Selasa, 30 Maret 2021

The Flying Paradise 12

012 The Engineer

 


Nama teknisi itu Andre. Baru berumur 28 tahun, berzodiak Aquarius, dan cinta mati pada first officer (copilot) penerbangan feri The Flying Paradise. Semalam, Andre sudah menyatakan perasaannya, berharap Laurence tahu. Dia tak membalas pun, tak apa. Yang penting pilot itu tahu. Yang Andre inginkan adalah menunjukkan eksistensinya. Karena bagi Andre, terlihat oleh sang pujaan hati penting.

Mengapa harus Laurence?

Bagi Andre, cowok itu memesona. Andre bisa menjabarkan dengan jelas, penuh data, mengapa Laurence adalah orang paling tepat untuk menghabiskan waktu bersama-sama. Laurence pintar, tahu banyak hal, temannya banyak, aktif hangout di mana-mana, tampak selalu gembira.

Selama berbulan-bulan, setiap bangun pagi, Andre berharap bisa bertemu dengan Laurence dua atau tiga detik di bandara. Atau kantor. Atau tempat parkir. Di mana pun. Yang penting bisa melihatnya berjalan dengan seragam pilot yang gagah itu, bercengkrama dengan teman-teman pilotnya yang bejibun, berbicara dalam bahasa Indonesia berantakan yang terdengar lucu.

Pertama melihat Laurence, Andre menganggapnya laki-laki ganteng biasa. Setelah melihatnya punya banyak kawan, Andre mulai tertarik. Suatu waktu, Laurence diminta menjelaskan sebuah problem pada Boeing 737-800 yang diterbangkan sebagai charter warga Tionghoa dari Xiamen ke Denpasar. Andre ada di sana untuk mendengarkan keluhan Laurence sang pilot atas masalah yang terjadi. Dari cara Laurence menjelaskan semua hal teknis, Andre tahu Laurence orang pintar. Laurence enggak berbasa-basi dengan istilah yang terlalu umum. Laurence tahu apa yang dikatakannya.

Sejak kejadian itu, harapan untuk bertemu Laurence setiap hari tumbuh dalam hati Andre. Enggak muluk-muluk, sumpah. Melihat dari jauh saja, sudah cukup. Andre berharap Laurence gay juga, agar cintanya bisa bersatu. Meskipun dirinya tahu, itu sangat enggak mungkin. Pertama, misal Laurence seorang gay, pasti seorang pramugara di luar sana akan duluan mengklaim Laurence sebelum seorang teknisi biasa-biasa macam Andre mencoba peruntungan.

Tak apa. Kan, menikmati rasa cinta, enggak perlu dengan memiliki.

Kapan hari tanpa sengaja mereka berpapasan di kantor, lalu kulit lengan mereka bersentuhan, berhari-hari Andre enggak mau mencucinya. Sentuhan itu memberikan sebuah setrum listrik yang membuat Andre ceria.

Kapan hari Laurence membeli sekaleng soda dari vending machine, dua buah kaleng keluar gara-gara mesinnya error. Kebetulan, Andre sedang lewat di depan vending machine itu. (Bukan berarti Andre membuntuti Laurence ke mana-mana.) Laurence celingukan mencari seseorang, lalu Andre ada di sana, dan Laurence pun memanggil. “Hei, hei, maukah kamu menerimakan kaleng soda ini? Mesinnya memberikan dua.” Tentu saja Andre menerimanya. Hingga hari ini kaleng soda itu dia simpan di kamarnya, dipandangi setiap malam, sambil mengingat-ingat momen ketika Laurence memberikannya.

Ya, Andre sebucin itu. Mungkin faktor dirinya Aquarius. Namun memang begitu kenyataannya.

Jadi, ketika tiba-tiba dia ditugaskan untuk mengikuti penerbangan feri pesawat terbaru Yavadvipa Jet, yang awalnya lesu karena berarti dia harus meninggalkan kesempatan bertemu Laurence berhari-hari, malah jadi gembira setelah tahu Laurence akan ikut dalam penerbangan itu. Lebih gembira lagi dalam perjalanan mereka dari Jakarta ke Seattle, dua kali Andre ditempatkan di sebelah Laurence dalam pesawat. Jakarta – Tokyo di samping Laurence. Tokyo – Seattle di samping Laurence juga.

Mereka mengobrol sepanjang perjalanan. Dan seperti dugaan Laurence, cowok itu benar-benar cerdas. Tahu banyak hal. Orangnya kadang kelihatan misterius, tetapi setelah memancing dengan sebuah topik, obrolan terus mengalir seperti air terjun.

Saking bahagianya, Andre orgasme begitu sampai ke hotel. Ya, orgasme. Tanpa kemaluannya disentuh, tanpa ada kegiatan seksual.

Ketika Andre tiba di hotel, terpisah di lobi karena lantai mereka berbeda, Andre menjatuhkan diri ke atas tempat tidur. Telungkup sambil memeluk bantal. Belasan jam kenangan perjalanan udara ke Seattle dia proyeksikan dalam kepala. Semua gestur Laurence, mimik wajahnya, suaranya, cara bicaranya, senyumnya, matanya yang menyipit saat tersenyum, aroma parfumnya …

… Andre telungkup sambil ereksi selama berpuluh-puluh menit.

Kemudian Mora menginterupsi. “Seneng banget, dah!” Mora melemparkan bantal ke wajah Andre sambil cekikikan. Teknisi junior itu sudah mengganti pakaiannya dengan kaus dan celana pendek. Dia melompat ke atas tempat tidur sambil menatap Andre dan ngakak tanpa suara. “Ciyeee … yang duduk samping Kak Loreng di pesawat!”

Andre melemparkan bantal yang barusan ke wajah Mora. Teknisi junior itu ngakak semakin keras.

Ya, Mora sudah tahu. Tahu bahwa Andre gay, tahu bahwa Andre mencintai Laurence. Gara-gara suatu hari Andre memandang Laurence dari jauh terlalu lama. Lalu Mora menyikut, “Kakak naksir pilot itu, ya?”

Andre memelotot. “Enggak, lah! Kamu ngomong apaan, sih?!”

“Naksir juga gapapa, Kak. Gue paham. Emang orangnya ganteng dan pintar, sih.”

Bukannya berkelit, Andre mendadak merasa harus menceritakan perasaannya ini kepada seseorang. Jadi, Andre memberi tahu Mora. Di mana Mora dengan baik hati enggak menceritakannya lagi kepada siapa pun, karena enggak ada satu pun orang di kantor yang menggoda Andre soal Laurence kecuali Mora. Malah, Mora dengan baik hati sering mengingatkan Andre kalau ada Laurence di ruangan. “Tuh, si ganteng lewat.”

“Berisik, kamu!” Andre balas menyikut, tetapi pandangannya langsung tertuju kepada Laurence yang sedang lewat.

Nah, malam pertama di Seattle, ketika Andre sedang asyik membayangkan lagi wajah Laurence dalam kepalanya, Mora mengatakan sesuatu yang membuat jantung Andre berdebar.

“Dia homo, kok Bang,” kata Mora tiba-tiba.

“Apa?!” Andre mendongak.

“Tahu Herun?” tanya Mora. Andre mengangguk. Herun staf darat yang memang kelihatan gay karena kemayu. “Si Loreng tuh pernah sama Maulana.”

“Maulana yang di pesawat tadi?! Yang pramugara itu?” Andre membelalak.

Mora mengangguk. “Herun bilang, kata Maulana, dia pernah gituan sama Laurence. Jadi Laurence ya homo juga.”

Gelegak gairah muncul dalam diri Andre. Darahnya berdesir kencang tiba-tiba.

Kemungkinan itu ada.

Kemungkinan cinta bersatu itu ada.

Kemaluannya mengeras tiba-tiba. Menjadi sangat penuh, seolah-olah siap membuncah. Dengan jail, Mora membuka Instagram Laurence, menggulir gambar Laurence di depan kolam renang, telanjang dada hanya mengenakan celana pendek saja. Tubuh Laurence yang jenjang dan atletis itu tampil di depan wajah Andre. Andre sampai memelotot dan memejamkan mata.




“Anjing, Mora! Jangan ditunjukin! Fuck!

“Lah, emang kenapa?” Mora menarik hapenya. Dia menggulir lagi akun Laurence, lalu menunjukkan foto Laurence berbaring telanjang dada bersama anjingnya.




Laurence tampak sangat memesona di situ.

Crot! Crot! Crot!

Sperma Andre membasahi celana dalamnya. Itu kali pertama Andre orgasme tanpa ada rangsangan seksual selain rekaman keindahan Laurence dalam kepalanya (dan Mora yang jail menunjukkan IG Laurence). Ketika Andre bangkit berdiri, basah sperma itu menembus ke celananya yang berwarna cokelat terang. Mora ngakak bukan main.

Antara Andre ingin marah karena ditertawai, atau justru bahagia karena melakukan keputusan yang tepat memberi tahu Mora. Cowok straight itu enggak pernah menunjukkan penolakan pada siapa Andre sebenarnya. Bahkan, Mora sangat suportif.

Maka dari itu, Andre terguncang bukan main ketika Mora tiba-tiba meninggal di dalam pesawat. Andre duduk di seberang mayat Mora berpuluh-puluh menit di ruang meeting kecil, merasa marah, merasa sedih, merasa tertekan, merasa kehilangan, merasa dunia ini begitu jahat.

Tempat kerjanya sudah cukup jahat. Pamungkas selalu merundungnya dengan mengomelinya ini itu. Laurence adalah pelariannya agar dia tetap bahagia. Mora adalah rumahnya ketika Andre merasa terpuruk. Kepergian Mora membuat Andre ingin sekali mengambil alih kemudi, lalu menabrakkan pesawat ke gunung agar semua orang di pesawat mati termasuk dirinya.

Termasuk Pamungkas.

Termasuk si pemerkosa sialan itu!

“Hey … bisa ngobrol bentar?” Pemerkosa itu tiba-tiba menghampirinya.

Andre sedang duduk di jok penumpang, mencoba berpikiran positif atas kejadian yang sedang menimpanya. Mencoba mengikhlaskan kepergian Mora, mencoba menjadikan Laurence sebagai masa depannya.

Lalu, penjahat kelamin itu muncul dan duduk di kursi samping Andre.

“Enggak boleh,” jawab Andre sambil memalingkan muka ke luar jendela.

“Elah …, kamu bakal gitu terus sama saya, nih ceritanya?”

“Waduuuh … jadi saya harus bersikap biasa aja sama perlakuan itu?” Andre menggeleng-geleng tak percaya.

“Saya udah minta maaf sama kamu. Saya udah kirim apa pun yang kamu mau. Kenapa kamu enggak mau maafin saya?”

“Saya enggak minta barang-barang itu!” tegas Andre sambil menoleh dan menatap mata Randian dengan tajam.

Namanya Randian. Arsitek yang mendesain kabin interior The Flying Paradise. Andre tak mau mengingat-ingat lagi kejadian yang menimpanya. Atau menceritakan kejadian yang mana.

(Ya, kejadiannya lebih dari sekali.)

Randian cukup sering menang tender menjadi desainer interior untuk beberapa pesawat jet pribadi di Yavadvipa Jet. Karena harus sejalan dengan sisi teknis, Randian cukup sering berinteraksi dengan teknisi. Salah satunya mendiskusikan lajur-lajur kabel penting, kabel hidrolik yang tak boleh terganggu, di mana saja meletakkan masker oksigen, bahkan hingga penentuan lavatory.

Suatu hari, Randian muncul di hanggar, bertelanjang dada karena habis berolah raga. Maksud Randian adalah mengecek ulang prototipe desain yang diletakkan di salah satu sudut hanggar. Andre sedang ada di sana, membersihkan peralatan. Randian menangkap Andre salah tingkah melihat tubuh telanjangnya. Lalu, Randian menggoda Andre, dan Andre tak menunjukkan tanda-tanda keberatan.

Tentu saja Andre tak keberatan kalau hanya mengobrol. Namanya juga gay. Begitu ada laki-laki menarik dengan wajah maskulin dan badan berotot, mengajaknya mengobrol, untuk apa Andre pergi dari situ? Sayangnya Randian mengira itu persetujuan Andre untuk berhubungan seks.

Andre tak pernah menyetujui persetubuhan itu. Namun Randian tetap menariknya ke ruang kosong dan melecehkannya. Parahnya, Randian seorang bottom. Jadi arsitek itu akan melingkarkan ikat pinggang di leher Andre, mencekiknya sampai Andre tak bisa bernapas kalau teknisi itu enggak mau menggenjot pantatnya dengan kemaluan.

Dan itu tak terjadi sekali.

Terakhir kali terjadi adalah beberapa minggu lalu saat Randian rajin mengunjungi hanggar untuk membangun prototipe The Flying Paradise. Randian melakukannya lagi kepada Andre. Tanpa persetujuan. Setiap Andre mengungkapkan ketidaknyamanannya, Randian hanya membelikannya hadiah-hadiah mahal agar dimaafkan. Banyak sekali barang-barang dari Randian dalam sebuah lemari di kosan Andre. Tidak ada satu pun hadiah itu Andre gunakan. Dua buket bunga mungkin sudah layu dan membusuk, Andre tak peduli.

Andre lebih sudi memandangi dan memeluk sekaleng soda yang diberikan Laurence karena mesin error dibandingkan menerima seluruh barang mahal dari Randian. Masalahnya, barang-barang itu dikirimkan langsung ke kosannya. Jadi, terpaksa Andre menerimanya. Kalau dibakar di depan pintu, orang-orang sekosan bakal curiga.

Maka dari itu Andre enggan ikut dalam penerbangan feri ini. Kalau bukan karena Laurence dan Mora, dia akan memperjuangkan diri supaya enggak ikut.

Jangan pernah anggap Andre lemah karena menurut saja saat diperkosa Randian. Bukan hanya ikat pinggang di leher itu yang membuat Andre tak berkutik. Mulai dari badan Randian yang besar dan lebar, ancaman pada profesinya, posisi Randian yang lebih superior dibandingkan dirinya, juga kemampuan sang arsitek untuk memanipulasi Andre agar teknisi itu merasa bersalah dan menurut.

“Saya cinta kamu, Andre,” bisik Randian. “Kenapa sih kamu enggak pernah mau dengerin kalimat itu? Saya serius.”

“Kalau cinta memperlakukan saya kayak begitu, saya mendingan enggak dicintai.”

Untuk memeluk, Laurence memohon izin Andre semalam. Sepenting itulah konsen dibutuhkan dalam bercinta. Cowok di sampingnya sekarang ini, mencengkram tangan Andre tiba-tiba dan memaksa Andre mencumbu bibirnya. Memang penjahat dia ini, batin Andre.

“Jangan bilang gitu, dong,” jawab Randian. “Enggak adil buat saya yang sudah berusaha memperbaiki semuanya. Saya mengakui kesalahan saya, lho. Itu berat banget buat saya. Saya lakukan karena saya cinta sama kamu. Anehnya yang kamu lihat dari saya cuma kesalahan saya aja.”

Andre hanya menggelengkan kepalanya. Tak percaya cowok ini masih saja membela diri.

“Jangan munafik,” ujar Randian. “Beberapa kali kamu sama saya, kamu nikmatin itu juga.”

Ya. Karena terpaksa! jerit Andre dalam hati. Terpaksa melakukannya, terpaksa menikmati, terpaksa orgasme di depannya, terpaksa mencumbunya setiap mereka berpapasan di tangga kantor, terpaksa membuntutinya ke toilet untuk mengisap kemaluannya. Karena kalau Andre tidak melakukannya, Randian akan menyebarkan ke orang-orang soal orientasi seksual Andre. Randian yang dekat dengan para petinggi kantor, bisa dengan mudah mendepak Andre dari perusahaan ini.

Dalam situasi post-pandemi seperti ini, perusahaan mana lagi yang bakal menerima karyawan baru, hah?! Kalau bukan karena pekerjaan dan Laurence, Andre sudah meninggalkan tempat ini sedari awal.

Satu-satunya hal yang membuat Andre bertahan adalah senyum Laurence. Jadi saat ini pun, ketika si brengsek ini dengan kurang ajar duduk di samping Andre, dia membayangkan Laurence saja supaya hatinya lebih tenang. Laurence yang malu-malu di bawah pesawat beberapa jam lalu. Laurence yang tersenyum untuknya.

Laurence yang menuliskan pesan kecil di atas sebuah kertas.

“Oke, saya mau nanya sesuatu sama kamu,” ujar Randian tiba-tiba, mengabaikan dengan cepat topik krusial yang baru saja dibahas. “Saya enggak sengaja curi dengar obrolan kamu sama Pamungkas. Pesawat ini ada bomnya, ya?”

Benar-benar, deh. Orang enggak tahu diri, batin Andre.

Karena kesal, Andre pun bilang, “Ya, ada. Meledak kalau kamu dekat-dekat saya terus. Oke? Jadi, menjauh dari saya sekarang juga.”

Randian mengerutkan alisnya. “What the fuck?!”

Andre mendorong bahu Randian sambil berkata. “Ada bom di pesawat ini, bom yang akan meledak karena orang kayak kamu masih hidup. Jadi pergi dari sini sebelum saya betulan ledakin bom ini sekarang juga. Pergi!”

Rahang Randian mengeras. Dia menatap wajah Andre dengan pandangan tak percaya. Setelah menggeleng kecil, Randian pun pergi.

Andre menangis setelahnya. Bahunya berguncang. Pertahanannya jebol. Yang bisa Andre lakukan hanyalah mengeluarkan kertas pemberian Laurence yang dia simpan dalam saku.

Everything is going to be alright. You can do it. See you on the other side of the world.

Terima kasih, Laurence. Sampai jumpa lagi di bagian lain dunia ini. Semoga aku bertemu denganmu di sana, lengkap dengan senyum dan keceriaanmu.

*  *  *

Sore itu, atau pukul 10 malam waktu Seattle, Pamungkas mengumpulkan semua orang di conference room, yang akhirnya diubah menjadi dining room. Katanya, Pamungkas akan memberikan pengumuman.

Jordan mengamati aktivitas Pamungkas dan Maulana sedari tadi. Terkadang, Andre muncul untuk ikut membantu, tetapi teknisi itu tampak kelabu. Wajahnya terlihat sedih sepanjang perjalanan. Jordan sampai menulisnya ke dalam catatan, berharap itu sebuah petunjuk yang penting.

Maulana tampak sibuk menyiapkan sesuatu di conference room. Kemungkinan besar makanan. Bunyi klak-klik-klak-klik di galley menggaungkan kesibukan microwave dibuka tutup dan plastik-plastik pembungkus makanan dibuka. Kemudian, Maulana dan Andre bolak-balik dari galley ke conference room untuk menyajikan hidangan. Selama proses ini, Pamungkas tak terlihat di mana pun.

Setelah hidangan selesai, Pamungkas keluar dari kokpit, dan Maulana pun masuk. Lalu, Pamungkas masuk ke dalam conference room diikuti penumpang yang lain. Katanya, sudah waktunya makan malam, sekaligus meng-update kabar terbaru mengenai kejadian yang terjadi di pesawat.

“Ini beracun enggak?” tanya Harry sambil mengendus piring yang masih kosong.

“Kru kabin kami sudah mengecek semua makanan dari potensi berbahaya,” ujar Pamungkas. “Setiap makanan yang berbau aneh, atau bau almon kuat, langsung disingkirkan. Sejauh ini, tak ada makanan yang dicurigai. Kru kabin dan teknisi sudah mencicipi sebagian makanan untuk mengetes reaksinya. Lebih dari lima belas menit tidak ada reaksi apa pun. Makanan ini aman.”




Setiap makanan yang sama, dimasukkan ke dalam satu wadah besar. Sehingga, konsepnya seperti prasmanan. Beef teriyaki dalam wadah besar yang sama, perkedel dalam wadah besar yang sama, mashed potato dalam wadah besar yang sama. Asalnya, setiap makanan ini terpisah-pisah. Kalau harus keracunan, ya keracunan semua. Menurut keterangan Andre yang sudah mencicipi beef teriyaki, dia mengambil sesendok dari beef teriyaki yang sudah digabungkan. Sehingga kalau beef teriyaki itu mengandung sianida, Andre sudah almarhum sedari tadi.

Pamungkas pun menunjuk satu sisi meja yang dipenuhi benda-benda yang tidak dimakan.

“Sesuai hasil googling kita semua,” lanjut Pamungkas, “meskipun kita bukan petugas medis atau ahli gizi di sini, kami sudah menyiapkan masker oksigen kalau-kalau ada yang menelan sianida. Ada enam masker oksigen dan tabungnya di sana. Semua orang mendapat satu. Kalau ada yang merasa pusing atau aneh setelah menyantap makanan, silakan ambil masker oksigen dan bernapas dengan menggunakan benda itu. Jangan dimuntahkan makanannya, untuk menghindari sianida masuk ke pernapasan. Dan, kebetulan, kami punya es krim rasa charcoal.”

“Charcoal!” seru Harry gembira. “Enak, tuh!”

Charcoal dipercaya bisa menyerap sianida dalam tubuh. Sudah kami siapkan untuk kita konsumsi sebagai dessert. Semoga bisa melindungi kita semua.” Pamungkas tersenyum dan memberi jeda sejenak. “Jika ada yang merasa aneh, sekali lagi, mohon untuk tidak memuntahkan apa pun. Kedua, silakan lepaskan semua yang menempel di badan—saya enggak tahu fungsinya apa, tapi Google bilangnya begitu. Jangan lupa, hirup oksigennya. Sementara untuk antidotes-nya, karena kita enggak punya hydroxocobalamin dan sodium nitrite secara medis, ada sekumpulan buah-buahan dan ati ayam panggang yang menurut Google … mengandung dua senyawa tadi.

“Dan juga,” lanjut Pamungkas, “sebentar lagi kita masuk wilayah udara Rusia dan Jepang Utara. Kalau memang ada apa-apa dengan makanan ini, pilot siap mendarat di bandara besar mana pun yang ada di Vladivostok atau Sapporo untuk keadaan darurat. Pilot belum menyantap apa pun sampai saat ini. Kalau makan malam di depan kita ini aman, pilot baru akan menyantapnya. Semoga semua dapat memaklumi.”

Makan malam berlangsung hening dan menegangkan. Setiap orang di dalam ruangan menyantap hidangan dengan cara mengunyah 32 kali—sesuatu yang tak satu pun dari mereka lakukan sehari-hari. Termasuk Jordan. Makan malam ini terasa lebih lama dari seharusnya.

Dalam 50 menit, semua orang akhirnya menghabiskan makan malam. Pamungkas mengelap bibirnya dengan lap, lalu mengambil napas panjang.

“Baiklah, saya akan meng-update perkembangan terbaru penerbangan ini,” katanya, membuat semua orang diam dan mendengarkan dengan saksama. “Setelah mendiskusikan bersama kru terbang, kami akan mengidentifikasi kematian Mora begitu tiba di Shanghai. Kami akan meminta petugas medis yang kompeten untuk mendiagnosa secara akurat. Yang penting kita sudah punya jam kejadiannya kapan.

“Menurut pilot, udara di dalam kabin tidak bersirkulasi di sini-sini saja. Namun, udara dari luar masuk, dan udara kotor dibuang keluar. Jadi, mohon untuk tidak mencemaskan udara yang tercampur sianida. Udara di dalam kabin aman untuk dihirup.

“Berikutnya, mohon maaf atas kejadian masker oksigen yang terjadi sebelumnya. Ada kesalahan teknis kecil, human error, tetapi saya bisa menjamin tidak ada sesuatu apa pun yang membahayakan. Kita semua di sini aman, seaman berada di rumah dan di atas tanah.”

Senyum itu palsu, batin Jordan. Ketika Pamungkas menyelipkan senyuman di antara kata-katanya, Jordan yakin ada yang disembunyikan. Pun, Pamungkas bicara terlalu lama. Jeda setiap kalimat cukup panjang, seolah-olah Pamungkas berhati-hati sekali dalam memberikan informasi. Seolah-olah ada informasi yang tak boleh bocor kepada penumpang.

“Ada empat kabin tamu di depan master bedroom, silakan Bapak-Bapak menggunakan yang mana saja. Kru kabin kami akan menyiapkannya untuk Bapak-Bapak gunakan. Meski di luar matahari masih bersinar, Bapak-Bapak bisa menutup seluruh jendela agar kabin minim penerangan. Waktu Seattle sekarang menunjukkan pukul … sepuluh malam. Tapi di luar, masih pukul empat sore.”

Memang seperti itulah perjalanan dari barat ke timur. Berangkat pukul empat sore, selama enam jam kemudian masih pukul empat sore di luar.

“Yang pasti, saya bisa menekankan …,” lanjut Pamungkas, “kita semua baik-baik saja. Begitu tiba di Shanghai, kita akan menyetok ulang makanan dalam pesawat. Membeli baru, dan mengawasinya dengan ketat.”

Jordan tak tahan untuk bertanya. Instingnya sebagai penulis, dan sebagai Pisces, membuatnya berbicara ketika Pamungkas mengakhiri pidatonya. “Pramugaranya ke mana?”

“Kru kabin kami sedang di station-nya,” jawab Pamungkas sambil tersenyum.

“Di galley?” Jordan melepas sabuk pengaman dan bangkit berdiri.

Pamungkas segera menahannya, “Mas mau ke mana?”

“Mengecek ke galley,” jawab Jordan. “Station-nya pramugara tadi di galley, kan? Bapak sendiri yang bilang pas wawancara spesifikasi jumpseat sama saya tadi. Sekarang saya mau lihat apa dia ada di sana atau enggak.”

“Mas membutuhkan bantuan kru kabin kami?”

“Ya. Sort of,” bual Jordan. Dia hanya ingin menggertak Pamungkas.

Pamungkas menoleh ke arah Andre. Dia berbisik, “Panggil Maulana dan—”

“Dan teknisinya juga di sini,” tegas Jordan tiba-tiba. “Saya pengin pramugara dan teknisinya ada di ruangan ini sekarang. Dan Bapak Pamungkas juga.”

Semua orang melihat ke arah Jordan, tetapi Jordan tak peduli. Dia memang menyukai perhatian dengan bumbu-bumbu drama seperti ini. Toh, dia ada tujuan tertentu, kok. Apalagi sekarang Pamungkas mulai menatapnya dengan pandangan tak suka.

“Kalau boleh tahu, Mas Jordan membutuhkan bantuan apa dengan kami bertiga?”

Jordan mencoba mencari-cari alasan. “Yaaa … wawancara? Dan ini penting.” Misal mereka betulan muncul bertiga, Jordan tinggal mengarang-ngarang pertanyaan saja. Yang penting Jordan ingin mendesak Pamungkas soal satu hal.

“Tidak bisa dilakukan satu per satu saja?” usul Pamungkas. Suaranya mulai terdengar defensif.

“Enggak. Harus tiga-tiganya.”

Kristian yang duduk di sebelah Jordan menyikut. Ketika Jordan menoleh, dia melihat Kristian menggelengkan kepalanya kecil, seolah-olah ingin mengatakan, “Jangan.”

Namun Jordan tak mendengarkan. Dia malah menantang Pamungkas, “Kenapa kalian bertiga enggak bisa berada di satu ruangan yang sama? Kenapa harus gantian berada di kokpit? Kebetulan saya lihat pramugaranya masuk ke kokpit tadi.”

Rahang Pamungkas mulai mengeras. Setelah jeda yang cukup lama, apalagi semua orang kini menatap Pamungkas, menunggu jawabannya, laki-laki berzodiak Gemini itu berkata, “Kami sedang meeting di dalam kokpit. Dan diskusi, sedang berlangsung. Kru kabin kami mewakili saya dan teknisi yang sedang makan malam di sini.”

Jordan belum mengeluarkan kartu asnya. Mungkin sekarang waktunya?

“Oke, kalau gitu, pilotnya. Saya enggak perlu Bapak-Bapak bertiga, tapi saya butuh satu pilot saja untuk wawancara,” ujar Jordan, mendesak.

“Tidak bisa dilakukan di Shanghai saja ketika mereka sedang tidak bekerja?”

“Kenapa harus di Shanghai kalau di sini juga bisa?”

“Karena mereka sedang mengemudikan pesawat. Konsentrasi mereka bisa terganggu oleh interview.”

“Lho, bukannya mereka sekarang sedang meeting di dalam kokpit?” Jordan tersenyum lebar. “Dan saya tahu persis, satu pilot bisa meninggalkan kokpit sejauh ada satu kru yang menggantikan di dalam. Bapak sendiri yang bilang ke saya seperti ini, beberapa jam yang lalu. Enggak bisakah saya request satu pilot saja berbicara dengan saya lima menit?”

Pamungkas menarik napasnya, mencoba menguasai amarah yang menggelegak. “Tidak bisa,” tegasnya. “Kru kokpit tidak boleh diganggu untuk wawancara.”

Jordan sudah membuka mulutnya untuk bertanya, Lalu mengapa satu pilot berada di ruang meeting kecil dan belum keluar sampai sekarang? Jordan tahu persis pilot itu masih berada di sana. Namun Randian, yang duduk di seberangnya tersenyum, sambil menggelengkan kepala juga. Tangannya terangkat ke atas, seolah-olah memberikan kode kepada Jordan, “Tahan dulu.”

Dan Jordan pun menguasai dirinya kembali. Sedikit banyak, dia setuju pada saran Randian. Jordan tak bisa mencecar kru terbang ini begitu saja. Jadi, Jordan berkata, “Ya udah, gapapa. Di Shanghai aja berarti.”

Ini membuktikan kecurigaan Jordan dan Randian (karena mereka sudah membahas ini sedari tadi, bahkan bersama Kristian yang mendadak ikut bergabung dalam obrolan), bahwa ada yang tak beres dengan penerbangan ini. Satu pilot berada di ruang meeting kecil, sisa satu pilot menerbangkan pesawat. Lalu kru terbang dan pihak maskapai berganti menemani kokpit, sesuai regulasi FAA setelah kejadian Germanwings.

Jordan tahu persis … keadaan tidak baik-baik saja.



To be continued ....


<<< Part 11  |  The Flying Paradise  |  Part 13 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Nude 33

  ssendrawkwA emitefiL .33     Pada suatu pagi lima tahun lalu, Miza bangun lebih pagi dari biasanya meski semalaman tak bisa tidur. D...