013 The Poison
Kecurigaan Jordan akhirnya terkuak.
Bahkan, tak lama sejak Jordan mendesak Pamungkas di conference room tadi.
Kombinasi itu berulang lagi. Pamungkas masuk ke dalam kokpit, lalu
Maulana keluar dan membantu menyiapkan empat kamar tidur di kabin belakang. Jordan,
Kristian, Randian, dan Harry menunggu di common
room. Harry mengajak setiap orang menari-nari untuk video TikTok-nya. Namun
tak ada yang mau.
Karena kesal, Harry pun berlalu ke kabin depan sambil bilang, “Ya udah,
gue mau TikTokan sama Pak Mungkas aja!” gerutunya.
Dua menit kemudian, bukannya suara TikTok bersama Pamungkas yang
terdengar. Harry malah menjerit kencang. “AAAAAARGH …!” Terdengar seperti
sedang naik roller coaster. Tentu
saja Jordan, Kristian, dan Randian melompat dari sofanya dan menghampiri.
Harry sedang berdiri di depan ruang meeting
kecil. Pada saat yang sama, Andre dan Maulana muncul dari belakang. Pamungkas
pun keluar dari kokpit, gara-gara mendengar suara teriakan itu. Harry sedang
membelalak. Kedua tangannya menyugar rambutnya, mulutnya menganga, lalu Harry
berseru, “Pilotnya di sini!”
Tak butuh lama bagi semua orang untuk menemukan Laurence duduk tak
berdaya di seberang mayat Mora. Satu tangan Laurence terborgol ke meja di
depannya. Laurence sedang duduk sambil menopang kepalanya dengan tangan. Saat
Laurence mendongak, matanya sembap. Sudah tak ada air mata, tetapi bengkaknya
terlihat jelas.
“Kalau pilotnya di sini, siapa yang nyetir pesawatnya?!” jerit Harry
sampai berlutut ke atas lantai karena ketakutan. “Berarti kita lagi jatuh?!
Pesawat ini sedang mengarah ke Gunung Salak?!”
Jordan memutar bola matanya. “First
of all, ada yang namanya autopilot.
And second, pilotnya ada dua. Satu
lagi di dalam kokpit, baik-baik aja,” ujar Jordan menjelaskan. “Semoga sih
baik-baik aja.”
Sekarang, semua kecurigaan Jordan terbukti. Dia tahu ada yang enggak
beres, dan memang benar enggak beres. Laurence berada terlalu lama di dalam
ruang meeting. Masa iya berkabung
selama itu? Dia harus menyetir pesawat, lho. Enggak bisakah berkabung sambil mengemudikan
pesawat? Namun yang tidak Jordan duga adalah Laurence diborgol ke meja.
Memangnya dia berbuat apa?
Pamungkas dengan panik langsung menutup pintu. “Bapak-Bapak yang
terhormat, mohon untuk tidak panik dulu—”
“Jelaskan!” tuntut Jordan tak mau tahu.
Pada saat yang sama Harry juga berteriak, “Gue belum mau mati! Gue belum
mati!”
Kristian tampak ingin menghampiri Harry, tetapi Randian berada lebih
dekat darinya. Jadi Randian membungkuk dan berbisik, “Kita enggak akan jatuh,
kok. Tenang aja.” Sambil menepuk-nepuk punggung Harry pelan.
Harry malah dengan panik membuka ponselnya. “Gue harus Whatsapp nyokap!
Whatsapp bokap! Whatsapp kucing gue! Gue harus bilang I love you sebelum gue mati!” Dengan tangan bergetar Harry membuka
ponsel, tetapi memencet aplikasi yang salah karena jempolnya bergerak-gerak tak
mau diam. Membuka Tinder, lah. Membuka Microsoft Word, Clock, Grindr
(Grindr?!), VPN, Shopee, dan entah aplikasi apa lagi. Jemarinya terus-menerus
bergoyang.
Maulana akhirnya menghampiri Harry dan membawanya ke jumpseat terdekat untuk menenangkannya. Setelah
membantu Harry duduk di atasnya, Maulana mengambil ponsel itu. “Pak Harry
tenang aja, Pak. Sini saya bantu simpan ponselnya.”
“Dari tadi saya tahu ada yang salah, Pak. Tapi Bapak berkelit terus,”
ujar Jordan. “Mengapa satu pilot ada di dalam sini dan terborgol?”
Pamungkas mengusap rahangnya, mencoba mencari kata-kata. Pamungkas tak
berhasil. Dia menoleh ke arah Andre di depan koridor, tetapi teknisi itu jelas
enggak akan bicara karena merasa ini bukan kapasitasnya. Setelah menarik napas
panjang, menatap karpet dengan gundah, mengusap kedua tangannya (pokoknya
banyak sekali gestur gelisah), Pamungkas pun berkata.
“Ya. Tapi saya mohon, Bapak-Bapak jangan panik dulu. Dengarkan saya—”
“Tuh, kan! Pesawat mau jatuh!” jerit Harry. Dia merebut lagi ponsel yang
sedang dipegang Maulana. Pada saat yang sama, layar tiba-tiba menyala.
Di lobi, ada layar monitor besar di atas pintu sebelah kanan yang
menunjukkan posisi terbang pesawat. Layar itu tiba-tiba berganti menjadi layar
putih dengan tulisan berwarna hitam di tengah-tengahnya. Karena cahaya mendadak
terang oleh bagian layar yang putih, semua orang menoleh ke arah sana. Bahkan,
semua layar yang ada di kabin penumpang, yang asalnya menunjukkan peta
perjalanan pesawat, berubah menjadi pesan tersebut.
Jordan memelotot
sambil menutup mulutnya ketika membaca pesan itu. Semua orang di sana, tak
terkecuali Pamungkas, kaget dengan kehadiran pesan yang menyusup tiba-tiba.
Harry sampai menjatuhkan ponselnya ke atas lantai. Harry merosot sambil
menangis.
“Tuh, kan …. Kita
bakal meledak! Seperti di film Final
Destination!”
“Ada bom?” gumam
Jordan. Dia langsung menoleh ke arah Pamungkas dan menatap dengan tajam. “Please bilang ini hanya bercanda.”
Pamungkas sudah membuka mulutnya. Namun tak ada kata-kata keluar. Lutut
Kristian gemetar, dia duduk di atas lantai kabin untuk menenangkan dirinya.
Hanya Randian yang berkacak pinggang—meski hatinya berkecamuk—ketika membaca
pesan itu. Mungkin karena sedari tadi dia tahu ada yang enggak beres.
“Apa maksudnya ini?!” tuntut Randian, mulai murka.
Pamungkas menghela napas. “Kami sedang mencoba menyelesaikan masalah
ini.”
Jordan membentak, “Dan kenapa pilotnya diborgol satu, hah? Kenapa?!”
Pesan itu berganti dalam dua detik. Pesan baru berbunyi:
Dan betul, meski saya ada di darat,
saya enggak bekerja sendirian. Kalau keputusan #1 sudah didapat, umumkan saja.
Nanti teman saya pasti mengabari saya. Sudah saya bilang, pergunakan
benda-benda itu dengan bijak.
* * *
Lobi depan menjadi tempat berkumpul baru penumpang The Flying Paradise. Sudah tiga puluh menit sejak pesan itu tiba di
layar setiap TV.
Mike mengemudikan pesawat. Dia perlu melaporkan waypoint yang dilewati kepada radio dan menjaga perjalanan dengan
lancar—meskipun sedari tadi menggunakan autopilot.
Mike sudah menyantap makanan yang disajikan, pandangannya melamun menatap
langit yang terus-menerus sore di hadapannya. Di balik kacamata hitam aviator
yang memantulkan sinar keemasan mentari, Mike menangis.
Maulana duduk di atas lantai, dengan pintu kokpit terbuka, mengawasi dua
ruangan. Mengawasi pilot agar tetap waras. Mengawasi penumpang agar tetap
waras. Setelah pesan itu muncul di TV, tangan Maulana tak henti-hentinya
bergetar. Bagaimana pun, Maulana seorang manusia. Dia punya rasa takut, sedih,
cemas, dan marah.
Harry memeluk lutut seraya bersandar ke pintu lavatory kru terbang di area lobi. Lelah menangis. Ponselnya
tergeletak di depannya, tetapi tak bisa melakukan apa-apa. Jaringan Wi-Fi
dimatikan 30 menit lalu oleh Pamungkas agar tidak ada yang mengirim berita ini
ke luar. Harry menggulir Whatsapp-nya, meratapi pesan-pesan yang masih
berstatus jam—belum terkirim ke mana pun.
Di seberangnya, Kristian berbaring telentang dan melintang di depan
pintu depan. Di hidungnya ada masker oksigen yang beberapa kali terakhir
diganti dengan yang baru. Kristian terkena serangan panik. Napasnya sudah
normal sekarang, tetapi bahunya masih berguncang. Air mata tak henti-henti
merembes keluar dari sudut matanya.
Jordan duduk di depan Kristian, bersila sambil memastikan kekasihnya
mendapat suplai oksigen yang cukup. Dia duduk menghadap Pamungkas di seberang
ruangan. Rahangnya mengeras, hatinya dipenuhi rasa marah setelah Pamungkas
akhirnya menceritakan semuanya. Tentang bom, tentang borgol, tentang pistol,
dan tentang alasan Laurence terkunci di ruang meeting kecil.
Randian berada paling dekat dengan Jordan. Dia duduk di kursi tunggu
seberang ruang meeting, membuka
jendela pesawat dan memandang keluar. Sama seperti yang lain, Randian
berkontemplasi pada segala kemungkinan setelah Pamungkas menceritakan yang
sebenarnya. Kepalanya tak mau berhenti untuk terus menganalisis mengapa bisa
terjadi dan bagaimana menyelesaikannya.
Pamungkas duduk bersandar ke dinding di depan ruang kerja. Dia
kelelahan. Menceritakan semua ini membuat hatinya lega, tetapi dia dihantui
masalah baru. Dia tak ingin orang-orang ini mengabarkan kepada dunia soal
situasi mereka. Bisa-bisa media menganggap keamanan pesawat ini bermasalah, dan
… kargo itu. Kargo rahasia dan terlarang itu.
Andre duduk di pintu ruang meeting
kecil, mengawasi Laurence yang berada di dalam, sekaligus menunjukkan
eksistensinya dalam forum. Tak ada yang tahu mengapa Andre ingin dekat-dekat
dengan Laurence, dan Andre bersyukur tak ada yang bertanya. Dia hanya ingin
memandang wajah Laurence terus-menerus, jika memang ini napas terakhirnya di
dunia.
Laurence duduk seperti tanpa nyawa di dalam ruangan. Tangannya masih
terborgol, tepian bawah kemejanya sudah terlepas dari balik celana. Sesekali,
saat Pamungkas menjelaskan situasi terakhir tadi, Laurence melirik ke arah
Andre dan tersenyum. Teknisi itu tersenyum juga. Keduanya saling menguatkan,
meski tak ada kata-kata saling terbalaskan di antara mereka.
Mora, di seberang Laurence terbujur kaku …. Sudah. Itu saja. Memang
seharusnya begitu.
“Jadi kita …,” ujar Randian dari kursinya, memecahkan keheningan, “…
enggak bisa minta bantuan … karena image
perusahaan.”
“Maksud saya bukan begitu,” balas Pamungkas segera, untuk kesekian kali
menjelaskan kepada para penumpang mengapa tak ada tindakan signifikan untuk
menyelamatkan pesawat. “Maksud saya … kita bisa selamat dari sini tanpa perlu
memberitakan apa-apa.”
“Caranya?” tantang Jordan.
Pamungkas menghela napas. Lalu, mengangkat bahu. “Entah,” jawabnya
pendek. Setelah jeda, dia menambahkan, “Mungkin karena kalian semua sudah tahu
kondisinya …. Ada yang punya ide? Selain minta bantuan, tentu.”
“Pembajaknya enggak bilang apa-apa soal jangan minta bantuan, lho,”
ungkap Jordan.
“Karena dia enggak peduli,” balas Pamungkas. “Pesawat ini meledak kalau
mendarat. Yang artinya dia enggak peduli kita hidup atau mati. Tapi yang pasti
kita bakal meledak kalau roda belakang menampung seluruh beban pesawat saat mendarat.”
“Ya udah, pake roda depan aja mendaratnya!” sahut Harry dengan wajah bete. “Kan pesawat ini banyak rodanya!
Yang belakang jangan ada yang pake.”
Tak ada yang sudi menimpali komentar Harry. Andre sudah membuka mulut
dan bermaksud menjelaskan, “That’s not
the point!” tetapi Maulana menggelengkan kepala dari jauh, menyarankan
Andre untuk tak menghabiskan energi.
Poin utamanya bukan soal cara mendarat. Poin utamanya adalah Pamungkas
tak mau insiden ini diendus oleh media.
Karena kalau media sampai tahu, selain image perusahaan jadi buruk karena safety kebobolan, KNKT akan ikut campur dalam investigasi. Bahkan,
misal mereka mendarat dengan selamat di suatu tempat pun, baik itu KNKT, NTSB,
Boeing, dan entah lembaga apa lagi, akan menyelidiki setiap hal dari pesawat
ini. Termasuk mengapa barang-barang terlarang itu bisa ada dalam kargo pesawat.
Semuanya di ujung tanduk.
Lama-lama Pamungkas menyadari … memang penerbangan inilah yang perlu
disasar oleh si pembajak. Penerbangan ini nyatanya bernilai tinggi. Yavadvipa
Jet adalah pihak yang diserang.
“Ya udah, sembilan juta dolarnya keluarin aja,” usul Harry. “Dibandingin
pesawat ini, lebih mahal beli ini, kan daripada ngeluarin sembilan juta dolar?”
Pamungkas menggeleng. “Setiap flow
keuangan akan tercatat dengan detail. Meski kita punya auditor sendiri, dan
mungkin kita bisa bekerja sama dengan auditor soal income sembilan juta dolar, tetapi seluruh pajak yang berjalan
selalu terlaporkan ke negara. Uang sebanyak itu pasti ketahuan kalau hilang
dalam laporan akhir.” Pamungkas menarik napas panjang. “Misal kita mau kirim
pun, ke mana? Pembajaknya belum ngasih info.”
“Bukankah ada satu orang di sini yang menjadi pembajak?” tanya Randian
retorik. Senyumnya terkembang sebelah. “Umumin aja, siapa tahu dia lapor ke pembajak
di darat, lalu mereka ngasih infonya.”
Hening kembali melanda kabin. Pamungkas menatap Randian sambil menyipitkan
mata curiga.
Meski semua orang di situ sekarang tahu, ada mata-mata yang bekerja sama
dengan pembajak, tak ada yang berani membicarakan soal itu, pun menuduh
seseorang sebagai pelakunya. Setiap orang tak mau mengambil risiko dicurigai
gara-gara mengangkat topik. Dalam tiga puluh menit terakhir, setiap orang akan
melirik siapa pun yang berbicara, hanya untuk menebak apakah orang tersebut
mata-matanya.
Sembilan orang di kabin depan itu, terdiam lagi.
….
Sangat sunyi dan tidak berprogres, sampai akhirnya Kristian terbangun
sambil memegang perut. Seluruh wajahnya berkeringat. “Saya … saya sakit perut.”
Lalu gemuruh suara perut menggelegar di dalam lobi. “Saya mau ke toilet.”
Malah, suara menggelegar itu bukan dari perut Kristian juga. Harry
langsung membelalak dan memegang perutnya sendiri. “Gue dulu!” Harry melompat
ke lavatory terdekat, menutup pintu,
dan suara kentut, Brot! Brot! Dut! terdengar
sampai keluar. Setiap orang di ruangan bahkan bisa mendengar suara berikut yang
keluar dari pantat Harry adalah feses yang mencair. “Cunt!” umpat Harry.
Jordan menunduk dan menatap ke perutnya. “Kayaknya … kayaknya aku juga.”
Pada saat yang sama, Pamungkas dan Randian berpandangan. Ternyata,
mereka juga. Namun yang pertama berseru adalah Andre, “Sebenarnya saya dari
tadi sudah nahan-nahan.” Keringat di pelipis Andre mengucur deras.
Tanpa banyak bicara, dalam dua menit, lima orang di kabin depan berhamburan
mencari toilet. Ada satu toilet di belakang kokpit yang belum dipakai,
Pamungkas menggunakannya. Dua toilet di common
room digunakan oleh Kristian dan Jordan. Dua toilet di kabin penumpang
diisi Randian dan Andre. Saking perihnya perut Andre, dia tak peduli lagi
ketika toiletnya berhadap-hadapan dengan toilet Randian.
Baru duduk sejenak di atas toilet, pintu lavatory Pamungkas diketuk Maulana dengan cemas.
“APA?!” sentak Pamungkas dari dalam.
“Aku mau minta kunci borgol,” balas Maulana.
Brrrooottt …! Duuuttt …!
Pamungkas menarik napas panjang saat mengeluarkan cairan ke dalam mangkuk
toilet. “NANTI DULU!” balasnya.
“Darurat!”
“Apa?! Laurence mulas juga?!” Brot,
brot, brot …!
“Bukan,” jawab Maulana. Setelah jeda sejenak karena lavatory Pamungkas dipenuhi suara-suara mistis yang tak enak di
telinga, Maulana pun menjawab, “Mike yang mulas.”
* * *
Setiap tubuh manusia bereaksi berbeda pada racun. Ada yang daya tahan
tubuhnya lemah, ada yang daya tahan tubuhnya kuat. Setiap orang di dalam The Flying Paradise, mendapatkan reaksi
yang berbeda-beda. Dan ini, menambah kekacauan yang sudah kacau sebelumnya.
Yang pasti, setiap orang kecuali Maulana dan Laurence, mendapatkan
diare. Selama dua puluh menit pertama sejak serangan perut itu, lavatory di The Flying Paradise terisi
oleh orang-orang yang sakit perut. Pamungkas bahkan terpaksa memberikan kunci
borgol kepada Laurence, membiarkan copilot
itu menerbangkan pesawat dengan Maulana duduk di belakangnya dan berjaga-jaga.
Selain diare, Mike dan Jordan—karena mereka makan lebih sedikit dari
yang dihidangkan—hanya mengalami sakit perut yang membuat wajah mereka
keringatan. Randian mengalami hal yang sama, tetapi tubuhnya sesekali menggigil
sehingga dia menarik bedcover tebal
dari salah satu kamar untuk dia balutkan menyelimuti seluruh tubuhnya di common room. Randian juga meminta Andre
menghangatkan suhu ruangan.
Andre dan Pamungkas merasa tidak enak badan. Rahang dalam mereka
memproduksi ludah yang sangat banyak. Seolah-olah mereka mau muntah. Keduanya
berbaring di sofa common room,
mengatur napas dengan stabil agar dapat menghilangkan perasaan tidak enak itu.
Harry nyaris memiliki semuanya, tetapi kepalanya juga terasa berputar-putar
seperti naik roller coaster.
Kristian? Kolaps. Tubuhnya panas, napasnya pendek, matanya merah hingga
mengeluarkan air mata, dan mengaku pandangannya blur. Jordan duduk di
sampingnya sambil memastikan Kristian mendapatkan suplai oksigen yang cukup
dari tabung. Satu tangannya mengompres kening Kristian berkali-kali.
Kejadian ini benar-benar melelahkan.
“Ini pasti bagian dari rencananya,” ujar Randian. Suaranya parau dan
bergetar. Dia merapatkan selimutnya sambil kembali menyesap teh hangat yang
sudah dua kali disajikan oleh Maulana. “Kita dibuat keracunan, supaya Laurence
dibebaskan, lalu Laurence akan mengambil alih kemudi. And then we’re doomed.”
Sambil menelan ludah yang terkumpul banyak karena rasa mual, Andre
menyanggah. “Kalau ini demi Laurence berada di balik kemudi, untuk apa dia
menyimpan bom? Dia bisa jatuhin pesawat sekarang juga. Tapi kita,” menelan
ludah dulu, “kita masih terbang dengan aman.”
“Ya itu karena Mike sekarang ada di kokpit, meski dia sakit.”
“Ular! Ular!” jerit Harry sambil menangis dan menunjuk ke kumpulan bunga
di dalam vas. Selama beberapa menit terakhir Harry mengalami halusinasi. Secara
khusus, Harry teringat film Snakes on
Plane, sehingga di matanya ada banyak sekali ular di ruangan.
Sekarang sudah 90 menit sejak semua orang terserang diare. Sudah tak ada
yang bolak-balik ke toilet karena mungkin semua cairan tubuh sudah terkuras.
Kecuali Harry, dia masih saja mengerang, “Argh! Udah di ujung! Udah di ujung!”
Lalu dia melompat dan masuk ke toilet untuk membuang hajatnya. Harry bahkan
sudah mencoba setiap lavatory di
pesawat, mengira akan sembuh dengan melakukan hal itu.
“Kita bisa ngecek bomnya enggak, sih?” tanya Jordan. “Ngelihat
barangkali bisa kita lepaskan dari roda pesawat? Kalau bisa, kan enggak harus
meledak.”
Pamungkas mendelik dengan tatapan meremehkan. Andre menggeleng kecil. “Wheel well, atau tempat tersimpannya
roda saat ini, tidak memiliki tekanan kabin. Misal punya pun, enggak ada akses
ke sana.”
“Tapi kita bisa lihat bomnya?”
Andre menghela napas, menelan ludah. “Saya enggak bisa jamin.”
Maulana masuk lagi ke dalam common
room. Di tangannya ada nampan berisi enam mangkuk es krim rasa charcoal yang saat makan malam tadi
disimpan kembali ke refrigerator karena tak ada tanda-tanda bahaya. Dia
meletakkan nampan di meja tengah, lalu mengecek ponselnya.
“Menurut website, sih … activated charcoal bisa membantu
mengikat racun di dalam tubuh. Saya enggak tahu apakah charcoal dalam es krim ini betulan ada, atau sebagai perasa aja.
Tapi bagi yang mau coba, sudah saya siapkan.”
Saat ini, Wi-Fi kembali menyala atas desakan Randian agar seseorang bisa
meng-google tindakan tepat mengatasi
keracunan makanan. Karena Pamungkas menolak memanggil bantuan militer atau
mendarat darurat agar semua orang bisa ditangani oleh medis, terpaksa Wi-Fi
kembali dihidupkan, tetapi hanya Maulana yang boleh mengaksesnya. (Atas pertimbangan,
Maulana tidak terdampak racun karena dia belum menyantap makan malam.) Seluruh
ponsel lain disimpan di tengah-tengah. Itu pun setelah Harry diminta menghapus
setiap pesan darurat yang nyaris terkirim di Whatsapp-nya.
Sedari tadi, Maulana mencari cara mengobati orang-orang dengan bantuan
Google. Semua pelatihan tentang keracunan makanan sudah agak Maulana lupakan,
karena itu sudah lama banget. Dua bulan lalu seharusnya Maulana memperbarui
lisensinya. Namun, namanya juga perusahaan yang punya sisi kelam, kadang-kadang
Yavadvipa Jet menunda pelatihan krunya atas alasan finansial.
“Apa lagi yang kamu temukan?” tanya Randian.
“Sebentar.” Maulana bergegas ke galley
dan kembali membawa beberapa hal. Ada kaleng-kaleng Pocari Sweat dingin,
obat-obatan dasar yang tersedia dalam setiap pesawat, dan air kelapa kemasan.
Beberapa botol air putih juga tersedia di sampingnya. Semua minuman itu sudah
dilabel aman beberapa jam lalu. “Silakan minum minuman elektrolit untuk
mengembalikan cairan tubuh. Yang membuat Bapak-Bapak lemas sekarang adalah
kurangnya cairan. Saya bagikan satu per satu, ya. Ada Pocari Sweat dan Hydro
Coco. Dan ini … ini antibiotik.”
“Antibiotik?” ulang Randian.
“Kita di sini masih belum tahu penyebab keracunannya apa,” jawab
Maulana. “Tapi kalau penyebabnya bakteri, penanganannya ya antibiotik. Saya
enggak tahu apakah ini antibiotik yang tepat, tapi kenapa enggak kita coba
aja?”
“Apa kita bisa sembarangan coba?” tanya Randian.
Maulana menggeleng. “Saya enggak tahu. Saya hanya baca dari Google.”
Lima menit setelah setiap orang meneguk minuman elektrolit, sesuatu
terjadi di layar yang terpasang di dinding kabin. Awalnya, layar itu
menunjukkan peta posisi pesawat yang sudah memasuki wilayah Rusia Timur. Lalu,
layar berubah putih dan silau sambil menunjukkan pesan seperti dua jam lalu.
Pesannya berbeda.
Sakit, ya? Kacian …. Padahal, di laci
nakas kamar utama ada obat penawarnya. Kalau mau baikan, ya segera telan. Kalau
enggak, dalam tiga jam, semua nyawa melayang. Nah, begitu baikan, silakan
berunding kembali membahas tawaran.
Maulana bergegas ke kabin belakang dan kembali membawa sekantung kecil
dari bahan kulit yang berisi obat. Dia membukanya ke tengah-tengah, beberapa
orang bangun untuk menatapnya.
“Apa ini benar obatnya?” tanya Pamungkas. “Di mana kamu nemunya?”
“Di master bedroom. Di nakas
sebelah tempat tidur.”
“Bagaimana kita tahu ini obat penawarnya?” tuntut Randian. “Satu orang
di dalam pesawat ini dengan sengaja membuat kita keracunan. Siapa tahu obat ini
malah membunuh kita!”
Hening sejenak sampai akhirnya Pamungkas berkata. “Enggak,” tegasnya.
“Saya yakin pembajaknya ingin kita hidup. Karena kalau kita mati, maka
pembajakan ini enggak bernilai. Kalau saya mati, dia enggak akan dapat apa yang
dia inginkan.”
Meski ingin membantah, Randian tahu kata-kata Pamungkas benar.
“Ular kobra!” jerit Harry sambil menunjuk lampu. Dia menutup mukanya.
Kondisi Harry dan Kristian sudah sangat mengkhawatirkan. Racun atau
bukan, obat ini perlu dicoba. Namun siapa yang harus mencobanya?
“Saya harus setuju sama kata-kata Pak Pamungkas,” ujar Jordan lemah.
“Dengan adanya satu mata-mata di antara kita, dan satu orang di luar yang
mengatur segalanya, pesawat ini harus mendarat dengan selamat. Masa iya
mata-matanya ikutan mati?”
“Tetap aja. Kita enggak tahu ini obat apa,” sergah Randian.
“Ular kadut!” Harry memutar-mutar matanya.
Pamungkas menggunakan jeda waktu sejenak untuk mengambil keputusan.
“Andre, kamu makan obatnya!”
Andre mengerutkan alis, menelan ludah dalam rasa mual. “Apa?!”
“Kalau lima belas menit setelah Andre minum obatnya dia mati, kita
enggak akan minum obatnya.”
“Pak, yang benar aja,” kata Maulana.
“What the fuck?!” umpat
Randian.
“Kok Bapak tega, sih?!” sahut Jordan.
Ketiga orang itu mengatakannya secara bersamaan. Namun Pamungkas tak
mendengarkan. Malah, manager marketing
itu berkata, “Dia cuma teknisi. Enggak ada nilainya. Kalau mati pun enggak
apa-apa. Ayo, sekarang minum obatnya.”
Selain rasa mual di dalam perut, perasaan sakit hati juga menggerogoti
organ dalam tubuh Andre. Dia tahu Pamungkas orang brengsek yang jahat. Namun
dia tak menyangka Pamungkas bisa sejahat itu. Andre memang hanya teknisi biasa.
Gajinya kecil dibandingkan Pamungkas. Eksistensinya pun nyaris tak disadari
oleh kebanyakan orang.
Namun Andre juga punya nyawa. Enggak seharusnya didiskriminasi karena
profesinya teknisi.
“Saya enggak setuju!” bela Randian. “Kalau kita harus minum obat ini,
maka semua di sini meminumnya. Bukan Andre saja.”
“Kalau kita semua minum, nanti semua bisa-bisa mati. Kita kan belum tahu
ini obat apa racun!” sergah Pamungkas ngotot.
“Ya udah, mati sekalian aja semuanya. Supaya pembajaknya enggak dapat
apa-apa.”
“Enggak!” balas Pamungkas. “Dalam kondisi seperti ini, kita harus punya
strategi matang. Kita juga perlu berkorban, supaya—”
“Saya akan minum,” potong Andre tiba-tiba. Semua orang menoleh ke
arahnya. Mata Andre merah dan berair, tetapi dengan tegas dia mengatakan, “Saya
akan minum.”
“Andre! Jangan! Please ….”
Randian memohon. Selain tubuhnya menggigil, tangan Randian tampak bergetar
sekarang.
Dengan kilat Andre mengambil satu obat dan sebotol air putih.
“ANDRE!” teriak Randian, melompat ke arah teknisi itu untuk mencegahnya
menelan obat, tetapi Andre sudah memasukkan obat ke dalam mulutnya. Randian
menindih tubuh Andre, mencoba mengeluarkan obat itu, tetapi Andre memalingkan
wajah ke atas sofa, menutupi pandangannya.
Yang bergaung di common room
saat ini adalah isak tangis Andre, lolongan Randian, ditemani deru mesin jet di
luar kabin. Lima menit berlalu, Andre tak menunjukkan gejala apa pun. Randian merosot
ke atas lantai, tak percaya cowok di depannya berani melakukan itu tanpa
pertimbangan. Andre perlahan-lahan bangkit, mengelap air mata di pipi, lalu berjalan
ke galley. Semua orang memandang
kepergiannya dengan miris.
Andre mengambil selembar kertas yang bisa dia temukan, kemudian membuat
surat. Mendekati tempo lima belas menit, Andre meminta akses ke kokpit dan
memberikan surat itu kepada Laurence. Setelahnya, Andre berbalik. Di lobi dia
menemukan semua orang, kecuali Kristian dan Harry, berdiri. Mereka menunggu
reaksi yang terjadi pada tubuh Andre.
Namun apa yang Andre rasakan? Dia malah merasa semakin segar. “Saya ….”
Andre menelan ludah, bukan karena mual, melainkan mencari kata-kata. “Saya
merasa lebih segar.”
Pada saat yang sama, Kristian berjalan tertatih-tatih menyusuri lorong
samping conference room. Dengan napas
yang pendek Kristian berkata, “Saya tahu,” ujarnya pendek-pendek. “Maulana
mata-matanya!”
“Apa?” Maulana mengerutkan alis.
Jordan menghampiri Kristian, membantunya duduk di atas kursi lorong.
Kursi yang dua jam lalu ditempati Randian. “Kamu ngomong apa, sih? Dari mana
kamu dapat kesimpulan itu?”
Kristian menatap Maulana dengan tatapan tajam. “Semua sudah jelas,”
katanya. “Pertama, dia satu-satunya yang enggak keracunan.”
“Tapi Maulana sudah mencicipi makanannya,” bela Pamungkas. “Sebelum
kalian menyantap makan malam, Maulana mencoba satu per satu.”
“Justru itu. Kalau sudah mencicip, kenapa dia enggak keracunan? Atau
jangan-jangan, dia sama sekali enggak makan. Apa Bapak melihat Maulana mencicipinya
dengan mata kepala sendiri?”
Pamungkas terdiam. Sesaat kemudian, Pamungkas menoleh ke arah Andre.
“Oh, Andre pasti lihat!”
Andre menggeleng. “Saya … saya cicip atas permintaan kru kabin. Saya …
saya enggak lihat kru kabin cicip makanan sebelum saya.”
“Tapi saya nyicip, kok!” sergah Maulana membela diri. “Saya juga
mencobanya.”
“Kedua,” lanjut Kristian, “dia mencari akses internet agar bisa
berkomunikasi dengan pembajak di darat. Supaya dia bisa memberi tahu situasi.
Dengan Bapak ngasih akses Wi-Fi, dia bisa berkomunikasi dengan siapa pun di
luar. Hanya dia semata.”
Maulana menggelengkan kepala. “Silakan cek hape saya. Saya hanya meng-googling cara mengatasi keracunan
makanan, Pak. Saya tidak berkomunikasi dengan siapa-siapa.”
“Ketiga ….” Kristian tetap melanjutkan. “Saya tahu persis di laci nakas master bedroom tidak ada obat apa pun
beberapa saat lalu, tepat ketika saya melakukan photoshoot dengan Harry. Mengapa sekarang jadi ada obat? Laci
nakas, pula.”
Hening sejenak dalam ruangan.
Pamungkas berjalan pelan-pelan sambil berpikir. “Jangan-jangan yang
membuka switch masker oksigen itu ….”
Sepuluh menit kemudian, setelah diskusi yang sangat alot di dalam lobi,
Laurence bebas dari tuduhan. Maulana terborgol di ruang meeting kecil. Duduk tepat di seberang mayat Mora.
To be continued ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar