004 The Flight
Penerbangan berkode DV999 dari Seattle menuju Jakarta dengan stopover selama 24 jam di Shanghai
akhirnya berangkat. Pintu pesawat ditutup pukul 14.47 waktu setempat.
“Have a safe flight!” ujar
petugas garbarata ketika dokumen selesai ditandatangani. Seluruh orang dalam
manifest sudah berada dalam pesawat.
Maulana menutup pintu, menguncinya, dan meraba pinggiran pintu untuk
mengecek apakah masih ada udara yang masuk. Dia lalu melaporkan ke kokpit bahwa
pintu sudah ditutup dan siaga. Siaga dalam artian perosotan darurat yang
mengembang dari pintu dalam kondisi siap keluar kalau-kalau harus digunakan.
Mulai dari titik itu, jika pintu terbuka, slide
raft otomatis terkembang.
Maulana lalu memasukkan sesuatu dalam layar komputer dekat pintu masuk,
menayangkan safety demo Boeing BBJ
777-8 VIP buatan maskapai.
“Selamat datang di Yavadvipa Jet.
Welcome to Yavadvipa Jet. Terima kasih
telah terbang bersama kami. Untuk alasan keselamatan ….”
Sementara itu, di kokpit, kedua pilot baru saja menyelesaikan ceklis
penerbangan.
“Flight controls?” tanya
Mike, duduk di sebelah kiri kokpit.
“Free and correct,” jawab
Laurence, duduk di sebelah kanan kokpit. Dia mengamati indikator kontrol kemudi
yang ada di dasbor depannya.
“Recall?”
“Check.”
“Lower display unit?”
“Off.”
“Anti-Ice?”
Laurence mendongak ke panel di atas kepala dan menginspeksi indikator
anti es. “On.”
“Good.” Mike menghubungi
menara. “Good afternoon, KBFI Ground.
This is Java with Delta Victor Niner Niner Niner bound to Shanghai, requesting
taxi clearance for ….”
Dalam sebuah penerbangan, pilot tidak serta merta mengemudikan pesawat
karena tahu dan ingat bagaimana melakukannya. Berapa banyak pun jam terbang
seorang pilot, ada daftar ceklis yang harus selalu dibacakan dan dipenuhi.
Dimulai dari pre-flight checklist
ketika pesawat masih dalam kondisi parkir, hingga akhirnya melakukan permintaan
bergerak ke runway seperti yang Mike
lakukan barusan. Dari dua orang yang ada dalam kokpit, satu orang akan
membacakan ceklis, sementara satu orang lain memeriksa panel dan dasbor atas
setiap ceklis yang disebutkan.
Mike mendapat izin melakukan taxi,
atau menggerakkan pesawat dari tempatnya parkir hingga ke landasan. Sebuah
mobil mungil di depan pesawat mendorong roda depan Boeing BBJ 777-VIP tersebut,
sehingga The Flying Paradise mundur
menuju jalur taxi yang sudah ditandai dengan warna kuning. Nama kegiatan itu
disebut dengan pushback. Dengan ini,
penerbangan pun resmi dilakukan.
“Siap terbang dengan The Flying
Paradise?” tanya Mike sambil terkekeh.
“Can’t wait!” balas
Laurence, terkekeh juga.
“Mau ngapain nih sebelas jam penerbangan?”
Laurence mengangkat bahu. “Entahlah. Melakukan melamun, mungkin?”
“Kamu suka melamun? Gimana caranya kamu tetap alert?”
Laurence tersenyum lebar. “Melamun tidak jadi berarti aku tidak alert. Meskipun melamun, tangan-tangan aku
tetap menyiap tekan tombol ini-itu, klik-klik-klik,
dan pesawat tetap menerbang.”
Di dalam pesawat, seluruh penumpang duduk di common room dengan sabuk pengaman terikat kencang. Sebuah layar TV
besar menayangkan demo keselamatan dengan Harry sebagai modelnya. Demo itu
menayangkan cara memasang sabuk pengaman, prosedur keselamatan keadaan darurat,
hingga lokasi-lokasi pintu darurat yang harus diketahui oleh penumpang. Maulana
berdiri di samping layar sambil tersenyum lebar untuk memastikan setiap orang
mengamati safety demo dengan saksama.
Pamungkas duduk di kursi paling besar di common room. Di seberangnya ada Randian yang sedang asyik mengamati
Maulana di depan. Jordan duduk sambil memangku laptopnya, merasa hafal luar
kepala semua demo keselamatan penerbangan. Di samping Jordan, Kristian masih
sibuk memotret proses penayangan safety
demo tersebut. Andre dan Mora duduk paling belakang, tidak merasa pantas
berada bersama para penumpang, tetapi mereka tetap berada di ruangan yang sama.
Harry, yang duduk di sofa besar lain dekat Pamungkas, menyelonjorkan
kaki ke kursi lain lalu mengacungkan tangannya. “Gue boleh ke toilet, enggak?”
“Sebentar lagi kita berangkat, Bapak. Pesawat sudah bergerak menuju
landasan. Mohon ditunggu ya, Pak,” jawab Maulana dengan senyum lebar.
“Udah kebelet, nih!” Harry menggoyangkan selangkangannya. Mulutnya
mengunyah permen karet, tampak santai untuk ukuran orang yang sedang kebelet.
Jordan menoleh dan memutar bola mata diam-diam melihat aksi Harry.
“Mohon sabar, ya Pak. Proses lepas landas membutuhkan waktu minimal lima
menit sampai pesawat mencapai ketinggi 14.000 kaki di atas—”
“Alah, gapapa!” penggal Harry,
sudah membuka seatbelt-nya sambil
berdiri. Dia mencengkram kemaluannya lalu menggoyangkannya. Di mana, menurut
Maulana, itu terlihat seperti menggoda seseorang berhubungan seks dibandingkan
kebelet pipis. “Yah? Bentar aja, enggak nyampe tiga menit.”
“Mohon untuk duduk sejenak, Bapak.”
“Lah elo masih berdiri di situ. Gapapa,
kan?”
Maulana sudah membuka mulut untuk menyanggah lagi, tetapi Pamungkas
mengedikkan kepala kecil. “Gapapa,
kasih aja,” katanya.
Maulana hanya bisa tersenyum lebar sambil berkata, “Saya kabari pilotnya
kalau-kalau Bapak masih ada di dalam toilet saat takeoff.”
Harry pun berlalu ke lavatory
yang ada di common room. Maulana
berbalik ke galley, menelepon kokpit
untuk memberi tahu bahwa ada penumpang yang masih berada di toilet. Laurence
menjawab, “Don’t worry. We’re still 10
minutes to the runway. We got traffic, so we’re on hold.”
Di atas jalur taksi, sebuah Boeing 737-800 yang akan dikirimkan ke Southwest
Airlines sedang mengantre sebelum garis kuning samping landasan. Pesawat itu
tengah menunggu pesawat lain yang sedang melakukan proses mendarat. Karena
landasan yang bisa digunakan pesawat-pesawat jet ini hanya satu, setiap pesawat
harus bergantian melakukan lepas landas dan pendaratan. The Flying Paradise mengantre beberapa meter di belakang pesawat
Southwest tersebut.
Harry hanya membutuhkan tiga menit untuk menyelesaikan urusannya di
toilet. Dia keluar dari lavatory
masih mengancingkan celana dan menaikkan ritsletingnya. “Tuh, kan. Enggak
nyampe lima menit!” sahut Harry sambil menjulurkan lidah. Harry kembali ke
kursinya, memasang sabuk pengaman, lalu kembali berkutat ke ponselnya.
Kebetulan safety demo selesai
ditayangkan. Maulana memberikan salam hormat dengan cara membungkuk. Setelahnya
Maulana mengatur sesuatu melalui layar di galley,
meredupkan lampu kabin, dan menghubungi kokpit bahwa penumpang di lavatory sudah keluar.
Pada saat yang sama, pesawat Boeing 737-800 Southwest Airlines yang tadi
mengantre di depan telah masuk ke landasan dan siap memacu mesinnya untuk
terbang. Mike menggerakkan pesawat mendekati garis kuning, berhenti di titik
sebelum garis kuning itu hilang dari pandangannya. “Before take-off checklist,” wara-wara Mike.
Laurence langsung duduk tegak, bersiap untuk memenuhi ceklis yang akan
disebutkan oleh Mike. “Wait,” kata
Laurence tiba-tiba.
Mike menoleh, melihat Laurence sibuk mengaduk sesuatu di bagian samping
joknya. “Kenapa?”
“Tidak kenapa-kenapa,” jawab Laurence. “Just checking my oxygen mask. Okay. Ready.”
“Parking brake?”
“Set.”
“Cabin lights?”
“Dimmed.”
“Flight instruments?”
“Check.”
Begitu ceklis selesai dibacakan, Mike melakukan permohonan lepas landas
ke menara. Setelah pesawat Southwest mengudara jauh, The Flying Paradise masuk ke landasan dan memosisikan diri di ujung
landasan 14R. Dalam waktu 50 detik, roda belakang Boeing 777 VIP itu tak
menyentuh tanah lagi.
* * *
Sesuai namanya, penerbangan itu seperti penerbangan surga. Tak pernah
sebelumnya Jordan berani bermimpi menumpangi pesawat pribadi raksasa dengan
fasilitas kerajaan. Selama ini, Jordan hanya pernah menaiki kelas ekonomi saja.
Dia belum pernah mencoba kelas bisnis, apalagi kelas pertama. Sementara
penerbangan ini levelnya jauh di atas kelas pertama.
Ketika memasuki pesawat, sebuah lobi luas dengan dinding-dinding kaca,
tepian metal alumunium perak, lantai berkarpet Maroko tebal berwarna cokelat,
menyambut Jordan. Lampu kristal perak menggantung kaku di atas lobi. Jordan
tidak merasa sedang memasuki pesawat. Ini, sih seperti memasuki istana kerajaan
yang mewah.
Ruang pertama yang menyambutnya adalah satu ruang kerja berdampingan
dengan satu ruang meeting kecil untuk
empat orang. Di belakangnya ada ruang meeting
besar dengan meja besar di tengah-tengah, dan bisa disulap menjadi ruang makan.
Ruangan itu disebut conference room. Di
belakangnya, terdapat pintu keluar kedua, yang ditemani oleh sebuah galley luas yang juga berfungsi sebagai
dapur. Setelah dapur tersebut, tersajilah common
room, atau ruang berkumpul yang luas, futuristik, megah, dan mewah.
Di dalam common room tersebut
terdapat jejeran sofa berhadapan untuk mengobrol, meja catur, bar, panggung
kecil untuk live music, dan
kursi-kursi santai yang menempel di dinding. Di bagian belakang common room, tepat di balik bar,
terdapat dua toilet mewah dengan wastafel berlapiskan marmer dan garis-garis
alumunium keemasan. Di common room
itulah semua penumpang duduk selama proses lepas landas.
Ketika Jordan menginspeksi seluruh kabin sebelum berangkat, ruang
berikutnya yang tersedia adalah empat baris kursi nyaman seperti di pesawat
komersial biasa. Setiap kursi dilengkapi layar AVOD (Audio Video on Demand),
selimut tebal yang terbungkus plastik, bantal, headphone, dan di bagian depan jejeran kursi itu ada tiga layar
besar yang menunjukkan posisi pesawat di peta.
Melaju ke bagian belakang pesawat, terdapat empat kamar tidur mungil untuk
tamu yang dilengkapi tempat tidur ukuran queen
yang nyaman. Setelahnya, ada dua kamar mandi tamu yang berhadapan, dan di ujung
lorong terdapat master bedroom yang
luas, megah, dan mungkin hanya akan ditempati oleh raja, pemimpin dunia, dan
orang kaya tujuh turunan saja dalam sejarah pengoperasian pesawat ini.
Setelah tanda sabuk pengaman dimatikan, Jordan melonggarkan sabuknya
agar bisa bernapas lega. Dia membuka lagi laptopnya setelah barusan disimpan
dengan rapi saat proses lepas landas. Microsoft Word dibuka kembali dan Jordan
siap menuliskan informasi apa pun tentang The
Flying Paradise.
Maulana terlihat sibuk di galley.
Dia menerangkan lampu kabin, menawarkan minuman beralkohol ke setiap orang,
lalu menghilang lagi untuk melakukan sesuatu. Mora, sang teknisi junior berdiri
menyusul ke galley untuk membantu mengatur
koneksi Wi-Fi di dalam pesawat yang sempat terganggu saat lepas landas tadi.
(Terlebih karena Harry terus-menerus mengoceh, “Ini, kok lemot loading-nya, ya? Gue jadi enggak bisa
nge-love video anjing lucu di
Instagram.”)
Dari yang Jordan ketahui, setelah tadi bertanya kepada Pamungkas peran
masing-masing kru terbang, teknisi akan beristirahat dan menunggu sampai
dibutuhkan. Kecuali Andre, teknisi senior. Dia akan duduk di common room dan menjawab semua
pertanyaan teknis yang Pamungkas maupun Randian tak ketahui. Beberapa saat
sebelumnya Andre sempat memperbaiki salah satu layar yang tampilannya ngaco,
tetapi dia sudah bergabung kembali dalam interview.
Selama satu jam pertama penerbangan, aktivitas di dalam common room berlangsung seperti dugaan.
Kristian mondar-mandir mengambil gambar proses wawancara termasuk memotret
Maulana yang sedang menghidangkan appetizer
di galley. Pamungkas, Randian,
Jordan, dan Andre duduk melingkar di jejeran sofa yang berdekatan, mengobrol
dengan akrab seperti santai-santai sore. Padahal, Jordan sedang melemparkan
banyak sekali pertanyaan.
“Terkait marketing,” kata
Jordan, “meski masa pandemi sudah lama terlewati, apakah pasar pesawat pribadi
ini masih sebagus dulu, Pak? Seperti sebelum pandemi Covid-19.”
“Ya, ya, tentu,” jawab Pamungkas sambil menyesap sampanye yang tersaji
di atas meja di depan mereka. “Malah, sebenarnya, kami enggak berhenti
beroperasi penuh waktu masa pandemi. Kami masih terbang, lho. Pemerintah
Indonesia men-charter beberapa
pesawat kami—kebanyakan yang berkonfigurasi pesawat komersial—untuk memulangkan
warga Indonesia yang terjebak di luar negeri. Kami masih terbang ke Eropa,
Australia, semua Asia Timur, bahkan ke Amerika.”
“Kalau untuk pesawat VIP seperti ini?”
“Sama aja. Kalian-kalian kebetulan aja enggak tahu bahwa pergerakan general aviation itu masih aktif di
udara. Petinggi ini mesti terbang ke sana. Orang kaya itu meski terbang ke
sini. Karena mereka enggak mau kena Corona di pesawat komersial, mereka charter jet pribadi. Mas Randian ini ke
Amerika pake jet pribadi Yavadvipa waktu mau briefing desain pesawat ini sama Boeing.”
Randian terkekeh sambil meraih minumannya. Setelah menyesap minuman itu,
Randian menambahkan, “Dan saya naik Boeing 737, transit dua kali di Hong Kong
sama Anchorage, sebelum akhirnya nyampe ke Seattle. Untung jet pribadi.”
“Kalau prosedur kesehatan yang diterapkan, apakah sama dengan maskapai
komersial?”
“Sama, lah. Ini kita di sini duduk aja agak jauhan, kan?” jawab
Pamungkas sambil menunjuk keempat orang di ruangan. “Kami semprot desinfektan
sebelum takeoff tadi. Secara berkala
juga dibersihkan dengan alkohol.”
“Makanya saya menggunakan bahan-bahan kualitas terbaik yang maintenance-nya gampang urusan cleaning. Misalnya sofa ini,” Randian
meraba sandaran tangan sofanya, “terbuat dari bahan kulit kualitas top, yang
gampang banget dibersihkan. Kalau kita pake velvet,
wah, bisa kacau tuh kebersihannya.”
Jordan percaya bahwa setiap elemen dalam desain ini menggunakan material
kualitas tinggi. Bukan karena dirinya pengguna pertama, melainkan ketahanan dan
kerapian pengerjaannya nyaris sempurna. Jordan tidak melebih-lebihkan ketika
dia merasa sedang berada di dalam istana.
Maulana muncul membawa troli dan mulai membagikan camilan sebelum makan
malam. Ada berbagai kue lezat yang tampak menarik disajikan di atas meja.
Mugara itu juga dengan ramah dan sopan menawarkan kembali minuman dan handuk
hangat untuk mengelap tangan. Sejauh ini, Jordan berhasil bersikap biasa-biasa
saja setiap Maulana menghampirinya. Jordan yakin Maulana ingat siapa dirinya.
Dan mungkin Maulana pun bersikap biasa-biasa saja karena dia—secara
teknis—sedang bekerja.
Obrolan soal The Flying Paradise
terhenti karena semua orang di common
room menikmati camilan tersebut. Kecuali Jordan, dia sedang sibuk
menuliskan semua yang diingatnya sebelum dia lupa. Lagi pula, Jordan baru saja menyantap
sandwich Subway yang mengenyangkan.
“Ini enak lho, Mas,” Randian mengacungkan sebuah kue kenyal berwarna
merah. “Makan dulu.”
“Masih kenyang, Mas,” jawab Jordan sopan sambil lanjut mengetik.
Maulana masuk ke dalam kokpit untuk menyajikan camilan bagi kedua pilot.
Dua laki-laki menarik itu sedang membahas pengalaman masing-masing menerbangkan
Prabowo dan timnya saat masa kampanye. Kebetulan mereka pernah di-hire untuk penerbangan charter Prabowo ke beberapa daerah.
“Snack time!” sapa
Maulana sambil masuk membawa dua nampan berisi camilan berbeda.
Baik Mike maupun Laurence langsung mengeluarkan meja tempat mereka
menaruh makanan atau menulis data. “Whoa … saya kebetulan udah lapar aja,”
komentar Mike sambil menerima nampan itu.
“Makan malam masih dua jam lagi tapi,” balas Maulana. “Ini buat ganjal
dulu.”
Hidangan Mike dan Laurence berbeda. Agar jika salah satu makanan
mengandung racun, masih ada sisa satu pilot yang tidak teracuni.
“I’d like to have a hot coffee, please,” pinta
Laurence setelah Maulana meletakkan nampannya di atas meja sang kopilot.
“Be right back.”
Maulana kembali lima menit kemudian, membawa segelas kopi hangat yang
langsung diletakkan di cup holder
khusus. “Kapten butuh sesuatu?”
Mike menggeleng. “Udah cukup. Saya udah bawa minum. Kamu lagi apa
sekarang?”
“Mau serve snack kedua buat
penumpang, Kep.”
“Mereka masih diskusi?”
“Masih. Dan fotografernya juga masih ngambil gambar di sana-sini.
Mungkin begitu makan malam selesai disajikan, saya siapkan tempat tidur untuk
semua penumpang.”
“Oke, thanks.”
Maulana keluar tepat ketika pesawat diminta melaporkan waypoint terbaru yang akan dilewatinya.
Perjalanan ini sudah cukup lama. Sudah dua jam dan akan memasuki kembali
wilayah udara Amerika Serikat negara bagian Alaska.
Mike mengenakan kembali kacamata hitamnya untuk menghalau silau.
Matahari berada tepat di hadapan mereka sekarang. “Hm … such a boring flight.”
Laurence terkekeh. “What do you
expect?”
Mike mengangkat bahunya. “A
stripper?”
Keduanya tertawa. Suara pesan masuk diterima di layar kecil yang ada di
antara mereka. Laurence mencetaknya dengan segera. Printer di dalam kokpit berfungsi untuk mencetak kondisi cuaca di
hadapan pesawat, atau berkomunikasi dengan operator penerbangan di markas
maskapai. Bentuknya seperti email,
tetapi pilot dapat langsung mencetaknya ke atas kertas dengan tinta laser.
Biasanya, operator penerbangan akan mengirimkan beberapa info penting seperti
misalnya gate kedatangan dan prosedur
khusus yang perlu dilakukan.
Maulana kembali berkutat di galley
untuk mengambil semua piring kotor dari penumpang. Dia ingin sekali meminta
bantuan Mora, tetapi teknisi junior itu tidak tampak di mana-mana. Sambil
menghela napas, Maulana keluar mendorong troli dan menguncinya di jarak aman.
Setelahnya Maulana mengambil semua piring yang sudah kosong dari camilan.
Piring-piring itu dimasukkannya ke dalam troli dengan rapi.
“Pangsa pasar kami VIP tertinggi dari berbagai negara,” ujar Pamungkas,
merespons sebuah percakapan yang sudah berlangsung sedari tadi. “Biasanya untuk
perjalanan kenegaraan atau liburan. Makanya kami menamai pesawat ini The Flying Paradise. Tapi dari segi security dan safety, kami menerapkan standar keamanan nomor satu. FAA approved. Pesawat ini dilengkapi
sistem antiteroris, antipembajakan, antibom, dan lain sebagainya.”
Harry merasa bosan dengan Instagramnya. Dia nimbrung dalam percakapan
dengan mengatakan, “Makanya gue sekarang pake jas kece ini,” katanya. “Biar
raja-raja kaya ngerasa ganteng kayak gue.”
Klik-klik-klik!
Kristian mengambil gambar Harry dari seberang ruangan. Harry menunjukkan huruf
V dengan kedua tangannya, lalu menampilkan wajah konyol. Satu jam lalu, saat
empat orang ini sibuk menjawab pertanyaan Jordan, Harry mengganti kostumnya
dengan jas-jas mahal lalu mengambil foto di conference
room bersama Kristian.
“Apa risikonya tinggi untuk dimasuki teroris?” tanya Jordan, siap
mencatat jawaban baru.
“Semua pesawat berisiko tinggi untuk dibajak. Apalagi pesawat pribadi
kayak begini yang VIP. Berdasarkan informasi itu, tentu kita tingkatkan keamanannya.
Misal, pintu menuju kokpit itu bulletproof.
Untuk menghindari teroris membajak pesawat sampai ke flight deck, kita kunci dari dalam. Jadi, pesawat masih bisa
mendarat di bandara terdekat untuk kemudian melakukan evakuasi.
“Dan semua pintu di setiap ruangan akan otomatis terkunci,” tambah
Randian. “Saya mendesain agar situasi darurat semacam pembajakan diantisipasi
dengan baik. Nah, ini off the record,
tapi kalau ada orang yang berani-berani membajak pesawat karena misalnya, let’s say, Presiden Indonesia sedang traveling pake ini, lalu salah satu bodyguard-nya membelot dan mengancam
membunuh presiden, presidennya tinggal dimasukkan ke ruangan mana pun dan bakal
terkunci dengan aman.”
“Kita invest banyak untuk
setiap dinding sekat di sini. Sebanyak 70% menggunakan bulletproof wall. Agak berat sih materialnya, tapi worth it, lah,” tambah Pamungkas.
Andre pun menambahkan dari sisi teknis. “Kebetulan, pesawat BBJ ini
didesain untuk 88 orang saja, termasuk jumpseat
dan kru terbang. Boeing 777 pada umumnya bisa mengakomodasi sampai 400 orang
Ini berarti, lebih dari 75% berat pada umumnya hilang. Maka dari itu kami
berani memasang bulletproof wall yang
berat, sebagai kompensasi dari kurangnya jumlah penumpang dibandingkan varian triple seven yang lain.”
Jordan mencatatnya secara cepat di laptop. Meski dia merekamnya ke dalam
ponsel, mengetik langsung selalu memberinya inspirasi. Seperti mendengarkan
kuliah dan Jordan perlu buru-buru mencatat atau enggak mendapat pelajarannya
sama sekali.
“Jangan lupa bahwa kita juga bisa memanggil nearest military assistant pakai kode-kode khusus,” tambah
Pamungkas. “Jadi nanti akan ada jet
fighter yang menemani, kalau memang ada pembajakan.”
“Kalau bom?” tanya Jordan kemudian. “Gimana kalau ada bom yang ditanam
atau masuk bersama penumpangnya?”
Pamungkas tertawa. Radian tersenyum dan ikutan terkekeh pada akhirnya.
“Mana mungkin, lah,” ujar Pamungkas setelah berhenti tergelak. “Airport zaman sekarang tuh canggih, lho.
Security-nya double-double. Bawa gunting kuku yang kecil aja pasti ketahuan. Enggak
mungkin bisa masukin bom ke pesawat. Itu saya bakalan salut kalau memang
berhasil. Lihat enggak tadi pas di delivery
center? Padahal cuma ferry flight,
tapi prosedur keamanannya tinggi. Harry aja yang bawa konfeti harus dapat rilis
dan isinya dicek berkali-kali.”
“Aaah, konfeti!” sahut Harry, merasa akhirnya bisa bergabung dalam
obrolan. “Kita nanti mau ngadain pesta di sini. Woohoo! Dan setelah ceremony
di Halim, ada pesta topeng! Gue bakal jadi Frankenstein.”
Tidak ada yang merespons kata-kata Harry. Apalagi, Andre melanjutkan
obrolan dengan kembali ke topik awal. “Semua material yang berpotensi menjadi
bom rakitan sudah dilarang oleh FAA untuk naik. Pupuk aja enggak bisa masuk,
mau itu di kabin atau di kargo, hanya karena pupuk bisa menjadi material bahan
peledak.”
“Tapi gue berhasil bawa konfeti, kok!” sahut Harry, ingin membantah
kata-kata Andre.
“Itu karena kita melakukan ferry
flight di mana semua manifestnya mengenal satu sama lain. Tujuannya juga
jelas,” jawab Andre.
Jujur saja, Jordan merasakan sesuatu yang aneh tentang Andre. Teknisi
senior itu, meski yang ditimpali adalah Harry, pandangannya tetap tertuju
kepada Randian. Bahkan, sejak pertama kali masuk ke dalam kabin, Andre seperti
menjaga jarak dari Randian. Bukan karena Jordan Pisces jadinya dia mengharapkan
drama, tetapi Jordan yakin ada sesuatu yang enggak beres antara Andre dan
Randian.
Tatapan Andre seperti tak suka. Rahang Andre mengeras kalau Randian
berbicara.
“Oh, iya, composite room!”
seru Randian tiba-tiba, menoleh ke arah Jordan tetapi lagi-lagi berkata, “off the record, tapi—”
“Jangan, jangan, yang ini sebutin aja,” penggal Pamungkas sambil
menyesap minumannya. “Publik perlu tahu bahwa pesawat ini bisa survive plane crash dengan korban
selamat. Ini bagus untuk marketing.”
“Apa itu composite room?”
tanya Jordan, bersiap mengetik.
“Lokasinya di belakang master
bedroom. Sebuah ruangan kecil kapasitas 3 – 4 orang yang akan tetap utuh
meski dijatuhkan dari ketinggian tertentu. Bahan kompositnya ringan tetapi
sangat kuat. Sudah kami tes di Arizona, dan kotak komposit itu masih bagus
setelah jatuh.”
“Dan tahan api,” tambah Pamungkas enggak sabar. “Dan tahan air.”
“Kalau pesawat ditanam bom, orang paling penting dalam pesawat bisa
masuk ke dalam composite room dan
selamat dari kejadian apa pun. Mengapa lokasinya di belakang? Karena bagian
buntut pesawat adalah bagian teraman dari sebuah pesawat. That’s why kotak hitam disimpan di bagian ekor.”
“Mengapa tiga sampai empat orang aja?” tanya Jordan. “Mengapa enggak
bikin buat semua orang di pesawat.”
“Composite itu, kan mahal Mas.
Sama kayak sasis mobil F1. Enggak kuat kalau setiap bagian pesawat komposit
semua,” jawab Randian sang arsitek.
“Yang pasti, ini akan menjadi private
jet terbesar di Indonesia begitu kita berhasil mendarat di Halim. BBJ-nya
Jokowi yang biru itu,” Manager menambahkan senyum meledek, “kalah. Itu 737
doang. Yang ini, nih … Boeing 777. One of
the biggest aircraft we have.”
Jordan mencatatnya lagi.
Pada saat yang sama, Maulana selesai mengumpulkan piring-piring kotor
sekaligus menuang segelas sampanye lain untuk Harry. Kristian sudah duduk di
kursinya, anteng menatap layar display
kamera, menghapus foto-foto blur. Meski common
room ini tepat berada di sayap, di mana mesin pesawat berada, suara deru
jetnya memang terdengar lembut. Tidak seperti beberapa bunyi mesin pesawat yang
berisik yang pernah ditumpangi Jordan.
Dan karena suasana di common room
terdengar hening, hanya dipenuhi dengung jet yang stabil dari luar, suara
teriakan itu terdengar jelas.
“AAARGH!” Maulana berteriak dari lorong. Dia sampai melompat mundur dari
trolinya ketika sebuah sosok tiba-tiba jatuh dari arah galley.
Semua orang di common room
menoleh dan menegakkan kepala. Randian melompat menghampiri sementara Jordan
dan Kristian berpandangan dengan bingung.
“Dia mabuk?” tanya Harry sambil mengerutkan alis.
Ketika Jordan menyusul ke lorong, dibuntuti Pamungkas dan Kristian, dia
melihat Mora sedang tergeletak kejang-kejang di atas lantai. Beberapa detik
kemudian kejang-kejang itu berhenti. Seluruh kulit Mora berkeringat dan
mulutnya mengeluarkan buih putih. Semua orang bisa melihat dengan jelas …
… napas Mora berhenti.
Mora mati.
“Innalillahi …!” seru
Maulana terkejut dengan mata membelalak.
Randian mendekati teknisi junior itu sambil memegang pergelangan tangan
Mora yang besar. “Enggak ada nadinya,” gumam Randian.
Maulana, yang sebenarnya punya sertifikasi CPR sebagai flight attendant, memberanikan diri
membalik tubuh Mora yang telungkup lalu mendekatkan wajahnya ke hidung teknisi
itu. Hanya sedetik dibutuhkan bagi Maulana hingga matanya berkaca-kaca karena
terguncang. Dengan tangan gemetar, Maulana menekan-nekan dada Mora tiga kali,
kemudian mengecek lagi hidung Mora.
Tidak ada respons.
Maulana ragu apakah dia perlu memberikan napas buatan, tetapi Randian
mencegahnya. “Jangan sentuh mulut dia. Bisa jadi itu racun.”
Maulana kembali menekan-nekan dada Mora hingga sebelas kali, tidak ada
respons apa pun didapat.
Harry yang baru saja bergabung langsung menyugar rambutnya tak percaya.
Dia memelotot dengan napas memburu. “Is
he dead? Is he dead?” ulangnya panik.
Randian kembali mengecek pergelangan tangan Mora, tak ada nadi.
Pamungkas juga mengeceknya. Masih tak ada nadi terdeteksi. Bahkan, Jordan
memberanikan diri menyentuh leher Mora yang dingin dan licin itu … tak ada
nadi.
“Nyawanya sudah lewat,” gumam Pamungkas.
Seluruh orang berdiri kaku di depan mayat Mora. Setiap dari mereka
terguncang dan terkejut atas apa yang terjadi tiba-tiba. Di belakang, Andre
terduduk di atas lantai. Menangis dengan bahu terentak-entak seperti kehabisan
napas. Jordan menghampiri Andre dan memeluknya. Dan tangis Andre pun pecah.
Di kokpit, kedua pilot sedang mengamati pesan yang beberapa saat lalu
masuk. Pesan itu, anehnya, dalam bahasa Indonesia. Bukan berasal dari flight dispatcher maupun dari ACARS
(alat komunikasi pesawat dengan darat). Bukan pula sesuatu yang mereka cetak
dari layar.
“What the fuck?” umpat
Laurence sambil terkekeh. “Is this a
joke?”
“What?” Mike membaca
pesan itu. “Salah kirim, kali.”
Dan, untuk tiga puluh menit pertama mereka mengabaikan pesan kaleng itu.
Hingga akhirnya Maulana masuk dengan wajah terguncang. Dia memohon izin akses
dengan terburu-buru, ketika Mike membukakan pintu, pipinya penuh air mata.
“Kenapa?”
“We got … we got ….”
Maulana menelan ludah seraya mencari kekuatan untuk berbicara. “We got a situation.”
“Situation?” Mike
dan Laurence berpandangan.
Maulana mengangguk dengan tangan yang bergetar. “Mora … Mora meninggal.”
Selama tiga detik pertama, baik Mike maupun Laurence tak percaya
informasi tersebut. Namun ini bukan tempat mereka bisa bermain-main dengan
informasi perihal nyawa. Hal pertama yang Laurence lakukan adalah mengambil
kembali remasan kertas yang tadi sudah mereka buang.
Membacanya lagi.
Kali ini, mereka mengerti bahwa ini bukan main-main.
Satu penumpang sudah tumbang. Sisa
sembilan orang. Sebuah bom ditanam di roda belakang. Akan meledak saat
suspensinya mendapat tekanan. Pilihan kalian hanya dua: turuti kemauan saya,
atau selamanya terbang. Kalau kalian memilih untuk tak pernah mendarat, wah
kebetulan. Semua orang dalam penerbangan ini laki-laki yang bisa ajak
bersenang-senang. Laki-laki yang akan bisa saling merangsang. Jadi, pikirkan
dengan matang.
To be continued ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar