi.

Kali ini, mereka mengerti bahwa ini bukan main-main.

Satu penumpang sudah tumbang. Sisa sembilan orang. Sebuah bom ditanam di roda belakang. Akan meledak saat suspensinya mendapat tekanan. Pilihan kalian hanya dua: turuti kemauan saya, atau selamanya terbang. Kalau kalian memilih untuk tak pernah mendarat, wah kebetulan. Semua orang dalam penerbangan ini laki-laki yang bisa ajak bersenang-senang. Laki-laki yang akan bisa saling merangsang. Jadi, pikirkan dengan matang.



To be continued ....


<<< Part 03  |  The Flying Paradise  |  Part 05 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Nude 33

  ssendrawkwA emitefiL .33     Pada suatu pagi lima tahun lalu, Miza bangun lebih pagi dari biasanya meski semalaman tak bisa tidur. D...