010 The Chaos
Dua menit lalu, sebuah kehebohan terjadi di dalam kabin.
Tiga orang sedang berkumpul di common
room. Jordan duduk di sebelah Kristian, membahas sesuatu dengan suara
pelan. Harry duduk agak jauh di seberang ruangan, melakukan live Instagram sambil memamerkan bahwa
dia sedang dalam penerbangan sebuah jet pribadi.
Randian berada di ruang kerja, asyik menguping pembicaraan tiga orang di
dalam conference room. Sejauh ini,
Randian punya potongan-potongan petunjuk yang mungkin bisa dia susun satu
waktu.
Di dalam conference room, tiga
orang masih meributkan ancaman terorisme dalam dua kubu berbeda.
“Enggak akan pernah!” tegas Pamungkas. “Kita enggak bisa mendeklarasikan
emergency ke otoritas bandara Pudong,
karena itu biayanya besar. Dan lagi, ingat soal nama buruk safety pesawat ini yang akan diumumkan oleh media.”
“Bukannya justru akan heroik, ya kalau kita bisa mendaratkan pesawat
dengan aman padahal ada bom di pesawat?” sergah Mike, masih berusaha mengubah
pendirian Pamungkas.
“Nama buruknya datang dari fakta bahwa bom itu bisa masuk! Bukan soal
kita bisa selamat dari bomnya. Mikirnya ke situ, dong! Pikirin image perusahaan! Perusahaan ini tuh
yang ngasih kamu gaji. Ngasih kamu duit. Kalau safety macam gini aja kebobolan, enggak ada yang mau terbang ama
kita lagi. NGERTI?! Nama buruk kita ada dari masuknya bom di pesawat! Itu
GAGALNYA!”
Mike sudah mendengus dan siap mencabik-cabik Pamungkas menjadi
potongan-potongan kecil. Namun dia masih menahan dirinya. Sampai kapan pun,
orientasi Mike adalah menyelamatkan semua orang di dalam pesawat, tak peduli
pesawatnya hancur.
“Tapi kita, kan belum dapat keterangan dari pembajaknya. Apakah kalau
permintaan dipenuhi, bomnya akan dimatikan?” ujar Andre melemparkan fakta baru.
“Pesannya bilang, selamanya terbang, atau turuti kemauan. Apa garansinya
setelah kemauan dituruti, lalu bom dimatikan?”
“Kita bahkan belum ngecek bomnya ada atau enggak,” ujar Mike, kesal.
Flop!
Tiba-tiba, di seluruh kabin, masker oksigen jatuh dari langit-langit. Di
ruang meeting kecil, ruang kerja, conference room, common room, dan semua
orang di luar kokpit, termasuk kamar tidur, menjatuhkan masker oksigen berwarna
kuning dengan kantung plastik menempel di depannya.
“Cabin lost!” seru
Mike tiba-tiba. Semua orang di dalam conference
room mengambil masker oksigen terdekat, lalu memasangkannya ke wajah sesuai
prosedur.
Randian di ruang kerja melakukan hal yang sama. Pun tiga orang yang
sedang berada di common room. Mereka
agak panik ketika puluhan masker oksigen tiba-tiba berjatuhan dan menggantung
dari langit-langit.
Selama beberapa detik mereka mengambil napas melalui oksigen yang
mengalir.
Kemudian, Mike mengamati suatu hal yang aneh.
Mike menatap ke luar jendela. Altitude
(ketinggian) pesawat masih sama selama beberapa detik. Dia menghitung sampai
lima belas detik, pesawat tetap dalam ketinggian yang sama.
Masker oksigen akan keluar otomatis ketika tekanan udara di kabin
menurun. Mengingat semakin tinggi terbangnya sebuah pesawat berefek pada
semakin sedikit oksigen tersedia, peraturan penerbangan menetapkan 8.000 kaki
sebagai batas di mana oksigen akan tersedia dengan bebas. Meski pesawat sedang
terbang pada ketinggian 40.000 kaki seperti The
Flying Paradise saat ini, udara di dalam kabin ditekan agar seperti udara
di ketinggian 8.000 kaki.
Namun, jika tekanan itu berkurang dan malah merepresentasikan tekanan
udara di atas 14.000 kaki, maka masker oksigen akan keluar.
Ketika hal itu terjadi, pilot akan menurunkan ketinggian dari 40.000
kaki hingga benar-benar ke 8.000 kaki, karena pada ketinggian tersebut oksigen
kembali tersedia. Masker oksigen yang muncul dari langit-langit akan menyuplai
oksigen selama 15 menit saja. Dan itu sudah sangat cukup bagi pilot untuk
menurunkan pesawat hingga ke ketinggian 8.000 kaki.
Ketika Mike menyadari The Flying
Paradise masih berada pada ketinggian yang sama, ada yang tidak beres
dengan hal ini. Mike pun melepaskan maskernya seraya bergegas ke kokpit dan
meminta akses masuk. Cukup lama akses itu tidak diberikan, sampai akhirnya
pintu pun terbuka. Pamungkas membuntuti di belakangnya, ingin tahu apa yang
terjadi. Dia berdiri di pintu masuk kokpit, membiarkan pintu tetap terbuka.
Di dalam kokpit, Maulana masih duduk di atas jumpseat-nya.
Jumpseat adalah kursi
tambahan yang hanya digunakan oleh petugas/orang berwenang, yang bukan
penumpang. Bisa jadi kru kabin, petugas maskapai, petugas kenegaraan, siswa
didik, atau orang khusus lainnya. Jumpseat
tersedia di dalam kokpit, maupun di luar kokpit. Yang tersedia di luar kokpit
akan digunakan oleh kru kabin selama lepas landas dan mendarat.
Di dalam kokpit Boeing 777, ada dua jumpseat
yang berendengan. Satu berada di tengah, di belakang panel yang memisahkan dua
pilot. Satu jumpseat terletak di
sebelahnya, tepat di belakang kursi kopilot.
Maulana duduk dengan aman di jumpseat
tengah. Tampak kaget ketika Mike menghambur masuk dengan panik.
“Apa yang terjadi?!” tanya Mike panik. Dia membungkuk dan mencoba
meneliti layar yang ada di dasbor.
“Apa?” balas Laurence, tampak kebingungan.
“Mengapa semua masker oksigen turun?! Berapa cabin altitude-nya?!” seru Mike meminta kejelasan. Mike menekan
sesuatu agar layar di bagian tengah (di antara lima layar persegi yang
menampilkan informasi penerbangan) masuk ke informasi tekanan udara.
CABIN ALT 8000
Artinya, tekanan udara di kabin merepresentasikan 8.000 kaki. Itu
artinya, tidak ada penurunan tekanan kabin. Yang berarti, masker oksigen
seharusnya tidak muncul dari atas.
“Cabin altitude aman,” gumam
Mike.
“Lalu kenapa bisa turun?!” sahut Pamungkas geram.
“What happened?” tanya
Laurence, sambil ikut menatap layar.
Mike mengambil jeda sejenak untuk menghela napas lega. Dia berdiri,
berkacak pinggang, dan mulai menyusun kata-katanya. Sudah sejak awal Mike ingin
menanyakan ini kepada Laurence. “Laurence,
please be honest with me.”
“What do you mean?”
“Did you drop the oxygen mask
deliberately?” tanya Mike, bertanya apakah Laurence sengaja
menurunkan semua masker oksigen. Karena, tanpa perlu mencapai cabin altitude di atas 14.000 kaki,
pilot tetap bisa menurunkan masker oksigen dengan sengaja. Ada satu tombol
kecil di panel bagian atas untuk melakukannya.
“What the fuck are you talking
about?” balas Laurence sengit, tampak sangat defensif.
Mike menarik napas panjang dan menjelaskan. “Semua masker oksigen di
kabin muncul keluar. Saya kira karena loss
cabin pressure, tapi ternyata kita baik-baik saja.”
“Loss cabin pressure?!” jerit
Maulana panik. Dia meraba-raba ke sebuah kompartemen kecil di pinggir jumpseat satunya lagi untuk mencari
masker oksigen khusus kokpit.
“Enggak usah, kayaknya enggak ada,” ujar Pamungkas, menenangkan Maulana
dengan memegang bahunya.
“Data di sistem sih mengatakan enggak ada loss cabin pressure. Kecuali datanya rusak,” ujar Mike.
Mike dan Laurence kini menatap ke panel atas, ke tombol switch masker oksigen penumpang. Tombol
itu sudah terlepas. Yang berarti dibuka oleh seseorang secara sengaja, agar
seluruh masker oksigen keluar.
“Did you do this?” tanya
Mike kepada Laurence.
“No!” sergah Laurence
dengan yakin. “Untuk apakah aku melakukan itu?!”
Mike menoleh ke arah Maulana. “Kamu narik pengaman itu sampai lepas?”
Maulana tentu saja menggeleng. “Saya mana paham yang begituan. Saya dari
tadi duduk di sini ngelihatin pemandangan.”
“Enggak mungkin dia,” bela Pamungkas. “Maulana enggak punya pelatihan
untuk hal-hal seperti itu. Hanya kalian pilotlah yang tahu. Dan teknisi.”
“Apa kamu ngelihat Laurence menarik lepas switch yang itu?” lanjut Mike kepada Maulana.
Maulana mencoba mengingat-ingat. Lama-lama, dia mengangkat bahu. “Sedari
tadi, saya lihat FO memencet banyak tombol. Saya beneran enggak merhatiin,
karena saya pikir ya memang harusnya begitu. Saya cuma ngelihatin keluar aja. Kalau
pesawatnya terbang dengan aman, saya ya enggak curiga, lah.”
Mike kembali memandang Laurence. “Laurence,
one last time, did you do that?”
“NO!” sergah Laurence,
benar-benar tersinggung. Laurence menatap satu per satu orang yang kini ada di
kokpit. Mike, Pamungkas, dan Maulana. Napasnya memburu karena tidak terima
dituduh seperti itu. Rasanya seperti dituduh mencuri permen dalam sebuah pesta
ulang tahun, padahal dia enggak melakukannya. “Aku bahkan sedang … aku bersedang
….” Laurence tak sanggup meneruskannya.
“Sedang apa?”
Laurence berdecak sambil kemudian menutup wajah dan mengusapnya. “Baiklah.
Aku sedang melamunkan, oke? Pikiran aku sedang ke mana-mana, tetapi aku tidak dengan
sengaja membukakan switch masker
oksigen agar supaya masker turun. I was
fucking daydreaming!”
“Tapi kamu bilang, meski kamu melamun, kamu bisa memencet tombol apa
pun, klik-klik-klik, you said that
before,” ungkap Mike.
Laurence membuka mulutnya. Dia ingin menyanggah, tetapi Laurence sadar
dia memang mengatakan itu sebelum melakukan taxi
hari ini.
Mike menarik napas panjang sambil menyimpulkan. “I think you are the hijacker,” tuduhnya.
Maulana sampai membelalak terkejut mendengar tuduhan Mike. Pamungkas
menoleh sambil mengerutkan alisnya. Laurence mendongak, menatap mata Mike
dengan tajam dan tersinggung atas tuduhan itu. Kedua bola mata Laurence
agak-agak berair.
“What … the … fuck … do … you … mean
…, Dude?”
“Kamu bekerja sama dengan pembajak yang ada di luar,” simpul Mike. “Kamu
orang pertama yang mencetak pesan ancaman itu. Siapa tahu mungkin kamu yang membuatnya
dan mencetaknya sendiri. In fact,
saya sih yakin kamu yang meletakkan bom di landing
gear.”
“Bom?!” jerit Maulana terkejut sambil menutup mulutnya yang terbuka.
Matanya memelotot. “Kita ada bom?” Sedari tadi, Maulana tidak pernah dilibatkan
dalam diskusi penting ini. Mike khawatir kehadiran bom akan mengubah mood Maulana, yang ujung-ujungnya
dicurigai oleh penumpang.
“Kamu jangan panik,” ujar Pamungkas lembut. Memijat bahu Maulana
pelan-pelan.
Mike tidak tertarik menjelaskan kepada Maulana. Dia melanjutkan, “Ketika
saya turun untuk visual check, kamu
sudah ada di sana sendirian. Dan pasti wheel
well itu sudah terbuka sedari tadi. Jangan-jangan kamu menanam bom saat
saya, Andre, dan Mora tidak ada di sana. That’s
why you’re being so quiet!”
“The fuck?!” umpat
Laurence terus-menerus. Tangan Laurence bergetar. Pertahanannya hampir jebol,
tetapi Laurence mencoba menguasai dirinya. Di tengah suara bising kokpit, Mike
dapat mendengar detak jantung Laurence yang berdegup kencang.
“This is hard, My Friend,” ujar
Mike, nada suaranya bergetar. “Tapi sejak masalah ini muncul, maaf, saya kepikiran
terus bahwa kamulah yang menanam bom itu di landing
gear. Kamulah yang saya temukan berada di bawah pesawat sebelum saya
menyusul visual check. Ketika saya
sadar kamu juga yang mencetak pesan itu secara langsung, saya semakin curiga.
Kejadian masker oksigen ini, dikaitkan dengan kamu yang tiba-tiba mengecek
masker oksigenmu sendiri pas taxi
tadi … menjelaskan semuanya.”
Bukan hanya Laurence yang ingin menangis di ruangan itu. Mike pun tak
menyangka akan mengatakan hal itu kepada sahabatnya sendiri. Selama beberapa
jam ini dia menahan diri untuk tidak menuduh Laurence, karena baginya tak
mungkin copilot yang manis itu
merencanakan pembajakan.
Apa motif Laurence melakukan itu? Tidak mungkin ada, kan? Namun mengapa
semua petunjuk mengarah kepadanya?
Jika memang ada pembajak yang menyusup ke dalam penerbangan, pasti
Laurence.
“Borgol itu …,” gumam Pamungkas tiba-tiba. “Apa maksudnya itu … untuk
memborgol orang yang kita curigai?”
Mike bahkan teringat sesuatu. “Kamu juga mengatakan soal memborgol
orang, Laurence.”
Laurence berdecak. Dia tak percaya setiap kata-kata yang diucapkannya
berbalik ke arahnya.
Pamungkas membuka safety deposit
box yang ada di dalam kokpit. Dia meletakkan pistol dan borgol ke dalamnya
tadi, tetapi menguncinya dengan password
sendiri agar kedua pilot tidak menggunakannya. Dengan berat hati, Pamungkas
mengeluarkan borgol dan mengedikkan kepala ke arah Laurence.
“Dengan berat hati saya harus setuju kata-kata Mike,” ujarnya. “Kalau
memang benar Mike nemuin kamu di bawah roda sebelum berangkat, berarti memang
kamu yang menanam bomnya.”
Laurence ingin sekali membantah. Namun yang dia lakukan malah menangis.
Bahunya berguncang, tangannya gemetar. Gestur itu tidak membuat Pamungkas
maupun Mike iba. Yang ada, Pamungkas melepaskan sabuk pengaman Laurence dan
membawanya keluar dari kokpit.
Laurence dibawa ke ruang meeting
kecil tempat mayat Mora dibaringkan di salah satu sofa.
Di sofa seberangnya, Laurence duduk dengan satu tangan terborgol ke kaki
meja.
Laurence resmi menjadi tersangka utama pembajak yang menyusup ke dalam
penerbangan.
* * *
Jordan merasa ada yang tak beres. Ketika masker oksigen itu muncul, dia
sudah berpikiran yang bukan-bukan. Final
Destination, Flightplan, Snakes on Plane, Panic in the Skies, dan
serentetan film tentang kecelakaan pesawat yang pernah Jordan tonton. Karena
dia orang awam, begitu masker oksigen turun, sudah pasti pesawat akan
kecelakaan.
Jordan menarik masker ke depan mulutnya dan mencoba bernapas. Namun
oksigen tak keluar. Jordan mulai panik. Kristian akhirnya menghampiri dan
menarik selang oksigen Jordan sekali agar udara mengalir. Jordan mulai merasa
tenang.
Di seberang ruangan, Harry berteriak-teriak, “AAAAAARGH!” Dia mengambil
satu masker, tetapi tak menemukan udara. “AAAAAARGH!” Dia mencari masker lain.
Sekitar lima masker Harry raup dan coba satu per satu, tetapi tak ada udara
yang mengalir. Wajah Harry memerah karena panik. Kristian dengan baik hati
membantu Harry menarik selangnya ke bawah sekali hingga udara mengalir.
Ketika Jordan masih berusaha menenangkan diri, dia melihat kapten
pesawat dan Pamungkas berlari keluar conference
room. Keduanya memencet sesuatu di monitor dekat kokpit, kemudian kokpit
pun terbuka. Jaraknya cukup jauh dari common
room ke kokpit, tetapi masih kelihatan. Dari kursinya, Jordan melihat
Pamungkas berdiri di tengah-tengah pintu.
Ada sebuah diskusi alot yang terjadi di sana. Jordan tak dapat
mendengarnya dengan jelas. Namun diskusi itu tidak terdengar menyenangkan.
Seolah-olah, ada kepanikan yang sama terjadi di dalam kokpit. Apakah pesawat akan jatuh? batin Jordan
panik. Apakah pesawat dibajak? Apa ada
bom di dalam pesawat? Apa pesawat membawa ular? Apa Jordan harus mendaratkan
pesawat sendirian—karena semua mati—sambil berbicara dengan menara seperti yang
dilakukan seorang anak kecil di film Air Marshal?
Apa pun itu, sukses membuat Jordan gelisah.
Jordan tak menyukai ketika Harry mencari perhatian Kristian dengan
bersikap ketakutan. Ini, kan hanya masker oksigen saja. Seharusnya Harry cukup
dewasa dengan tahu cara penggunaan masker oksigen. (Entah mengapa Jordan yakin
rasa panik Harry itu dibuat-buat.) Namun, rasa cemburu itu kalah oleh rasa
penasaran Jordan. Dibandingkan memisahkan keduanya dari berinteraksi, Jordan
malah melepaskan maskernya dan berlari menyusuri koridor menuju kokpit untuk
meminta kejelasan.
(Pada akhirnya, Jordan sudah lelah “berdiskusi” dengan Kristian terkait
kebersamaan kekasihnya itu bersama Harry di master
bedroom. Urusan penerbangan ini jauh lebih penting.)
Ketika Jordan tiba di lobi depan, seorang cowok bertubuh tinggi, bule,
tampan seperti model Italia, mengenakan seragam pilot, sedang berjalan di depan
Pamungkas. Sang manager membuntuti di belakangnya, memegang tangan pilot itu di
belakang punggung. Pilot tampan itu sedang menangis.
Ada apa ini?
Pamungkas tampak tak nyaman karena Jordan memergokinya sedang menggeret
sang pilot.
“Ada masalah apa ini?!” tuntut Jordan.
“Enggak ada masalah apa-apa, Mas,” jawab Pamungkas, mencoba tersenyum
lebar. Sambil menjawab, Pamungkas mendorong pilot itu ke depan ruang meeting kecil. “Silakan kembali ke common room, enggak perlu khawatir soal
masker oksigen. Ada kesalahan teknis yang enggak berbahaya sama sekali.”
Jordan ingin sekali bertanya mengapa pilot itu menangis. Namun Pamungkas
keburu mengedikkan kepala ke arah Maulana yang ada di depan pintu kokpit, yang
tampaknya paham harus melakukan apa.
Maulana menghampiri Jordan dengan senyum lebar. Namun meski senyumnya
lebar, ada getir ketakutan tercipta dalam pandangan mata Maulana. Dan Jordan
bisa melihatnya. “Mari Bapak, saya antar kembali ke—”
“Kenapa pilotnya nangis?” desak Jordan ketika Pamungkas dan pilot itu
masuk ke ruang meeting kecil, lalu
menutup pintu.
“Pilotnya ….” Maulana memberi jeda sejenak untuk mencari jawaban.
“Pilotnya baru tahu Mora meninggal. Jadi dia terguncang. Mora teman baiknya.”
Masa, sih? batin
Jordan tak percaya. Mengapa pilot itu
baru tahu? Kejadiannya, kan sudah berjam-jam yang lalu.
Namun Jordan tak bisa melakukan apa-apa. Dia hanya bisa berjalan
ditemani Maulana kembali ke kursinya, kembali ke hadapan Harry yang masih saja
bernapas ke dalam masker oksigen sambil menggembung-gembungkan pipinya.
“Gimana kalau gue mati?! Gimana kalau gue mati?!” ulang Harry
terus-menerus.
Setelah memastikan Jordan duduk dan mengenakan sabuk pengaman, Maulana
dengan profesional menghampiri Harry. Dia menjelaskan bahwa pesawat dalam
kondisi baik-baik saja, tidak ada keadaan darurat yang terjadi. Akhirnya,
Kristian bisa kembali ke kursinya meskipun Jordan malas meladeni Kristian.
Harry pun bisa duduk tenang. (Dia tetap bernapas di masker oksigen, untuk jaga-jaga, katanya.)
Tak lama dari situ, Jordan melihat Randian muncul dari lobi depan. Entah
dari mana. Cowok itu berpapasan dengan Maulana di depan galley, kemudian duduk di samping Jordan. Setelah memastikan
Maulana kembali ke kokpit untuk menemani pilot yang mengemudikan pesawat,
Randian berbisik, “Let’s talk in
private.”
Jordan tidak mau bicara di ruang tertutup. Sebenarnya dia tak mau meninggalkan
Kristian berdua dengan Harry. Namun rasa penasaran soal apa yang terjadi dalam
penerbangan ini menggerogoti jiwanya.
“Soal apa?” balas Jordan.
“About what happens currently.”
Jordan melirik dan melihat Kristian dengan gusar membuka Instagram.
Harry masih juga mencoba masker yang menggantung satu per satu. Karena yakin
keduanya tak akan menyadari kepergian Jordan, penulis itu pun mengedikkan
kepala ke arah kabin penumpang di belakang.
Jordan dan Randian bergegas ke sana, duduk bersebelahan.
“Saya tadi ke ruang kerja, yang ada di sebelah ruang meeting kecil,” mulainya. “Di dalam
ruangan itu ada connecting door ke conference room.”
“Lalu?”
“Lalu saya menguping apa yang Pamungkas, pilot, dan teknisi itu
bicarakan di dalamnya. Saya enggak bisa dengar jelas, sih. Tapi saya bisa
menangkap beberapa pesan penting.”
“Misalnya?”
“Misalnya … pesawat ini mungkin dipasangi bom.”
Jordan menelan ludah mendengar informasi itu. Semua khayalannya akan
pembajakan pesawat bisa jadi terjadi. Namun dia ingin mendengar informasi itu
lebih detail. “Maksudnya gimana?”
Randian malah mengangkat bahu. “Saya juga belum yakin maksudnya gimana,
karena suara mereka enggak kedengaran sempurna. Tapi saya mendengar dengan
jelas soal bom tersebut.”
Dengan kilat, Jordan pun menukar informasi tentang pilot menangis yang
sekarang berada di ruang meeting
kecil. Mereka berdua sepakat ada yang disembunyikan kru terbang dari penumpang.
Sesuatu yang enggak beres, yang mengancam hidup mereka semua.
“Oke, anggap aja memang ada bom di dalam pesawat ini,” ujar Jordan,
setelah keduanya berdiskusi panjang. “Untuk apa? Mengapa penerbangan ini?
Mengapa bukan penerbangan dengan 300 orang di dalamnya, atau presiden sebuah
negara menjadi penumpangnya? Mengapa?”
“Saya enggak tahu setinggi apa nilai penerbangan di mata
pembajaknya—anggap memang ada pembajakan di sini.” Randian lalu menghela
napasnya. “Tapi karena saya sudah bekerja beberapa kali bersama Yavadvipa Jet,”
Randian memberikan senyum sebelah sebelum melanjutkan, “saya enggak akan heran
kalau banyak orang ingin menjatuhkan maskapai ini. They’ve done too many wrong things to be what they’ve became now.
Malah, saya pribadi, kalau saya sanggup melakukan pembajakan, saya mau kok
melakukannya asal perusahaan ini hancur. Sebesar itulah orang-orang membenci
maskapai ini.”
To be continued ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar