Selasa, 30 Maret 2021

The Flying Paradise 08

008 The Steward

 


Rasa-rasanya, Maulana ingin memarahi semua orang. Rasa-rasanya, Maulana ingin menarik rambut sampai keluar dari akarnya, lalu kepala Maulana dipecahkan.

Maulana benci situasi ini.

Sejak para penumpang masuk ke dalam pesawat, Maulana sudah tahu ini akan menjadi penerbangan paling enggak nyaman baginya. Dalam hati, Maulana merutuki perusahaannya sendiri. Mengapa harus aku yang ditugaskan? Mengapa bukan yang lain? Dan, mengapa aku sendirian? Mengapa?

Mungkin ini gara-gara Pamungkas. Laki-laki akhir 40-an yang Maulana sayangi itu memang sempat mengutarakan ingin ditemani Maulana dalam perjalanan. Kalau hanya menemani dalam perjalanan sebagai teman, sih enggak apa-apa. Misalnya Maulana duduk-duduk santai di atas sofa, menyesap sampanye, mengangkang di master bedroom agar Pamungkas bisa menyodominya, that’s okay kalau begitu.

Asal jangan ditemani sebagai cabin crew on duty, dan jangan hadirkan enam orang di dalam penerbangan yang pernah berhubungan seks dengan Maulana.

Ya. Separah itu!

Pamungkas memang enggak tahu-menahu soal profesi Maulana yang gelap ini. Karena Maulana bukan Harry di mana sumber penghasilan Pamungkas mengalir, Maulana perlu mendapatkan penghasilan tambahan kalau ingin hidup nyaman. Bekerja sebagai pramugara itu enggak nyaman, kok. Lebih banyak dukanya, dibandingkan sukanya. Maka dari itu Maulana enggak pernah menyanggah kalau ada yang bilang, “Mugara-mugara tuh bispak, kan ya?”

Terserah, sih kalau mau berpikir begitu. Namun dalam kasus Maulana, dirinya memang “bisa dipake”.

Di antara sepuluh orang yang terdaftar dalam manifest, satu orang menjadi kekasih gelapnya, dua orang menjadi friends with benefit-nya (salah satunya Mike), dan tiga orang pernah menggunakan jasanya untuk seks.

Malah si annoying berkaca mata itu ada di sini! jerit Maulana dalam hati karena enggak percaya.




Namanya Jordan. Suatu hari cowok itu mem-BO (booking out—menyewa jasa seseorang untuk aktivitas seksual) Maulana ke sebuah hotel. Ketika datang, Jordan seperti Chinese ganteng dengan badan berotot slim yang seksi. Namun setelah membuka baju, dia juga menungging seperti Maulana. Berarti sama-sama bottom. Maulana mengira Jordan sudah tahu bahwa Maulana juga bottom. Maulana tidak menerima peran penetrasi dalam hubungan seksual sesama jenis itu.

Jadinya canggung, deh. Namun Maulana kira pertemuannya hanya sampai sana saja. Enggak sampai ke Seattle, Amerika Serikat, di mana akhirnya Maulana harus menghabiskan berjam-jam dalam pesawat bersama Jordan.

Nah, fakta sepele seperti itu membuat mood Maulana gampang berubah.

Mungkin karena Maulana seorang Cancer, dia sensitif sekali terhadap berbagai kejadian. Kematian Mora dalam penerbangan membuatnya terguncang. Sesekali Maulana enggan masuk ke galley karena teringat Mora pernah tergeletak di depannya. Tangan Maulana bergetar sambil membuka makanan, pun karena teringat Mora pernah hidup beberapa jam yang lalu. Maulana enggak paham, mengapa orang-orang di pesawat bisa merasa biasa-biasa saja atas kematian Mora?

Kalau bukan karena dia seorang kru kabin, di mana dia harus bersikap netral dalam situasi apa pun, Maulana pasti sudah menangis tersedu-sedu seperti Andre. Atau menjerit dan merapalkan semua kenangannya bersama Mora. (Meski sebenarnya dia enggak begitu punya banyak kenangan dengan teknisi junior itu.)

Intinya, Maulana itu sensitif. Setiap hal kecil gampang dibawa baper. Setiap hal yang menyebalkan, gampang membuat Maulana bete. Fakta bahwa Harry ada di penerbangan ini saja membuat Maulana bete bukan main. Bahkan dia sudah bete sejak tiga hari sebelum keberangkatannya ke Amerika.

Jujur saja Maulana sayang kepada Pamungkas. Saking sayangnya, Maulana enggak mau Pamungkas berhubungan dengan cowok mana pun. Sayangnya, Harry sudah lebih dulu masuk ke kehidupan Pamungkas dibandingkan Maulana. Jadi Maulana harus mengalah kalau Pamungkas memprioritaskan Harry.

Di tengah rasa cemburunya, kejadian Mora memutarbalikkan mood Maulana seperti roller coaster. Maulana merasa bersalah. Untuk kesekian kali dia menghitung jumlah camilan yang sudah keluar. Semuanya masih sesuai pencatatannya. Tidak ada camilan yang hilang di luar yang dia hidangkan.

Namun mengapa Mora bisa meregang nyawa?

Dia bukan mati karena makanan, kan?

Karena kalau iya, seumur hidup Maulana akan merasa bersalah.

Laki-laki berumur 28 tahun itu selalu merasa wajib membuat setiap orang nyaman di dekatnya. Kalau perlu, dia ingin membuat setiap orang merasa berada di rumah. Maka dari itu Maulana menjadi kru kabin. Dia senang melayani penumpang, tersenyum dan menawarkan bantuan, atau membantu siapa pun dalam situasi darurat.

Ketika Mora ditemukan tergeletak tanpa nyawa, Maulana merasa gagal. Dan, perasaan itu mengubah seluruh mood-nya dalam penerbangan.

Tanpa yang lain ketahui, Maulana sudah tiga kali masuk toilet berbeda untuk menangis. Dia membutuhkan lima sampai sepuluh menit untuk menenangkan diri, kemudian dia akan keluar seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Maulana juga merasa diasingkan. Sedari tadi, hanya dirinyalah kru terbang yang tidak dilibatkan dalam diskusi di kokpit. Maulana tentu saja ingin tahu apa yang terjadi.

Mengapa Pamungkas bisa tahu ada pistol dan borgol di dalam kompartemen A6?

Ada konspirasi apa ini?

“Ha-halo, Mas!”

Seseorang membuyarkan lamunan Maulana. Ketika dia menoleh, Jordan berdiri canggung di ujung galley. Ya ampun, dia lagi, batin Maulana. Namun, Maulana tetap memberikan senyum profesional yang lebar, seolah-olah tak terjadi apa-apa dalam dirinya. Memang begitulah sifat dasar Cancer. Ada satu cangkang keras yang melindungi satu jaringan lemah di dalamnya.

“Selamat sore, Bapak. Ada yang bisa saya bantu?” tanya Maulana sopan, suaranya direndahkan semaskulin mungkin, seperti prosedur semua pramugara.

Jordan tampak celingukan ke arah common room dan conference room, seolah-olah memastikan tak ada yang melihat mereka. “Boleh bicara berdua, enggak?”

“Boleh. Ada yang mau ditanyakan, Bapak?”

Maulana menangkap rasa tidak nyaman dalam diri Jordan setiap dia menyebut kata bapak. Maulana pun ikut celingukan ke arah kabin, memastikan tak ada yang melihat mereka. Kemudian, Maulana mengedikkan kepala ke dalam galley dan berjalan mendahului Jordan.

“Gimana, Mas?”

Jordan tersenyum. Tampak lebih nyaman. “Gapapa. Aku mau nanyain gimana kabarnya, Mas?”

Maulana tetap tersenyum. Kali ini bukan profesional sebagai kru kabin, tetapi ramah-tamah sebagai Cancer. “Aku baik-baik aja, Mas.”

“Turut berduka ya atas meninggalnya rekan kerja, Mas.”

Maulana mengangguk dan masih tersenyum. “Makasih banyak, Mas.”

“Aku tahu ini mungkin bukan waktu yang tepat,” ungkap Jordan. “Tapi mumpung semua orang lagi sibuk sama kegiatan masing-masing, dan aku duga Mas juga lagi enggak ada kerjaan, aku pengin minta waktunya sebentar untuk membicarakan masalah pribadi.”

No, Bitch, you don’t come here and talk personal with me! Not when I’m working! Not when I’m in a bad mood! I’ll kill you easily with a trolley, you know?!

Maulana memberi jeda sejenak sebelum menjawab, “Oh, boleh. Aku emang lagi santai, kok.”

“Makasih ya, Mas,” balas Jordan sambil mengangguk. Maulana dapat melihat cowok itu agak canggung mengutarakan apa yang ingin disampaikan. Namun keberaniannya mengajak Maulana berbicara berdua patut diacungi jempol. “Aku mau minta maaf soal … soal pertemuan kita sebelumnya.”

“Enggak apa-apa, kok Mas. Aku bisa paham,” jawab Maulana.

“Aku merasa enggak enak aja waktu dulu Mas bilang harusnya aku tanya dulu posisi Mas ini apa. Dan aku memang enggak nanya dulu, malah main BO aja. Pas aku tahu Mas ada di sini, aku beneran kaget, sih. Tapi aku cuma pengin mastiin Mas tahu bahwa aku benar-benar menyesal.”

Maulana tak suka basa-basi. Baginya, Jordan hanya mencari drama saja dengan mengungkit kejadian masa lalu. Namun pada saat yang sama, Maulana bisa merasakan empati tinggi pada apa yang dialami Jordan. Sehingga Maulana hanya mengangguk dengan tulus dan berkata, “Iya, Mas, enggak apa-apa. Setiap manusia wajar kok melakukan kesalahan.”

Jeda sejenak sebelum Jordan kembali bicara. Maulana melihat cowok itu meremas-remas tangannya sendiri, sedang mempertimbangkan untuk mengatakan sesuatu. Maulana tak ingin mendesak, tetapi dia juga enggak sabar menunggunya bicara.

“Kalau memang ada yang bisa aku bantu, boleh kok dibicarakan—”

“Ada,” ujar Jordan segera. Orangnya masih salah tingkah dan ragu, tetapi Jordan mengambil napas dan membeberkan semuanya. “Kayaknya … kayaknya aku masih mau pakai jasa Mas.” Jordan menunduk karena malu.

Maulana mengulas senyum sebagai tameng. “Oke …,” responsnya hati-hati.

“Kali ini … kali ini saya pengin coba jadi top,” ungkap Jordan jujur.

Maulana mengerutkan alisnya. “Kenapa?”

Bagi Maulana, Jordan ini cute banget. Kulitnya mulus, putih, badannya atletis, dan kacamatanya bikin dia tambah unyu. Kalau dia jadi top pun, Maulana rela-rela saja. Apalagi Maulana sudah pernah melihat kemaluannya. Enggak gede, enggak kecil. Aman, lah. Namun fakta bahwa dia ingin mencoba posisi baru, tampaknya tidak datang tiba-tiba. Jadi, Maulana kepo pengin tahu alasannya apa.

“Oke. Tapi jangan bilang-bilang, ya,” mulai Jordan sambil menelan ludah. “Videografer itu, Kristian, pacarku. Kami sudah pacaran lima bulan.”

Whaaaaaat …?! jerit Maulana dalam hati. Antara ingin tertawa ngakak, atau terkejut. Kristian yang itu? Yang beberapa saat lalu Maulana pergoki sedang melumat putingnya Harry? Wow. This is drama!

Maulana menyamankan diri dengan bersandar ke konter. Senyumnya terukir lebih lebar sekarang. Maulana tertarik mendengar cerita Jordan. “Oke. Lalu?”

“Lalu aku kayak ngerasa … kayak aku belum berhasil muasin dia secara seksual.”

Well, you are, Bitch, batin Maulana. Kalau sudah puas, Kristian enggak akan tergoda oleh model sok ganteng bernama Harry itu.

“Aku enggak tahu apa yang salah, tapi aku mau coba introspeksi diri aku dulu. Mungkin akunya yang salah. Mungkin aku enggak memuaskan secara seksual. Mungkin sebenernya dia pengin gantian kalau kami lagi …, yah, itulah. Aku enggak pernah nanya ke dia soal posisi, sih. Sejak awal tahu-tahu aku jadi bottom, dan dia jadi top, dan begitu terus tanpa pernah ngebahas sebenarnya kepingin masing-masing tuh apa. Kepinginku ya mesra-mesraan ama dia. Tapi siapa tahu dia pengin variasi yang lain.”

Maulana sedang mempertimbangkan, apakah dia perlu mengatakan soal apa yang dilihatnya tadi atau enggak? Maulana bukan Pisces yang menyukai drama. Faktanya, dia malah benci drama. Namun Maulana sama-sama berelemen air, sehingga dia bisa sangat manipulatif agar orang-orang merasakan emosi yang sama seperti dirinya. Kalau dia sedang bad mood, semua orang harus bad mood juga.

Dengan senyuman palsu, Maulana pun berkata, “Aku enggak tahu apakah aku harus ngomongin soal ini sama Mas atau enggak,” ujar Maulana. Namun dalam hati Maulana berkata, I fucking know I shouldn’t, but I will anyway. “Tapi aku kirain Kristian itu pacarnya Harry.”

Jordan membelalak dengan dramatis. “Harry? Kok, Kakak tahu dia dekat sama Harry?!”

Wait. Jadi jalang ini juga tahu soal itu? batin Maulana. “Aku enggak tahu dia dekat atau enggak. Aku cuma ketemu ama mereka di master bedroom, aku kira lagi photoshoot, tapi mereka lagi … you know. Mungkin mestinya aku enggak bilang soal ini, sih. Tapi …, you know. Makanya kukira mereka pacaran. Yang namanya Harry itu emang brengsek, kok.”

Sekarang, Jordan jadi kepikiran. Maulana merasa puas sekali.

“Aku udah curiga dari lama, sih,” ungkap Jordan sambil melorotkan bahu dan menyandarkan punggung ke jejeran kompartemen. Kebetulan Jordan berdiri di kompartemen A. Dan sejenak Jordan memain-mainkan kompartemen A6, membuka tutup pintunya seperti sedang galau, lalu memeriksa ke dalam. “Mereka sering banget barengan. Sebelum dan sesudah pacaran sama aku. Mana Harry itu ganteng dan badannya oke, aku takut dia tertarik sama Harry.”

“Yang namanya manusia bisa khilaf,” ujar Maulana memulai. “Tapi memang Harry begitu kok orangnya. Saya kan udah lama kerja di perusahaan ini. Saya sering lihat dia ngedekatin cowok mana pun yang dia pengin, entah tujuannya apa. Mungkin Kristian hanya korbannya Harry aja.”

Sekarang, Maulana merasa senasib sepenanggungan dengan Jordan. Orang yang mereka cintai, direbut oleh Harry. Ini kesempatan bagus untuk memanipulasi Jordan agar berada di pihaknya, sehingga mereka bisa menjatuhkan Harry.

“Aku enggak suka Harry sejak awal,” gumam Jordan sambil menatap kosong kompartemen di seberangnya. “Kayaknya orangnya nyebelin juga, ya. Sedari tadi ngomongin dirinya sendiri mulu.”

“Banyak, kok yang enggak suka sama dia.” Maulana meletakkan tangannya di bahu Jordan penuh simpati. “Urusan Mas sama aku, bisa kita bahas lagi nanti. Aku, sih open. Bahkan, karena aku tahu problem Mas kayak apa, aku bisa kasih diskon. Tapi untuk sekarang …, mendingan Mas cek deh ke master bedroom. Mereka udah kelamaan di sana enggak, sih?

Jordan mengecek arlojinya. “Iya juga, ya. Ini udah lama banget. Barusan aku sempat nulis dua halaman, tapi photoshoot mereka belum beres juga.”

“Mau kuantar ke master bedroom?” tawar Maulana.

Jordan memikirkan tawaran itu sejenak. Kemudian, dia menggeleng. “Enggak usah. Aku tahu, kok master bedroom di mana. Makasih ya, Mas. Entar aku bahas lagi soal tawaranku itu.”

“Boleh, Mas. Aku tunggu, ya.”

Maulana juga bukan niat-niat banget mengantar ke master bedroom, sih. Dia hanya ingin memastikan Jordan akan ke master bedroom setelah ini.

Maulana menemukan Jordan berjalan melewati common room menuju kabin bagian belakang. Jordan juga melewati jejeran kursi penumpang tamu, lalu masuk ke koridor yang di kanan kirinya terdapat empat kamar tamu. Maulana pura-pura membereskan sesuatu di sebuah kompartemen yang ada di galley kecil belakang kabin penumpang. Dari situ, dia bisa melihat Jordan mengetuk pintu master bedroom.

“Jordan?” Sayup-sayup terdengar suara Kristian setelah pintu kamar terbuka. Maulana mengintip untuk melihat apa yang terjadi. Meski cepat, Maulana sempat melihat Kristian sedang menurunkan kemejanya dengan salah tingkah. Seolah-olah Kristian baru saja mengenakan baju itu sambil membuka pintu. Rambut Kristian juga basah.

“Kamu habis mandi?” tanya Jordan.

“Enggak, kok,” jawab Kristian. “Aku … aku coba pakai gel aja tadi. Buat photoshoot. Coba-coba.”

“Hai!” sapa Harry dari belakang Kristian. Harry mencoba permisi keluar. Dan rambutnya basah juga. “Halo Mas Jordan. Kita baru selesai foto-foto, nih. Mas Jordan mau masuk ke dalam kamar?”

Wow. Menarik. Sudah jelas mereka ngapa-ngapain, batin Maulana.

“Mas?”

Seseorang mengagetkan Maulana yang sedang mengintip, sampai-sampai Maulana melompat kecil. Ketika berbalik, Maulana menemukan Andre berada di belakangnya.

“Tungguin kokpit,” kata Andre.

“Apa?”

“Kapten mau rapat sama Pak Pamungkas, sama saya juga. Jadi Mas tungguin kokpit bisa?”

Setelah kejadian Germanwings penerbangan 9525 pada tahun 2015, di mana seorang pilot menabrakkan pesawat ke gunung untuk bunuh diri saat seorang pilot sedang keluar dari kokpit, FAA merekomendasikan otoritas penerbangan setiap negara untuk mewajibkan dua kru terbang berada di dalam kokpit dalam penerbangan. Jadi, jika salah satu pilot ingin keluar untuk pergi ke toilet atau alasan apa pun, ada kru lain yang berada di dalam dan menunggu. Juga untuk memastikan pilot yang sedang menjaga kemudi tidak melakukan tindakan-tindakan berbahaya seperti mengajak bunuh diri.

“Oke,” jawab Maulana, secara terpaksa mengiakan. Sebenarnya, dia masih ingin melihat apa yang terjadi setelah Jordan memergoki Kristian dan Harry keluar dari master bedroom dengan rambut basah.

Namun, ya sudah, lah.

*  *  *

Secara mengejutkan, penerbangan berlangsung lancar hingga dua jam setelah kejadian Mora. Matahari selalu menyinari penerbangan karena pesawat membuntuti ke mana matahari terbenam. Pramugara dengan otot lengan besar itu akhirnya menutup nyaris seluruh jendela pesawat, membiarkan cahaya lampu menyinari kabin.

Randian sudah duduk dengan anteng selama satu jam terakhir. Dia menyesap kaleng-kaleng soda yang sudah dilabeli aman. Pernapasannya baik-baik saja, yang menandakan sianida tidak menyebar ke seluruh kabin melalui udara. Namun Randian tidak bisa tinggal diam. Dia percaya, ada yang salah dengan penerbangan ini.

Mengapa teknisi junior itu tiba-tiba mati?

Sebagai Virgo, Randian tergelitik untuk mencari tahu. Selama dua jam terakhir, dia sudah dua kali bolak-balik ke ruang meeting kecil di kabin bagian depan. Dia memandangi mayat Mora selama beberapa saat, mencoba menemukan penyebab lain kematian sang teknisi, tetapi jenazah itu tampak sempurna. Saking sempurnanya, kulit Mora terasa mulus dan licin seolah-olah rajin mengaplikasikan skincare.

Mungkin memang rajin pakai skincare. Karena di luar tubuhnya yang agak chubby, Mora ganteng, kok. Randian mau banget disodok oleh kemaluannya Mora—misal teknisi ini masih hidup. (Malah, mumpung enggak ada orang, Randian sempat memegang kemaluan Mora untuk memastikan ukurannya.)

Randian mengetahui bahwa celana Mora sudah diganti. Saat teknisi junior itu meregang nyawa, selain buih keluar dari mulutnya, air kencing juga keluar dari kelaminnya. Memang begitu, kok tanda-tanda kematian. Saking sakitnya, seorang ahli kubur sampai mengompol. Maulana dan Randian sampai harus menarik lepas karpet Maroko cokelat setelah Mora dievakuasi, supaya tidak muncul bau tidak sedap.

Dua kali bolak-balik ke ruang meeting kecil, Randian tak mendapat jawaban apa pun. Dia akhirnya duduk di common room dan meng-google segala jenis percobaan pembunuhan yang menghasilkan buih di mulut. Namun hasil analisisnya belum mengerucut pada kesimpulan yang lebih memuaskan.




Saat ini, di common room, hanya ada dirinya ditemani Kristian dan Harry. Kristian sudah berhenti memotret. Cowok itu sedang memainkan ponsel dan berbisik-bisik bersama Harry. Karena jaraknya jauh, Randian tak dapat mendengarnya. Randian enggak begitu suka videografer itu. Dia sering memotret orang sembarangan di luar waktu seharusnya. Kesannya jadi seperti paparazi yang mengganggu.

Harry seperti biasa sibuk dengan Instagramnya. Dia menggulir, dan menggulir, dan kadang memotret dirinya sendiri untuk Instagram story. Randian tahu itu karena dia mem-follow Harry—habisnya cowok itu ganteng. Sesekali Harry melepas kausnya hingga bertelanjang dada dan memamerkan otot-otot perut. Lalu Harry menari-nari untuk akun TikToknya.

Randian, sih hanya bisa mengusap-usap kemaluannya sambil sembunyi-sembunyi melirik ke tubuh Harry yang memukau. Di luar kasus yang mengerikan tadi, penerbangan ini sebenarnya menyenangkan. Menurut Randian, semua orang ganteng dan menarik.

Sebenarnya, tapi jangan bilang-bilang, Randian bahkan pernah bercinta dengan Maulana. Dulu. Awal-awal dirinya sering di-hire Yavadvipa Jet untuk mendesain kabin, kantor, dan lounge. Begitu Randian tahu Maulana bisa dibayar untuk berhubungan seks, dia enggak berpikir dua kali untuk melakukan BO.

Ke mana Jordan? batin Randian, teringat tiba-tiba. Terakhir kali Randian melihatnya, cowok imut berkacamata itu masuk ke toilet dan enggak pernah keluar setelahnya.

Karena Randian duduk sangat dekat dengan lorong menuju galley, dia bisa merasakan ketika sekumpulan orang berjalan di sepanjang koridor. Randian menoleh, menemukan Mike sang pilot, Pamungkas, dan Andre berjalan ke depan conference room. Pamungkas sempat menatap Randian ketika mereka beradu pandang. Pamungkas tersenyum, mengangguk kecil, lalu masuk ke dalam sambil menutup pintunya.

Oke. Itu aneh.

Bermodalkan sifat natural observasinya, Randian berjalan ke koridor, pura-pura pergi ke galley. Dari galley, dia bisa melihat dua pintu conference room tertutup. Ruangan besar yang juga berfungsi sebagai dining room itu memiliki dua pintu. Di ujung depan, dan di ujung belakang dekat galley. Satu jam lalu, Randian yakin betul kedua pintunya terbuka, karena di sana terdapat kumpulan minuman yang sudah dipilah bersama-sama.

Mengapa mereka menutup pintu?

Randian menoleh kanan-kiri, memastikan tak ada yang melihatnya menguping. Randian membuat skenario palsu, pura-pura mengamati koridor di depan conference room untuk mengecek apakah instalasi profil, pot-pot bunga, palang, shade, dan wallpaper terpasang dengan benar. Jadi kalau ada yang memergokinya, dia akan menyebutkan semua alasan itu. Padahal, Randian sedang berusaha menguping percakapan di dalam.

Untuk apa seorang pilot meninggalkan kemudinya dan berdiskusi bersama teknisi dan manager sebuah perusahaan dalam ruangan tertutup?

Enggak kedengaran, batin Randian. Sial. Entah karena suara bising deru mesin jet di luar, atau karena Randian sendiri yang mendesain pintu ini agar tidak bisa dikuping. Tujuan pembuatan conference room adalah agar pengguna dapat melakukan meeting dengan confidential. Ada peredam suara yang melapisi sekat, sehingga suara apa pun dari dalam tak bisa kedengaran hingga ke luar.

Antara bangga bahwa desainnya berhasil, juga kesal karena dia semakin kepo mengetahui pembicaraan tiga orang di dalam.

Oh! Ruang kerja di depan!

Di bagian depan kabin, ada dua ruang kecil yang menempel dengan conference room. Ruang kerja itu memiliki connecting door ke conference room, agar penumpang VIP yang sedang melakukan meeting bisa melipir ke ruang kerja dan mempertimbangkan keputusan dengan tenang. Isinya hanya sebuah meja besar, dua kursi berhadapan, dan peralatan kerja seperti buku, ATK, printer, mesin faks, dan segala jenis dekorasi kantor.

Randian bergegas ke ruang kerja, masuk, dan menutup pintu. Pada daun pintu connecting door, Randian menempelkan telinganya. Suaranya masih samar-samar, tetapi Randian dapat menangkap satu dua kata penting.

Seperti misalnya ….

“… bisa saja Laurence … tampaknya diam saat … bukan itu maksud saya … media? Media apa … pikirkan nyawa … itu belum tentu berhasil … mengapa tidak … bukan jumlah yang sedikit … Usman sudah menyiapkan … kalau itu sampai terjadi … bom! Bom bisa meledak!”



To be continued ....


<<< Part 07  |  The Flying Paradise  |  Part 09 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Nude 33

  ssendrawkwA emitefiL .33     Pada suatu pagi lima tahun lalu, Miza bangun lebih pagi dari biasanya meski semalaman tak bisa tidur. D...