005 The Demands
Hal pertama yang Pamungkas lakukan adalah menegaskan, “Mohon untuk tidak
menyebarkan berita apa-apa keluar. Pilot sudah dikabari soal ini, dan mungkin
kita akan mendiskusikan apakah perlu mendarat di bandara terdekat, RTB ke
Seattle, atau lanjut terbang.”
“RTB?” tanya Jordan tak paham istilahnya.
“Return to base,” jawab
Maulana. “Artinya kembali ke bandara keberangkatan. Tapi saya ragu kita bisa
RTB karena kita sudah mengudara lebih dari satu jam. Option berikutnya hanya bandara terdekat.”
“Jadi kita harus mendarat?” tanya Kristian bingung. “No offense buat almarhum, tapi lihat,
deh ….”
Kristian menunjuk sebuah layar besar di common room yang menunjukkan posisi pesawat saat ini. Di peta
tampak jelas pesawat berada di sekitaran Alaska, tetapi di atas laut.
“Kita mendarat untuk apa?” tanya Kristian. “Mendarat di Alaska lalu
ninggalin mayatnya di sana? Kalau ujung-ujungnya dia bakal dikirim ke
Indonesia, sekalian aja kita bawa sekarang. Untuk kebaikan dia juga, supaya
bisa langsung ditangani keluarganya begitu nyampe Jakarta.”
Baik Pamungkas dan Maulana tak menjawab. Dalam dunia aviasi, cukup
jarang sebuah pesawat melakukan RTB atau mendarat di bandara terdekat hanya
karena ada penumpang meninggal dunia. Mengingat kondisi kritis penumpang sudah
lewat, maka pesawat tidak dalam kondisi darurat. Biasanya, penerbangan akan
terus dilakukan hingga bandara tujuan, kemudian mayat dievakuasi setelahnya.
“Menurut saya kita harus mendarat,” ujar Randian sambil memegang
dagunya. “Apa pun penyebab kematian Nora, sumbernya dari dalam. Bisa jadi
udara, atau makanan. Dan kita di sini semua berbagi makanan maupun udara yang
sama. Lebih baik kita mendarat dan menginspeksi pesawat untuk tahu ada racun
apa di sini. Lalu, kita bisa berangkat lagi dengan pesawat yang sama setelah
semua aman, tentunya sambil membawa Mora ikut serta ke Indonesia.”
“Oh itu bisa juga, sih,” ungkap Kristian setuju. “Berarti kita cek dulu
pesawatnya ada apa, baru kita lanjutkan penerbangan?”
Dalam hati, Pamungkas menolak ide itu. Pertama, ini akan membuat jadwal
pendaratan mundur. Yang berarti selebrasi di Jakarta harus diundur lagi—dan itu
memakan biaya. Kedua, mendarat itu enggak murah. Pesawat harus membuang bahan
bakar agar bisa mencapai berat maksimal pendaratan. Setelah mendarat, pesawat
harus membuat ulang rencana perjalanan—yang tentunya memakan waktu dan biaya.
Maulana menoleh ke arah galley
dan mencoba mengingat-ingat sesuatu. “Kayaknya Mora belum makan,” gumamnya
sambil mengecek meja-meja dapur. Sejauh ini, makanan utama belum disajikan.
Maulana hanya mengeluarkan camilan dan itu pun disediakan di common room dan kokpit.
Sepanjang dua jam pertama, Mora tak kelihatan lagi batang hidungnya
setelah memperbaiki Wi-Fi. Tak ada yang curiga. Tak ada yang bertanya. Toh,
memang seharusnya Mora invisible.
Sama seperti pilot yang selalu berada di kokpit, atau kru kabin yang selalu
berada di galley, maka Mora pun
seharusnya duduk di kabin belakang menunggu seseorang meminta bantuan teknis.
Andre yang sudah lebih tenang, berkata dengan suara bergetar, “Dia pasti
makan.” Andre menahan cekatan di kerongkongannya dan mengatur napas. Jordan
mengusap-usap bahu Andre dengan lembut, berharap teknisi senior itu bisa sabar.
“Dia lagi hobi-hobinya makan.”
“Iyalah. Badannya besar gitu,” komentar Harry.
Sebenarnya, badan Mora enggak besar-besar banget. Memang, dibandingkan
sembilan orang yang hidup di pesawat itu—yang badannya berotot semua—badan Mora
agak berisi. Bagi Andre yang tahu persis bentuk badan Mora saat kali pertama
bekerja, perubahan itu signifikan. Sepuluh kilogram bukan berat yang sedikit.
Dan Andre tahu persis mengapa Mora bisa seperti itu.
“Dia hobi ngabisin makanan bekas tamu. Mubazir katanya kalau enggak
dimakan. Makanya berat badan naik.” Kemudian, Andre sesenggukan lagi.
Mora masih berbaring kaku di bawah. Seluruh tubuhnya sudah ditutupi
selimut warna emas yang tampak mahal. Dari wajah hingga ke ujung kaki. Matanya
sudah ditutup. Jordan mencoba mengamati perutnya, berharap perut itu bergerak
naik turun menandakan Mora bernapas. Namun pergerakan itu tak pernah muncul.
Maulana masuk ke dalam galley
dan mengeluarkan daftar makanan yang dia miliki. Dengan kilat Maulana menghitung
camilan apa yang tersisa, berikut jumlah yang dia keluarkan saat sesi makanan
ringan tadi. Menurut prosedur, Maulana akan mencatat berapa pun jumlah camilan
yang masuk dan keluar. Semua camilan yang terhidang sudah dia tandai.
“Enggak ada yang kurang,” gumam Maulana, kembali menghitung makanannya.
“Semua makanan lengkap?” tanya Pamungkas.
Maulana mengangguk. “Saya menghitung apa saja yang masuk dan keluar.
Sejauh ini makanan yang keluar hanya makanan yang saya keluarkan. Yang berarti,
Mora belum makan apa-apa.”
“Atau bisa jadi makanan dari luar? Makanan di food court tadi?” ujar Andre.
Maulana menggeleng. “Kita makan bareng, Mas. Sejauh ini, Mas, saya, dan
dua pilot baik-baik aja.”
“Iya tapi dia pesan makanan Cina. Mungkin ada coronanya.”
“Keracunan makanan enggak sampai meninggal gitu, Mas,” kata Randian,
mencoba berpikir logis. “Malah sebenarnya keracunan makanan enggak bikin
meninggal. Penderita harus mengalami dulu simtom kayak diare, mual, muntah,
atau mungkin demam. Itu buat natural food
poisoning, ya. Yang penyebabnya bakteri sama virus. Kecuali ini chemical poisoning. Itu pun harus niat
banget ngasih chemical yang langsung
mati. Contohnya sianida, kayak kasusnya Jessica-Mirna dulu.”
“Tapi kenapa Mora?”
Pamungkas setuju. Mengapa harus teknisi junior itu yang mengalaminya?
Jika memang penyebab kematiannya berasal dari bahan kimiawi yang kuat, berarti
hanya butuh waktu sebentar hingga efeknya bekerja. Yang berarti injeksi bahan
kimiawinya terjadi beberapa saat sebelum kematian.
Yang berarti … Pamungkas tak berani memikirkan kesimpulan ini … kalau
Mora dibunuh, pembunuhnya ada dalam pesawat ini.
“Mungkin dari minuman?” ungkap Randian. “Kayaknya dia minum selama
penerbangan. Kita bisa ngecek juga data soal minuman?”
Berat hati, Maulana menggeleng. “Beberapa minuman sudah disimpan di
refrigerator. Sebagian besar minuman beralkohol sudah ada di sini sejak
instalasi. Mungkin sejak dua-tiga hari lalu.”
“Ya, ya, ya. Waktu saya ambil gambar kemarin, semua minuman sudah ada di
ruangan,” tambah Kristian. “Tapi karena sejauh ini kita baik-baik aja, berarti
minuman yang sudah dibuka bisa kita katakan aman. Gimana?”
“Belum pasti, sih Mas,” sergah Randian tak setuju. “Tapi saya kepikiran
gimana kalau kita mengumpulkan semua minuman ataupun air minum di pesawat ini
ke satu tempat. Kita belum boleh minum sebelum semua sepakat sebotol minuman
aman dikonsumsi.”
Harry memegang pipinya dengan ngeri. “Gue udah ngabisin dua botol!”
Namun lagi-lagi tak ada yang mendengarkan. Harry hanya berdiri saja di belakang
Randian, ketakutan pada mayat di depannya, tak berani bicara sebelum dia paham
betul apa yang perlu dibicarakan.
“Kita pindahkan ini ke ruang meeting
kabin depan,” titah Pamungkas sambil mengambil napas panjang. “Setelah ini saya
akan konsultasi dengan kru terbang untuk tindak selanjutnya.”
Maulana, Andre, dan Randian memindahkan jasad Mora ke ruang meeting kecil di kabin depan, yang
berada bersebelahan dengan ruang kerja. Ruang meeting itu hanya berisi sepasang sofa panjang berhadap-hadapan,
sebuah meja kecil yang terpasang kaku ke lantai, dan pot bunga di setiap sudut.
Mora dibaringkan di salah satu sofa. Sabuk pengaman dipasangkan melingkari
pinggangnya, agar tidak terjatuh ke atas lantai.
Jordan dan Harry mengumpulkan semua botol minum ke atas meja makan di conference room. Baik itu minuman
beralkohol, minuman soda, maupun air putih biasa yang ada di galley.
Pamungkas memohon izin mengakses kokpit. Dengan gusar, dia masuk ke
dalam setelah Mike membuka kuncinya. Di dalam, Mike dan Laurence sedang
berdiskusi.
“But that’s crazy!” sergah
Laurence tak terima. “The heat might
cause the explosion.”
“But we don’t have access to the
wheel well!”
“Ada apa ini?”
Mike menghela napas, menatap sejenak langit luas di hadapannya, lalu
menoleh ke belakang. Dia melepas kacamata hitamnya. “Saya tahu kita lagi enggak
enak situasinya, tapi kayaknya kita punya … masalah lain.”
“Masalah lain?”
Mike masih ragu apakah perlu mengatakannya kepada Pamungkas atau tidak.
Pandangannya dilemparkan ke luar, ke hamparan biru Samudra Pasifik yang mulai
dipenuhi awan-awan kecil. Di hadapannya, matahari menyorot dengan sangat silau.
Meski posisi Pamungkas adalah manager,
dalam setiap penerbangan, sebuah keputusan selalu berada di tangan kapten
pesawat. Mengatakan atau tidak ancaman tersebut adalah salah satu keputusan
yang harus dipertimbangkan.
“Just tell him all, Dude,” kata
Laurence sambil mengangkat bahu. “Sama saja.”
“Ada masalah apa lagi?” tanya Pamungkas, mulai panik. Pamungkas membuka jumpseat yang berada di belakang kedua
pilot. Dia duduk di atasnya, lalu menyusupkan jemari ke rambut seolah-olah
ingin menjambaknya.
Setelah jeda yang cukup panjang, Mike pun menarik napas dan menjawab,
“Kita sedang dibajak.”
Pamungkas membeku sesaat mendengar kata-kata itu. Dia jelas tidak
percaya ada pembajakan di penerbangan feri semacam ini. “Bajak?” ulang
Pamungkas setelah dapat menguasai dirinya. “Apa yang mau dibajak? Ini cuma ferry flight. Enggak ada orang penting
di sini. Memangnya saya cukup penting sampai seseorang membajak pesawat ratusan
juta dolar?”
“Saya belum bisa memastikan seratus persen,” timpal Mike. “But let’s take the worst case scenario.”
“Dibajak apa memangnya?” desak Pamungkas.
“Kami mendapat pesan anonim. Kami sudah cari siapa pengirimnya, tetapi
enggak berhasil menemukan jawaban. Kami hubungi flight dispatchers di Jakarta, juga enggak ada jawaban apa-apa.
Pesan itu masuk ke printer ini dan isinya
mengonfirmasi satu orang yang decapacitated
dalam penerbangan.”
“Apa?!”
Laurence memberikan kertas pesan itu kepada Pamungkas. Manager marketing itu mengumpat dengan
kasar di dalam kokpit, marah karena kejadian setragis ini bisa dialaminya.
“Tapi kita belum cek kebenaran soal bom,” lanjut Mike. “Antara ini
iseng-iseng, atau memang serius. Satu orang harus melakukan pengecekan ke wheel well soal keberadaan bom. Kalau
memang ada, saya akan kirim transponder 7500 ke menara terdekat untuk
menyatakan pembajakan.”
“Tapi siapa pembajaknya?!” jerit Pamungkas frustrasi. “Di kabin sana
semua orang lagi sibuk nyari penyebab kematian Mora. Enggak ada yang nodong
pistol terus minta duit jutaan dolar. Lagian, kalau ini pembajakan, yang dia
minta apa?”
Setelah kata-kata itu, satu pesan muncul lagi ke dalam layar kokpit.
Laurence mencetaknya dengan segera. Ini pesan lanjutan.
Kompartemen A6. Gunakan dengan bijak.
“Kompartemen yang berada di galley?”
tanya Laurence bingung.
Pamungkas dengan sigap keluar lagi dari kokpit menuju galley. Dalam perjalanannya, Pamungkas
melihat Andre sedang berada di ruang meeting
kecil, menangis tersedu-sedu menatap Mora yang terbujur kaku di seberangnya.
Semua orang kecuali Maulana berada di conference
room untuk memilah-milah minuman mana yang aman.
“Kayaknya ini air putih biasa.” Jordan mengacungkan sebuah botol.
“Enggak ada bau apa-apa.”
“Oke. Berarti simpan di sebelah sini. Nah, Mas Harry, yang itu gimana
baunya?”
“Bau stroberi.”
Pamungkas menemukan Maulana berada di galley. Pramugara itu dengan gusar menghitung semua makanan yang ada di sana. Mungkin ingin memastikan sekali lagi tak ada makanan yang hilang. Dari raut wajahnya, Pamungkas yakin jawabannya tetap sama.
“Mana kompartemen A6?” todong Pamungkas tanpa basa-basi. “Kamu nyimpan
apa di kompartemen A6?”
Maulana mengerutkan alis. Dia berjalan ke satu sudut meja yang berjejer
beberapa kompartemen seperti troli. “Aku enggak nyimpan apa-apa di jejeran A.
Aku nyimpannya di C, karena penumpang kita sedikit.” Maulana menarik
kompartemen A6 dan membukanya.
“Apa isinya?”
Maulana terkejut. Dia menatap Pamungkas sejenak, lalu menatap lagi ke
isi kompartemen. Pamungkas berjalan mendekat dan menemukan sebuah pistol, borgol,
bersama kuncinya berada di sana.
“Aku enggak masukin ini, ya. Aku beneran baru tahu ada ini di sini,”
ujar Maulana, menutup mulutnya tak percaya.
“Cuma ini aja?” Maulana memerika isi kompartemen A6. Isinya hanya borgol
dan kuncinya. “Ini untuk apa? Gimana caranya pistol bisa masuk sini?”
“Mana aku tahu. Lagian kenapa Mas kenapa tiba-tiba tahu ada ini di A6?”
tanya Maulana.
Pamungkas tak menjawab pertanyaan itu. Dia benar-benar frustrasi.
Tampaknya pembajakan itu enggak main-main. Meski bom di roda pesawat belum
dikonfirmasi, tetapi kehadiran pistol ini pertanda jelas ada kontrol yang
berasal dari luar. Senjata api tak bisa masuk ke pesawat semudah itu. Semua
orang melakukan check in dan
pemeriksaan di tempat yang sama. Seharusnya senjata apa pun bisa terdeteksi.
Kecuali ada yang memasukkannya pada hari-hari sebelum penerbangan,
misalnya ketika melakukan instalasi.
Namun, siapa?
* * *
Jordan merasakan sesuatu yang aneh dari Pamungkas. Ketika semua orang
sedang memilah minuman, Jordan melihat Pamungkas berjalan terburu-buru melewati
conference room. Sosok itu menghilang
di galley belakang, lalu berkutat di
sana selama beberapa menit.
Jordan memutuskan untuk meninggalkan conference
room dan menguping apa yang sedang terjadi di galley. Dia tak bisa tahu bagaimana awal pembicaraan itu, tetapi
Pamungkas dan Maulana terdengar risau.
“Aku sama sekali enggak tahu gimana caranya ini bisa masuk. Aku enggak
ngecek semuanya, Mas,” kata Maulana.
“Katering?” tanya Pamungkas. “Apa mungkin orang katering yang masukin?”
“Enggak tahu. Tapi kayaknya katering hari ini enggak nyamperin daerah A.
Dia langsung ke C, sesuai arahanku.”
“Kamu notice sesuatu yang
aneh?”
“Ada, sih. Sebentar.” Terdengar suara kompartemen dibuka, lalu ditutup.
“Hari ini jumlah makanan yang masuk lebih banyak dari daftar yang kupegang. Aku
nerima yang ini dari flight dispatcher,
tapi katering nerima daftar yang lebih banyak makanannya. Dan dia nganterin
pakai daftar dia sendiri.”
“Kamu udah serve kelebihan
makanan ini?” tanya Pamungkas.
“Belum. Karena itu bukan bagian dari ceklis, rencananya di-serve kalau ada yang request camilan tambahan aja. Atau nanti
sebelum mendarat.”
Hening sejenak. Suara bip
telepon elektronik terdengar dua kali. Maulana mengangkat telepon. “Halo …? Ya,
Pak Pamungkas ada di sini …. Oke …. Baik, Kep.” Telepon ditutup. “Ada info
penting dari kokpit. Mas ke sana sekarang aja.”
Apa yang mereka bahas? batin Jordan.
Dan mengapa Maulana memanggilnya Mas?
Tiba-tiba Pamungkas muncul dari balik galley. Jordan yang sedang menguping di balik dinding terkejut.
Untungnya Jordan menyukai drama (makanya dia menjadi penulis), jadi dengan
lihai Jordan bilang, “Eh, Pak Pamungkas! Kami lagi sortir minuman, Pak.”
“Ya, ya, ya. Makasih banyak, ya,” balas Pamungkas dengan senyum singkat,
lalu berlalu melewati Jordan.
Jordan tak tahu apa yang membuat manager itu gusar. Dia hanya bisa
pura-pura ke toilet karena Maulana memergokinya di ujung galley, tetapi celingukan sebisa mungkin ke arah mana Pamungkas
pergi. Sosok paling tua dalam penerbangan ini masuk ke dalam kokpit. Pintunya
tertutup rapat dan pastinya tak bisa menguping apa-apa dari sana.
* * *
“Kita dapat pesan baru,” ujar Mike sambil menghela napas. Dia mengacungkan
sebuah pesan tambahan yang dikirim anonim ke printer kokpit.
Pamungkas yang baru saja masuk langsung merebut kertas itu.
#1 Uang sejumlah $9.000.000,-. Kalau
sudah oke, detail pengiriman dikirimkan dalam beberapa jam.
“Anjing!” umpat Pamungkas. “Apa-apaan ini?!” Pamungkas kembali duduk di jumpseat, membolak-balik kertas
seolah-olah akan mendapat petunjuk baru.
“Melihat dari tagar satu di depannya, bukan hanya ini yang diminta,”
ujar Mike yakin. “Apa Bapak sudah mengecek kompartemen A6?”
Pamungkas mengangguk. Dia mengeluarkan sekantung plastik bening besar
berisi pistol, borgol, dan kuncinya. Mike dan Laurence berpandangan,
masing-masing alis mereka bertaut.
“Siapa yang bawa masuk?”
“Itu juga pertanyaan saya,” jawab Pamungkas gusar.
“Sudah menanyakankah daripada Maulana?” tanya Laurence.
Pamungkas mengangguk. “Dia enggak tahu apa-apa. Dia sama kagetnya kayak
saya.”
“Apakah penterornya menginginkan kita memborgolkan seseorang?” ungkap
Laurence sambil mengamati borgol itu lebih dekat. “Misalnya menguncikan
seseorang kemudian menembakinya?”
“Jangan dulu berasumsi, Laurence,” usul Mike.
Mereka lalu mendiskusikan sejenak semua kemungkinan sepucuk pistol bisa
masuk ke dalam pesawat. Mulai dari katering, instalasi, seseorang dengan lihai
menyelipkannya, atau mungkin Mora? Namun ketika Pamungkas keluar sejenak untuk
mengecek mayat Mora, tak ada tanda-tanda penembakan di tubuhnya.
Semua kehebohan ini berakhir pada keputusan Mike sebagai kapten. “Kita
harus minta bantuan. Kita hubungi flight
dispatcher, kita hubungi menara terdekat, lalu kita—”
“Jangan dulu!” penggal Pamungkas tiba-tiba. “Kita minta bantuan, tetapi
jangan sampai semua orang tahu.”
“Why?” Laurence
mengernyitkan kening.
“Yang benar aja!” sentak Pamungkas frustrasi. “Saya baru deal belasan schedule sama klien-klien sangat penting. Salah satunya seorang
raja di Malaysia dan satu presiden dari Afrika. Kalau pembajakan ini sampai
ketahuan publik, sama aja bohong dong apa yang saya bilang! Saya, kan bilang ke
mereka pesawat ini antibajak!”
“But we’re hijacked,” gumam
Laurence tak mengerti.
“Yeah! Hijacked on its ferry flight!” sergah
Pamungkas kesal. “A FERRY flight!”
Mike memahami penuh maksud Pamungkas. The Flying Paradise, sebelum benar-benar lahir, sudah dipromosikan
kepada calon-calon klien penting. Konsep security
yang tinggi dan kemewahan di atas langit menarik perhatian banyak pemimpin
dunia. Perusahaan sudah menginvestasikan banyak sekali uang untuk proyek
pelopor ini. Jika pesawat ini dibajak saat penerbangan feri, akan sangat konyol
sekali. Perusahaan bisa jadi bulan-bulanan, berdampak sangat buruk pada
publisitas.
Pembajakan terjadi karena sebuah objek punya nilai tinggi untuk ditukar
dengan objek lain. Bisa jadi orang penting seperti keluarga kerajaan,
pemerintahan, atau orang kaya. Bisa jadi orang biasa, tetapi dalam jumlah
banyak. Mengapa harus dalam sebuah penerbangan? Karena tak ada pilihan lain
untuk menyelamatkan objek bernilai selain mendaratkan pesawatnya. Tawanan tidak
bisa ke mana-mana dalam sebuah penerbangan.
Ini bukan La Casa De Papel di
mana pembajakan terjadi di dalam gedung. Dibajak dua bulan pun, semua orang
masih memungkinkan untuk hidup. Kalau dibajak di dalam penerbangan, begitu
bahan bakar habis, maka nyawa bisa habis. Pilihannya antara permintaan
dipenuhi, atau tawanan mati. Itu alasannya pembajakan di pesawat cukup populer
pada masa lampau.
Namun, ketika pembajakan terjadi dalam penerbangan feri, rasanya lucu.
Siapa nilai penting di sini? Mike tidak merasa setiap orang di sini punya nilai
apa-apa. Dirinya? Tidak. Dia hanya pilot biasa dengan banyak cicilan menumpuk.
Laurence? Apa lagi. Pamungkas di belakangnya memangku jabatan manager, bukan
CEO atau apa. Pamungkas mati pun, ya sudah.
Total manusia dalam pesawat besar ini hanya sepuluh orang saja. Tidak
signifikan dibandingkan pembajakan Ethiopian Airlines flight 961 dengan 175
manusia di dalam pesawat. Misal perusahaan memutuskan membunuh sepuluh orang di
dalam penerbangan ini, mereka hanya perlu berurusan dengan sepuluh keluarga
saja. Beralasan pesawat jatuh dan lain sebagainya, tanpa perlu ribut-ribut di
media.
Seperti kecelakaan yang ‘itu’, batin
Mike. Namun sang kapten langsung menggelengkan kepala, melupakan sebuah
kejadian pada masa lampau yang mati-matian dirahasiakan.
Jadi, pertanyaannya … mengapa penerbangan feri? Apa pentingnya
penerbangan ini? Mengapa tidak menunggu pesawat ini mengangkut seorang raja
dari Malaysia, sehingga bisa menghasilkan lebih banyak uang?
Bahkan, jujur saja, Mike tidak memahami mengapa teroris meminta 9 juta
dolar saja ketika pesawat yang sedang terbang ini nilainya 395 juta dolar. (Baru
pesawatnya. Interiornya beda lagi harganya.)
“Kalau gitu kita harus cek wheel
well. Cek apakah benar bom diletakkan di sana,” kata Mike. “Kalau memang
ada, kita harus meminta bantuan.”
“Memangkah satu buah kematian tidak sanggup dianggapkan ciri-ciri sedang
pembajakan?” tanya Laurence.
“Enggak. Kita enggak minta bantuan siapa-siapa,” tegas Pamungkas.
“Hubungi Usman di Jakarta. Jadikan dia flight
dispatcher dalam penerbangan ini. Kita koordinasi sama dia tentang dari
mana semua pesan-pesan ini datang, atau kalau memang perlu bantuan dari ground support, lakukan melalui Usman.”
“Kenapa Usman?” tanya Mike curiga.
“Ikuti aja kata-kata saya.”
“Kemudian, setelah begitu, apakah yang kita akan melakukan?” tanya
Laurence. “Bersikap biasa-biasa seolah-olah tidak terjadikan apa-apa?”
“Ya,” jawab Pamungkas tegas. Dia menarik napas panjang sebelum
melanjutkan. “Ini hanya rahasia kita bertiga on board. Hubungi Usman dan jelaskan apa yang terjadi. Kematian
Mora cukup membuat penumpang panik. Jangan sampai mereka tahu ada bom di dalam
pesawat ini. Saya akan umumkan ke semua orang bahwa kita baik-baik saja, tak
ada makanan atau udara yang teracuni.”
Sejujurnya, Mike tidak setuju. Seharusnya, Mike yang mengambil
keputusan, karena dia kapten dalam penerbangan ini. Namun Mike tidak punya
pilot pengganti agar dirinya bisa pergi ke kabin dan melihat situasi. Untuk
sementara, Mike mengikuti perintah Pamungkas dengan terpaksa.
Sebelum Pamungkas pergi meninggalkan kokpit, Mike sempat bertanya, “Ada
kemungkinan pembajaknya berada dalam pesawat ini?”
Pamungkas memberi jeda sejenak sebelum menjawab. “Saya rasa ada.”
Mike kembali berpandangan dengan Laurence, dan bertanya, “Mengapa Bapak
yakin?”
“Pesan-pesan ini berbahasa Indonesia. Borgol dan pistol ada dalam
penerbangan secara tiba-tiba. Seseorang pasti harus membawanya masuk. Masa iya
orang-orang Boeing? Kematian Mora yang mendadak pun membuat saya yakin orangnya
berada dalam penerbangan ini.”
“Lalu Bapak akan mengumumkan kita baik-baik saja?” Mike tidak paham.
Pamungkas mengangguk. “Justru itu tujuan saya. Kalau kita bilang kita
baik-baik saja, pembajak pasti akan bereaksi. Kalau dia bereaksi dengan cepat,
artinya dia ada di dalam pesawat ini.”
* * *
Semua orang sudah memilah minuman yang terasa aman dan tidak. Kebanyakan
aman. Atau mereka percayai sebagai aman. Karena pesawat dilengkapi Wi-Fi, semua
orang sudah meng-google ciri-ciri
keberadaan sianida dalam makanan dan minuman. Aroma almon yang kuat adalah
ciri-ciri adanya sianida. Semua air putih tercium seperti air putih. Namun
mereka tak begitu yakin dengan minuman beralkohol karena aromanya kuat.
Jadi, sejauh ini, minuman beralkohol mendominasi area minuman
mencurigakan. Jordan dan yang lain masih duduk di conference room, meng-google
segala jenis kemungkinan racun yang bisa terpapar ke tubuh. Baik itu melalui
udara maupun minuman.
“Strewth!” umpat
Harry memecah keheningan di dalam ruangan. “Baju bisa mengandung sianida.”
Nyaris semua orang menoleh.
“Kalau di udara ada sianida, maka sianida bisa nempel di baju. Persis
Corona,” katanya takjub. “Jadi kita semua ganti baju sekarang?”
“Bukan ide buruk,” ujar Randian. “Saya juga baca info itu tadi. Kalau
memang Mora meninggal karena paparan sianida di udara, berarti kita bisa juga terpapar
sianida. Mungkin sianidanya menempel di baju.”
Maulana menyanggah. “Kalau memang udara mengandung sianida, mengapa kita
enggak kena efeknya?”
Tidak ada yang tahu jawabannya.
Pamungkas sudah berada di pintu masuk conference room ketika pembicaraan itu terjadi. Di belakangnya,
Andre membuntuti setelah puas berkabung di depan jenazah Mora.
Pamungkas langsung menyela, “Bapak-Bapak yang terhormat,” sapanya.
“Terima kasih banyak atas bantuannya dalam musibah ini. Terima kasih juga sudah
membantu memilah-milah minuman. Saya mendukung penuh segala usaha preventif
demi keselamatan bersama.
“Barusan saya sudah berbicara dengan pilot. Untuk sementara, karena ini
sudah bukan situasi darurat, kita akan melanjutkan perjalanan ke Shanghai.”
“Bukan situasi darurat?” ulang Randian. “Kita aja belum tahu penyebab
kematian Mora.”
Pamungkas mencoba tersenyum sesabar mungkin. “Betul, kita belum tahu
penyebab kematiannya. Namun saya sudah mengecek ke kokpit, udara juga bukan
penyebabnya. Meski memiliki tekanan kabin, pesawat tetap menggunakan udara dari
luar untuk memastikan sirkulasi tetap bersih. Oksigen tidak berputar-putar di
dalam ruangan. Kayak begitu kan, Pak Andre?”
Andre mengangguk kecil.
“Untuk sementara saya nyatakan bahwa kita tidak dalam situasi darurat. Kita tetap siaga, tetapi tidak darurat. Selama saya dan kru mencari tahu penyebab kematian Mora, Bapak-Bapak bisa kembali ke aktivitas semula.”
To be continued ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar