009 The Copilot
Sejak awal, Laurence merasa penerbangan ini sudah kacau. Bahkan dua hari
sebelum keberangkatan Laurence ke Amerika, ketika dia menerima jadwal kru,
Laurence sudah mempertanyakan, “Hanya duakah pilot?”
“Ya, untuk efisiensi biaya,” jawab seorang petugas penjadwal kru
terbang.
Permintaan Laurence untuk memasukkan pilot ketiga sebagai cadangan
ditolaknya. Atau satu kru kabin tambahan agar bisa bergantian menjaga kokpit,
juga ditolak. Laurence sampai memelotot tak terima saat membaca hanya satu kru kabin saja yang menemani
penerbangan feri ini.
Laurence memang tak punya jam terbang banyak seperti senior. Namun dia
pernah melakukan penerbangan feri. Isinya justru empat atau lima pilot yang
akan bergantian mengemudikan pesawat dari pabrikan hingga sampai ke negara
maskapai. Tidak ada kru kabin, tidak ada model, tidak ada arsitek, tidak ada
penulis, tidak ada videografer. Untuk apa, coba?
Laurence sudah ingin mengajukan penjadwalan ulang kru penerbangan feri
itu. Namun saat melihat nama Mike di sana, Laurence pun dengan sabar menjawab,
“Baiklah.”
Mike.
Nama itu mengisi hidupnya sejak beberapa bulan lalu. Mungkin Mike tak
pernah tahu soal ini, tetapi Laurence sudah lama memendam perasaan berbeda
kepada Mike. Laurence adalah seorang Scorpio yang akan mengekspresikan perasaan
dengan intens, misterius, dan gelap. Dia menyukai Mike, tetapi tak berani
menyampaikan isi hatinya kepada siapa pun. Namun, dia berharap Mike tahu
perasaannya itu.
Mike benar-benar orang yang baik bagi Laurence. Mike membantunya dalam
banyak hal. Salah satunya ketika Mike mendorong Laurence memperbarui rating Boeing 777 karena kabarnya
Yavadvipa Jet akan membeli satu Boeing BBJ 777-VIP. Kalau bukan karena Mike,
mungkin Laurence tak akan pernah meng-update
rating tersebut.
Yang dimaksud rating tuh
begini … hanya karena kamu seorang pilot, tidak berarti kamu boleh menyetir
segala jenis pesawat. Kamu akan punya CPL (Commercial Pilot License atau kartu
SIM untuk mengemudikan pesawat komersial), tetapi kamu harus punya sertifikasi
tipe pesawat tertentu. Misal, kamu mengambil rating Boeing 737. Kamu bisa menerbangkan semua pesawat dengan tipe
Boeing 737, tetapi kamu tak boleh menerbangkan Airbus A320 dan lain sebagainya.
Bahkan, meski sama-sama Boeing, kamu enggak bisa menerbangkan Boeing 777,
karena spesifikasinya sudah berbeda.
Mengapa? Karena setiap tipe pesawat itu berbeda. Beda dari ukuran,
tombol-tombol di kokpit, bahkan cara mengemudikannya. Maka dari itu, ceklis
tetap harus dibacakan dalam setiap penerbangan.
Laurence punya rating Boeing B737, B747, Airbus A319, Embraer Legacy 600
dan Phenom 300, bahkan Bombardier Global 6000—di mana semuanya adalah pesawat yang
ada dalam armada Yavadvipa Jet. Dulu sempat punya rating ini sewaktu masih bekerja di maskapai pelat merah. Setelah
pindah ke Yavadvipa Jet dan tak menerbangkannya lagi, rating B777 Laurence hangus.
Dengan kembali memiliki rating
B777, mungkin dirinya akan ditempatkan lebih sering bersama pujaan hatinya itu.
Pesawat Boeing 777 hanya ada satu dalam armada perusahaannya, yaitu pesawat yang
sedang diterbangkannya saat ini. Dan yang punya rating ini di kantornya enggak banyak.
Namun, Laurence harus berpikir logis. Cowok berumur 28 tahun itu
meyakini penerbangan Seattle ke Shanghai selama sekitar sebelas jam (meski
setelahnya mereka akan beristirahat selama 24 jam) melanggar peraturan FAA
tentang jam kerja kru terbang. Ya memang ini hanya penerbangan feri, tidak ada
penumpang whatsoever seperti
biasanya. Tapi, kan sebelas jam itu capek. Duduk terus-menerus di kursi yang
sama, melapor ke setiap waypoint yang
dilewati, dan apa yang paling parah?
Mereka terbang menghadapi matahari yang akan terbenam. Selama sebelas
jam! Matahari akan terus-menerus berada di depan kokpit. Menyilaukan mata.
Membuat penerbangan menjadi sangat melelahkan.
Apa akhirnya yang bisa Laurence lakukan?
Kembali kepada kebiasan buruknya: substansi yang adiktif.
Kali ini, karena semua airport
sedang sangat ketat urusan security
gara-gara isu global beberapa bulan lalu (pandemi Covid-19), Laurence hanya
berani mengonsumsi modafinil, sejenis
obat yang mampu membuatnya terjaga selama 40 jam dengan konsentrasi penuh.
Alasan pertama, jam terbang Seattle-Shanghai yang melelahkan. Alasan
kedua, dia ingin sekali meminta Mike untuk tidur di kursinya sementara Laurence
menerbangkan kemudi. Dan sambil mengontrol penerbangan, Laurence akan menikmati
sosok Mike yang sedang tidur di sampingnya.
Itu pasti menjadi penerbangan penuh momen bagi Laurence. Maka dari itu, modafinil penting untuk menjaganya tetap
bangun selama penerbangan. Mike tidak tahu Laurence mengonsumsi obat itu
sebelum penerbangan. Pun soal obat-obatan terlarang yang Laurence sering
konsumsi diam-diam untuk menjaga staminanya.
Jujur saja, pekerjaan pilot ini melelahkan dan penuh tekanan. Bayangkan,
ratusan nyawa orang berada dalam tangannya selama berjam-jam. Memikirkan itu
saja sudah sangat stres. Mungkin faktor Laurence berzodiak Scorpio, sehingga
segala sesuatu dipikirkan terlalu intens. Namun, mau bagaimana lagi? Kalau
ingin sukses, harus memberikan performa terbaik meski dalam tekanan.
Narkoba adalah jalan satu-satunya.
Hingga hari ini, tak ada yang tahu soal kecanduan Laurence akan substansi
kimiawi yang menghancurkan ini. Laurence selalu saja punya alasan mengapa dia
harus mengonsumsinya, misal seseorang mempertanyakan aksinya ini. Misal, karena
dia pilot, lah. Karena dia gay, lah.
Karena dia mencintai orang yang tidak mencintainya balik, lah.
Karena dia agnostik, lah.
Laurence lahir dalam keluarga Yahudi yang taat di negaranya. Namun dia
muak dengan segala sesuatu yang berkaitan dengan agama. Dia mempertanyakan
terlalu banyak tentang Tuhan, sehingga Laurence berubah menjadi agnostik. Dia
tidak tahu apakah Tuhan itu ada atau tidak, ataukah agama itu benar atau salah.
Dia tidak tahu. Dan dia tidak mau tahu.
Hanya saja, semua orang tampak menekannya untuk urusan kepercayaan.
Keluarganya yang Yahudi menekannya ketika dia come out soal kepercayaannya. (Bayangkan kalau Laurence juga come out soal seksualitasnya.) Begitu
pindah ke Indonesia agar bisa jauh sekali dari keluarganya, ternyata di sini
pun sama saja. Semua orang selalu bertanya, “Agamamu apa?”
Hal sekecil itu, membuat Laurence muak dengan mudah.
Jadi, yah, barangkali kamu penasaran mengapa Laurence perlu mengonsumsi
obat-obatan terlarang, itulah alasannya.
Apakah Laurence ingin berubah? Ingin banget. Dia ingin hidup sehat tanpa
obat-obatan, tetapi itu tak bisa dilakukannya. Dia selalu kembali ke narkoba
setiap tekanan terasa menggerogoti jiwanya.
Sampai akhirnya malam yang penuh pencerahan itu terjadi. Malam tadi.
Malam yang sedikit banyak mengubah hidupnya.
Mungkin enggak mengubah sepenuhnya, tetapi Laurence merasakan dorongan
positif untuk berubah perlahan-lahan. Mengonsumsi modafinil mendadak jadi permulaan yang bagus. Karena biasanya Laurence
mengonsumsi ekstasi.
Ekstasi membuat Laurence lebih periang, aktif, dan bisa mengemudikan
pesawat dengan gembira. Maka dari itu Laurence punya banyak teman, padahal dia
seorang Scorpio misterius yang selalu tegang.
Ingin sekali Laurence mengonsumsinya dalam penerbangan ini ketika Mike
duduk di sampingnya, hanya untuk menunjukkan kepada Mike bahwa dia pribadi yang
sangat menyenangkan. Namun malam sebelum keberangkatan, mengubah segalanya.
Andre.
Teknisi senior yang terlihat kalem, tenang, dan baik hati. Laurence sering
melihatnya di perusahaan, tetapi jarang mengobrol kecuali membahas hal-hal
teknis. Sudah sejak enam bulan lalu, setiap melihat Andre, Laurence selalu
menganggapnya imut. Namun karena rasa cintanya kepada Mike sangat besar, Laurence
enggak pernah naksir siapa pun, seganteng apa pun orang itu, termasuk Andre.
Dalam perjalanan menuju Amerika beberapa hari lalu, untuk kali pertama
Laurence mengobrol panjang bersama Andre. Orangnya terdengar pintar dan ramah.
Pun, berorientasi pada data dan kebaikan bersama. Andre menyukai anjing dan
kucing, mengutamakan orang lain di atas dirinya, tak sungkan berbagi makanan
kepada yang lebih membutuhkan. Itu belum termasuk wajahnya yang tampak manis
untuk dilihat. Senyumnya membuat Laurence merasa tenang dan damai.
Malam kemarin, ketika Laurence sedang mempelajari chart penerbangan di lobi hotel, dia melihat Andre masuk bersama
Mora. Mereka baru tiba dari airport
pukul delapan malam. Mora langsung berlari ke kamarnya sementara Andre terhenti
karena mendadak menyapanya.
“Hai!” sapa Laurence semalam.
Dengan gugup Andre menjawab, “Halo.” Andre tampak malu-malu dan salah
tingkah.
Namun, dari situlah malam penuh momen itu dimulai.
Mereka mengawalinya dengan obrolan basa-basi tentang pekerjaan
masing-masing. Lama-lama, mereka mulai menceritakan pengalaman pribadi yang
umum. Laurence sampai menutup kertas-kertas yang sedang dipelajarinya, Andre
sampai lupa dia sedang dalam perjalanan menuju kamar. Keduanya duduk dengan
santai di sofa lobi, mengobrol ngalor-ngidul dalam bahasa Indonesia.
Satu hal yang membuat mereka tetap anteng bertukar pikiran adalah satu
kesamaan yang valid:
Mereka benci Pamungkas.
Baik Laurence maupun Andre, tak menyukai manager marketing itu karena selalu ikut campur urusan penerbangan.
Mentang-mentang Pamungkas menjadi sumber datangnya klien-klien, laki-laki akhir
30-an itu melakukan terlalu banyak request.
Kalau request tidak terpenuhi,
Pamungkas ngamuk-ngamuk. Meski tidak sebanyak Andre, Laurence sudah beberapa
kali kena semprot Pamungkas. Dan sebagai Scorpio, kalau sudah benci satu orang,
Laurence akan benci selama-lamanya.
“Kalau pesawat dalam keadaan darurat dan harus mengorbankan satu orang,”
kata Andre. “Sudah jelas orang itu yang bakal aku korbankan.”
Laurence tertawa mendengarnya. “Oke. Nanti aku akan membantukan. Aku akan
mempastikan Pamungkas tidak selamat dalam penerbangan.”
Perasaan senasib sepenanggungan itu mendekatkan mereka berdua.
Seolah-olah ada sebuah temali yang tiba-tiba terikat dan tersambung dalam
koneksi yang kuat.
Kemudian, obrolan pun menjurus ke rahasia gelap masing-masing.
“Ada orang yang kubenci sepenuh mati dalam penerbangan,” kata Andre,
menyesap bir yang dipesan dari bar.
Laurence tertarik. “Bolehkah aku mengketahui siapa?”
Andre menggeleng. “Aku enggak mau menjelekkan orang lain, meskipun orang
tersebut jelas sudah menghancurkan hidupku.”
Scorpio adalah zodiak manipulatif untuk keuntungan diri sendiri. Jadi,
Laurence tak akan menyerah sebelum apa yang diinginkannya tercapai. “Kalau memang
jelek, mengapakan masih mencemaskan menjelekkan namanya? Maukah di sini atau di
mana pun, dia akan ditetapkan jelek.”
Andre mengangguk setuju. “Tapi saya enggak bisa membahas di sini.” Andre
celingukan ke seluruh lobi.
Sebenarnya, lobi hotel sepi. Tidak ada satu pun orang Indonesia di sana.
“Mau melanjutkan mengobrol di kamarku? Aku ditidurkan sendirian.”
Andre menyetujui. Mereka pindah ke kamar Laurence, duduk dengan nyaman
di atas tempat tidur, bersebelahan, dan mengungkapkan rahasia gelap
masing-masing.
“Supaya kamu merasakan kenyamanan,” ujar Laurence, “aku akan menceritakan
soal keburukan yang pernah aku lakukan dahulu kala. Aku pernah menggunakan konsumsi
narkoba karena didepresi. Sekarang sih tidak. Tetapi aku pernah mengkonsumsikannya.”
Itu bohong. Laurence masih mengonsumsi narkoba, tetapi Andre tak perlu
tahu.
Andre mengangguk. “Terima kasih sudah mau sharing,” jawabnya. Kemudian, Andre pun jujur tentang apa yang dialaminya.
“Tahu arsitek yang mendesain kabin The Flying Paradise?”
“Randian?” tanya Laurence.
“Ya. Yang itu. Aku enggak mau nyebut namanya,” jawab Andre.
“Mengapa?”
“Dia beberapa kali memerkosaku.”
Itu bukan berita yang bisa Laurence terima dengan mudah. Apa yang
dialami oleh Andre sangatlah tak adil. Apalagi ketika Andre bersedia
menceritakan detailnya, Laurence tak kuat untuk lanjut mendengarkan. Di tengah
penceritaan Andre, Laurence menyetopnya.
“Aku tidak mau mendengarkan kelanjutan,” ujar Laurence memotong. “Tapi
aku mau memelukkan kamu. Bolehkah?”
Andre terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk.
Mereka berpelukan selama beberapa menit di atas tempat tidur. Laurence
merasakan Andre menangis, karena bahunya berguncang dan mengetuk-ngetuk dagu
Laurence. Pelukan itu semakin lama semakin erat. Pipi mereka saling menempel
dengan kuat. Laurence dapat merasakan air mata Andre mengucur di pipinya, dan
mengenai pipi Laurence sendiri.
Kemudian, Laurence merasakan pipi itu bergeser. Kedua hidung mereka
semakin lama semakin dekat.
Lalu, Laurence dapat melihat mata Andre yang jernih.
Lalu, sudut bibir Andre dan Laurence bertemu.
Lalu, bibir itu beradu.
Hidung mereka bertemu. Masing-masing manik mata menatap satu sama lain.
Masing-masing bibir menggelitik permukaan bibir yang lain.
Laurence perlahan-lahan membuka mulutnya hingga menganga kecil.
Mulut yang terbuka itu disambut Andre dengan satu kecupan lembut.
Terasa hangat di dalam mulut Laurence.
Kemudian, bibir itu meraup bibir Laurence. Lembut. Lidah Andre perlahan-lahan
berkunjung ke dalam mulut Laurence, menggelitik Laurence dalam sebuah
kenikmatan tiada tara.
Mereka pun bercinta.
….
Laurence sempat ragu apakah dia perlu melanjutkan ini bersama Andre,
mengingat cowok itu baru saja menceritakan pengalaman buruknya bersama Randian.
Namun melihat Andre tak keberatan direngkuh oleh dirinya, atau saat Andre
dengan penuh gairah terus melumat bibir Andre, yang bisa Laurence lakukan hanya
pasrah menerima perlakuan paling menggairahkan itu.
Laurence menemukan dirinya pasrah saat jemari Andre menyusuri tengkuk
dan punggungnya. Laurence senang sekali ketika seseorang memimpin dirinya,
mengontrol seluruh tubuhnya dalam sentuhan-sentuhan yang membara. Laurence
melemaskan tubuhnya, membalas lumatan mulut Andre, merasakan kaus polonya
ditarik ke atas oleh Andre.
Tangan Andre terulur ke atas. Kaus itu lolos dengan mudah, membuatnya
menampilkan dada bidang mediterania yang kecokelatan karena berjemur. Puting Laurence
yang berwarna cokelat gelap menegang. Andre mendesah saat memandang tubuh yang
indah itu. “Aaahhh ….” Lalu jemari Andre mencengkram punggung Laurence dengan
kuat. Membuat Laurence membalas desahan itu lebih keras lagi.
“Aaahhh …!”
Melepas bibir Laurence, Andre mulai menyusuri tubuh Laurence dari dagu,
ke leher, ke dada, lalu mengecup puting susunya dengan kuat. Cup. Dengan lembut Andre menggelitik
puting Laurence menggunakan bibirnya, menjilati dengan pola melingkar,
mengisap, lalu menggigitinya. Laurence tersentak karena merasa geli. Namun
nikmat.
Pada titik itu, kemaluan Laurence yang besar sudah menegang dan
membentuk tenda di balik celana pendeknya. Sebagai penganut freeballing (tidak menggunakan celana
dalam), pada hari santai seperti ini, Laurence tak mengenakan dalaman apa pun.
Dia hanya mengenakan celana pendek kargo berbahan lembut warna krim. Kemaluan
Laurence, karena sudah sejak kecil jarang dibalut celana dalam, mengacung ke
depan, bukan ke arah pusar, bukan ke arah kaki.
Maka dari itu, Andre tersenyum lebar saat melihat sebuah tiang tinggi
berdiri di balik celana Laurence.
Andre langsung melepas kancing kemejanya satu per satu dan melemparkan
kemeja itu ke atas sofa. Kaus di baliknya dia lepaskan dengan kilat hingga
tubuh Andre yang berkulit mulus terhampar dalam pandangan mata Laurence.
Tubuh Andre tampak muda. Kurus atletis, dengan otot yang keras di dada,
lengan atas, dan perut. Dadanya menarik perhatian Laurence. Puting gelap Andre
yang mungil menggantung di bawah lekukan dadanya. Tipe-tipe pemuda Asia yang
nge-gym untuk sehat, bukan untuk
memperbesar otot. Beda dengan tubuh Laurence yang jenjang karena dia ras
kaukasia.
Andre merengkuh Laurence kembali dalam pelukannya, melumat bibir
Laurence yang seksi. Perlahan-lahan Andre membaringkan Laurence di atas tempat
tidur, lalu Andre menyusuri lagi tubuh Andre yang sama atletisnya. Kali ini,
bibir Andre merayap hingga ke pusar, turun ke celana pendek yang sudah harus
dibuka itu.
Perlahan-lahan, Andre menarik celana Laurence, melorot hingga lepas dari
kedua kaki jenjangnya. Kemaluan Laurence tampak kokoh menantang langit.
Rambut-rambut cokelat keriting di sekitar pangkalnya diendus Andre dengan
nikmat. Andre membiarkan penis yang panjang dan gemuk itu mengantam pipinya,
menggelitik sang empu kemaluan yang kini mulai menutup mata dengan tangan
karena keenakan.
“Aaahhh …!” Laurence mendesah lagi. Dadanya berdebar. Darahnya berdesir
lebih kencang.
Mengapa sentuhan ini terasa enak sekali? Padahal penisnya hanya
menggesek lembut pipi dan telinga Andre, tetapi Laurence merasakan sensasi yang
belum pernah dia rasakan sebelum—
“AAAHHH …!” Laurence bergidik keenakan secara tiba-tiba. Gara-gara kedua
bibir Andre tiba-tiba mencaplok pangkal penis Laurence.
Laurence mengintip ke bawah. Kedua bibir Andre merangkul batang penis
Laurence yang lebar, lalu lidah di dalamnya menggelitik jembut dan kulit
sensitif yang Laurence miliki.
Lidah Andre yang menari-nari menjilati batang penis Laurence bergerak ke
atas, hingga ke puncak kemaluan Laurence. Lalu, mulut itu perlahan-lahan
melahap penis Laurence. Sensasi hangat, lembut, geli, nikmat, bercampur menjadi
satu. Laurence meremas seprai di sebelahnya. Mulutnya menganga lebar. Matanya
terpejam.
Mengapa ini nikmat sekali?!
Ketika mulut itu bergerak naik turun, melumat kepala penis Laurence dan
sebagian kecil batangnya yang panjang dan lebar (mungkin karena terlalu besar),
Laurence mencoba mengatur napasnya yang mulai memburu. Dia mencoba bangkit dan
melihat wajah manis itu melahap kemaluannya. Andre mendongak, tersenyum dengan
kepala penis Laurence masih berada di dalam mulutnya, lalu Andre merapatkan
lagi mulutnya.
Mengisap kemaluan Laurence kuat-kuat.
Laurence tak bisa menahan dirinya dari mendesah, “Aaaaaahhh …!” Desahan
itu lebih panjang dari sebelumnya.
Yang seperti ini yang Laurence cari. Yang bisa membuatnya tak berdaya.
Membuatnya memilih diam karena menanti perlakuan apa yang akan diberikan.
Lalu, Andre mengangkat kaki Laurence tinggi-tinggi. Pantat Laurence yang
berambut lebat tampak di depan wajah Andre. Teknisi manis itu membenamkan
hidungnya ke dalam lubang pantat Laurence. Membuat Laurence terentak kaget
karena geli. “Argh!” Laurence menutup wajahnya dengan tangan, mencoba
menghadapi rasa nikmat itu dengan sabar.
Namun dia tak sanggup lagi.
Ketika lidah Andre perlahan-lahan bergerak memutar di sekitar lubang
pantat Laurence, sensasi surgawi hinggap dalam jiwa Laurence. Rasanya
menggelitik, nikmat, membuat dada berdebar lebih kencang, dan nyaman sekali.
Saking nyamannya, Laurence merasa ingiiinnn … sekali sesuatu menghantamnya agar
rasa nikmat itu hilang. Sesuatu seperti …
… kemaluan Andre.
Selama bermenit-menit Andre memainkan lubang pantat Laurence dengan
lidahnya. Lidah itu berujung runcing, sehingga ketika memaksa masuk ke dalam
lubang, yang bisa Laurence lakukan hanyalah pasrah dan melemaskan otot-ototnya.
Laurence mencoba rileks, dibantu oleh belaian kedua tangan Andre di bagian
samping pahanya.
Dan, lidah itu pun masuk ke dalam perlahan-lahan.
Laurence ingin sekali mencakar wajahnya sendiri karena tidak tahan
dengan rasa nikmat itu.
Mengapa rasanya bisa seenak ini? Apa yang membuatnya enak? Apa karena
Laurence mengapresiasi sosok Andre yang vulnerable
di hadapannya tadi? Karena Andre mau membuka bagian tergelap dirinya?
Laurence menggelengkan kepala. Dia enggak sanggup lagi. “Please, fuck me. Please, fuck me,” bisiknya,
ingin menangis.
Laurence sudah memerankan posisi bottom
bertahun-tahun dengan setiap cowok yang dia temui di bar, atau menggodanya di
kokpit, atau kadang-kadang lewat Tinder. Namun perlakuan Andre ini berbeda dari
semua cowok yang pernah menikmati tubuhnya.
“Apa?” tanya Andre, tak mendengar. Kepalanya mendongak, tersenyum
menatap Laurence di bawah buah zakar Laurence yang mengerut penuh oleh sperma.
“Please, fuck me! Jangan mempermainkan
saya. Please.”
Andre hanya tersenyum lebar lalu lanjut menjilati lubang pantat itu, tak
sedikit pun membuka celananya.
Shit.
Laurence tak terima. Dia sudah gatal ingin dihujam oleh kemaluan Andre.
Sehingga, Laurence bangkit dan menarik Andre berdiri. Dengan rusuh Laurence
membuka kancing celana Andre, menarik ristletingnya turun, dan melorotkan
celana itu. Di baliknya, ada sehelai celana dalam putih membalut kemaluan Andre
yang berukuran normal, yang kini menegang ke atas memandang wajah Andre.
Dengan kilat, Laurence juga melorotkan celana itu. Membuat penis Andre memantul-mantul
karena momentum. Keras batang penis Andre dapat dilihat oleh mata telanjang.
Laurence menempelkan hidungnya ke batang kemaluan Andre, lalu menghidunya
dengan kuat. Aroma ini begitu natural. Bukan aroma sabun, bukan aroma pejuh
kering seperti yang pernah dihidunya dari laki-laki lain. Beginilah aroma
kemaluan laki-laki. Dan aroma itu membuat Andre terasa lebih maskulin.
Laurence langsung melahap kemaluan Andre, memasukkannya secara penuh ke
dalam mulutnya. Anehnya, Andre tidak mendesah keenakan. Dia malah tersenyum
manis. Penguasaan dirinya benar-benar hebat. Dan itu, somehow, membuat Laurence semakin bergairah.
Belum dua menit Laurence menikmati penis itu, Andre tiba-tiba
menyelipkan kedua tangannya di bawah ketiak Laurence. Andre mengangkat Laurence
agar berdiri, lalu memutar tubuhnya hingga telungkup sebagian di atas tempat
tidur. Pantat Laurence lagi-lagi mencuat di ruangan.
“Aku enggak bawa kondom,” bisik Andre.
“I don’t care!” sahut
Laurence. Pilot itu dibutakan oleh rasa nikmat, sehingga dia tak peduli pada
keamanan seksual yang seharusnya tetap dia lakukan, apa pun kondisinya. Dia
hanya ingin pantatnya dihujam oleh penis Andre sesegera mungkin.
“Pelicin?”
“Pakaikan ludah saja!” sentak Laurence tak sabar.
Andre tidak tersinggung. Dia mengumpulkan ludah di belakang mulutnya,
lalu menuangnya ke lubang pantat Laurence. Ludah lain dikeluarkan lagi, dan
ditumpahkan lagi ke lubang yang sama, seraya telunjuknya menusuk-nusuk masuk.
Lalu ludah terakhir dibalurkan ke kemaluannya sendiri.
Ketika penis Andre akhirnya masuk ke tubuh Laurence …
… kenikmatan surgawi yang dirindukan itu menyetrum tubuhnya yang jenjang.
Laurence merasa, kemaluan Andre seolah-olah didesain untuk lubang
pantatnya. Seperti lekukan dan tonjolan puzzle
yang tepat ukuran. Masuk dengan pas. Melengkapi satu sama lain. Tidak terlalu
besar hingga membuatnya ingin kencing. Tidak terlalu kecil membuatnya merasa
perih. Benda tumpul itu memenuhi lubang pantat Laurence dengan nikmat, tak
memberikan ruang kosong sedikit pun. Rasanya mengganjal, tetapi Laurence tak
ingin mengeluarkannya.
Laurence malah ingin benda itu terus bersarang di dalam tubuhnya
selama-lamanya.
Ketika penis Andre mulai bergerak, Laurence ingin menangis.
Mengapa ini enak sekali?
Laurence merentangkan tangannya ke atas tempat tidur. Matanya menatap
bantal di sampingnya dengan pandangan kabur karena merasa begitu bahagia.
Senyumnya terulas tanpa henti. Tubuh Laurence bergetar, bergerak maju-mundur
mengikuti irama hujaman penis Andre di tubuhnya. Bunyi kecipak-kecipuk dua
pasang paha yang bertemu terdengar seperti melodi yang indah di ruangan
tersebut.
Ini tak pernah terjadi sebelumnya, tetapi Laurence merasakan gelombang
orgasme berkumpul di selangkangannya. Padahal, kemaluannya itu hanya tertindih
tubuhnya sendiri, bukan sedang dikocok atau dikulum. Perasaan nikmat seperti
orgasme pertama dalam hidup. Berdebar-debar.
Menegangkan.
Dan geli bukan main.
“I’m gonna cum,” bisik
Laurence. “I’m gonna cum!”
Masih sambil menggenjot pantat Laurence, Andre menarik satu kaki Laurene
melewati tubuhnya, sehingga sekarang posisi Laurence berbalik menjadi
telentang. Andre meletakkan kedua kaki Laurence melingkari tubuhnya, lalu Andre
membungkuk. Kedua tangan Andre menangkup wajah Laurence, ditemani sebuah
kecupan lembut yang mendarat tiba-tiba di bibir Laurence.
“Aaaaaahhh …!” desah Laurence, tak peduli napasnya itu berembus
kuat-kuat di wajah Andre.
Mengapa Andre memperlakukannya dengan sangat istimewa seperti ini?
Andre memosisikan tangan Laurence agar merangkul bahunya. Kedua tangan
Andre diselipkan di bawah punggung Laurence. Genjotan itu terus bekerja seperti
mesin jet yang tak pernah berhenti berputar. Pok, pok, pok, pok, pok …! Dengan kondisi kemaluan Laurence
terjepit perut kedua laki-laki itu, Laurence tak sanggup lagi merasakan dorongan
tembakan di pangkal penisnya.
Dia sudah berusaha menahannya sedari tadi, tetapi kepala penis Andre
yang secara konstan menggelitik prostat Laurence terlalu gagah perkasa. Cairan
putih nan hangat itu pun menyembur dari lubang penis Laurence.
Crot! Crot! Crot! Crot! Crot!
Lompatannya sangat jauh sampai-sampai melewati kepala Laurence. Pilot
itu menjerit-jerit keenakan, mengalahkan bising lalu lintas udara yang lewat di
atas hotel. Hingga tetes sperma terakhir lahir, Laurence masih merasakan
sensasi nikmat yang sama. Tubuhnya merinding. Tubuhnya menggelinjang. Tubuhnya
bergetar atas campuran geli, keenakan, dan mendebarkan.
Air mata sampai mengalir dari kedua sudut matanya karena Laurence begitu
bahagia.
Kemudian, Andre membungkuk. Penisnya masih terjebak di dalam pantat
Laurence. Andre mengecup dan melumat mulut Laurence cukup lama. Merengkuh tubuh
pilot yang lebih besar darinya itu dengan kuat, memberikan perlindungan,
memberikan kehangatan.
“Jangan melepaskan pelukan ini,” bisik Laurence meski bibirnya masih
sibuk menerima lumatan mulut Andre. “Jangan pergi. Menginapkanlah di sini.
Jangan melepaskan.”
Andre berhenti mencumbu Laurence. Wajahnya berada sangat dekat, kedua
ujung hidung mereka bersentuhan. Lalu Andre berbisik, “I love you.”
Laurence tersenyum sangat lebar mendengarnya. Dia tidak tahu apakah
dirinya juga merasakan hal yang sama. Karena ini baru kali kedua mereka
mengobrol panjang, di mana kebetulan mereka langsung berhubungan seks. Namun
Laurence tahu perlakuan Andre ini berbeda. Dan Laurence bisa merasakan cinta
itu.
Yang bisa Laurence lakukan hanya bertanya, “Do you wanna cum?”
“Sudah,” jawab Andre sambil mengecup lagi bibir Laurence tiga kali.
“Kapan?”
Senyuman itu dipulas lagi oleh Andre dengan lebar. “Ketika kamu
mendengarkan ceritaku barusan tanpa menghakimiku. Aku sudah orgasme dari situ.”
“Ada yang mau masuk!”
Lamunan Laurence buyar seketika. Dia langsung melihat lagi dasbor Boeing
777 di hadapannya, dengan pemandangan lautan biru dan awan-awan putih
menggantung di bawah. Matahari berada di sebelah kiri pesawat, bukannya
tenggelam, malah lama-lama semakin naik ke atas.
Laurence menggoyang kepalanya, mencoba mengembalikan pikirannya agar
jernih. Di belakangnya, Maulana sedang duduk di kursi jumpseat. Dia membungkuk dan mencolek-colek bahu Laurence agar
terbangun dari lamunan.
“Ada yang mau masuk,” ulang Maulana.
Untuk membuka pintu kokpit, seorang pilot tak perlu bangkit dari
kursinya untuk membukakan. Ada satu tombol yang bisa ditekan, maka kunci pintu
kokpit langsung terbuka. Ketika Laurence membuka pintu, Mike dan Pamungkas
menghambur masuk.
“Apa yang terjadi?!” tanyanya panik.
Laurence kebingungan. “Apa?”
“Mengapa semua masker oksigen turun?! Berapa cabin altitude-nya?!”
Masker oksigen …?
Wait … apa yang terjadi?
To be continued ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar