011 The Service
Harry benar-benar panik. Itu adalah mimpi buruk yang menjadi nyata.
Masker oksigen meluncur turun, seperti dalam film-film. Biasanya tinggal 20
menit lagi sebelum pesawatnya jatuh menghantam gunung.
Inilah mengapa Harry benci terbang.
Yang bisa Harry lakukan hanyalah menghirup oksigen dari banyak
masker—enggak peduli apakah itu ngefek atau enggak. Apalagi dengan adanya
kematian teknisi itu, bisa jadi memang udara di dalam kabin dipenuhi sianida.
Seperti kopinya Mirna.
Butuh sekitar dua puluh menit bagi Harry untuk akhirnya tenang kembali.
Di dalam common room hanya ada
Kristian sekarang. Jordan dan Randian menghilang entah ke mana, dan Harry
enggak peduli. Dia beruntung karena Kristian malah ada di sampingnya mengusap-usap
punggung Harry menenangkannya.
Namun karena napas Harry tak kunjung normal, Kristian memanggil Maulana,
yang akhirnya memanggil Pamungkas agar datang. Gadun berzodiak Gemini itu
muncul dengan wajah cemas.
“Kamu baik-baik aja?” tanya Pamungkas.
“Pesawatnya mau jatuh, ya?!” jerit Harry ketakutan.
“Enggak, pesawat enggak jatuh. Tadi kesalahan teknis aja.”
“Kesalahan teknis terus jatuh, ya?!”
Pamungkas menarik napas panjang, mencoba sabar. “Mau pergi ke belakang?
Coba tiduran di kasur, siapa tahu baikan.”
“Supaya pas pesawat jatuh, posisi gue tiduran, ya?!”
Pamungkas menepuk jidatnya. Maulana menyentuh bahu manager marketing itu dan berbisik sesuatu.
Harry dapat mendengarnya meski pelan. “Saya
ada obat penenang.” Pamungkas mengangguk.
“Yuk! Kita ke kamar aja. Di kamar belakang, pesawatnya enggak akan
jatuh.”
Harry mengerutkan alis, heran dengan pernyataan itu. Namun dia penasaran
juga. “Enggak akan?”
“Di sana enggak. Jadi, kita ke sana aja, ya. Ayo!”
Mau tak mau, Harry pun menurut. Mungkin karena hatinya sedang tak
tenang, bagi Harry ide itu terdengar lebih masuk akal. Harry berdiri dan
membuntuti daddy-nya ke master bedroom. Setelah Pamungkas
mengunci pintu, Harry duduk di atas tempat tidur. Tangannya dikepal-kepalkan
sisa rasa takut tadi. Di dalam master
bedroom ada sekitar delapan masker oksigen yang menggantung dari
langit-langit. Dua di atas tempat tidur, dua di masing-masing sofa. Dua di
tengah ruangan.
“Pesawat baik-baik aja, Baby,” ujar Pamungkas lembut sambil menghampiri
kesayangannya itu dan merangkulnya. Pamungkas bahkan mengecup kening Harry
penuh kasih. Tangannya memijat-mijat bahu Harry. “Tadi pilotnya salah pencet aja.
Maaf, ya. Cup, cup, cup, Harry yang
ganteng jangan nangis lagi.”
Harry enggak menangis, sih. Dan Harry pun ingin protes soal itu. Namun
baginya itu enggak penting. “Gue pengin peluk Daddy.”
“Ya, ya, ya. Kita pelukan. Di atas kasur aja, ya.”
“Tapi bugil,” lanjut Harry.
“Apa?” Pamungkas mengerutkan alisnya. “Kok, bugil? Pake baju aja, ya?”
“Jadi Daddy enggak mau lagi bugil-bugilan sama gue?” Harry melipat
tangan di depan dada.
“Ya mau, dong Baby. Tapi, kan ….”
“Daripada obat penenang, gue sih mendingan bugil bareng Daddy. Bugil
bareng, bobo bareng, terus gue mainin nenennya Daddy.”
Harry tahu Pamungkas juga ingin melakukan itu. Pamungkas senang sekali
kalau sudah kelonan sambil bugil. Entah urusan apa yang membuat Pamungkas
mempertimbangkannya lebih lama—biasanya sih langsung bugil duluan. Namun
akhirnya, Pamungkas mengangguk juga.
“Ya udah, tapi seudah itu Baby bobok di sini aja, ya? Sebab Daddy banyak
kerjaan.”
Harry mengangguk.
Harry langsung meloloskan kausnya melewati kepala. Pamungkas melepas
kancing kemejanya satu per satu. Dalam sedetik Harry melorotkan celana ke atas
lantai, bersamaan dengan Pamungkas melepas ikat pinggangnya. Harry bugil
duluan. Kemaluannya yang layu tetap panjang dan menggantung seperti sosis gemuk
nan lembut. Ketika Harry berjalan mengitari tempat tidur, penisnya itu berayun
kanan-kiri menampar kedua pahanya.
Pamungkas tak punya kemaluan besar seperti Harry. Mungkin hanya
seperempatnya dibandingkan penis Harry. Namun tubuh berotot Pamungkas menggoda.
Tak peduli umurnya sudah 39 tahun, semua gay
akan tetap ereksi melihat Pamungkas melepas kemejanya. Dadanya besar, perutnya
kotak-kotak, bisep-trisepnya keras, otot pahanya seperti baja. Dan apa yang
membuatnya sangat menarik meski ukuran kemaluannya biasa-biasa saja?
Puting susu Pamungkas besar. Secara harfiah. Mungkin lima kali ukuran
puting susu Harry. Bagian inilah yang Harry sukai dari Pamungkas. Hal favorit
Harry setiap bersama sang daddy
adalah: nenen.
“Whoooaaa …!” seru
Harry takjub melihat tubuh Pamungkas yang telanjang. Dia melupakan dengan mudah
rasa paniknya semenit lalu. Meski sudah jutaan kali melihat Pamungkas
telanjang, Harry tetap terpukau melihat pemandangan itu.
Pamungkas memanjat ke atas tempat tidur sambil geleng-geleng kepala.
“Kamu ini, ya. Macam-macam aja.” Kemaluan Pamungkas yang kecil mulai bangkit.
Kemaluan itu melengkung seperempat lingkaran, dari pangkalnya, mengarah ke
wajah Pamungkas. Karena seorang muslim, penis Pamungkas disunat. Bahkan,
sunatnya ketat. Bekas-bekas luka yang menggelap tampak menghiasi satu bagian di
tengah-tengah penis.
Pamungkas menjatuhkan diri di samping Harry, menyandarkan punggungnya di
kepala tempat tidur. Harry bergelung ke tubuh Pamungkas, melingkarkan kakinya
yang jenjang ke kaki Pamungkas. Setelah menggesek-gesek hidung ke ketiak
Pamungkas (hingga daddy-nya itu minta
ampun karena geli), Harry pun mulai mencengap puting susu Pamungkas ke dalam
mulutnya. Di dalam mulut, puting itu dimainkan dengan lidah, digigit, dan
diisap-isap.
Bagi Harry, rasanya seperti mengisap jempol. Karena ukurannya besar,
sensasinya juga mendebarkan. Dada itu keras-keras-empuk. Ketika Harry
merebahkan kepala di tengah-tengahnya sambil lidahnya menjulur keluar memainkan
puting Pamungkas, Harry merasa seperti tidur di antara padang rumput yang
indah. Pamungkas meletakkan tangannya di belakang kepala, sehingga ketiaknya
terekspos dekat ke hidung Harry. Dari situ Harry dapat mencium aroma om-om
metroseksual maskulin seperti campuran aftershave,
minyak rambut, dan aroma kayu.
“Makasih, Daddy,” gumam Harry sejenak di tengah kuluman putingnya,
kemudian mengulum lagi.
“Pokoknya kamu tenang aja Baby, ya. Enggak ada apa-apa, kok,” balas
Pamungkas. Satu lengannya yang besar memeluk tubuh Harry, tangannya mengusap-usap
lengan supermodel tampan itu.
Sambil mengulum puting, Harry juga memainkan kemaluan Pamungkas. Penis
itu dikocok, dicubit-cubit, diremas-remas, digenggam dengan kuat seperti mau
dipecahkan, lalu dikocok lagi. Karena rasanya enak, Pamungkas pun memperingati
sang sugar baby, “Jangan dikocok,
dong. Daddy mulai keenakan, nih.”
“Lah, kan emang biar enak.”
“Tapi kan Daddy lagi sibuk, Baby. Daddy banyak kerjaan.”
“Kerja mulu!” Harry menggigit puting Pamungkas dengan keras, membuat daddy-nya mengaduh kesakitan.
“Aaawww! Jangan digigit. Sakit.”
Harry mengulum lagi dengan lembut puting yang tadi digigitnya, memainkan
dengan lidah dan menenangkan rasa sakit itu. “Ya asal Daddy jangan sibuk mulu.
Masa ferry flight gini aja masih
sibuk, sih? Daddy kan udah beres interview-nya.
Gue juga udah beres foto-fotonya. Kita di sini aja, lah sampe Shanghai.”
“Yaaa … enggak bisa, lah Baby. Daddy harus ngurusin sesuatu. Ngurusin
kerjaan. Penting.”
“Gigit lagi, nih!” Harry sudah membuka mulutnya siap menerkam puting
Pamungkas.
Namun Pamungkas dengan sigap memohon ampun. “Jangan, jangan, jangan!
Ampun!” Pamungkas menutup putingnya dengan tangan yang bebas, tetapi Harry
memaksa tangan itu lepas.
“Awas! Nenen gue ini!” Ketika puting itu terpapar lagi, Harry
mencaploknya lagi, tetapi memainkannya dengan lidah saja.
Pamungkas mendesah lega, kembali melipat tangannya di belakang kepala,
kembali menguarkan aroma khas om-om itu di ruangan. “Lagian kamu manja banget
sih tiba-tiba. Kenapa, Baby?”
“Gue takut, lah Daddy,” jawab Harry, melepaskan sebentar kuluman puting
itu. “Masa ada yang meninggal. Itu kenapa, sih? Emang ada sianida, ya?
Arsiteknya bilang ada sianida di udara.”
“Mana ada. Jangan ngaco, ah.” Pamungkas mencubit lengan Harry. “Kalau
ada sianida di udara, semua orang udah mati. Lagian si Randian itu orangnya
enggak becus, kok!”
“Terus masker oksigennya?”
“Itu beneran salah teknis. Kita enggak ada penurunan tekanan kabin.”
Pamungkas menghela napas. “Udah dong mainin titit Daddy-nya. Daddy bentar lagi
muncrat nih kalau digituin terus.”
“Biarin!” Harry mengenyot kembali puting daddy-nya.
Pamungkas hanya bisa pasrah menerima perlakuan berondongnya yang
menggemaskan ini. Pada dasarnya Pamungkas memang suka diperhatikan dengan
manja. Meski dia mati-matian menahan diri agar enggak keenakan, tapi kalau
dihentikan pun Pamungkas enggak mau.
“Bobok, ya?” tanya Pamungkas, menepuk-nepuk Harry.
“Enggak,” tegas Harry.
“Daddy harus ngurusin sesuatu.”
“Enggak boleh, Daddy harus di sini terus!”
Pamungkas tak bisa melawan. Kalau sudah unyu seperti itu, dia jadi pengin menghabiskan sisa penerbangan bersama
Harry. Namun kalau dia terus-menerus berada di sini, bisa-bisa Mike menerobos
satu tempat yang sejauh ini Pamungkas jaga untuk tak dimasuki. Pamungkas
kembali gelisah.
“Daddy beneran harus balik ke kokpit. Atau bisa bahaya,” ujar Pamungkas
kemudian.
Harry melepaskan kenyotannya. Dia mendongak menatap Pamungkas dengan
wajah ngeri. “Bahaya? Berarti pesawat ini bakal jatuh?”
“Bukan Baby, bukan. Tapi bisa jatuh kalau Baby-nya manja-manjaan terus
enggak bolehin Daddy kerja sebentar.”
“Emang Daddy mau kerja ke mana? Mau ke kokpit buat nyetir pesawat?”
Pamungkas terkekeh. “Enggak, lah. Daddy mana bisa nyetir pesawat.”
Pamungkas memberi jeda sejenak untuk menimang-nimang. Kemudian memutuskan untuk
memberi tahu berondongnya. Toh, apa sih yang bakal dibocorkan oleh Harry? Brand ambassador yang jadi model di
video safety demo ini saja enggak
tahu cara mengalirkan udara melalui masker oksigen. “Daddy harus jaga
orang-orang dari ngecek kargo.”
Harry mengerutkan alisnya. “Kenapa kargonya? Kita ada kargo?”
Pamungkas mengangguk. “Biasa, lah. Titipan barang-barang mewah.”
Harry makin bingung. “Kayak kasus Garuda kemarin?”
Pamungkas mengangguk lagi. “Ada beberapa kendaraan sama barang antik
yang kita angkut di bawah. Udah Daddy masukin nyicil dari kemarin-kemarin. Nah,
si Andre itu ngotot pengin ngecek maintenance
ke bawah, coba. Kan, bahaya.”
“Ya suap aja si Andrenya biar tetep di atas. Bisa, kan?”
“Ya bisa, sih ….” Pamungkas tampak berpikir lagi, lalu memutuskan untuk
enggak merespons apa-apa.
“Kenapa setelah kejadian Garuda, Daddy masih nyelundupin barang mewah kayak
mereka?”
“Karena perusahaan kita belum publik, Baby. Yavadvipa enggak nawarin
saham ke umum kayak Garuda. Yang berarti auditnya masih bisa internal. Yang
berarti hal-hal ilegal kayak begini masih aman dilakukan. Kalau oknum Garuda
itu mah emang salah dari awal. Udah mah publik, BUMN pula. Ya iyalah
auditnya ketat. Kita udah suap mahal oknum cukai di Halim. Tapi tetep aja ini
rahasia.”
“Emang siapa yang nitip?”
“Biasa, lah. Masih orang-orang kaya yang sama. Imbalan dari mereka
besar, jadi Daddy selundupin aja. Daddy ngikutin saran Baby soal siapa aja yang
ikut ferry flight ini.”
“Saran gue?” Kepala Harry sampai mundur ke belakang karena enggak paham.
Pamungkas mengangguk. “Dulu, waktu kita ena-ena di Dharmawangsa, ingat enggak? Waktu Daddy bingung gimana
caranya ngejaga teknisi supaya enggak turun ke kargo pas penerbangan, terus
Baby bilang bikin sibuk aja di atas. Makanya Daddy ngundang penulis ke sini
gara-gara itu. Kalau ada kegiatan sama penulis, fokus semua orang akan sibuk di
interview.”
“Ooohhh ….” Harry baru teringat kata-katanya yang itu. Dia kembali
mengisap puting daddy-nya sambil
menarik-narik jembut Pamungkas. Seringnya, Harry melupakan apa yang sudah dia
katakan. Dia enggak ingat lagi apa saja yang sudah dikatakan kepada daddy-nya.
Bagi Pamungkas, meski tampak bego, Harry sering memberinya inspirasi.
Kalau dirinya sedang bingung akan sesuatu, Harry cukup sering nyeletuk sesuatu
yang kalau dipikir-pikir idenya bagus juga. Mengundang seorang penulis untuk
meliput perjalanan ini pun ide dari Harry. Karena semua orang akan sibuk dengan
liputan tersebut, melupakan sesuatu yang tersembunyi di bawah kabin penumpang.
“Ya udah bikin orang-orang sibuk di atas aja lah, Daddy. Bikin pesta,
kek. Bikin game, kek,” celetuk Harry
kemudian.
Pamungkas hanya tersenyum mendengar ide itu. “Jadi, kapan Baby boboknya?”
Harry menghela napas. “Gue pengin minum susu.”
Minum susu adalah istilah mereka berdua untuk menelan sperma. Kalau
harus quickie, biasanya Pamungkas
atau Harry menyebut kode, “Minum susu,” yang artinya seks singkat yang berakhir
pada menelan sperma satu sama lain.
“Lima menit tapi, ya?”
“Tapi gue pengin pukul pantat Daddy.”
“Iya. Tapi lima menit, ya? Daddy beneran harus ke kokpit lagi, nih.
Tolong Baby ngertiin Daddy.”
“Tapi gue juga pengin jaket Barbour yang baru, diimpor dari Inggris.”
Pamungkas menghela napas sambil berdecak. Dia menatap Harry enggak
percaya. Kemudian, terkekeh. Kalau bukan karena dia sayang sama berondongnya
itu, kurang ajar banget sebenarnya kelakuan Harry. “Iya, iya, habis minum susu
kita pesan online. Tapi lima menit,
ya?”
Harry mengangguk sambil bangkit dari memeluk gadunnya. “Bangun!” titah
Harry tegas, seperti master. Harry mengambil pelicin yang ada di nakas samping
tempat tidur, lalu duduk di tepi tempat tidur. “Sini!” titahnya.
Pamungkas turun dari tempat tidur sambil geleng-geleng kepala. Dia
mengitari tempat tidur lalu merebahkan perutnya di atas pangkuan Harry.
Pantatnya terekspos. Harry dengan gembira langsung menampar pantat itu. Plak!
“Daddy nakal!” Plak! “Kerja
terus, enggak ada waktu buat gue!” Plak!
Plak!
Dalam setiap hubungan seksual Harry dan Pamungkas, posisi seksual mereka
jelas. Harry selalu menjadi bottom,
Pamungkas selalu menjadi top. Namun
Pamungkas bukanlah gay pada umumnya.
Dia seorang biseksual yang merasa superior saat menyetubuhi perempuan, tetapi
berharap menjadi inferior ketika bersetubuh dengan laki-laki. Sehingga, dalam
setiap persetubuhan mereka, Harry akan selalu menghukum Pamungkas seolah-olah
manager marketing itu anak nakal.
Segala jenis hukuman sudah dicoba, dan itu membuat Pamungkas terangsang bukan
main.
Aneh memang, sange karena
dihukum. Makanya Pamungkas benar-benar merahasiakan hubungannya ini, karena
enggak mau bagian vital dalam persetubuhan ini diketahui banyak orang.
Dalam setiap hubungan seks itu, hukuman terakhir biasanya menggenjot
pantat Harry. Biasanya enggak pernah lama. Karena setelah dihukum oleh Harry
selama dua jam, lalu Harry menghukum Pamungkas memasukkan kemaluannya ke pantat
model itu, baru dua genjot Pamungkas sudah orgasme. Habisnya selama dua jam itu
dia sudah dibuat enak.
Plak!
Termasuk di-spanking seperti
sekarang.
“Ampun, Baby. Ampun. Daddy enggak akan sibuk lagi. Janji.”
Plak! “Bohong!” Harry
terus menampar pantat Pamungkas hingga kulitnya kemerahan. Tamparan itu bukan
main-main, benar-benar perih dan berisik. Mungkin lebih keras dibandingkan deru
jet pesawat di luar. Pamungkas hanya bisa mendesah-desah berirama setiap
telapak tangan Harry menghantam pantatnya.
“Aaah …. Aaahhh …. Ampun, Baby. Aaahhh … Ampun, aaahhh …. Daddy janji
enggak akan, aaah!”
Plak! Plak! Plak!
Sudah enam menit Harry melakukan itu. Tubuh Pamungkas berkeringat karena
merasakan nikmat tiada tara. Pantatnya bergetar kemerahan seperti jeli rasa
stroberi. Kemudian, Harry bangkit dan pindah ke atas sofa. Dia duduk di atasnya
sambil menyelonjorkan kaki lurus ke atas lantai. Harry melumuri jempol kaki
kanannya dengan banyak sekali lubricant
gel.
“Sekarang, squat jump!” titah
Harry. “Tapi setiap ke bawah, jempol gue mesti masuk pantat.”
“I-iya, Baby.” Pamungkas pun berdiri di atas kaki Harry. Kedua tangannya
diletakkan di belakang kepala. Tubuh Pamungkas sudah mengilat oleh keringat.
Penisnya berkedut keras karena sedari tadi terangsang gara-gara dihukum. “Satu
….” Pamungkas jongkok ke atas kaki Harry. Namun, dia tidak langsung berdiri.
Pantatnya diarahkan pelan-pelan ke jempol kaki Harry yang licin. Setelah
menemukannya, Pamungkas mencoba mendorong jempol itu agar masuk ke dalam lubang
pantatnya. Karena kesusahan, Pamungkas pun mencoba menggunakan tangan.
“Eh, eh, eh! Enggak boleh pake tangan!” sahut Harry dengan suara maskulin
yang tegas.
Pamungkas menelan ludah. Susah payah, Pamungkas mencari-cari jempol itu
dengan lubang pantatnya. Dia berusaha merilekskan otot-otot di sekitarnya, agar
jempol itu bisa masuk. Kebetulan, jempol Harry agak besar, seperti penisnya.
Setengah dari ukuran kemaluan Pamungkas saat tegang begini.
“Buruan!” amuk Harry. “Pokoknya pantat Daddy harus mendarat di atas
jempol gue. Kalau enggak, gue tampol Daddy pake titit gue. Tekan terus sampai
masuk. Tekan!”
“I-iya, Baby. Ampun.”
Akhirnya masuk. Butuh waktu cukup lama, tetapi jempol itu masuk juga.
Mungkin karena agak lebar, rasanya perih, tetapi bagi Pamungkas nikmat bukan
main. Mungkin nikmat secara psikologis, karena posisinya dia sedang dihukum.
Pamungkas sampai mendesah keras dan panjang, “Aaaaaahhh …!”
Setelahnya, Pamungkas berdiri tegak. Lalu turun lagi, “Duaaa ….” Dan dia
mencari-cari di mana jempol itu dengan lubang pantatnya, lalu memasukkannya
lagi.
Lebih dari sepuluh menit habis hanya untuk squat jump sampai nomor tujuh belas. Meski semakin ke sini jempol
Harry semakin mudah masuk ke lubang pantat Pamungkas, tetapi mencarinya itu
agak susah. Jadi Pamungkas harus berjongkok agak lama—dilarang menurunkan
tangan—sampai pahanya pegal, hanya untuk mencari jempol itu.
Di atas sofa, Harry mengocok kemaluannya yang superraksasa sambil terus memandang
Pamungkas penuh nafsu.
“Delapan belas …,” desah Pamungkas, turun lagi ke bawah, menemukan
jempol, dan memasukkannya ke dalam lubang pantat. Kali ini, Harry menggerakkan
jempol itu di dalam lubang pantat Pamungkas, membuat sang daddy memelotot keenakan. “A-ampun, Baby …! Ja-jangan …!”
“Diem dulu!”
“Daddy mau keluar nih!”
Sensasi jempol melesak-lesak bagian depan lubang pantat Pamungkas terasa
nikmat. Pejuhnya sampai berkumpul di pangkal kemaluan. Harry langsung menarik
Pamungkas berdiri dan mengulum penis mungil keras itu ke dalam mulutnya. Sambil
mencoba mengisap penis Pamungkas agar mengeluarkan sperma, Harry pun
memilin-milin puting Pamungkas yang besar dan mengeras.
Crot! Crot! Crot!
Sperma itu menyembur di dalam mulut Harry, dan sang model menelannya
langsung. Tubuh Pamungkas menggelinjang karena geli dan linu. Apalagi dengan
tangan yang masih dilipat di belakang kepala, Pamungkas hanya bisa memejamkan
matanya, menganga lebar, mendesah kencang, “AAAAAAHHH …!” lalu membiarkan Harry
menyedot sari-sari tubuhnya yang berwarna putih.
Begitulah adegan minum susu yang sering Harry dan Pamungkas lakukan.
Setelah yakin tak ada lagi sperma yang menetes, Harry pun mengeluarkan kemaluan
Pamungkas dari dalam mulutnya. Lalu, dia menampar penis mungil itu. “Mandi
sana!”
Pamungkas menarik napas sejenak. Beristirahat dari sensasi mendebarkan
yang membuatnya sangat bahagia. Ini benar-benar melelahkan, tetapi Pamungkas
tak sabar menanti kesempatan berikutnya. Kalau bukan karena sesuatu mengganggu
pikirannya saat ini, mungkin Pamungkas akan menghabiskan sisa perjalanan menuju
Shanghai bersama Harry, dihukum terus-menerus, diperas hingga tak keluar lagi
sperma dari dalam tubuhnya.
“Mana hape Daddy?” Harry
menadahkan tangannya.
Pamungkas membuka website
belanja online internasional
langganannya, lalu menyerahkan ponsel itu ke Harry. Selama Pamungkas mandi di
belakang, Harry memesan jaket Barbour yang diinginkannya.
(Dan satu sneakers murah
seharga $150 yang mungkin enggak akan disadari Pamungkas.)
(Juga satu tas pinggang bahan kulit murah seharga $225.)
Ketika Harry selesai memasukkan ke keranjang belanja, dia pun memasukkan
alamat. Kebetulan, Pamungkas sudah masuk kembali ke master bedroom, telanjang dengan kemaluan yang layu dan mungil.
Handuk digosok-gosok ke punggungnya.
“Apa ini Pondok Indah?” gumam Harry.
“Itu alamat rumah Daddy.”
“Terus, alamat apartemen gue mana?” Harry menggulir daftar alamat yang
tersimpan otomatis dalam website itu.
Tidak ada alamat apartemennya.
“Daddy hapus, lah. Biar enggak ketahuan istri. Baby masukin aja
otomatis, tapi jangan disimpan.”
“Ck!” Sambil merengut,
Harry pun memasukkan alamatnya.
Pamungkas merogoh saku celananya, mengambil dompet, lalu melemparkan
satu kartu kredit. “Pake yang itu! Udah, ya? Daddy harus balik lagi ke kokpit,
nih.”
“Iyaaa …!” Harry menjulurkan lidah.
To be continued ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar