Selasa, 30 Maret 2021

The Flying Paradise 07

007 The Model

 


Andre tak tahu mengapa dirinya dipojokkan dalam diskusi kecil di kokpit itu. Dia duduk di atas jumpseat, membaca tiga pesan anonim yang muncul dari printer kokpit. Kabar soal bom di landing gear diketahuinya beberapa saat tadi. Namun sejak masuk, Mike terus memberondongnya soal wheel well yang sempat terbuka.

“Enggak ada orang yang mencurigakan di sekitar sana selama kalian visual check?” tanya Mike.

Andre menggeleng untuk kesekian kalinya. “Saya ingat persis, wheel well tertutup sewaktu saya sama almarhum pergi ke gedung dan minta rilis maintenance.”

“Tapi secara visual,” ulang Mike, mungkin untuk kesekian kalinya menanyakan pertanyaan yang bermaksud sama, “secara visual ada yang mencurigakan enggak di dalam wheel well?”

Andre menghela napas. Sekali lagi dia mengingat-ingat isi wheel well ketika insiden pintu terbuka terjadi. Tak ada apa pun di sana. Apalagi wheel well-nya masih bersih, karena pesawatnya baru. Belum ada debu, belum ada lumpur, belum ada karat, belum ada kotor, lapisannya masih berwarna hijau dan mungkin aroma toko. Andre hafal betul seperti apa wheel well seharusnya. Tidak ada yang mencurigakan di sana.

“Saya yakin betul. Kapten juga ada di sana, kan? Saya sudah konfirmasi di depan kapten secara langsung, tidak ada yang mencurigakan di dalam wheel well.”

Mike menghela napas lagi. Seolah-olah bertemu jalan buntu. “Saya juga enggak nemu yang aneh, sih. Meskipun saya enggak tahu struktur wheel well atau apa aja yang ada di dalamnya.”

“Sebenarnya,” ujar Laurence, “pesan ini membilangkan di roda pesawat.”

Semua orang di dalam kokpit menoleh ke arah Laurence, menunggu kata-kata selanjutnya.

“Memungkinkan dimasangkan di roda. Di suspensi. Kata-katanya menyatakan, ‘Ketika suspensi mendapat tekanan, maka akan meledak.’ Berartikan, ketika roda belakang menyentuhkan landasan, dan roda menerimakan seluruh beban pesawat, suspensi akankan mendapatkan tekanan. Memungkinkan dari situ trigger bom terjadikan. Yang berartikan, bom bukan berada di wheel well.”

Andre memahami betul maksud Laurence, meski kata-katanya belibet. Maksudnya begini, ketika di darat, seluruh beban pesawat tersalurkan ke tiga roda yang menempel ke tanah. Setiap suspensi menahan berat pesawat sekian-sekian persen. Namun saat mendarat, roda belakang akan menerima seluruh beban pesawat pertama kali, yang berarti suspensi bekerja lebih kuat sebelum saat roda depan berbagi beban.

Contohnya begini, setiap pesawat punya tiga titik penyaluran beban pesawat: satu roda depan, dan dua roda belakang (kanan-kiri). Roda depan (tetapi tidak akurat) menampung beban 20% dari total berat pesawat, sehingga masing-masing roda belakang menampung 40%. Bom dipasang di roda belakang saat roda tersebut menampung 40% saja dari total seluruh berat pesawat.

Ketika mendarat, dua roda belakang akan menyentuh landasan terlebih dahulu sebelum roda depan menyentuhnya. Ketika roda belakang menyentuh landasan, pesawat akan menyalurkan seluruh bebannya ke dua roda belakang tersebut. Yang berarti 100% dibagi dua sisi roda: 50%. Karena nilai ini lebih besar dari 40% angka sebelumnya, maka bom akan meledak.

Berarti bom memang ada di roda. Bukan di wheel well.




“Masuk akal.” Mike manggut-manggut. “Siapa yang tadi mengecek roda?”

Andre menghela napas pasrah. “Almarhum Mora.”

Mike menepuk pahanya sendiri dengan kesal. “Fuck!” umpatnya.

“We can try belly landing at the airport,” usul Laurence.

“No, no, NO!” tegas Pamungkas, menyahut seketika. Kedua lengannya menyilang membentuk huruf X. “No belly landing! No action-action yang mengundang pertanyaan media. No!

“Kalau bom meledak saat suspensi ditekan, satu-satunya cara untuk mendarat dengan selamat adalah dengan tidak men-trigger suspensi. Laurence benar, Pak,” ujar Mike.

“Ya tapi gimana dengan publisitas?!” entaknya gusar.

Andre tak percaya mendengar atasannya lebih mementingkan publisitas dibandingkan nyawanya sendiri. Atau nyawa delapan orang lain yang masih bernapas di dalam pesawat ini. Padahal, Andre baru saja akan mengajukan ide, “Bagaimana kalau kita kurangi beban pesawat dengan cara membuang bahan bakar, sehingga beban 50% saat mendarat sebenarnya lebih ringan dibandingkan 40% saat penuh?”

Namun Pamungkas yang intimidatif membuat Andre menutup mulutnya. Pun karena Mike ngotot meyakinkan Pamungkas bahwa belly landing adalah cara terbaik.

Belly landing, atau mendarat dengan perut pesawat tanpa roda, memang salah satu cara untuk selamat jika memang bom hanya ditanam di bagian roda. Namun, Andre juga paham, untuk melakukan belly landing, perlu persiapan yang matang, termasuk dari airport di mana belly landing dilakukan.

Foam di sepanjang runway harus dihamparkan untuk menghindari percikan api. Pemadam kebakaran harus siap sedia di setiap taxiway agar dapat langsung mengevakuasi penumpang (yang untungnya hanya sembilan orang). Angin harus benar-benar sempurna, tidak boleh ada crosswind (angin samping) yang membuat pesawat oleng, miring, atau bertendensi mengarah ke arah lain saat mendarat. Posisi kedua mesin, yang sudah pasti akan menghantam landasan pertama kali karena Boeing 777 memiliki mesin jet raksasa di bawah sayap, harus seimbang. Tidak boleh satu mesin menghantam lebih dulu dibandingkan mesin yang lain. Distribusi tekanan harus rata, atau mesin yang menghantam duluan bisa hancur.

Ini semua belum termasuk mengosongkan tangki bahan bakar, menyediakan petugas medis, mengosongkan jalan raya di sekitar airport, memutar balik semua pesawat yang akan mendarat di airport tersebut, menunda keberangkatan setiap pesawat di dalam airport (yang pasti mengundang amarah dari penumpang), bahkan menyiapkan regu di ujung landasan kalau-kalau pesawat berhenti melebihi panjang landasan. Setidaknya butuh runway dengan panjang 3 km untuk menghentikan pesawat ini.

Tidak mungkin semua aksi tersebut tidak mengundang sorotan media. Yang Andre tak habis pikir, mengapa Pamungkas lebih memikirkan image dibandingkan keselamatan setiap orang?

Mengapa perusahaan ini terus-menerus menutupi insiden-insiden buruk semacam ini? batin Andre. Ini bukan yang pertama, lho. Dan, Andre sudah sangat muak.

Jujur saja, Andre sedang tidak dalam mood baik. Selain karena orang yang dibencinya ada dalam penerbangan ini, kematian Mora membuat perasaannya kacau. Bahkan, jika pesawat ini benar-benar meledak, Andre sudah tidak peduli. Sekalian mati saja.

Toh, sebelum kejadian ini, dia sudah merasa dirinya hina, tak berguna, dan tak berharga. Kalau bukan karena Laurence menyemangatinya semalam, Andre tak peduli lagi dirinya hidup atau mati.

“Oke, kita kesampingkan sementara caranya mendarat,” ujar Mike. “Mungkin kita bisa cari tahu dulu siapa yang bertanggung jawab atas semua ini? Kalau kita tahu orangnya, kita bisa bernegosiasi lebih jauh lagi.”

“Sudah ada pesan baru?”

Mike menggeleng. “Belum ada. Mungkin memang terorisnya tidak berada di sini, Pak. Mungkin dia hanya menanamkan bom, pistol, dan borgol aja. Tapi dianya enggak ikut.”

Pamungkas menggeleng. “Enggak. Saya yakin dia ada dalam pesawat ini sekarang.” Pamungkas menghela napas sambil memijat-mijat dagunya. “Dia pasti akan menghubungi lagi, kan? Tulisannya baru tagar 1. Berarti masih ada tagar 2. Gimana respons Usman?”

“Di Jakarta masih jam tujuh pagi. Usman masih dalam perjalanan dari rumahnya ke Halim. Mungkin dalam satu jam kita bisa mendapat kontak dari Usman. Untuk sementara, kita masih kontakan dengan Gilang.”

“Tapi kamu enggak bilang apa-apa ke Gilang, kan?”

Mike tampak tak menyukai ide itu. “Belum. Tapi Bapak harus segera menyelesaikan masalah ini atau saya kirim transponder squawk 7500.”

“Jangan berani-berani melakukan tindakan itu tanpa izin saya!” balas Pamungkas geram.

“Saya kapten di sini, Pak! Keselamatan semua orang di sini adalah tanggung jawab saya!” balas Mike dengan suara lebih keras, sambil berdiri dari kursinya.

Andre hanya bisa menghela napas dan menunduk menatap lantai. Dia tak berani menatap pertikaian itu. Dia tak menyukainya. Andre juga tak paham mengapa Pamungkas tak mau media tahu. Padahal, kalau media tahu, kan bisa meminta bantuan lebih banyak orang.

Yang perlu dilakukan sang pilot hanya mengatur transponder ke frekuensi 7500. Ada tiga kode squawk dalam aviasi yang digunakan untuk keadaan darurat. Kode 7500 untuk pembajakan, 7600 ketika komunikasi radio rusak, dan 7700 untuk segala jenis keadaan darurat lain. Menurut Andre, Mike dapat melakukannya tanpa kelihatan Pamungkas.

“Kalau kamu berbuat bodoh,” lanjut Pamungkas, masih dengan suara marah, “misal kamu selamat dari sini, kariermu hancur. Ingat itu! Saya bisa bikin kariermu hancur! Kamu tidak akan diterima di maskapai mana pun karena saya akan merekomendasikanmu wanprestasi. Jadi, turuti kata-kata saya!”

Itulah yang tak Andre sukai dari Pamungkas.

Bukan hanya Mike yang kena semprot. Andre adalah korban semprotan Pamungkas berkali-kali di kantor. Padahal, Andre dan Pamungkas tak punya koneksi apa-apa dalam struktur. Seharusnya Pamungkas mengurusi marketing saja. Namun entah mengapa selalu ada hal yang Pamungkas sampaikan kepada Andre sambil marah-marah.

Andre tak menyukai Pamungkas. Dia merasa telah dirundung oleh kekuasaan manager marketing menyebalkan itu. Bahkan, hati jahat kecilnya mendukung apa pun usaha teroris untuk membunuh Pamungkas dalam penerbangan ini. Dengan Pamungkas ngotot menyelamatkan image dibandingkan nyawa manusia, Andre merasa seharusnya dia bekerja sama dengan teroris sekalian.

*  *  *

Kalau benar mereka akan mati gara-gara sianida di udara, atau cara apa pun itu sampai senasib seperti Mora, maka Kristian sepakat dia harus menikmati masa-masa terakhirnya ini dengan menyenangkan. Setelah pertimbangan kilat, akhirnya Kristian memanjat ke atas tempat tidur dan mengikat kedua tangan Harry dengan kencang.

“Ripper!” sahut Harry gembira, dalam slang Australia yang artinya, “Bagus!”

Napas Kristian sudah sangat memburu. Harry di depannya, mulai tak berdaya. Tangannya terikat kencang. Gelombang gairah dan nafsu menggelegak di bawah perut Kristian. Apalagi ketika Harry menggodanya dengan menciumi bisepnya sendiri, Kristian hanya mengambil napas panjang sambil melucuti pakaiannya.

Kristian mengendus dada Harry, membuat model ganteng itu mendesah keenakan. Bibirnya dia tarik ke bawah hingga menyentuh pusar Harry, lalu kancing celana panjang Harry. Kristian melahap kancing celana itu, melepas kaitannya dengan lidah hingga kancingnya terbuka.

“Aaaaaahhh ….” Harry mendesah ditemani senyum lebar.

Masih menggunakan mulutnya, Kristian menggigit ritsleting celana Harry, lalu menariknya turun. Di bagian selangkangan itu, Kristian sudah merasakan jendolan kemaluan Harry.

Dalam sekejap, Kristian melorotkan celana panjang Harry, meninggalkan celana dalam Tommy Hilfiger warna putih yang tampak mewah dan seksi. Batang kemaluan Harry tercetak besar di balik celana. Kepala penisnya mengintip sedikit di ujung celana dalam. Kristian semakin bernafsu.

Karena dia tahu dia tak punya waktu banyak, celana dalam trunk itu dipelorotkan dengan segera keluar dari kaki-kaki Harry yang jenjang. Kini, cowok bertubuh jangkung itu telanjang bulat di hadapan Kristian. Senyumnya lebar dan tampak manis.

“Oooh … I like it!” bisik Harry menggoda.

Kemaluan Harry besar. Mungkin karena dia punya darah kaukasia dan tubuh yang sangat tinggi. Lebih besar dari botol sampo yang Kristian miliki di rumah. Kemaluan Harry tergeletak tegang di atas perut, menunjuk sang empu di atas. Tak ada jembut menghiasi sekitar penisnya.

“Dicukur?” tanya Kristian seraya menunduk dan mengecup batang kemaluan Harry dengan bibirnya.

“Iyalah. Supermodel mana boleh punya jembut.”

“Tapi ini bulu keteknya banyak,” balas Kristian sambil menarik rambut ketiak Harry, membuat cowok itu mengentak geli.

“Beda, Bang! Bulu ketek justru seksi. Jembut mah kagak!”




Kristian melumat kemaluan Harry meski batangnya tak bisa masuk sepenuhnya ke dalam mulut. Sambil mengulum naik turun, Kristian melepas celananya sendiri. Sekarang, keduanya sama-sama telanjang bulat. Kemaluan Kristian yang tidak sebesar Harry, juga mengeras dan berkedut-kedut. Bedanya, penis Kristian ditemani jembut hitam keriting yang rimbun.

“Crikey!” sahut Harry terpukau pada ketelanjangan Kristian.

Kristian terus mengulum kemaluan Harry selama beberapa menit. Rasanya nikmat sekali. Batang keras tak disunat, yang kulitnya licin dan ikut naik-turun saat mulut Kristian bergerak ke atas ke bawah. Batang itu pun berwarna terang, agak-agak kemerahan dengan kepala penis sama lebar dengan batangnya. Aroma kemaluan Harry selalu tercium nikmat.

Setelah melumat penis, bibir Kristian turun ke lubang pantat Harry yang juga sudah dicabut habis rambut-rambutnya. Memang enggak aneh sih untuk orang seperti Harry melakukan manscaping. Ini bukan kali pertama Kristian melihat selangkangan Harry botak dari rambut apa pun. Kristian enggak begitu menyukainya. Bagi Kristian, selangkangan cowok harus berambut banyak. Namun karena Harry ganteng dan hot bukan main, Kristian mengabaikan hal tersebut.

Sambil menahan kaki Harry agar teracung tinggi-tinggi, Kristian menjilati lubang pantat Harry yang bersih dan berwarna pink. Aromanya sama memikat seperti penis Harry di atas sana. Jadi, Kristian menarik lidahnya naik turun dari atas ke bawah, dari bawah ke atas, hingga ke buah zakar Harry, membuat supermodel itu bergidik keenakan.

“Anjing! Anjing! Aaahhh …!” umpat Harry sambil mendesah.

Karena jilatan itu dilakukan berulang-ulang, membuat Harry geli-geli keenakan, otot-otot di sekitar lubang pantat Harry terasa rileks. Harry siap dihujam oleh benda tumpul.

Kristian kemudian menyusuri perut Harry dengan bibirnya. Dia melingkarkan kedua kaki Harry ke pinggangnya. Sehingga, kemaluan Kristian bisa berada tepat di depan lubang pantat Harry. Perlahan-lahan, Kristian mengecupi kotak-kotak otot di perut Harry, lalu bibirnya melumat puting susu Harry dengan nikmat.

Sang supermodel sekali lagi menggelinjang karena keenakan. Apalagi kini, kemaluan Kristian berada tepat di pantatnya. Dan kepala penis itu, menekan-nekan lubangnya.

Kristian menikmati dengan optimal puting susu Harry. Kedua puting itu dia isap, gigit, jilati naik turun, kulum, dan gesek-gesek dengan hidungnya. Kadang Harry tertawa, kadang mendesah, kadang menjerit karena keenakan, kadang Harry mengumpat.

Setelah Kristian menjelajahi ketiak Harry, membiarkan rambut-rambut ketiak itu menggelitik wajahnya, Kristian pun mengecup Harry di bibir. “Masuk?” tanyanya.

“Iya, dong Bang!” balas Harry sambil tersenyum lebar. “Udah all out begini masa cuma dikecup doang.”

“Tapi tas gue ada di kamar sebelah. Kondom sama pelicin di sana,” jawab Kristian.

“Coba buka laci,” titah Harry, menunjuk dengan dagunya ke arah nakas di sebelah kanan.

Kristian merangkak membuka laci dan menemukan pelicin di sana. Namun, tak ada kondom. “Enggak ada kondomnya.”

“Ya jangan pake kondom, lah.”

Ck! Berisiko!” balas Kristian tak setuju.

“Terserah Abang. Abang mau keluar dulu buat ngambil kondom?”

Tentu saja tidak, jawab Kristian dalam hati. Keluar ruangan sama saja merusak nuansa yang sudah tercipta. Pilihannya antara enggak pake kondom, atau enggak sama sekali. Namun Kristian enggak mungkin melewatkan penetrasi itu dalam kondisi seperti ini. Dia sudah basah. Sekalian berenang seharusnya.

Dan, kalau motivasinya bercinta dengan Harry karena nasibnya enggak jelas di penerbangan ini, kenapa enggak sekalian bareback saja? Bareback adalah penetrasi seksual tanpa kondom. Terakhir kali Kristian melakukan tes HIV adalah empat bulan lalu. Hasilnya non-reaktif atau negatif. Dalam hubungan seksual semacam ini, yang lebih berisiko tinggi adalah bottom—atau dalam kasus ini Harry.

“Gapapa kalau enggak pake kondom?” tanya Kristian, meminta pendapat.

“Gue sih nyantai.”

“Kamu bakal lebih berisiko, lho!”

“Elah, tinggal minum PrEP habis ini, Bang. Gampang. Gue punya stok dan aksesnya, kok.”

Ya sudah, batin Kristian.

Akhirnya penetrasi itu terjadi. Kemaluan Kristian dilumuri oleh pelicin (yang entah mengapa bisa berada dalam laci), lalu dimasukkan perlahan-lahan ke lubang pantat Harry. Seraya melakukannya, Kristian merengkuh tubuh Harry yang besar. Apalagi supermodel tampan itu mulai meringis kesakitan. Untuk meredakan rasa sakitnya, Kristian mengecup dada dan leher Harry.

Setelah beberapa saat, keberadaan penis Kristian di dalam pantat Harry mulai terasa nyaman. Harry mulai merasa ganjalan benda tumpul itu terasa nikmat, apalagi saat kepala penis Kristian menyentuh prostatnya. Kristian pun menggerakkan kemaluannya maju mundur di dalam tubuh Harry, menciptakan gesekan licin yang geli, baik itu bagi Kristian maupun Harry.

Master bedroom dipenuhi oleh desahan-desahan surgawi sekarang. Dengan tubuh berkeringat, Kristian menggenjot kemaluannya di dalam tubuh Harry. Genjotan itu terasa kokoh dan kuat, membuat Harry benar-benar tak berdaya. Apalagi kedua tangan Harry terikat, sehingga Harry hanya bisa diam merasakan tubuhnya dihujam oleh sesuatu yang terasa nikmat.

Tubuh Harry mulai mengilat oleh keringat. Kristian menyukainya. Seraya terus menggenjot Harry, Kristian menjilati setiap keringat yang merembes keluar di dada, leher, dan ketiak Harry. Entah mengapa, penetrasi yang biasa-biasa saja ini terasa sangat menakjubkan bagi Kristian. Mungkinkah karena ini dilakukan di sebuah kamar VIP mewah pada ketinggian 40.000 kaki?

Mulut Harry yang menganga dan mengeluarkan desahan juga membuat semuanya tampak memukau.

Karena terus-menerus dijepit oleh perutnya dan perut Kristian, batang kemaluan Harry mulai terasa hangat. Lesakan penis Kristian di dalam tubuhnya, yang menggelitik prostatnya secara konstan, membuat Harry merasa sangat nyaman. Dari pangkal kemaluannya, Harry bisa merasakan sesuatu berkumpul dan siap menyembur. Hujaman itu mendorong cairan putih dari dalam tubuhnya bereaksi, bersiap-siap mendobrak batang kemaluan Harry.

“Bang, gue mau keluar Bang! Bang ….”

Bukannya berhenti menggenjot pantat Harry, Kristian malah mempercepat genjotan itu. Sangat-sangat cepat sampai Harry menggelinjang seperti kesetrum, rambutnya bergoyang-goyang naik turun.

“Aaahhh …! Aaahhh …! AAAHHH …!” Harry melipat mukanya ke dalam ketika semburan cairan putih keluar dari ujung kepala penisnya.

Crot! Crot! Crot!

Sperma itu berlompatan keluar dan mendarat di dada, pipi, hingga rambut Harry. Sebagian dari sperma itu juga mengenai perut dan dada Kristian. Harry melenguh keras sambil mengatur napasnya yang memburu. Desahannya tak berhenti hingga tetes terakhir sperma itu keluar dari penisnya.

Kristian terangsang untuk melakukan hal yang sama. Apalagi batang penisnya sudah dibuat enak sedari tadi, maka Kristian pun membiarkan pertahanannya jebol.

Crot! Crot! Crot!

Sperma Kristian menyembur keluar di dalam pantat Harry. Kristian bergidik keenakan sambil kemudian menindih tubuh Harry. Kristian merengkuh tubuh itu kuat-kuat ketika penisnya masih melakukan proses orgasme. Karena, ketika air mani keluar, kepala penis terasa sangat sensitif. Dan kepala penis itu dijepit oleh dinding bagian dalam dubur Harry. Jadi rasanya ngilu.

“Aaaaaaaaargh!” Kristian memberikan desahan sangat panjang. Semakin lama semakin kuat merengkuh tubuh Harry.

Posisi itu tetap sama hingga tiga menit kemudian. Hingga napas keduanya reda. Tanpa mengeluarkan kemaluannya yang masih saja ereksi, Kristian pun mendongak dan tersenyum. Senyumnya dibalas dengan senyuman lebar dari Harry.

“Abang ini emang jago,” puji Harry.

“Bisa aja kamu.”

Kristian mengecup bibir Harry. Mereka bercumbu beberapa menit sebelum akhirnya Kristian merebahkan kepala di atas dada Harry yang berkeringat dan dipenuhi sperma. Dengan tenang, Kristian merasakan degupan jantung dan napas Harry.

“Makasih, ya,” bisik Kristian.

“Sama-sama, Bang!” jawab Harry, mengecup puncak kepala Kristian. Kedua tangan Harry masih terikat. Ketiaknya masih dipamerkan, menguarkan aroma keringat yang khas dan memabukkan. Namun Harry tidak memohon untuk dilepaskan. Pun Kristian belum kepikiran untuk melepaskan ikatan itu.

“Udah lama saya enggak dapatin seks seenak ini,” gumam Kristian.

“Kan, Abang punya pacar. Emang enggak pernah ngentot ama dia, Bang?”

“Ya sering, lah. Tapi beda, woi. Dia mana mau diikat-ikat kayak begini. Dia juga cerewet. Nanya ini itu sambil seks, kadang bikin ilfeel.”

“Ya udah, kalau Abang mau lagi, bilang aja.”

Kristian mencubit hidung Harry lalu menggoyang-goyangnya. “Kok, kamu mau, sih ama saya?”

Harry terkekeh. “Abis Abang seksi, sih. Abang sendiri kenapa masih mau ama saya? Abang tuh cinta enggak sama Jordan?”

Kristian menghela napas dan mengambil jeda beberapa saat sebelum menjawab pertanyaan itu. “Cinta,” jawabnya pendek. “Saya enggak tahu gimana jelasinnya, tapi saat ini dia adalah orang yang saya bayangkan ada di samping saya sampai tua.”

“Bullshit.” Harry menjulurkan lidah.

“Serius!” Kristian mengamati mata Harry dengan saksama. “Saya punya sejuta alasan untuk sebal sama dia, tapi saya enggak mau meninggalkan dia. Mungkin saya akan mencari apa yang dia enggak punya, di orang lain. Tapi saya tetap maunya sama dia.”

“Terus gue ini adalah orang yang punya sesuatu yang dia enggak punya?”

“Kamu lagi tersinggung atau lagi nanya aja?”

“Lagi biasa aja!” Harry menjulurkan lidah lagi.

“Goblok!” Kristian geleng-geleng kepala dengan kesal, kemudian menggigiti puting susu Harry sampai cowok darah campuran itu menjerit, “Ampun! Ampun!”

“Makanya. Cari cinta, dong! Nakal banget kamu ini, Harry. Punya gadun enggak?”

“Ya punya, lah Bang!” Harry sampai mengerutkan hidungnya sambil tertawa. “Kalau enggak punya gadun, mana sanggup gue hidup gaya Jakarta. Barang-barang gue harus branded terus.”

“Siapa gadunnya?”

“Pak Pamungkas,” jawab Harry, tanpa ragu menyebutkannya.

Kristian mengerutkan alis. Jujur saja Kristian kaget mendengar nama itu disebut. Lebih kaget lagi karena Harry menyebutkannya dengan mudah. “Itu gadun kamu?”

Harry mengangguk. “Tapi rahasia ya, Bang. Dia discreet banget. Gue sih biasa aja nyeritain ke orang-orang gadun gue siapa. Tapi dia mah enggak bisa.”

“Sejak kapan?”

“Udah lama, lah. Dia adalah gadun yang enggak pengin gue tinggalin.”

“Karena banyak duitnya?”

“Itu satu,” jawab Harry sambil mengangguk. “Tapi karena gue juga sayang ama dia, sih. Pak Pamungkas orangnya baik banget. Suka pengertian.”

Pengalaman Kristian dengan Pamungkas agak berbeda. Pamungkas adalah orang yang enggak peduli ketika Kristian menuntut kejelasan mengapa karyanya digunakan tanpa izin. Malah, Pamungkas bilang, “Cincay, lah …. Cuma satu foto doang.” Justru satu foto itu harusnya penting bagi Kristian.

Namanya juga relationship. Setiap orang akan mendapat perlakuan berbeda dari orang lain.

Kristian pun bangkit dari tempat tidur dan mengambil kameranya. “Gue foto, ya!”

“Asal jangan disebarin.”

“Kapan saya nyebarin!” Kristian menghampiri Harry dan memotret cowok jangkung telanjang yang tangannya terikat itu. Tubuh Harry masih berkeringat dengan sisa-sisa pejuh yang mengering di atas dada. “Saya selalu ngoleksi buat pribadi, kok. Si Jordan aja enggak tahu saya punya koleksi foto bugil kamu.”

“Saya minta, lah foto-foto bugil yang kemarin!”

“Siap. Entar saya kirim!” Klik! Klik! Kristian mengambil foto Harry telanjang sepuas hati.

“Tapi kontol gue belum ngaceng, nih. Gapapa? Coba kocok, siapa tahu ngaceng!”

Elah, itu mah mau kamu! Udah, lah. Kita mandi sekarang! Jangan sampe itu bekas-bekas pejuh nempel di badan.” 



To be continued ....


<<< Part 06  |  The Flying Paradise  |  Part 08 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Nude 33

  ssendrawkwA emitefiL .33     Pada suatu pagi lima tahun lalu, Miza bangun lebih pagi dari biasanya meski semalaman tak bisa tidur. D...