007 The Model
Andre tak tahu mengapa dirinya dipojokkan dalam diskusi kecil di kokpit
itu. Dia duduk di atas jumpseat,
membaca tiga pesan anonim yang muncul dari printer
kokpit. Kabar soal bom di landing gear
diketahuinya beberapa saat tadi. Namun sejak masuk, Mike terus memberondongnya
soal wheel well yang sempat terbuka.
“Enggak ada orang yang mencurigakan di sekitar sana selama kalian visual check?” tanya Mike.
Andre menggeleng untuk kesekian kalinya. “Saya ingat persis, wheel well tertutup sewaktu saya sama
almarhum pergi ke gedung dan minta rilis maintenance.”
“Tapi secara visual,” ulang Mike, mungkin untuk kesekian kalinya
menanyakan pertanyaan yang bermaksud sama, “secara visual ada yang mencurigakan
enggak di dalam wheel well?”
Andre menghela napas. Sekali lagi dia mengingat-ingat isi wheel well ketika insiden pintu terbuka
terjadi. Tak ada apa pun di sana. Apalagi wheel
well-nya masih bersih, karena pesawatnya baru. Belum ada debu, belum ada
lumpur, belum ada karat, belum ada kotor, lapisannya masih berwarna hijau dan
mungkin aroma toko. Andre hafal betul seperti apa wheel well seharusnya. Tidak ada yang mencurigakan di sana.
“Saya yakin betul. Kapten juga ada di sana, kan? Saya sudah konfirmasi
di depan kapten secara langsung, tidak ada yang mencurigakan di dalam wheel well.”
Mike menghela napas lagi. Seolah-olah bertemu jalan buntu. “Saya juga
enggak nemu yang aneh, sih. Meskipun saya enggak tahu struktur wheel well atau apa aja yang ada di
dalamnya.”
“Sebenarnya,” ujar Laurence, “pesan ini membilangkan di roda pesawat.”
Semua orang di dalam kokpit menoleh ke arah Laurence, menunggu kata-kata
selanjutnya.
“Memungkinkan dimasangkan di roda. Di suspensi. Kata-katanya menyatakan,
‘Ketika suspensi mendapat tekanan, maka akan meledak.’ Berartikan, ketika roda
belakang menyentuhkan landasan, dan roda menerimakan seluruh beban pesawat,
suspensi akankan mendapatkan tekanan. Memungkinkan dari situ trigger bom terjadikan. Yang berartikan,
bom bukan berada di wheel well.”
Andre memahami betul maksud Laurence, meski kata-katanya belibet.
Maksudnya begini, ketika di darat,
seluruh beban pesawat tersalurkan ke tiga roda yang menempel ke tanah. Setiap
suspensi menahan berat pesawat sekian-sekian persen. Namun saat mendarat, roda belakang akan menerima
seluruh beban pesawat pertama kali, yang berarti suspensi bekerja lebih kuat sebelum
saat roda depan berbagi beban.
Contohnya begini, setiap pesawat punya tiga titik penyaluran beban
pesawat: satu roda depan, dan dua roda belakang (kanan-kiri). Roda depan
(tetapi tidak akurat) menampung beban 20% dari total berat pesawat, sehingga
masing-masing roda belakang menampung 40%. Bom dipasang di roda belakang saat
roda tersebut menampung 40% saja dari total seluruh berat pesawat.
Ketika mendarat, dua roda belakang akan menyentuh landasan terlebih
dahulu sebelum roda depan menyentuhnya. Ketika roda belakang menyentuh
landasan, pesawat akan menyalurkan seluruh bebannya ke dua roda belakang
tersebut. Yang berarti 100% dibagi dua sisi roda: 50%. Karena nilai ini lebih
besar dari 40% angka sebelumnya, maka bom akan meledak.
Berarti bom memang ada di roda.
Bukan di wheel well.
“Masuk akal.” Mike manggut-manggut. “Siapa yang tadi mengecek roda?”
Andre menghela napas pasrah. “Almarhum Mora.”
Mike menepuk pahanya sendiri dengan kesal. “Fuck!” umpatnya.
“We can try belly landing at the
airport,” usul Laurence.
“No, no, NO!” tegas
Pamungkas, menyahut seketika. Kedua lengannya menyilang membentuk huruf X. “No belly landing! No action-action yang
mengundang pertanyaan media. No!”
“Kalau bom meledak saat suspensi ditekan, satu-satunya cara untuk
mendarat dengan selamat adalah dengan tidak men-trigger suspensi. Laurence benar, Pak,” ujar Mike.
“Ya tapi gimana dengan publisitas?!” entaknya gusar.
Andre tak percaya mendengar atasannya lebih mementingkan publisitas
dibandingkan nyawanya sendiri. Atau nyawa delapan orang lain yang masih
bernapas di dalam pesawat ini. Padahal, Andre baru saja akan mengajukan ide,
“Bagaimana kalau kita kurangi beban pesawat dengan cara membuang bahan bakar,
sehingga beban 50% saat mendarat sebenarnya lebih ringan dibandingkan 40% saat
penuh?”
Namun Pamungkas yang intimidatif membuat Andre menutup mulutnya. Pun
karena Mike ngotot meyakinkan Pamungkas bahwa belly landing adalah cara terbaik.
Belly landing, atau
mendarat dengan perut pesawat tanpa roda, memang salah satu cara untuk selamat
jika memang bom hanya ditanam di bagian roda. Namun, Andre juga paham, untuk
melakukan belly landing, perlu
persiapan yang matang, termasuk dari airport
di mana belly landing dilakukan.
Foam di sepanjang runway harus dihamparkan untuk
menghindari percikan api. Pemadam kebakaran harus siap sedia di setiap taxiway agar dapat langsung mengevakuasi
penumpang (yang untungnya hanya sembilan orang). Angin harus benar-benar
sempurna, tidak boleh ada crosswind
(angin samping) yang membuat pesawat oleng, miring, atau bertendensi mengarah
ke arah lain saat mendarat. Posisi kedua mesin, yang sudah pasti akan
menghantam landasan pertama kali karena Boeing 777 memiliki mesin jet raksasa di
bawah sayap, harus seimbang. Tidak boleh satu mesin menghantam lebih dulu
dibandingkan mesin yang lain. Distribusi tekanan harus rata, atau mesin yang
menghantam duluan bisa hancur.
Ini semua belum termasuk mengosongkan tangki bahan bakar, menyediakan
petugas medis, mengosongkan jalan raya di sekitar airport, memutar balik semua pesawat yang akan mendarat di airport tersebut, menunda keberangkatan
setiap pesawat di dalam airport (yang
pasti mengundang amarah dari penumpang), bahkan menyiapkan regu di ujung
landasan kalau-kalau pesawat berhenti melebihi panjang landasan. Setidaknya
butuh runway dengan panjang 3 km
untuk menghentikan pesawat ini.
Tidak mungkin semua aksi tersebut tidak mengundang sorotan media. Yang
Andre tak habis pikir, mengapa Pamungkas lebih memikirkan image dibandingkan keselamatan setiap orang?
Mengapa perusahaan ini terus-menerus
menutupi insiden-insiden buruk semacam ini? batin Andre. Ini bukan yang pertama, lho. Dan, Andre sudah
sangat muak.
Jujur saja, Andre sedang tidak dalam mood
baik. Selain karena orang yang dibencinya ada dalam penerbangan ini, kematian
Mora membuat perasaannya kacau. Bahkan, jika pesawat ini benar-benar meledak,
Andre sudah tidak peduli. Sekalian mati saja.
Toh, sebelum kejadian ini, dia sudah merasa dirinya hina, tak berguna,
dan tak berharga. Kalau bukan karena Laurence menyemangatinya semalam, Andre
tak peduli lagi dirinya hidup atau mati.
“Oke, kita kesampingkan sementara caranya mendarat,” ujar Mike. “Mungkin
kita bisa cari tahu dulu siapa yang bertanggung jawab atas semua ini? Kalau
kita tahu orangnya, kita bisa bernegosiasi lebih jauh lagi.”
“Sudah ada pesan baru?”
Mike menggeleng. “Belum ada. Mungkin memang terorisnya tidak berada di
sini, Pak. Mungkin dia hanya menanamkan bom, pistol, dan borgol aja. Tapi
dianya enggak ikut.”
Pamungkas menggeleng. “Enggak. Saya yakin dia ada dalam pesawat ini
sekarang.” Pamungkas menghela napas sambil memijat-mijat dagunya. “Dia pasti
akan menghubungi lagi, kan? Tulisannya baru tagar 1. Berarti masih ada tagar 2.
Gimana respons Usman?”
“Di Jakarta masih jam tujuh pagi. Usman masih dalam perjalanan dari
rumahnya ke Halim. Mungkin dalam satu jam kita bisa mendapat kontak dari Usman.
Untuk sementara, kita masih kontakan dengan Gilang.”
“Tapi kamu enggak bilang apa-apa ke Gilang, kan?”
Mike tampak tak menyukai ide itu. “Belum. Tapi Bapak harus segera
menyelesaikan masalah ini atau saya kirim transponder
squawk 7500.”
“Jangan berani-berani melakukan tindakan itu tanpa izin saya!” balas
Pamungkas geram.
“Saya kapten di sini, Pak! Keselamatan semua orang di sini adalah
tanggung jawab saya!” balas Mike dengan suara lebih keras, sambil berdiri dari
kursinya.
Andre hanya bisa menghela napas dan menunduk menatap lantai. Dia tak
berani menatap pertikaian itu. Dia tak menyukainya. Andre juga tak paham mengapa
Pamungkas tak mau media tahu. Padahal, kalau media tahu, kan bisa meminta
bantuan lebih banyak orang.
Yang perlu dilakukan sang pilot hanya mengatur transponder ke frekuensi
7500. Ada tiga kode squawk dalam
aviasi yang digunakan untuk keadaan darurat. Kode 7500 untuk pembajakan, 7600
ketika komunikasi radio rusak, dan 7700 untuk segala jenis keadaan darurat
lain. Menurut Andre, Mike dapat melakukannya tanpa kelihatan Pamungkas.
“Kalau kamu berbuat bodoh,” lanjut Pamungkas, masih dengan suara marah,
“misal kamu selamat dari sini, kariermu hancur. Ingat itu! Saya bisa bikin
kariermu hancur! Kamu tidak akan diterima di maskapai mana pun karena saya akan
merekomendasikanmu wanprestasi. Jadi, turuti kata-kata saya!”
Itulah yang tak Andre sukai dari Pamungkas.
Bukan hanya Mike yang kena semprot. Andre adalah korban semprotan
Pamungkas berkali-kali di kantor. Padahal, Andre dan Pamungkas tak punya
koneksi apa-apa dalam struktur. Seharusnya Pamungkas mengurusi marketing saja. Namun entah mengapa
selalu ada hal yang Pamungkas sampaikan kepada Andre sambil marah-marah.
Andre tak menyukai Pamungkas. Dia merasa telah dirundung oleh kekuasaan manager marketing menyebalkan itu. Bahkan, hati
jahat kecilnya mendukung apa pun usaha teroris untuk membunuh Pamungkas dalam penerbangan
ini. Dengan Pamungkas ngotot menyelamatkan image
dibandingkan nyawa manusia, Andre merasa seharusnya dia bekerja sama dengan
teroris sekalian.
* * *
Kalau benar mereka akan mati gara-gara sianida di udara, atau cara apa
pun itu sampai senasib seperti Mora, maka Kristian sepakat dia harus menikmati
masa-masa terakhirnya ini dengan menyenangkan. Setelah pertimbangan kilat,
akhirnya Kristian memanjat ke atas tempat tidur dan mengikat kedua tangan Harry
dengan kencang.
“Ripper!” sahut Harry gembira,
dalam slang Australia yang artinya, “Bagus!”
Napas Kristian sudah sangat memburu. Harry di depannya, mulai tak
berdaya. Tangannya terikat kencang. Gelombang gairah dan nafsu menggelegak di
bawah perut Kristian. Apalagi ketika Harry menggodanya dengan menciumi bisepnya
sendiri, Kristian hanya mengambil napas panjang sambil melucuti pakaiannya.
Kristian mengendus dada Harry, membuat model ganteng itu mendesah
keenakan. Bibirnya dia tarik ke bawah hingga menyentuh pusar Harry, lalu
kancing celana panjang Harry. Kristian melahap kancing celana itu, melepas
kaitannya dengan lidah hingga kancingnya terbuka.
“Aaaaaahhh ….” Harry
mendesah ditemani senyum lebar.
Masih menggunakan mulutnya, Kristian menggigit ritsleting celana Harry,
lalu menariknya turun. Di bagian selangkangan itu, Kristian sudah merasakan jendolan
kemaluan Harry.
Dalam sekejap, Kristian melorotkan celana panjang Harry, meninggalkan
celana dalam Tommy Hilfiger warna putih yang tampak mewah dan seksi. Batang
kemaluan Harry tercetak besar di balik celana. Kepala penisnya mengintip
sedikit di ujung celana dalam. Kristian semakin bernafsu.
Karena dia tahu dia tak punya waktu banyak, celana dalam trunk itu dipelorotkan dengan segera
keluar dari kaki-kaki Harry yang jenjang. Kini, cowok bertubuh jangkung itu
telanjang bulat di hadapan Kristian. Senyumnya lebar dan tampak manis.
“Oooh … I like it!” bisik
Harry menggoda.
Kemaluan Harry besar. Mungkin karena dia punya darah kaukasia dan tubuh
yang sangat tinggi. Lebih besar dari botol sampo yang Kristian miliki di rumah.
Kemaluan Harry tergeletak tegang di atas perut, menunjuk sang empu di atas. Tak
ada jembut menghiasi sekitar penisnya.
“Dicukur?” tanya Kristian seraya menunduk dan mengecup batang kemaluan
Harry dengan bibirnya.
“Iyalah. Supermodel mana boleh punya jembut.”
“Tapi ini bulu keteknya banyak,” balas Kristian sambil menarik rambut
ketiak Harry, membuat cowok itu mengentak geli.
“Beda, Bang! Bulu ketek justru seksi. Jembut mah kagak!”
Kristian melumat kemaluan Harry meski batangnya tak bisa masuk
sepenuhnya ke dalam mulut. Sambil mengulum naik turun, Kristian melepas
celananya sendiri. Sekarang, keduanya sama-sama telanjang bulat. Kemaluan
Kristian yang tidak sebesar Harry, juga mengeras dan berkedut-kedut. Bedanya, penis
Kristian ditemani jembut hitam keriting yang rimbun.
“Crikey!” sahut Harry
terpukau pada ketelanjangan Kristian.
Kristian terus mengulum kemaluan Harry selama beberapa menit. Rasanya
nikmat sekali. Batang keras tak disunat, yang kulitnya licin dan ikut naik-turun
saat mulut Kristian bergerak ke atas ke bawah. Batang itu pun berwarna terang,
agak-agak kemerahan dengan kepala penis sama lebar dengan batangnya. Aroma
kemaluan Harry selalu tercium nikmat.
Setelah melumat penis, bibir Kristian turun ke lubang pantat Harry yang
juga sudah dicabut habis rambut-rambutnya. Memang enggak aneh sih untuk orang
seperti Harry melakukan manscaping.
Ini bukan kali pertama Kristian melihat selangkangan Harry botak dari rambut
apa pun. Kristian enggak begitu menyukainya. Bagi Kristian, selangkangan cowok
harus berambut banyak. Namun karena Harry ganteng dan hot bukan main, Kristian mengabaikan hal tersebut.
Sambil menahan kaki Harry agar teracung tinggi-tinggi, Kristian
menjilati lubang pantat Harry yang bersih dan berwarna pink. Aromanya sama memikat seperti penis Harry di atas sana. Jadi,
Kristian menarik lidahnya naik turun dari atas ke bawah, dari bawah ke atas,
hingga ke buah zakar Harry, membuat supermodel itu bergidik keenakan.
“Anjing! Anjing! Aaahhh …!” umpat Harry sambil mendesah.
Karena jilatan itu dilakukan berulang-ulang, membuat Harry geli-geli
keenakan, otot-otot di sekitar lubang pantat Harry terasa rileks. Harry siap
dihujam oleh benda tumpul.
Kristian kemudian menyusuri perut Harry dengan bibirnya. Dia melingkarkan
kedua kaki Harry ke pinggangnya. Sehingga, kemaluan Kristian bisa berada tepat
di depan lubang pantat Harry. Perlahan-lahan, Kristian mengecupi kotak-kotak
otot di perut Harry, lalu bibirnya melumat puting susu Harry dengan nikmat.
Sang supermodel sekali lagi menggelinjang karena keenakan. Apalagi kini,
kemaluan Kristian berada tepat di pantatnya. Dan kepala penis itu,
menekan-nekan lubangnya.
Kristian menikmati dengan optimal puting susu Harry. Kedua puting itu
dia isap, gigit, jilati naik turun, kulum, dan gesek-gesek dengan hidungnya.
Kadang Harry tertawa, kadang mendesah, kadang menjerit karena keenakan, kadang
Harry mengumpat.
Setelah Kristian menjelajahi ketiak Harry, membiarkan rambut-rambut
ketiak itu menggelitik wajahnya, Kristian pun mengecup Harry di bibir. “Masuk?”
tanyanya.
“Iya, dong Bang!” balas Harry sambil tersenyum lebar. “Udah all out begini masa cuma dikecup doang.”
“Tapi tas gue ada di kamar sebelah. Kondom sama pelicin di sana,” jawab
Kristian.
“Coba buka laci,” titah Harry, menunjuk dengan dagunya ke arah nakas di
sebelah kanan.
Kristian merangkak membuka laci dan menemukan pelicin di sana. Namun,
tak ada kondom. “Enggak ada kondomnya.”
“Ya jangan pake kondom, lah.”
“Ck! Berisiko!” balas Kristian
tak setuju.
“Terserah Abang. Abang mau keluar dulu buat ngambil kondom?”
Tentu saja tidak, jawab
Kristian dalam hati. Keluar ruangan sama saja merusak nuansa yang sudah
tercipta. Pilihannya antara enggak pake kondom, atau enggak sama sekali. Namun
Kristian enggak mungkin melewatkan penetrasi itu dalam kondisi seperti ini. Dia
sudah basah. Sekalian berenang seharusnya.
Dan, kalau motivasinya bercinta dengan Harry karena nasibnya enggak
jelas di penerbangan ini, kenapa enggak sekalian bareback saja? Bareback
adalah penetrasi seksual tanpa kondom. Terakhir kali Kristian melakukan tes HIV
adalah empat bulan lalu. Hasilnya non-reaktif atau negatif. Dalam hubungan
seksual semacam ini, yang lebih berisiko tinggi adalah bottom—atau dalam kasus ini Harry.
“Gapapa kalau enggak pake kondom?” tanya Kristian, meminta pendapat.
“Gue sih nyantai.”
“Kamu bakal lebih berisiko, lho!”
“Elah, tinggal minum PrEP habis ini, Bang. Gampang. Gue punya stok dan
aksesnya, kok.”
Ya sudah, batin Kristian.
Akhirnya penetrasi itu terjadi. Kemaluan Kristian dilumuri oleh pelicin
(yang entah mengapa bisa berada dalam laci), lalu dimasukkan perlahan-lahan ke
lubang pantat Harry. Seraya melakukannya, Kristian merengkuh tubuh Harry yang
besar. Apalagi supermodel tampan itu mulai meringis kesakitan. Untuk meredakan
rasa sakitnya, Kristian mengecup dada dan leher Harry.
Setelah beberapa saat, keberadaan penis Kristian di dalam pantat Harry
mulai terasa nyaman. Harry mulai merasa ganjalan benda tumpul itu terasa nikmat,
apalagi saat kepala penis Kristian menyentuh prostatnya. Kristian pun
menggerakkan kemaluannya maju mundur di dalam tubuh Harry, menciptakan gesekan
licin yang geli, baik itu bagi Kristian maupun Harry.
Master bedroom
dipenuhi oleh desahan-desahan surgawi sekarang. Dengan tubuh berkeringat,
Kristian menggenjot kemaluannya di dalam tubuh Harry. Genjotan itu terasa kokoh
dan kuat, membuat Harry benar-benar tak berdaya. Apalagi kedua tangan Harry
terikat, sehingga Harry hanya bisa diam merasakan tubuhnya dihujam oleh sesuatu
yang terasa nikmat.
Tubuh Harry mulai mengilat oleh keringat. Kristian menyukainya. Seraya
terus menggenjot Harry, Kristian menjilati setiap keringat yang merembes keluar
di dada, leher, dan ketiak Harry. Entah mengapa, penetrasi yang biasa-biasa
saja ini terasa sangat menakjubkan bagi Kristian. Mungkinkah karena ini dilakukan
di sebuah kamar VIP mewah pada ketinggian 40.000 kaki?
Mulut Harry yang menganga dan mengeluarkan desahan juga membuat semuanya
tampak memukau.
Karena terus-menerus dijepit oleh perutnya dan perut Kristian, batang
kemaluan Harry mulai terasa hangat. Lesakan penis Kristian di dalam tubuhnya,
yang menggelitik prostatnya secara konstan, membuat Harry merasa sangat nyaman.
Dari pangkal kemaluannya, Harry bisa merasakan sesuatu berkumpul dan siap
menyembur. Hujaman itu mendorong cairan putih dari dalam tubuhnya bereaksi,
bersiap-siap mendobrak batang kemaluan Harry.
“Bang, gue mau keluar Bang! Bang ….”
Bukannya berhenti menggenjot pantat Harry, Kristian malah mempercepat genjotan
itu. Sangat-sangat cepat sampai Harry menggelinjang seperti kesetrum, rambutnya
bergoyang-goyang naik turun.
“Aaahhh …! Aaahhh …! AAAHHH …!” Harry melipat mukanya ke dalam ketika
semburan cairan putih keluar dari ujung kepala penisnya.
Crot! Crot! Crot!
Sperma itu berlompatan keluar dan mendarat di dada, pipi, hingga rambut
Harry. Sebagian dari sperma itu juga mengenai perut dan dada Kristian. Harry
melenguh keras sambil mengatur napasnya yang memburu. Desahannya tak berhenti
hingga tetes terakhir sperma itu keluar dari penisnya.
Kristian terangsang untuk melakukan hal yang sama. Apalagi batang
penisnya sudah dibuat enak sedari tadi, maka Kristian pun membiarkan
pertahanannya jebol.
Crot! Crot! Crot!
Sperma Kristian menyembur keluar di dalam pantat Harry. Kristian
bergidik keenakan sambil kemudian menindih tubuh Harry. Kristian merengkuh
tubuh itu kuat-kuat ketika penisnya masih melakukan proses orgasme. Karena,
ketika air mani keluar, kepala penis terasa sangat sensitif. Dan kepala penis
itu dijepit oleh dinding bagian dalam dubur Harry. Jadi rasanya ngilu.
“Aaaaaaaaargh!” Kristian memberikan desahan sangat panjang. Semakin lama
semakin kuat merengkuh tubuh Harry.
Posisi itu tetap sama hingga tiga menit kemudian. Hingga napas keduanya
reda. Tanpa mengeluarkan kemaluannya yang masih saja ereksi, Kristian pun
mendongak dan tersenyum. Senyumnya dibalas dengan senyuman lebar dari Harry.
“Abang ini emang jago,” puji Harry.
“Bisa aja kamu.”
Kristian mengecup bibir Harry. Mereka bercumbu beberapa menit sebelum
akhirnya Kristian merebahkan kepala di atas dada Harry yang berkeringat dan
dipenuhi sperma. Dengan tenang, Kristian merasakan degupan jantung dan napas
Harry.
“Makasih, ya,” bisik Kristian.
“Sama-sama, Bang!” jawab Harry, mengecup puncak kepala Kristian. Kedua
tangan Harry masih terikat. Ketiaknya masih dipamerkan, menguarkan aroma keringat
yang khas dan memabukkan. Namun Harry tidak memohon untuk dilepaskan. Pun
Kristian belum kepikiran untuk melepaskan ikatan itu.
“Udah lama saya enggak dapatin seks seenak ini,” gumam Kristian.
“Kan, Abang punya pacar. Emang enggak pernah ngentot ama dia, Bang?”
“Ya sering, lah. Tapi beda, woi. Dia mana mau diikat-ikat kayak begini.
Dia juga cerewet. Nanya ini itu sambil seks, kadang bikin ilfeel.”
“Ya udah, kalau Abang mau lagi, bilang aja.”
Kristian mencubit hidung Harry lalu menggoyang-goyangnya. “Kok, kamu mau,
sih ama saya?”
Harry terkekeh. “Abis Abang seksi, sih. Abang sendiri kenapa masih mau
ama saya? Abang tuh cinta enggak sama Jordan?”
Kristian menghela napas dan mengambil jeda beberapa saat sebelum
menjawab pertanyaan itu. “Cinta,” jawabnya pendek. “Saya enggak tahu gimana
jelasinnya, tapi saat ini dia adalah orang yang saya bayangkan ada di samping
saya sampai tua.”
“Bullshit.” Harry
menjulurkan lidah.
“Serius!” Kristian mengamati mata Harry dengan saksama. “Saya punya
sejuta alasan untuk sebal sama dia, tapi saya enggak mau meninggalkan dia.
Mungkin saya akan mencari apa yang dia enggak punya, di orang lain. Tapi saya
tetap maunya sama dia.”
“Terus gue ini adalah orang yang punya sesuatu yang dia enggak punya?”
“Kamu lagi tersinggung atau lagi nanya aja?”
“Lagi biasa aja!” Harry menjulurkan lidah lagi.
“Goblok!” Kristian geleng-geleng kepala dengan kesal, kemudian menggigiti
puting susu Harry sampai cowok darah campuran itu menjerit, “Ampun! Ampun!”
“Makanya. Cari cinta, dong! Nakal banget kamu ini, Harry. Punya gadun
enggak?”
“Ya punya, lah Bang!” Harry sampai mengerutkan hidungnya sambil tertawa.
“Kalau enggak punya gadun, mana sanggup gue hidup gaya Jakarta. Barang-barang
gue harus branded terus.”
“Siapa gadunnya?”
“Pak Pamungkas,” jawab Harry, tanpa ragu menyebutkannya.
Kristian mengerutkan alis. Jujur saja Kristian kaget mendengar nama itu
disebut. Lebih kaget lagi karena Harry menyebutkannya dengan mudah. “Itu gadun
kamu?”
Harry mengangguk. “Tapi rahasia ya, Bang. Dia discreet banget. Gue sih biasa aja nyeritain ke orang-orang gadun
gue siapa. Tapi dia mah enggak bisa.”
“Sejak kapan?”
“Udah lama, lah. Dia adalah gadun yang enggak pengin gue tinggalin.”
“Karena banyak duitnya?”
“Itu satu,” jawab Harry sambil mengangguk. “Tapi karena gue juga sayang
ama dia, sih. Pak Pamungkas orangnya baik banget. Suka pengertian.”
Pengalaman Kristian dengan Pamungkas agak berbeda. Pamungkas adalah
orang yang enggak peduli ketika Kristian menuntut kejelasan mengapa karyanya
digunakan tanpa izin. Malah, Pamungkas bilang, “Cincay, lah …. Cuma satu foto doang.” Justru satu foto itu harusnya
penting bagi Kristian.
Namanya juga relationship.
Setiap orang akan mendapat perlakuan berbeda dari orang lain.
Kristian pun bangkit dari tempat tidur dan mengambil kameranya. “Gue
foto, ya!”
“Asal jangan disebarin.”
“Kapan saya nyebarin!” Kristian menghampiri Harry dan memotret cowok
jangkung telanjang yang tangannya terikat itu. Tubuh Harry masih berkeringat
dengan sisa-sisa pejuh yang mengering di atas dada. “Saya selalu ngoleksi buat
pribadi, kok. Si Jordan aja enggak tahu saya punya koleksi foto bugil kamu.”
“Saya minta, lah foto-foto bugil yang kemarin!”
“Siap. Entar saya kirim!” Klik!
Klik! Kristian mengambil foto Harry telanjang sepuas hati.
“Tapi kontol gue belum ngaceng, nih. Gapapa? Coba kocok, siapa tahu ngaceng!”
“Elah, itu mah mau kamu! Udah, lah. Kita mandi sekarang! Jangan sampe itu bekas-bekas pejuh nempel di badan.”
To be continued ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar