006 The Architect
Nama laki-laki itu Randian. Sebagai Virgo, dia tak bisa memercayai
kata-kata Pamungkas begitu saja. Kemampuan naturalnya untuk mengobservasi dan
berpikir kritis, membuat otaknya tak pernah berhenti bekerja. Setiap hal selalu
bisa diteliti oleh Randian. Bagaimana bisa terjadi? Mengapa terjadi? Apa
motivasinya? Apa tujuannya? Dan serentetan pertanyaan lain yang seringkali tak
pernah ketemu jawabannya.
Kematian Mora bukanlah hal yang bisa dilabeli ‘biasa saja’ bagi Randian.
Sebelum dia tahu alasan kematian Mora, semua orang masih berisiko mengalami hal
yang sama. Yang berarti status penerbangan ini darurat, bukan siaga semata.
Namun Randian paham dia tak bisa berbuat banyak. Dia bukan kru terbang.
Dia hanya pendesain kabin pesawat mewah ini. Dia hanya hafal setiap ruangan di
dalam transportasi ini, tetapi dia tak punya kuasa untuk menentukan status
penerbangan atau melakukan penyelidikan.
Bukan berarti Randian akan diam saja. Untuk sementara, Randian akan
mengikuti saran kru. Hanya saja, Randian sudah siap dengan berbagai alternatif
aksi jika memang dibutuhkan.
Pamungkas kembali lagi ke kokpit entah untuk alasan apa. Randian mulai
curiga, tetapi dia memilih kembali ke conference
room dan mengambil sebotol sampanye yang disepakati bersama aman diminum.
Dia duduk di samping Jordan yang kini mulai membuka laptop dan menulis sesuatu.
“Nulis apa, Mas?” tanya Randian penasaran.
Jordan menggeleng. “Nyatat aja.”
“Soal kejadian ini?”
Jordan celingukan kanan-kiri untuk memastikan tak ada yang mendengar.
“Jujur aja, iya. Untuk catatan pribadi saya aja sebenarnya.”
“Untuk dijadikan novel?” tebak Randian.
Jordan terkekeh. “Kalau bisa, sih kenapa enggak?”
“Bikin novel aja, Mas. Novel misteri. Pembunuhan di Pesawat Paling Mewah
Sedunia.”
“Mas yakin ini pembunuhan?”
“Ya …, kalau Mora bukan dibunuh sama manusia, ya dia dibunuh sama
malaikat pencabut nyawa.” Randian terkekeh bercanda. “Menurut saya sih masih
banyak yang mencurigakan.”
Jordan celingukan lagi ke arah galley,
memastikan tak ada yang mendengar percakapannya. Kristian tampak sedang
berbincang dengan Harry soal pemotretan mereka di master bedroom. Andre sibuk berbicara dengan Maulana tentang
sesuatu. “Saya juga curiga,” kata Jordan.
“Curiga kenapa?”
“Kayaknya Pak Pamungkas itu nyembunyiin sesuatu.” Randian tersenyum
lebar. “Sebelum kejadian Mora ini, saya udah curiga sama dia. Ada banyak hal
yang dia sembunyiin dari saya.”
“Contohnya?”
“Ya saya enggak tahu apa yang dia sembunyiin. Tapi saya sering dapat
penolakan kalau saya mau melakukan pengecekan instalasi kabin. Saya cuma bisa
datang pada jadwal-jadwal tertentu. I
mean, come on … saya yang desain ini, tapi saya enggak bisa datang setiap
waktu pas instalasi? Off the record,
ya,” tambah Randian, memastikan Jordan tidak menulis semua.
Jordan lalu menceritakan apa yang dia dengar dari Pamungkas dan Maulana
di galley. Randian mendengarkan
dengan baik seraya menyusun analisa di dalam kepalanya. Meski sebenarnya perhatian
Randian teralihkan oleh pesona Jordan.
Randian suka wajah-wajah brondong muda seperti Jordan. Atau Maulana.
Atau Andre. Atau Harry. Atau Mora, bahkan. Dia gay discreet dengan peran seksual bottom. Agak sulit baginya mencari berondong ganteng top yang mau
menggaulinya. Nyaris semua berondong yang mendekati Randian selalu duluan
nungging di atas tempat tidur sebelum Randian melakukan apa-apa.
Jordan ini bisa jadi top enggak, ya? pikir
Randian dalam hati.
Sejak menunggu di bandara tadi, laki-laki berumur 33 tahun ini tahu penerbangan
akan dilewati penuh kesan. Ada lima kamar tidur yang bisa dipakai untuk
bersenang-senang. Penumpang juga sedikitan, jadi bisa lah melipir sebentar
ketika semua orang tidur, lalu nungging dan digenjot kemaluan seseorang. Kalau bisa sama Jordan sih asyik banget,
batin Randian.
Enggak ada Jordan pun, masih ada satu pilot yang selama ini menjalin
hubungan teman tapi mesra dengan
Randian. Pilotnya ada dalam penerbangan ini. Dia top. Dan dia mengunci kemaluan
Randian dalam chastity gara-gara
Randian enggak mau nungging semalam. Randian kena hukuman. Antara dia harus
memaksa pilot itu menggaulinya, atau Randian semakin tersiksa dalam gelora
seksual.
Gimana kalau pilotnya masih enggak mau juga? Masih ada satu orang lagi.
Randian enggak akan kehabisan stok.
Apa pun itu, intinya penerbangan ini akan ‘menegangkan’.
Dia tak menyangka tegang yang didapat justru tegang dalam arti lain.
Kasus kematian Mora memaksa Randian menepiskan pikiran-pikiran kotor untuk
sesaat. Sampai penyebab kematian Mora diketahui, Randian tak bisa melakukan
apa-apa.
“Anggap aja Mora dibunuh,” bisik Jordan, mencondongkan tubuh ke arah
Randian, agar tak perlu bicara keras-keras. “Kira-kira apa motifnya?”
Randian mengangkat bahu. “Saya jarang ketemu dia. Pernah ketemu sekali
dua kali, tapi enggak pernah ngobrol. Selama dua bulan terakhir, lah. Pas masih
inisiasi awal desain kabin.”
“Saya malah belum pernah ngobrol ama dia,” balas Jordan. “Yang namanya
Andre itu atasan dia langsung, bukan?”
Randian, diam-diam, menelan ludah. Nama itu agak-agak sensitif untuk
dibahas dalam topik apa pun. Setidaknya bagi Randian. “Enggak tahu,” jawab
Randian mengangkat bahu.
Pada saat bersamaan, Andre terlihat duduk di atas sofa seberang ruangan.
Dia sudah berhenti berbincang bersama Maulana di galley. Andre masih tampak terguncang. Matanya kosong menatap
karpet di hadapannya. Jordan mengangkat tangan, “Mas Andre?”
Andre mendongak.
“Ke sini, dong!” pinta Jordan. Bahkan, Jordan berdiri menyambut Andre
ketika teknisi senior itu menghampiri. Jordan memeluk Andre dengan erat sambil
mengatakan belasungkawa selama beberapa menit.
Andre mengangguk berterima kasih.
“Duduk sini aja,” setelahnya. Jordan menepuk sofa di sampingnya,
menghadap tepat ke arah Randian.
Andre menatap Randian sejenak. Randian membalas juga. Keduanya
bertatapan tajam. Kemudian, Andre duduk dan mengambil napas panjang.
“Mora pasti orang yang baik,” ujar Jordan, menyemangati. “Apa pun yang
terjadi, dia akan ditempatkan di tempat yang baik sama Tuhan, Mas.”
“Makasih, Mas,” balas Andre pelan. “Anaknya memang baik, kok. Kerjanya
juga bagus. Mungkin itu alasannya perusahaan ngajak dia ikut di ferry flight ini.”
“Pastinya, lah. Pasti dia enggak ada masalah sama siapa-siapa di
penerbangan ini.”
Randian tak tahu mengapa Jordan mendesaknya dengan pernyataan seperti
itu. Namun Randian yakin Jordan punya motif tertentu. Cowok dengan muka unyu
ini tampaknya menyukai drama. Kalau bisa menggali lebih banyak drama, maka dia
akan lebih puas. Sebagai sosok yang menyukai sebuah cerita detail, Randian
hanya bisa mematung dan mendukung diam-diam.
“Mana ada masalah dia,” jawab Andre. “Kecuali hobi makan dia yang
mengganggu, orangnya sih nurut apa kata orang. Dia ngerjain semua yang disuruh.
Selama di sini pun nggak aneh-aneh. Malah kadang-kadang dia lebih teliti dari
saya. Misal saya kelupaan ngecek satu hal di daftar ceklis, dia sering
ngingetin saya. Makanya saya merasa kehilangan banget.”
Terlalu banyak informasi, batin
Randian. Ciri-ciri Aquarius. Segala
data disampaikan ke orang, enggak peduli orangnya butuh atau enggak.
Randian tahu tentang Andre, karena perjalanan hidupnya pernah
bersinggungan dengan teknisi itu pada masa lalu. Selain Randian tahu zodiak
Andre, Randian tahu apa yang ada di balik seragam teknisi itu.
“Semoga apa yang terjadi sama dia bukan karena ulah seseorang,” ujar
Jordan. “Karena, saya juga yakin dia orangnya baik, Mas.”
“Mora sih pasti baik, Mas. Tapi kita enggak pernah tahu niat jahat
orang-orang di pesawat ini tuh kayak gimana,” balas Andre. Ketika
mengatakannya, pandangan mata Andre tertuju tajam kepada Randian. “Di dunia ini
selalu ada aja orang yang jahat. Orang yang melakukan segala cara untuk
mendapatkan apa yang dia inginkan. Orang yang menganggap remeh orang lain,
menginjak-injak harga diri orang lain, bahkan enggak mau mendengarkan apa kata
orang. Orang yang dengan mudah menyakiti, enggak peduli gimana perasaan orang
yang disakiti. Saya berharap Mora bukan korban orang jahat itu.”
Rahang Randian mengeras ketika Andre mengatakan itu. Kemungkinan besar
Jordan curiga menemukan tatapan Andre berbeda ketika berpidato seperti itu. Saat
Jordan menoleh ke arah Randian, dengan kilat Randian tersenyum lebar tanpa
menunjukkan gigi.
“Amin. Kita berdoa aja semoga orang jahat itu enggak ada di sini,” kata
Jordan, mengulas senyum lebar ke arah Andre.
Randian duduk dengan sangat tak nyaman di seberang Andre. Matanya tak
berkedip menatap teknisi senior itu. Apalagi ketika Randian tahu, semua
kata-kata itu ditujukan kepada dirinya.
Sebelum Randian membuka mulut, tiba-tiba Pamungkas muncul dari lorong galley. “Andre?” panggilnya. Pamungkas
mengedikkan kepala, mengajak Andre pergi dari situ.
“Makasih ya, Mas,” ujar Andre sambil bangkit berdiri dan menepuk tangan
Jordan dengan ramah. “Semoga kita semua dilindungi dari orang-orang jahat. Saya
permisi dulu.”
Andre pun bergegas menghampiri Pamungkas. Keduanya hilang di koridor
menuju kokpit.
“Kenapa dia?” bisik Jordan sambil membelalak. “Kok, dia ngomongin soal
orang jahat, sih? Apa ada orang jahat di penerbangan ini?”
Randian hanya memasang senyum lebar yang tadi. Dia mengetuk-ngetuk
telunjuknya di atas sandaran tangan, kemudian bangkit berdiri. “Saya … saya mau
ke toilet dulu. Silakan Mas lanjutkan kalau mau menulis.”
* * *
Kristian tak sesuci dugaan semua orang.
Ya, dia tampak seperti pria baik-baik. Bekerja tekun sebagai foto dan
videografer. Usahanya dirintis sejak zaman kuliah. Dia sudah punya satu studio
dengan belasan karyawan. Namun meski dia memimpin perusahaannya, Kristian tetap
terjun langsung dalam beberapa job.
Misalnya, pengabadian momen penerbangan feri The Flying Paradise.
Sebagai Capricorn, dia pekerja keras. Setiap tindakannya dilakukan
berdasarkan penyusunan strategi yang matang. Dia pandai mencari celah
kesempatan, pandai mengubah keadaan menjadi seperti yang diinginkannya. Semua
orang di perusahaannya segan kepada Kristian, karena cowok ini selalu tahu apa
yang salah. Namun itu enggak menjadikan Kristian menyebalkan. Justru, Kristian
sangat ramah, pengertian, dan penolong. Semua orang berkesimpulan bahwa
Kristian orang paling baik hati yang pernah ada.
Sayangnya, Kristian sendiri tidak setuju.
Dia hanyalah manusia dengan banyak kekurangan dan kesalahan. Mungkin
karena dirinya Capricorn, dia pandai menutupi semua kekurangan itu. Apalagi jika
kekurangan atau kesalahannya tidak merugikan orang lain.
Ada satu alasan mengapa Kristian tak mau menganggap dirinya orang
baik-baik.
Malah, Kristian sepakat menyebut dirinya sendiri sebagai predator. Namun
bukan pedofil, ya. Meski kekasihnya sekarang tujuh tahun lebih muda darinya,
Kristian enggak sejahat itu mengincar anak-anak di bawah umur.
Kristian tahu dirinya gay
sejak lama. Kristian menikmati ketelanjangan laki-laki sebagai sebuah seni.
Salah satu alasan dirinya menjadi foto dan videografer, karena Kristian sejak
lama bercita-cita merekam ketelanjangan laki-laki untuk dia nikmati sendiri.
Sejak SMA Kristian sudah punya kamera. Baik itu DSLR, GoPro, atau kamera
pengintai. Kristian punya hard disk 8 TB yang dia isi dengan pemandangan
favoritnya itu.
Laki-laki telanjang.
Dan untuk memenuhi impiannya, Kristian rela merekam atau memotret
diam-diam semua laki-laki menarik yang pernah ditemuinya. Entah itu memotret
seseorang di kamar mandi sebelah, kawannya yang menginap dan tidur di rumahnya,
kekasihnya sendiri, atau meletakkan kamera kecil di ruang ganti laki-laki kolam
renang umum. Semua sudah dilakukan dan dikoleksinya.
Satu-satunya justifikasi Kristian adalah dia tak pernah menyebarkannya.
Dia tak menjualnya di Twitter seperti kebanyakan orang, dia tak memberikan
koleksinya kepada siapa pun. Semua hanya untuk dirinya sendiri. Proses
perekaman itu membuat jantungnya bedebar, tetapi Kristian menikmatinya amat
sangat. Justru di situlah orgasme seksual yang Kristian rasakan.
Merekam atau memotret orang tanpa konsen adalah kehebatannya.
Tentu saja Kristian tidak bangga dengan kelakuannya yang ini. Pacarnya,
Jordan tak tahu soal ini. Dan bagi Kristian, semua orang sama jahatnya, kok.
Apa yang dia lakukan, sama jahatnya dengan orang-orang yang mengunduh gambar
secara gratis dari Google Image dan mengomersialisasikannya. Sama jahatnya
dengan Yavadvipa Jet yang pernah menggunakan gambar-gambarnya di luar
perjanjian.
Ya, pekerjaan media ini bukan yang pertama bagi Kristian. Dia sudah
pernah bekerja sama dengan Yavadvipa Jet beberapa kali. Dan, seringkali tak
berakhir manis. Selalu ada saja image
yang digunakan maskapai jet pribadi ini tanpa izin dan sepengetahuan Kristian.
Bahkan, maskapai mendapatkan monetary
benefit yang royaltinya tidak dibayarkan kepada Kristian.
Namun ketika tawaran ini muncul, mau tak mau Kristian menerimanya.
Alasan pertama, Amerika Serikat. Kristian ingin sekali pergi ke negeri Paman
Sam sejak lama. Karena Yavadvipa Jet berani membayar seluruh akomodasi dan
transportasinya, bakal terasa idiot kalau Kristian menolak. Kedua, kekasihnya
juga ikut ke sana. Jadi, Kristian bisa menganggap perjalanan ini sebagai bulan
madu tak sengaja. Apalagi mereka akan pulang dengan pesawat yang sangat mewah
seperti surga.
Apakah pembayarannya oke? Enggak, sih. Sama saja seperti job-job sebelumnya. Dan mungkin akan ada
karyanya yang digunakan Yavadvipa Jet tanpa izin. Namun kalau Kristian bisa
mendapatkan semua fasilitas ini … ya sudah, lah.
Sekarang, adakah alasan ketiga?
Sebenarnya, ada. Dan itu Harry.
Pekerjaan Kristian sebagai fotografer membuatnya bertemu dengan banyak
figur fashion di Indonesia. Salah
satunya Harry, yang sering mengikuti fashion
week atau pemotretan bersama majalah. Dalam beberapa kesempatan itu, ada
Kristian di sana. Bahkan dalam beberapa pembuatan media bersama Yavadvipa Jet
dua tahun terakhir, ada Harry terlibat dalam pemotretan dan perekaman.
Jauh sebelum Kristian menjalin hubungan dengan Jordan, secara kasual dia
berhubungan seks dengan Harry. Baginya, cowok itu seperti malaikat. Wajah dan
tubuhnya sempurna. Pribadinya juga menyenangkan, segala sesuatu dibawa positif.
(Tidak seperti Jordan yang sesekali menjadikan hal-hal remeh sebagai drama
melelahkan.)
Ketika Kristian menyimpulkan hubungan seksnya bersama Jordan mulai tidak
memuaskan dirinya, Kristian sekali dua kali menemui Harry untuk kepuasaan
sesaat. Dan hubungan ini, dirahasiakannya dari sang kekasih.
Klik! Klik!
“Gimana lagi, Bang?” tanya Harry.
Kristian mengarahkan Harry untuk duduk di atas tempat tidur, bergaya sangat
perlente dan gentle seperti pria
dewasa. Kemudian, Kristian memotret Harry lagi.
“Kalau bugil, kapan?”
“Ck!” Kristian
berdecak. “Jangan aneh-aneh, dong. Orang-orang bisa curiga.” Kristian
mengarahkan lagi kameranya ke arah Harry, lalu memotret.
Sebenarnya, dia sudah punya cukup banyak data gambar Harry di dalam
pesawat. Bahkan, master bedroom yang
sekarang ditempatinya adalah kabin terakhir yang perlu dibuat fotonya. Sisa
ruang yang lain sudah dilakukan sedari tadi. Ruang kerja, ruang meeting kecil yang ada mayat Mora, conference room, galley, common room, kabin
penumpang, toilet, kamar tidur tamu, kamar mandi, semua sudah ada fotonya, baik
dengan Harry di dalamnya maupun tidak.
Dan foto di master bedroom ini pun sudah cukup banyak.
“Gerah nih, Bang!” ujar Harry sambil berdiri dan melepas jasnya.
Kristian menelan ludah melihat gestur itu. Kristian paling suka saat
laki-laki melepaskan pakaiannya. “Jangan bikin horny, oy,” ujar Kristian, tetapi dia tetap saja mengarahkan kamera
ke arah Harry.
Bahkan, Kristian merekamnya. Kristian merekam ketika Harry menggulung
lengan kemeja, lalu membuka kancing atasnya satu per satu.
Dan Harry, dengan jail, malah memainkan putingnya. “Abang yakin enggak
mau?”
“Ck! Jail banget kamu ini!”
Tentu saja Kristian mau.
Sambil memastikan pintu tertutup, Kristian pun menghampiri cowok
bertubuh jangkung itu, melepas satu kemeja lagi dan menariknya ke pinggir
hingga puting susu Harry terekspos. Lalu, Kristian melumatnya.
“Asyik! Abang mau, ya …? Aaahhh …,” desah Harry.
Ceklek!
Seseorang masuk ke dalam ruangan.
Kristian dengan panik melompat ke belakang. Sampai-sampai tubuhnya
nyaris terjungkal menabrak sofa. Harry, di lain sisi, merasa biasa saja. Puting
susu itu masih tetap terekspos di antara kemeja yang terkuak.
Maulana masuk ke ruangan. Pramugara itu berhenti sejenak melihat
kecanggungan di dalam ruangan. Setelahnya, Maulana menunduk, menghampiri meja,
dan menyajikan segelas es dan sekaleng Coca-Cola. Minuman soda kalengan itu
lolos semua inspeksi minuman karena pasti asli dari pabriknya.
“Tadi gue pesen minuman,” kata Harry kepada Kristian. “Elo mau minum
juga, enggak? Semua soda aman, kok.”
Karena Kristian masih syok, pun masih cemas mengantisipasi kemungkinan
Maulana melihatnya mengulum puting Harry, dia menggelengkan kepala.
“Ada lagi yang bisa saya bantu, Pak?” tanya Maulana sopan. Tersenyum
lebar ke arah Harry dan Kristian.
“Saya enggak,” kata Kristian.
“Gue ada,” kata Harry, bersamaan. “Tapi elonya mau enggak?”
“Boleh. Mau dibawakan sesuatu lagi?”
“Enggak. Gue pengin threesome
aja ama elo ama Kristian. Hehe.”
“What the fuck!”
Kristian melemparkan bantal sofa terdekat ke arah Harry. Bantal itu mengenai
perutnya. Cowok jangkung itu terbahak-bahak.
“Maaf, saya enggak bisa memberikan bantuan seperti—”
“Enggak, kok Mas. Dia bercanda,” ujar Kristian buru-buru. Matanya
memelotot ke arah Harry. “Makasih ya, Mas.”
Maulana mengangguk dan pergi meninggalkan keduanya.
Setelah pintu ditutup, Kristian melempar lagi bantal sofa yang tersisa
di dekatnya. Harry terbahak ketika bantal itu mengenai dadanya sekarang. Harry
menjatuhkan tubuhnya ke atas tempat tidur, menciptakan gelombang empuk di atas
permukaannya.
“Hahaha … nyantai aja kali, Bang! Itu mugara pasti homo juga, kok!”
sahut Harry.
“Ya tapi enggak gitu juga, woi!” Kristian mendesah, melepaskan kalungan
kameranya lalu meletakkan alat protet itu di atas meja. Setelahnya, Kristian
menghampiri pintu, menguncinya, dan menghampiri Harry di atas tempat tidur.
“Gue punya pacar. Terus pacar gue di sini. Jangan macam-macam.”
“Ya kan itu mugara mana tahu Abang pacaran ama si Jordan. Emang Abang
bilang-bilang? Nyantai aja, sih.” Harry dengan menggoda melepaskan kemejanya
hingga dirinya bertelanjang dada.
Dengan dada berdebar, Kristian dapat melihat lagi tubuh Harry yang
indah. Lekukan otot di lengan Harry, dadanya yang bidang, perut kotak-kotaknya,
bahu lebarnya, hamparan kulit terang campuran lokal dan kaukasia … ditambah
wajah Harry yang seperti malaikat.
Dalam sekejap, penis Kristian ereksi. Jujur saja dia ingin sekali
menjilat tubuh itu.
“Nih, mau enggak? Mumpung pintu udah dikunci,” goda Harry. Dia bangkit
dan mengecup Kristian di bibir selama beberapa detik. Kemudian, Harry berbaring
di atas tempat tidur sambil meletakkan tangan di belakang kepala, memamerkan
rambut ketiaknya yang lurus dan teracung ke atas.
Kristian mencoba menguasai dirinya sendiri. Meski berat, Kristian
berkata, “Jangan, lah. Please.
Tempatnya enggak tepat.”
“Come on, Mate!” Harry
menggerakkan kedua alisnya dengan jail. “Dari tadi kita tegang mulu gara-gara
ada yang meninggal. Kalau kita emang bakal mati di penerbangan ini, at least kita have fun, lah Bang. Yuk!”
“Enggak, Harry.” Kristian berdiri lagi, hendak mengambil kameranya.
Harry juga ikutan bangkit. Namun dia pergi ke kamar mandi dan mengambil
dua handuk panjang. Masing-masing handuk dia ikat ke dua sisi kepala tempat
tidur. Kemudian Harry berbaring telentang, kedua tangannya memegang
masing-masing handuk, sehingga tangannya terentang lebar.
“Gue siap diikat nih, Bang!” goda Harry.
Napas Kristian memburu. Cobaan ini berat sekali. “Please, Harry. Jangan.”
“Kesempatan enggak datang dua kali.” Harry mengeraskan bisep-trisepnya.
Menampilkan dua lengan kokoh yang menggoda hati. Apalagi dalam kondisi
terentang begitu ….
Aaahhh …, desah Kristian
tanpa suara.
Harry satu-satunya orang yang tahu fantasi Kristian yang ini. Kristian
bergairah sekali berhubungan seks dengan laki-laki yang kedua tangannya
terikat. Ini terlalu berat untuk ditinggalkan.
Kristian bisa meledak kalau dia tidak menjamah Harry dan mengikatnya
seperti itu.
Argh!
To be continued ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar