Selasa, 30 Maret 2021

The Flying Paradise 09

009 The Copilot

 


Sejak awal, Laurence merasa penerbangan ini sudah kacau. Bahkan dua hari sebelum keberangkatan Laurence ke Amerika, ketika dia menerima jadwal kru, Laurence sudah mempertanyakan, “Hanya duakah pilot?”

“Ya, untuk efisiensi biaya,” jawab seorang petugas penjadwal kru terbang.

Permintaan Laurence untuk memasukkan pilot ketiga sebagai cadangan ditolaknya. Atau satu kru kabin tambahan agar bisa bergantian menjaga kokpit, juga ditolak. Laurence sampai memelotot tak terima saat membaca hanya satu kru kabin saja yang menemani penerbangan feri ini.

Laurence memang tak punya jam terbang banyak seperti senior. Namun dia pernah melakukan penerbangan feri. Isinya justru empat atau lima pilot yang akan bergantian mengemudikan pesawat dari pabrikan hingga sampai ke negara maskapai. Tidak ada kru kabin, tidak ada model, tidak ada arsitek, tidak ada penulis, tidak ada videografer. Untuk apa, coba?

Laurence sudah ingin mengajukan penjadwalan ulang kru penerbangan feri itu. Namun saat melihat nama Mike di sana, Laurence pun dengan sabar menjawab, “Baiklah.”

Mike.

Nama itu mengisi hidupnya sejak beberapa bulan lalu. Mungkin Mike tak pernah tahu soal ini, tetapi Laurence sudah lama memendam perasaan berbeda kepada Mike. Laurence adalah seorang Scorpio yang akan mengekspresikan perasaan dengan intens, misterius, dan gelap. Dia menyukai Mike, tetapi tak berani menyampaikan isi hatinya kepada siapa pun. Namun, dia berharap Mike tahu perasaannya itu.

Mike benar-benar orang yang baik bagi Laurence. Mike membantunya dalam banyak hal. Salah satunya ketika Mike mendorong Laurence memperbarui rating Boeing 777 karena kabarnya Yavadvipa Jet akan membeli satu Boeing BBJ 777-VIP. Kalau bukan karena Mike, mungkin Laurence tak akan pernah meng-update rating tersebut.

Yang dimaksud rating tuh begini … hanya karena kamu seorang pilot, tidak berarti kamu boleh menyetir segala jenis pesawat. Kamu akan punya CPL (Commercial Pilot License atau kartu SIM untuk mengemudikan pesawat komersial), tetapi kamu harus punya sertifikasi tipe pesawat tertentu. Misal, kamu mengambil rating Boeing 737. Kamu bisa menerbangkan semua pesawat dengan tipe Boeing 737, tetapi kamu tak boleh menerbangkan Airbus A320 dan lain sebagainya. Bahkan, meski sama-sama Boeing, kamu enggak bisa menerbangkan Boeing 777, karena spesifikasinya sudah berbeda.

Mengapa? Karena setiap tipe pesawat itu berbeda. Beda dari ukuran, tombol-tombol di kokpit, bahkan cara mengemudikannya. Maka dari itu, ceklis tetap harus dibacakan dalam setiap penerbangan.

Laurence punya rating Boeing B737, B747, Airbus A319, Embraer Legacy 600 dan Phenom 300, bahkan Bombardier Global 6000—di mana semuanya adalah pesawat yang ada dalam armada Yavadvipa Jet. Dulu sempat punya rating ini sewaktu masih bekerja di maskapai pelat merah. Setelah pindah ke Yavadvipa Jet dan tak menerbangkannya lagi, rating B777 Laurence hangus.

Dengan kembali memiliki rating B777, mungkin dirinya akan ditempatkan lebih sering bersama pujaan hatinya itu. Pesawat Boeing 777 hanya ada satu dalam armada perusahaannya, yaitu pesawat yang sedang diterbangkannya saat ini. Dan yang punya rating ini di kantornya enggak banyak.

Namun, Laurence harus berpikir logis. Cowok berumur 28 tahun itu meyakini penerbangan Seattle ke Shanghai selama sekitar sebelas jam (meski setelahnya mereka akan beristirahat selama 24 jam) melanggar peraturan FAA tentang jam kerja kru terbang. Ya memang ini hanya penerbangan feri, tidak ada penumpang whatsoever seperti biasanya. Tapi, kan sebelas jam itu capek. Duduk terus-menerus di kursi yang sama, melapor ke setiap waypoint yang dilewati, dan apa yang paling parah?

Mereka terbang menghadapi matahari yang akan terbenam. Selama sebelas jam! Matahari akan terus-menerus berada di depan kokpit. Menyilaukan mata. Membuat penerbangan menjadi sangat melelahkan.

Apa akhirnya yang bisa Laurence lakukan?

Kembali kepada kebiasan buruknya: substansi yang adiktif.

Kali ini, karena semua airport sedang sangat ketat urusan security gara-gara isu global beberapa bulan lalu (pandemi Covid-19), Laurence hanya berani mengonsumsi modafinil, sejenis obat yang mampu membuatnya terjaga selama 40 jam dengan konsentrasi penuh.

Alasan pertama, jam terbang Seattle-Shanghai yang melelahkan. Alasan kedua, dia ingin sekali meminta Mike untuk tidur di kursinya sementara Laurence menerbangkan kemudi. Dan sambil mengontrol penerbangan, Laurence akan menikmati sosok Mike yang sedang tidur di sampingnya.

Itu pasti menjadi penerbangan penuh momen bagi Laurence. Maka dari itu, modafinil penting untuk menjaganya tetap bangun selama penerbangan. Mike tidak tahu Laurence mengonsumsi obat itu sebelum penerbangan. Pun soal obat-obatan terlarang yang Laurence sering konsumsi diam-diam untuk menjaga staminanya.

Jujur saja, pekerjaan pilot ini melelahkan dan penuh tekanan. Bayangkan, ratusan nyawa orang berada dalam tangannya selama berjam-jam. Memikirkan itu saja sudah sangat stres. Mungkin faktor Laurence berzodiak Scorpio, sehingga segala sesuatu dipikirkan terlalu intens. Namun, mau bagaimana lagi? Kalau ingin sukses, harus memberikan performa terbaik meski dalam tekanan.

Narkoba adalah jalan satu-satunya.

Hingga hari ini, tak ada yang tahu soal kecanduan Laurence akan substansi kimiawi yang menghancurkan ini. Laurence selalu saja punya alasan mengapa dia harus mengonsumsinya, misal seseorang mempertanyakan aksinya ini. Misal, karena dia pilot, lah. Karena dia gay, lah. Karena dia mencintai orang yang tidak mencintainya balik, lah.

Karena dia agnostik, lah.

Laurence lahir dalam keluarga Yahudi yang taat di negaranya. Namun dia muak dengan segala sesuatu yang berkaitan dengan agama. Dia mempertanyakan terlalu banyak tentang Tuhan, sehingga Laurence berubah menjadi agnostik. Dia tidak tahu apakah Tuhan itu ada atau tidak, ataukah agama itu benar atau salah. Dia tidak tahu. Dan dia tidak mau tahu.

Hanya saja, semua orang tampak menekannya untuk urusan kepercayaan. Keluarganya yang Yahudi menekannya ketika dia come out soal kepercayaannya. (Bayangkan kalau Laurence juga come out soal seksualitasnya.) Begitu pindah ke Indonesia agar bisa jauh sekali dari keluarganya, ternyata di sini pun sama saja. Semua orang selalu bertanya, “Agamamu apa?”

Hal sekecil itu, membuat Laurence muak dengan mudah.

Jadi, yah, barangkali kamu penasaran mengapa Laurence perlu mengonsumsi obat-obatan terlarang, itulah alasannya.

Apakah Laurence ingin berubah? Ingin banget. Dia ingin hidup sehat tanpa obat-obatan, tetapi itu tak bisa dilakukannya. Dia selalu kembali ke narkoba setiap tekanan terasa menggerogoti jiwanya.

Sampai akhirnya malam yang penuh pencerahan itu terjadi. Malam tadi.

Malam yang sedikit banyak mengubah hidupnya.

Mungkin enggak mengubah sepenuhnya, tetapi Laurence merasakan dorongan positif untuk berubah perlahan-lahan. Mengonsumsi modafinil mendadak jadi permulaan yang bagus. Karena biasanya Laurence mengonsumsi ekstasi.

Ekstasi membuat Laurence lebih periang, aktif, dan bisa mengemudikan pesawat dengan gembira. Maka dari itu Laurence punya banyak teman, padahal dia seorang Scorpio misterius yang selalu tegang.

Ingin sekali Laurence mengonsumsinya dalam penerbangan ini ketika Mike duduk di sampingnya, hanya untuk menunjukkan kepada Mike bahwa dia pribadi yang sangat menyenangkan. Namun malam sebelum keberangkatan, mengubah segalanya.

Andre.




Teknisi senior yang terlihat kalem, tenang, dan baik hati. Laurence sering melihatnya di perusahaan, tetapi jarang mengobrol kecuali membahas hal-hal teknis. Sudah sejak enam bulan lalu, setiap melihat Andre, Laurence selalu menganggapnya imut. Namun karena rasa cintanya kepada Mike sangat besar, Laurence enggak pernah naksir siapa pun, seganteng apa pun orang itu, termasuk Andre.

Dalam perjalanan menuju Amerika beberapa hari lalu, untuk kali pertama Laurence mengobrol panjang bersama Andre. Orangnya terdengar pintar dan ramah. Pun, berorientasi pada data dan kebaikan bersama. Andre menyukai anjing dan kucing, mengutamakan orang lain di atas dirinya, tak sungkan berbagi makanan kepada yang lebih membutuhkan. Itu belum termasuk wajahnya yang tampak manis untuk dilihat. Senyumnya membuat Laurence merasa tenang dan damai.

Malam kemarin, ketika Laurence sedang mempelajari chart penerbangan di lobi hotel, dia melihat Andre masuk bersama Mora. Mereka baru tiba dari airport pukul delapan malam. Mora langsung berlari ke kamarnya sementara Andre terhenti karena mendadak menyapanya.

“Hai!” sapa Laurence semalam.

Dengan gugup Andre menjawab, “Halo.” Andre tampak malu-malu dan salah tingkah.

Namun, dari situlah malam penuh momen itu dimulai.

Mereka mengawalinya dengan obrolan basa-basi tentang pekerjaan masing-masing. Lama-lama, mereka mulai menceritakan pengalaman pribadi yang umum. Laurence sampai menutup kertas-kertas yang sedang dipelajarinya, Andre sampai lupa dia sedang dalam perjalanan menuju kamar. Keduanya duduk dengan santai di sofa lobi, mengobrol ngalor-ngidul dalam bahasa Indonesia.

Satu hal yang membuat mereka tetap anteng bertukar pikiran adalah satu kesamaan yang valid:

Mereka benci Pamungkas.

Baik Laurence maupun Andre, tak menyukai manager marketing itu karena selalu ikut campur urusan penerbangan. Mentang-mentang Pamungkas menjadi sumber datangnya klien-klien, laki-laki akhir 30-an itu melakukan terlalu banyak request. Kalau request tidak terpenuhi, Pamungkas ngamuk-ngamuk. Meski tidak sebanyak Andre, Laurence sudah beberapa kali kena semprot Pamungkas. Dan sebagai Scorpio, kalau sudah benci satu orang, Laurence akan benci selama-lamanya.

“Kalau pesawat dalam keadaan darurat dan harus mengorbankan satu orang,” kata Andre. “Sudah jelas orang itu yang bakal aku korbankan.”

Laurence tertawa mendengarnya. “Oke. Nanti aku akan membantukan. Aku akan mempastikan Pamungkas tidak selamat dalam penerbangan.”

Perasaan senasib sepenanggungan itu mendekatkan mereka berdua. Seolah-olah ada sebuah temali yang tiba-tiba terikat dan tersambung dalam koneksi yang kuat.

Kemudian, obrolan pun menjurus ke rahasia gelap masing-masing.

“Ada orang yang kubenci sepenuh mati dalam penerbangan,” kata Andre, menyesap bir yang dipesan dari bar.

Laurence tertarik. “Bolehkah aku mengketahui siapa?”

Andre menggeleng. “Aku enggak mau menjelekkan orang lain, meskipun orang tersebut jelas sudah menghancurkan hidupku.”

Scorpio adalah zodiak manipulatif untuk keuntungan diri sendiri. Jadi, Laurence tak akan menyerah sebelum apa yang diinginkannya tercapai. “Kalau memang jelek, mengapakan masih mencemaskan menjelekkan namanya? Maukah di sini atau di mana pun, dia akan ditetapkan jelek.”

Andre mengangguk setuju. “Tapi saya enggak bisa membahas di sini.” Andre celingukan ke seluruh lobi.

Sebenarnya, lobi hotel sepi. Tidak ada satu pun orang Indonesia di sana.

“Mau melanjutkan mengobrol di kamarku? Aku ditidurkan sendirian.”

Andre menyetujui. Mereka pindah ke kamar Laurence, duduk dengan nyaman di atas tempat tidur, bersebelahan, dan mengungkapkan rahasia gelap masing-masing.

“Supaya kamu merasakan kenyamanan,” ujar Laurence, “aku akan menceritakan soal keburukan yang pernah aku lakukan dahulu kala. Aku pernah menggunakan konsumsi narkoba karena didepresi. Sekarang sih tidak. Tetapi aku pernah mengkonsumsikannya.”

Itu bohong. Laurence masih mengonsumsi narkoba, tetapi Andre tak perlu tahu.

Andre mengangguk. “Terima kasih sudah mau sharing,” jawabnya. Kemudian, Andre pun jujur tentang apa yang dialaminya. “Tahu arsitek yang mendesain kabin The Flying Paradise?”

“Randian?” tanya Laurence.

“Ya. Yang itu. Aku enggak mau nyebut namanya,” jawab Andre.

“Mengapa?”

“Dia beberapa kali memerkosaku.”

Itu bukan berita yang bisa Laurence terima dengan mudah. Apa yang dialami oleh Andre sangatlah tak adil. Apalagi ketika Andre bersedia menceritakan detailnya, Laurence tak kuat untuk lanjut mendengarkan. Di tengah penceritaan Andre, Laurence menyetopnya.

“Aku tidak mau mendengarkan kelanjutan,” ujar Laurence memotong. “Tapi aku mau memelukkan kamu. Bolehkah?”

Andre terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk.

Mereka berpelukan selama beberapa menit di atas tempat tidur. Laurence merasakan Andre menangis, karena bahunya berguncang dan mengetuk-ngetuk dagu Laurence. Pelukan itu semakin lama semakin erat. Pipi mereka saling menempel dengan kuat. Laurence dapat merasakan air mata Andre mengucur di pipinya, dan mengenai pipi Laurence sendiri.

Kemudian, Laurence merasakan pipi itu bergeser. Kedua hidung mereka semakin lama semakin dekat.

Lalu, Laurence dapat melihat mata Andre yang jernih.

Lalu, sudut bibir Andre dan Laurence bertemu.

Lalu, bibir itu beradu.

Hidung mereka bertemu. Masing-masing manik mata menatap satu sama lain. Masing-masing bibir menggelitik permukaan bibir yang lain.

Laurence perlahan-lahan membuka mulutnya hingga menganga kecil.

Mulut yang terbuka itu disambut Andre dengan satu kecupan lembut.

Terasa hangat di dalam mulut Laurence.

Kemudian, bibir itu meraup bibir Laurence. Lembut. Lidah Andre perlahan-lahan berkunjung ke dalam mulut Laurence, menggelitik Laurence dalam sebuah kenikmatan tiada tara.

Mereka pun bercinta.

….

Laurence sempat ragu apakah dia perlu melanjutkan ini bersama Andre, mengingat cowok itu baru saja menceritakan pengalaman buruknya bersama Randian. Namun melihat Andre tak keberatan direngkuh oleh dirinya, atau saat Andre dengan penuh gairah terus melumat bibir Andre, yang bisa Laurence lakukan hanya pasrah menerima perlakuan paling menggairahkan itu.

Laurence menemukan dirinya pasrah saat jemari Andre menyusuri tengkuk dan punggungnya. Laurence senang sekali ketika seseorang memimpin dirinya, mengontrol seluruh tubuhnya dalam sentuhan-sentuhan yang membara. Laurence melemaskan tubuhnya, membalas lumatan mulut Andre, merasakan kaus polonya ditarik ke atas oleh Andre.

Tangan Andre terulur ke atas. Kaus itu lolos dengan mudah, membuatnya menampilkan dada bidang mediterania yang kecokelatan karena berjemur. Puting Laurence yang berwarna cokelat gelap menegang. Andre mendesah saat memandang tubuh yang indah itu. “Aaahhh ….” Lalu jemari Andre mencengkram punggung Laurence dengan kuat. Membuat Laurence membalas desahan itu lebih keras lagi.

“Aaahhh …!”

Melepas bibir Laurence, Andre mulai menyusuri tubuh Laurence dari dagu, ke leher, ke dada, lalu mengecup puting susunya dengan kuat. Cup. Dengan lembut Andre menggelitik puting Laurence menggunakan bibirnya, menjilati dengan pola melingkar, mengisap, lalu menggigitinya. Laurence tersentak karena merasa geli. Namun nikmat.

Pada titik itu, kemaluan Laurence yang besar sudah menegang dan membentuk tenda di balik celana pendeknya. Sebagai penganut freeballing (tidak menggunakan celana dalam), pada hari santai seperti ini, Laurence tak mengenakan dalaman apa pun. Dia hanya mengenakan celana pendek kargo berbahan lembut warna krim. Kemaluan Laurence, karena sudah sejak kecil jarang dibalut celana dalam, mengacung ke depan, bukan ke arah pusar, bukan ke arah kaki.

Maka dari itu, Andre tersenyum lebar saat melihat sebuah tiang tinggi berdiri di balik celana Laurence.

Andre langsung melepas kancing kemejanya satu per satu dan melemparkan kemeja itu ke atas sofa. Kaus di baliknya dia lepaskan dengan kilat hingga tubuh Andre yang berkulit mulus terhampar dalam pandangan mata Laurence.

Tubuh Andre tampak muda. Kurus atletis, dengan otot yang keras di dada, lengan atas, dan perut. Dadanya menarik perhatian Laurence. Puting gelap Andre yang mungil menggantung di bawah lekukan dadanya. Tipe-tipe pemuda Asia yang nge-gym untuk sehat, bukan untuk memperbesar otot. Beda dengan tubuh Laurence yang jenjang karena dia ras kaukasia.

Andre merengkuh Laurence kembali dalam pelukannya, melumat bibir Laurence yang seksi. Perlahan-lahan Andre membaringkan Laurence di atas tempat tidur, lalu Andre menyusuri lagi tubuh Andre yang sama atletisnya. Kali ini, bibir Andre merayap hingga ke pusar, turun ke celana pendek yang sudah harus dibuka itu.

Perlahan-lahan, Andre menarik celana Laurence, melorot hingga lepas dari kedua kaki jenjangnya. Kemaluan Laurence tampak kokoh menantang langit. Rambut-rambut cokelat keriting di sekitar pangkalnya diendus Andre dengan nikmat. Andre membiarkan penis yang panjang dan gemuk itu mengantam pipinya, menggelitik sang empu kemaluan yang kini mulai menutup mata dengan tangan karena keenakan.

“Aaahhh …!” Laurence mendesah lagi. Dadanya berdebar. Darahnya berdesir lebih kencang.

Mengapa sentuhan ini terasa enak sekali? Padahal penisnya hanya menggesek lembut pipi dan telinga Andre, tetapi Laurence merasakan sensasi yang belum pernah dia rasakan sebelum—

“AAAHHH …!” Laurence bergidik keenakan secara tiba-tiba. Gara-gara kedua bibir Andre tiba-tiba mencaplok pangkal penis Laurence.

Laurence mengintip ke bawah. Kedua bibir Andre merangkul batang penis Laurence yang lebar, lalu lidah di dalamnya menggelitik jembut dan kulit sensitif yang Laurence miliki.

Lidah Andre yang menari-nari menjilati batang penis Laurence bergerak ke atas, hingga ke puncak kemaluan Laurence. Lalu, mulut itu perlahan-lahan melahap penis Laurence. Sensasi hangat, lembut, geli, nikmat, bercampur menjadi satu. Laurence meremas seprai di sebelahnya. Mulutnya menganga lebar. Matanya terpejam.

Mengapa ini nikmat sekali?!

Ketika mulut itu bergerak naik turun, melumat kepala penis Laurence dan sebagian kecil batangnya yang panjang dan lebar (mungkin karena terlalu besar), Laurence mencoba mengatur napasnya yang mulai memburu. Dia mencoba bangkit dan melihat wajah manis itu melahap kemaluannya. Andre mendongak, tersenyum dengan kepala penis Laurence masih berada di dalam mulutnya, lalu Andre merapatkan lagi mulutnya.

Mengisap kemaluan Laurence kuat-kuat.

Laurence tak bisa menahan dirinya dari mendesah, “Aaaaaahhh …!” Desahan itu lebih panjang dari sebelumnya.

Yang seperti ini yang Laurence cari. Yang bisa membuatnya tak berdaya. Membuatnya memilih diam karena menanti perlakuan apa yang akan diberikan.

Lalu, Andre mengangkat kaki Laurence tinggi-tinggi. Pantat Laurence yang berambut lebat tampak di depan wajah Andre. Teknisi manis itu membenamkan hidungnya ke dalam lubang pantat Laurence. Membuat Laurence terentak kaget karena geli. “Argh!” Laurence menutup wajahnya dengan tangan, mencoba menghadapi rasa nikmat itu dengan sabar.

Namun dia tak sanggup lagi.

Ketika lidah Andre perlahan-lahan bergerak memutar di sekitar lubang pantat Laurence, sensasi surgawi hinggap dalam jiwa Laurence. Rasanya menggelitik, nikmat, membuat dada berdebar lebih kencang, dan nyaman sekali. Saking nyamannya, Laurence merasa ingiiinnn … sekali sesuatu menghantamnya agar rasa nikmat itu hilang. Sesuatu seperti …

… kemaluan Andre.

Selama bermenit-menit Andre memainkan lubang pantat Laurence dengan lidahnya. Lidah itu berujung runcing, sehingga ketika memaksa masuk ke dalam lubang, yang bisa Laurence lakukan hanyalah pasrah dan melemaskan otot-ototnya. Laurence mencoba rileks, dibantu oleh belaian kedua tangan Andre di bagian samping pahanya.

Dan, lidah itu pun masuk ke dalam perlahan-lahan.

Laurence ingin sekali mencakar wajahnya sendiri karena tidak tahan dengan rasa nikmat itu.

Mengapa rasanya bisa seenak ini? Apa yang membuatnya enak? Apa karena Laurence mengapresiasi sosok Andre yang vulnerable di hadapannya tadi? Karena Andre mau membuka bagian tergelap dirinya?

Laurence menggelengkan kepala. Dia enggak sanggup lagi. “Please, fuck me. Please, fuck me,” bisiknya, ingin menangis.

Laurence sudah memerankan posisi bottom bertahun-tahun dengan setiap cowok yang dia temui di bar, atau menggodanya di kokpit, atau kadang-kadang lewat Tinder. Namun perlakuan Andre ini berbeda dari semua cowok yang pernah menikmati tubuhnya.

“Apa?” tanya Andre, tak mendengar. Kepalanya mendongak, tersenyum menatap Laurence di bawah buah zakar Laurence yang mengerut penuh oleh sperma.

Please, fuck me! Jangan mempermainkan saya. Please.”

Andre hanya tersenyum lebar lalu lanjut menjilati lubang pantat itu, tak sedikit pun membuka celananya.

Shit.

Laurence tak terima. Dia sudah gatal ingin dihujam oleh kemaluan Andre. Sehingga, Laurence bangkit dan menarik Andre berdiri. Dengan rusuh Laurence membuka kancing celana Andre, menarik ristletingnya turun, dan melorotkan celana itu. Di baliknya, ada sehelai celana dalam putih membalut kemaluan Andre yang berukuran normal, yang kini menegang ke atas memandang wajah Andre.

Dengan kilat, Laurence juga melorotkan celana itu. Membuat penis Andre memantul-mantul karena momentum. Keras batang penis Andre dapat dilihat oleh mata telanjang.

Laurence menempelkan hidungnya ke batang kemaluan Andre, lalu menghidunya dengan kuat. Aroma ini begitu natural. Bukan aroma sabun, bukan aroma pejuh kering seperti yang pernah dihidunya dari laki-laki lain. Beginilah aroma kemaluan laki-laki. Dan aroma itu membuat Andre terasa lebih maskulin.

Laurence langsung melahap kemaluan Andre, memasukkannya secara penuh ke dalam mulutnya. Anehnya, Andre tidak mendesah keenakan. Dia malah tersenyum manis. Penguasaan dirinya benar-benar hebat. Dan itu, somehow, membuat Laurence semakin bergairah.

Belum dua menit Laurence menikmati penis itu, Andre tiba-tiba menyelipkan kedua tangannya di bawah ketiak Laurence. Andre mengangkat Laurence agar berdiri, lalu memutar tubuhnya hingga telungkup sebagian di atas tempat tidur. Pantat Laurence lagi-lagi mencuat di ruangan.

“Aku enggak bawa kondom,” bisik Andre.

“I don’t care!” sahut Laurence. Pilot itu dibutakan oleh rasa nikmat, sehingga dia tak peduli pada keamanan seksual yang seharusnya tetap dia lakukan, apa pun kondisinya. Dia hanya ingin pantatnya dihujam oleh penis Andre sesegera mungkin.

“Pelicin?”

“Pakaikan ludah saja!” sentak Laurence tak sabar.

Andre tidak tersinggung. Dia mengumpulkan ludah di belakang mulutnya, lalu menuangnya ke lubang pantat Laurence. Ludah lain dikeluarkan lagi, dan ditumpahkan lagi ke lubang yang sama, seraya telunjuknya menusuk-nusuk masuk. Lalu ludah terakhir dibalurkan ke kemaluannya sendiri.

Ketika penis Andre akhirnya masuk ke tubuh Laurence …

… kenikmatan surgawi yang dirindukan itu menyetrum tubuhnya yang jenjang.

Laurence merasa, kemaluan Andre seolah-olah didesain untuk lubang pantatnya. Seperti lekukan dan tonjolan puzzle yang tepat ukuran. Masuk dengan pas. Melengkapi satu sama lain. Tidak terlalu besar hingga membuatnya ingin kencing. Tidak terlalu kecil membuatnya merasa perih. Benda tumpul itu memenuhi lubang pantat Laurence dengan nikmat, tak memberikan ruang kosong sedikit pun. Rasanya mengganjal, tetapi Laurence tak ingin mengeluarkannya.

Laurence malah ingin benda itu terus bersarang di dalam tubuhnya selama-lamanya.

Ketika penis Andre mulai bergerak, Laurence ingin menangis.

Mengapa ini enak sekali?

Laurence merentangkan tangannya ke atas tempat tidur. Matanya menatap bantal di sampingnya dengan pandangan kabur karena merasa begitu bahagia. Senyumnya terulas tanpa henti. Tubuh Laurence bergetar, bergerak maju-mundur mengikuti irama hujaman penis Andre di tubuhnya. Bunyi kecipak-kecipuk dua pasang paha yang bertemu terdengar seperti melodi yang indah di ruangan tersebut.

Ini tak pernah terjadi sebelumnya, tetapi Laurence merasakan gelombang orgasme berkumpul di selangkangannya. Padahal, kemaluannya itu hanya tertindih tubuhnya sendiri, bukan sedang dikocok atau dikulum. Perasaan nikmat seperti orgasme pertama dalam hidup. Berdebar-debar.

Menegangkan.

Dan geli bukan main.

“I’m gonna cum,” bisik Laurence. “I’m gonna cum!”

Masih sambil menggenjot pantat Laurence, Andre menarik satu kaki Laurene melewati tubuhnya, sehingga sekarang posisi Laurence berbalik menjadi telentang. Andre meletakkan kedua kaki Laurence melingkari tubuhnya, lalu Andre membungkuk. Kedua tangan Andre menangkup wajah Laurence, ditemani sebuah kecupan lembut yang mendarat tiba-tiba di bibir Laurence.

“Aaaaaahhh …!” desah Laurence, tak peduli napasnya itu berembus kuat-kuat di wajah Andre.

Mengapa Andre memperlakukannya dengan sangat istimewa seperti ini?

Andre memosisikan tangan Laurence agar merangkul bahunya. Kedua tangan Andre diselipkan di bawah punggung Laurence. Genjotan itu terus bekerja seperti mesin jet yang tak pernah berhenti berputar. Pok, pok, pok, pok, pok …! Dengan kondisi kemaluan Laurence terjepit perut kedua laki-laki itu, Laurence tak sanggup lagi merasakan dorongan tembakan di pangkal penisnya.

Dia sudah berusaha menahannya sedari tadi, tetapi kepala penis Andre yang secara konstan menggelitik prostat Laurence terlalu gagah perkasa. Cairan putih nan hangat itu pun menyembur dari lubang penis Laurence.

Crot! Crot! Crot! Crot! Crot!

Lompatannya sangat jauh sampai-sampai melewati kepala Laurence. Pilot itu menjerit-jerit keenakan, mengalahkan bising lalu lintas udara yang lewat di atas hotel. Hingga tetes sperma terakhir lahir, Laurence masih merasakan sensasi nikmat yang sama. Tubuhnya merinding. Tubuhnya menggelinjang. Tubuhnya bergetar atas campuran geli, keenakan, dan mendebarkan.

Air mata sampai mengalir dari kedua sudut matanya karena Laurence begitu bahagia.

Kemudian, Andre membungkuk. Penisnya masih terjebak di dalam pantat Laurence. Andre mengecup dan melumat mulut Laurence cukup lama. Merengkuh tubuh pilot yang lebih besar darinya itu dengan kuat, memberikan perlindungan, memberikan kehangatan.

“Jangan melepaskan pelukan ini,” bisik Laurence meski bibirnya masih sibuk menerima lumatan mulut Andre. “Jangan pergi. Menginapkanlah di sini. Jangan melepaskan.”

Andre berhenti mencumbu Laurence. Wajahnya berada sangat dekat, kedua ujung hidung mereka bersentuhan. Lalu Andre berbisik, “I love you.”

Laurence tersenyum sangat lebar mendengarnya. Dia tidak tahu apakah dirinya juga merasakan hal yang sama. Karena ini baru kali kedua mereka mengobrol panjang, di mana kebetulan mereka langsung berhubungan seks. Namun Laurence tahu perlakuan Andre ini berbeda. Dan Laurence bisa merasakan cinta itu.

Yang bisa Laurence lakukan hanya bertanya, “Do you wanna cum?”

“Sudah,” jawab Andre sambil mengecup lagi bibir Laurence tiga kali.

“Kapan?”

Senyuman itu dipulas lagi oleh Andre dengan lebar. “Ketika kamu mendengarkan ceritaku barusan tanpa menghakimiku. Aku sudah orgasme dari situ.”

“Ada yang mau masuk!”

Lamunan Laurence buyar seketika. Dia langsung melihat lagi dasbor Boeing 777 di hadapannya, dengan pemandangan lautan biru dan awan-awan putih menggantung di bawah. Matahari berada di sebelah kiri pesawat, bukannya tenggelam, malah lama-lama semakin naik ke atas.

Laurence menggoyang kepalanya, mencoba mengembalikan pikirannya agar jernih. Di belakangnya, Maulana sedang duduk di kursi jumpseat. Dia membungkuk dan mencolek-colek bahu Laurence agar terbangun dari lamunan.

“Ada yang mau masuk,” ulang Maulana.

Untuk membuka pintu kokpit, seorang pilot tak perlu bangkit dari kursinya untuk membukakan. Ada satu tombol yang bisa ditekan, maka kunci pintu kokpit langsung terbuka. Ketika Laurence membuka pintu, Mike dan Pamungkas menghambur masuk.

“Apa yang terjadi?!” tanyanya panik.

Laurence kebingungan. “Apa?”

“Mengapa semua masker oksigen turun?! Berapa cabin altitude-nya?!”




Masker oksigen …?

Wait … apa yang terjadi?



To be continued ....


<<< Part 08  |  The Flying Paradise  |  Part 10 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Nude 33

  ssendrawkwA emitefiL .33     Pada suatu pagi lima tahun lalu, Miza bangun lebih pagi dari biasanya meski semalaman tak bisa tidur. D...