008 The Steward
Rasa-rasanya, Maulana ingin memarahi semua orang. Rasa-rasanya, Maulana
ingin menarik rambut sampai keluar dari akarnya, lalu kepala Maulana
dipecahkan.
Maulana benci situasi ini.
Sejak para penumpang masuk ke dalam pesawat, Maulana sudah tahu ini akan
menjadi penerbangan paling enggak nyaman baginya. Dalam hati, Maulana merutuki
perusahaannya sendiri. Mengapa harus aku
yang ditugaskan? Mengapa bukan yang lain? Dan, mengapa aku sendirian? Mengapa?
Mungkin ini gara-gara Pamungkas. Laki-laki akhir 40-an yang Maulana
sayangi itu memang sempat mengutarakan ingin ditemani Maulana dalam perjalanan.
Kalau hanya menemani dalam perjalanan sebagai teman, sih enggak apa-apa. Misalnya
Maulana duduk-duduk santai di atas sofa, menyesap sampanye, mengangkang di master bedroom agar Pamungkas bisa
menyodominya, that’s okay kalau
begitu.
Asal jangan ditemani sebagai cabin
crew on duty, dan jangan hadirkan enam orang di dalam penerbangan yang
pernah berhubungan seks dengan Maulana.
Ya. Separah itu!
Pamungkas memang enggak tahu-menahu soal profesi Maulana yang gelap ini.
Karena Maulana bukan Harry di mana sumber penghasilan Pamungkas mengalir,
Maulana perlu mendapatkan penghasilan tambahan kalau ingin hidup nyaman. Bekerja
sebagai pramugara itu enggak nyaman, kok. Lebih banyak dukanya, dibandingkan
sukanya. Maka dari itu Maulana enggak pernah menyanggah kalau ada yang bilang,
“Mugara-mugara tuh bispak, kan ya?”
Terserah, sih kalau mau berpikir begitu. Namun dalam kasus Maulana,
dirinya memang “bisa dipake”.
Di antara sepuluh orang yang terdaftar dalam manifest, satu orang
menjadi kekasih gelapnya, dua orang menjadi friends
with benefit-nya (salah satunya Mike), dan tiga orang pernah menggunakan
jasanya untuk seks.
Malah si annoying berkaca mata itu
ada di sini! jerit Maulana dalam hati karena enggak percaya.
Namanya Jordan. Suatu hari cowok itu mem-BO (booking out—menyewa jasa seseorang untuk aktivitas seksual) Maulana
ke sebuah hotel. Ketika datang, Jordan seperti Chinese ganteng dengan badan
berotot slim yang seksi. Namun
setelah membuka baju, dia juga menungging seperti Maulana. Berarti sama-sama bottom. Maulana mengira Jordan sudah
tahu bahwa Maulana juga bottom.
Maulana tidak menerima peran penetrasi dalam hubungan seksual sesama jenis itu.
Jadinya canggung, deh. Namun Maulana kira pertemuannya hanya sampai sana
saja. Enggak sampai ke Seattle, Amerika Serikat, di mana akhirnya Maulana harus
menghabiskan berjam-jam dalam pesawat bersama Jordan.
Nah, fakta sepele seperti itu membuat mood Maulana gampang berubah.
Mungkin karena Maulana seorang Cancer, dia sensitif sekali terhadap
berbagai kejadian. Kematian Mora dalam penerbangan membuatnya terguncang.
Sesekali Maulana enggan masuk ke galley
karena teringat Mora pernah tergeletak di depannya. Tangan Maulana bergetar
sambil membuka makanan, pun karena teringat Mora pernah hidup beberapa jam yang
lalu. Maulana enggak paham, mengapa orang-orang di pesawat bisa merasa biasa-biasa
saja atas kematian Mora?
Kalau bukan karena dia seorang kru kabin, di mana dia harus bersikap
netral dalam situasi apa pun, Maulana pasti sudah menangis tersedu-sedu seperti
Andre. Atau menjerit dan merapalkan semua kenangannya bersama Mora. (Meski
sebenarnya dia enggak begitu punya banyak kenangan dengan teknisi junior itu.)
Intinya, Maulana itu sensitif. Setiap hal kecil gampang dibawa baper. Setiap hal yang menyebalkan,
gampang membuat Maulana bete. Fakta
bahwa Harry ada di penerbangan ini saja membuat Maulana bete bukan main. Bahkan dia sudah bete sejak tiga hari sebelum keberangkatannya ke Amerika.
Jujur saja Maulana sayang kepada Pamungkas. Saking sayangnya, Maulana
enggak mau Pamungkas berhubungan dengan cowok mana pun. Sayangnya, Harry sudah
lebih dulu masuk ke kehidupan Pamungkas dibandingkan Maulana. Jadi Maulana
harus mengalah kalau Pamungkas memprioritaskan Harry.
Di tengah rasa cemburunya, kejadian Mora memutarbalikkan mood Maulana seperti roller coaster. Maulana merasa bersalah.
Untuk kesekian kali dia menghitung jumlah camilan yang sudah keluar. Semuanya
masih sesuai pencatatannya. Tidak ada camilan yang hilang di luar yang dia
hidangkan.
Namun mengapa Mora bisa meregang nyawa?
Dia bukan mati karena makanan, kan?
Karena kalau iya, seumur hidup Maulana akan merasa bersalah.
Laki-laki berumur 28 tahun itu selalu merasa wajib membuat setiap orang
nyaman di dekatnya. Kalau perlu, dia ingin membuat setiap orang merasa berada
di rumah. Maka dari itu Maulana menjadi kru kabin. Dia senang melayani
penumpang, tersenyum dan menawarkan bantuan, atau membantu siapa pun dalam
situasi darurat.
Ketika Mora ditemukan tergeletak tanpa nyawa, Maulana merasa gagal. Dan,
perasaan itu mengubah seluruh mood-nya
dalam penerbangan.
Tanpa yang lain ketahui, Maulana sudah tiga kali masuk toilet berbeda
untuk menangis. Dia membutuhkan lima sampai sepuluh menit untuk menenangkan
diri, kemudian dia akan keluar seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Maulana juga merasa
diasingkan. Sedari tadi, hanya dirinyalah kru terbang yang tidak dilibatkan
dalam diskusi di kokpit. Maulana tentu saja ingin tahu apa yang terjadi.
Mengapa Pamungkas bisa tahu ada pistol dan borgol di dalam kompartemen
A6?
Ada konspirasi apa ini?
“Ha-halo, Mas!”
Seseorang membuyarkan lamunan Maulana. Ketika dia menoleh, Jordan
berdiri canggung di ujung galley. Ya ampun, dia lagi, batin Maulana. Namun,
Maulana tetap memberikan senyum profesional yang lebar, seolah-olah tak terjadi
apa-apa dalam dirinya. Memang begitulah sifat dasar Cancer. Ada satu cangkang
keras yang melindungi satu jaringan lemah di dalamnya.
“Selamat sore, Bapak. Ada yang bisa saya bantu?” tanya Maulana sopan,
suaranya direndahkan semaskulin mungkin, seperti prosedur semua pramugara.
Jordan tampak celingukan ke arah common
room dan conference room,
seolah-olah memastikan tak ada yang melihat mereka. “Boleh bicara berdua,
enggak?”
“Boleh. Ada yang mau ditanyakan, Bapak?”
Maulana menangkap rasa tidak nyaman dalam diri Jordan setiap dia
menyebut kata bapak. Maulana pun ikut celingukan ke arah kabin, memastikan tak
ada yang melihat mereka. Kemudian, Maulana mengedikkan kepala ke dalam galley dan berjalan mendahului Jordan.
“Gimana, Mas?”
Jordan tersenyum. Tampak lebih nyaman. “Gapapa. Aku mau nanyain gimana kabarnya, Mas?”
Maulana tetap tersenyum. Kali ini bukan profesional sebagai kru kabin,
tetapi ramah-tamah sebagai Cancer. “Aku baik-baik aja, Mas.”
“Turut berduka ya atas meninggalnya rekan kerja, Mas.”
Maulana mengangguk dan masih tersenyum. “Makasih banyak, Mas.”
“Aku tahu ini mungkin bukan waktu yang tepat,” ungkap Jordan. “Tapi
mumpung semua orang lagi sibuk sama kegiatan masing-masing, dan aku duga Mas
juga lagi enggak ada kerjaan, aku pengin minta waktunya sebentar untuk membicarakan
masalah pribadi.”
No, Bitch, you don’t come here and talk personal with me! Not when I’m
working! Not when I’m in a bad mood! I’ll kill you easily with a trolley, you
know?!
Maulana memberi jeda sejenak sebelum menjawab, “Oh, boleh. Aku emang
lagi santai, kok.”
“Makasih ya, Mas,” balas Jordan sambil mengangguk. Maulana dapat melihat
cowok itu agak canggung mengutarakan apa yang ingin disampaikan. Namun
keberaniannya mengajak Maulana berbicara berdua patut diacungi jempol. “Aku mau
minta maaf soal … soal pertemuan kita sebelumnya.”
“Enggak apa-apa, kok Mas. Aku bisa paham,” jawab Maulana.
“Aku merasa enggak enak aja waktu dulu Mas bilang harusnya aku tanya
dulu posisi Mas ini apa. Dan aku memang enggak nanya dulu, malah main BO aja.
Pas aku tahu Mas ada di sini, aku beneran kaget, sih. Tapi aku cuma pengin
mastiin Mas tahu bahwa aku benar-benar menyesal.”
Maulana tak suka basa-basi. Baginya, Jordan hanya mencari drama saja
dengan mengungkit kejadian masa lalu. Namun pada saat yang sama, Maulana bisa
merasakan empati tinggi pada apa yang dialami Jordan. Sehingga Maulana hanya
mengangguk dengan tulus dan berkata, “Iya, Mas, enggak apa-apa. Setiap manusia
wajar kok melakukan kesalahan.”
Jeda sejenak sebelum Jordan kembali bicara. Maulana melihat cowok itu meremas-remas
tangannya sendiri, sedang mempertimbangkan untuk mengatakan sesuatu. Maulana
tak ingin mendesak, tetapi dia juga enggak sabar menunggunya bicara.
“Kalau memang ada yang bisa aku bantu, boleh kok dibicarakan—”
“Ada,” ujar Jordan segera. Orangnya masih salah tingkah dan ragu, tetapi
Jordan mengambil napas dan membeberkan semuanya. “Kayaknya … kayaknya aku masih
mau pakai jasa Mas.” Jordan menunduk karena malu.
Maulana mengulas senyum sebagai tameng. “Oke …,” responsnya hati-hati.
“Kali ini … kali ini saya pengin coba jadi top,” ungkap Jordan jujur.
Maulana mengerutkan alisnya. “Kenapa?”
Bagi Maulana, Jordan ini cute
banget. Kulitnya mulus, putih, badannya atletis, dan kacamatanya bikin dia
tambah unyu. Kalau dia jadi top pun,
Maulana rela-rela saja. Apalagi Maulana sudah pernah melihat kemaluannya.
Enggak gede, enggak kecil. Aman, lah. Namun fakta bahwa dia ingin mencoba
posisi baru, tampaknya tidak datang tiba-tiba. Jadi, Maulana kepo pengin tahu alasannya apa.
“Oke. Tapi jangan bilang-bilang, ya,” mulai Jordan sambil menelan ludah.
“Videografer itu, Kristian, pacarku. Kami sudah pacaran lima bulan.”
Whaaaaaat …?! jerit Maulana dalam hati. Antara ingin tertawa ngakak,
atau terkejut. Kristian yang itu? Yang beberapa saat lalu Maulana pergoki
sedang melumat putingnya Harry? Wow. This
is drama!
Maulana menyamankan diri dengan bersandar ke konter. Senyumnya terukir
lebih lebar sekarang. Maulana tertarik mendengar cerita Jordan. “Oke. Lalu?”
“Lalu aku kayak ngerasa … kayak aku belum berhasil muasin dia secara
seksual.”
Well, you are, Bitch, batin Maulana. Kalau
sudah puas, Kristian enggak akan tergoda oleh model sok ganteng bernama Harry
itu.
“Aku enggak tahu apa yang salah, tapi aku mau coba introspeksi diri aku
dulu. Mungkin akunya yang salah. Mungkin aku enggak memuaskan secara seksual.
Mungkin sebenernya dia pengin gantian kalau kami lagi …, yah, itulah. Aku
enggak pernah nanya ke dia soal posisi, sih. Sejak awal tahu-tahu aku jadi bottom, dan dia jadi top, dan begitu terus tanpa pernah
ngebahas sebenarnya kepingin masing-masing tuh apa. Kepinginku ya mesra-mesraan
ama dia. Tapi siapa tahu dia pengin variasi yang lain.”
Maulana sedang mempertimbangkan, apakah dia perlu mengatakan soal apa
yang dilihatnya tadi atau enggak? Maulana bukan Pisces yang menyukai drama.
Faktanya, dia malah benci drama. Namun Maulana sama-sama berelemen air,
sehingga dia bisa sangat manipulatif agar orang-orang merasakan emosi yang sama
seperti dirinya. Kalau dia sedang bad
mood, semua orang harus bad mood
juga.
Dengan senyuman palsu, Maulana pun berkata, “Aku enggak tahu apakah aku
harus ngomongin soal ini sama Mas atau enggak,” ujar Maulana. Namun dalam hati
Maulana berkata, I fucking know I shouldn’t, but I will anyway. “Tapi aku
kirain Kristian itu pacarnya Harry.”
Jordan membelalak dengan dramatis. “Harry? Kok, Kakak tahu dia dekat
sama Harry?!”
Wait. Jadi jalang ini juga tahu
soal itu? batin Maulana. “Aku enggak tahu dia dekat atau enggak. Aku cuma ketemu
ama mereka di master bedroom, aku
kira lagi photoshoot, tapi mereka lagi
… you know. Mungkin mestinya aku
enggak bilang soal ini, sih. Tapi …, you
know. Makanya kukira mereka pacaran. Yang namanya Harry itu emang brengsek,
kok.”
Sekarang, Jordan jadi kepikiran. Maulana merasa puas sekali.
“Aku udah curiga dari lama, sih,” ungkap Jordan sambil melorotkan bahu
dan menyandarkan punggung ke jejeran kompartemen. Kebetulan Jordan berdiri di
kompartemen A. Dan sejenak Jordan memain-mainkan kompartemen A6, membuka tutup
pintunya seperti sedang galau, lalu memeriksa ke dalam. “Mereka sering banget
barengan. Sebelum dan sesudah pacaran sama aku. Mana Harry itu ganteng dan
badannya oke, aku takut dia tertarik sama Harry.”
“Yang namanya manusia bisa khilaf,” ujar Maulana memulai. “Tapi memang
Harry begitu kok orangnya. Saya kan udah lama kerja di perusahaan ini. Saya
sering lihat dia ngedekatin cowok mana pun yang dia pengin, entah tujuannya
apa. Mungkin Kristian hanya korbannya Harry aja.”
Sekarang, Maulana merasa senasib sepenanggungan dengan Jordan. Orang
yang mereka cintai, direbut oleh Harry. Ini kesempatan bagus untuk memanipulasi
Jordan agar berada di pihaknya, sehingga mereka bisa menjatuhkan Harry.
“Aku enggak suka Harry sejak awal,” gumam Jordan sambil menatap kosong
kompartemen di seberangnya. “Kayaknya orangnya nyebelin juga, ya. Sedari tadi
ngomongin dirinya sendiri mulu.”
“Banyak, kok yang enggak suka sama dia.” Maulana meletakkan tangannya di
bahu Jordan penuh simpati. “Urusan Mas sama aku, bisa kita bahas lagi nanti.
Aku, sih open. Bahkan, karena aku
tahu problem Mas kayak apa, aku bisa
kasih diskon. Tapi untuk sekarang …, mendingan Mas cek deh ke master bedroom. Mereka udah kelamaan di
sana enggak, sih?
Jordan mengecek arlojinya. “Iya juga, ya. Ini udah lama banget. Barusan
aku sempat nulis dua halaman, tapi photoshoot
mereka belum beres juga.”
“Mau kuantar ke master bedroom?”
tawar Maulana.
Jordan memikirkan tawaran itu sejenak. Kemudian, dia menggeleng. “Enggak
usah. Aku tahu, kok master bedroom di
mana. Makasih ya, Mas. Entar aku bahas lagi soal tawaranku itu.”
“Boleh, Mas. Aku tunggu, ya.”
Maulana juga bukan niat-niat banget mengantar ke master bedroom, sih. Dia hanya ingin memastikan Jordan akan ke master bedroom setelah ini.
Maulana menemukan Jordan berjalan melewati common room menuju kabin bagian belakang. Jordan juga melewati
jejeran kursi penumpang tamu, lalu masuk ke koridor yang di kanan kirinya
terdapat empat kamar tamu. Maulana pura-pura membereskan sesuatu di sebuah kompartemen
yang ada di galley kecil belakang
kabin penumpang. Dari situ, dia bisa melihat Jordan mengetuk pintu master bedroom.
“Jordan?” Sayup-sayup terdengar suara Kristian setelah pintu kamar
terbuka. Maulana mengintip untuk melihat apa yang terjadi. Meski cepat, Maulana
sempat melihat Kristian sedang menurunkan kemejanya dengan salah tingkah. Seolah-olah
Kristian baru saja mengenakan baju itu sambil membuka pintu. Rambut Kristian
juga basah.
“Kamu habis mandi?” tanya Jordan.
“Enggak, kok,” jawab Kristian. “Aku … aku coba pakai gel aja tadi. Buat photoshoot. Coba-coba.”
“Hai!” sapa Harry dari belakang Kristian. Harry mencoba permisi keluar.
Dan rambutnya basah juga. “Halo Mas Jordan. Kita baru selesai foto-foto, nih.
Mas Jordan mau masuk ke dalam kamar?”
Wow. Menarik. Sudah jelas mereka
ngapa-ngapain, batin Maulana.
“Mas?”
Seseorang mengagetkan Maulana yang sedang mengintip, sampai-sampai
Maulana melompat kecil. Ketika berbalik, Maulana menemukan Andre berada di
belakangnya.
“Tungguin kokpit,” kata Andre.
“Apa?”
“Kapten mau rapat sama Pak Pamungkas, sama saya juga. Jadi Mas tungguin
kokpit bisa?”
Setelah kejadian Germanwings penerbangan 9525 pada tahun 2015, di mana
seorang pilot menabrakkan pesawat ke gunung untuk bunuh diri saat seorang pilot
sedang keluar dari kokpit, FAA merekomendasikan otoritas penerbangan setiap
negara untuk mewajibkan dua kru terbang berada di dalam kokpit dalam
penerbangan. Jadi, jika salah satu pilot ingin keluar untuk pergi ke toilet
atau alasan apa pun, ada kru lain yang berada di dalam dan menunggu. Juga untuk
memastikan pilot yang sedang menjaga kemudi tidak melakukan tindakan-tindakan
berbahaya seperti mengajak bunuh diri.
“Oke,” jawab Maulana, secara terpaksa mengiakan. Sebenarnya, dia masih
ingin melihat apa yang terjadi setelah Jordan memergoki Kristian dan Harry
keluar dari master bedroom dengan
rambut basah.
Namun, ya sudah, lah.
* * *
Secara mengejutkan, penerbangan berlangsung lancar hingga dua jam
setelah kejadian Mora. Matahari selalu menyinari penerbangan karena pesawat
membuntuti ke mana matahari terbenam. Pramugara dengan otot lengan besar itu
akhirnya menutup nyaris seluruh jendela pesawat, membiarkan cahaya lampu
menyinari kabin.
Randian sudah duduk dengan anteng selama satu jam terakhir. Dia menyesap
kaleng-kaleng soda yang sudah dilabeli aman. Pernapasannya baik-baik saja, yang
menandakan sianida tidak menyebar ke seluruh kabin melalui udara. Namun Randian
tidak bisa tinggal diam. Dia percaya, ada yang salah dengan penerbangan ini.
Mengapa teknisi junior itu tiba-tiba mati?
Sebagai Virgo, Randian tergelitik untuk mencari tahu. Selama dua jam
terakhir, dia sudah dua kali bolak-balik ke ruang meeting kecil di kabin bagian depan. Dia memandangi mayat Mora
selama beberapa saat, mencoba menemukan penyebab lain kematian sang teknisi,
tetapi jenazah itu tampak sempurna. Saking sempurnanya, kulit Mora terasa mulus
dan licin seolah-olah rajin mengaplikasikan skincare.
Mungkin memang rajin pakai skincare.
Karena di luar tubuhnya yang agak chubby,
Mora ganteng, kok. Randian mau banget disodok oleh kemaluannya Mora—misal
teknisi ini masih hidup. (Malah, mumpung enggak ada orang, Randian sempat
memegang kemaluan Mora untuk memastikan ukurannya.)
Randian mengetahui bahwa celana Mora sudah diganti. Saat teknisi junior
itu meregang nyawa, selain buih keluar dari mulutnya, air kencing juga keluar
dari kelaminnya. Memang begitu, kok tanda-tanda kematian. Saking sakitnya,
seorang ahli kubur sampai mengompol. Maulana dan Randian sampai harus menarik
lepas karpet Maroko cokelat setelah Mora dievakuasi, supaya tidak muncul bau
tidak sedap.
Dua kali bolak-balik ke ruang meeting
kecil, Randian tak mendapat jawaban apa pun. Dia akhirnya duduk di common room dan meng-google segala jenis percobaan pembunuhan
yang menghasilkan buih di mulut. Namun hasil analisisnya belum mengerucut pada
kesimpulan yang lebih memuaskan.
Saat ini, di common room,
hanya ada dirinya ditemani Kristian dan Harry. Kristian sudah berhenti
memotret. Cowok itu sedang memainkan ponsel dan berbisik-bisik bersama Harry.
Karena jaraknya jauh, Randian tak dapat mendengarnya. Randian enggak begitu
suka videografer itu. Dia sering memotret orang sembarangan di luar waktu
seharusnya. Kesannya jadi seperti paparazi yang mengganggu.
Harry seperti biasa sibuk dengan Instagramnya. Dia menggulir, dan
menggulir, dan kadang memotret dirinya sendiri untuk Instagram story. Randian tahu itu karena dia mem-follow Harry—habisnya cowok itu ganteng.
Sesekali Harry melepas kausnya hingga bertelanjang dada dan memamerkan
otot-otot perut. Lalu Harry menari-nari untuk akun TikToknya.
Randian, sih hanya bisa mengusap-usap kemaluannya sambil
sembunyi-sembunyi melirik ke tubuh Harry yang memukau. Di luar kasus yang
mengerikan tadi, penerbangan ini sebenarnya menyenangkan. Menurut Randian,
semua orang ganteng dan menarik.
Sebenarnya, tapi jangan bilang-bilang, Randian bahkan pernah bercinta
dengan Maulana. Dulu. Awal-awal dirinya sering di-hire Yavadvipa Jet untuk mendesain kabin, kantor, dan lounge. Begitu Randian tahu Maulana bisa
dibayar untuk berhubungan seks, dia enggak berpikir dua kali untuk melakukan
BO.
Ke mana Jordan? batin Randian,
teringat tiba-tiba. Terakhir kali Randian melihatnya, cowok imut berkacamata
itu masuk ke toilet dan enggak pernah keluar setelahnya.
Karena Randian duduk sangat dekat dengan lorong menuju galley, dia bisa merasakan ketika
sekumpulan orang berjalan di sepanjang koridor. Randian menoleh, menemukan Mike
sang pilot, Pamungkas, dan Andre berjalan ke depan conference room. Pamungkas sempat menatap Randian ketika mereka
beradu pandang. Pamungkas tersenyum, mengangguk kecil, lalu masuk ke dalam
sambil menutup pintunya.
Oke. Itu aneh.
Bermodalkan sifat natural observasinya, Randian berjalan ke koridor, pura-pura
pergi ke galley. Dari galley, dia bisa melihat dua pintu conference room tertutup. Ruangan besar
yang juga berfungsi sebagai dining room
itu memiliki dua pintu. Di ujung depan, dan di ujung belakang dekat galley. Satu jam lalu, Randian yakin
betul kedua pintunya terbuka, karena di sana terdapat kumpulan minuman yang
sudah dipilah bersama-sama.
Mengapa mereka menutup pintu?
Randian menoleh kanan-kiri, memastikan tak ada yang melihatnya
menguping. Randian membuat skenario palsu, pura-pura mengamati koridor di depan
conference room untuk mengecek apakah
instalasi profil, pot-pot bunga, palang, shade,
dan wallpaper terpasang dengan benar.
Jadi kalau ada yang memergokinya, dia akan menyebutkan semua alasan itu.
Padahal, Randian sedang berusaha menguping percakapan di dalam.
Untuk apa seorang pilot meninggalkan kemudinya dan berdiskusi bersama
teknisi dan manager sebuah perusahaan dalam ruangan tertutup?
Enggak kedengaran, batin
Randian. Sial. Entah karena suara bising deru mesin jet di luar, atau karena
Randian sendiri yang mendesain pintu ini agar tidak bisa dikuping. Tujuan
pembuatan conference room adalah agar
pengguna dapat melakukan meeting
dengan confidential. Ada peredam
suara yang melapisi sekat, sehingga suara apa pun dari dalam tak bisa
kedengaran hingga ke luar.
Antara bangga bahwa desainnya berhasil, juga kesal karena dia semakin kepo mengetahui pembicaraan tiga orang
di dalam.
Oh! Ruang kerja di depan!
Di bagian depan kabin, ada dua ruang kecil yang menempel dengan conference room. Ruang kerja itu
memiliki connecting door ke conference room, agar penumpang VIP yang
sedang melakukan meeting bisa melipir
ke ruang kerja dan mempertimbangkan keputusan dengan tenang. Isinya hanya
sebuah meja besar, dua kursi berhadapan, dan peralatan kerja seperti buku, ATK,
printer, mesin faks, dan segala jenis
dekorasi kantor.
Randian bergegas ke ruang kerja, masuk, dan menutup pintu. Pada daun
pintu connecting door, Randian
menempelkan telinganya. Suaranya masih samar-samar, tetapi Randian dapat
menangkap satu dua kata penting.
Seperti misalnya ….
“… bisa saja Laurence … tampaknya
diam saat … bukan itu maksud saya … media? Media apa … pikirkan nyawa … itu belum
tentu berhasil … mengapa tidak … bukan jumlah yang sedikit … Usman sudah
menyiapkan … kalau itu sampai terjadi … bom! Bom bisa meledak!”
To be continued ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar