014 The Hole
Sembilan jam sejak keberangkatan dari Seattle. The Flying Paradise sudah memasuki wilayah udara Jepang. Beberapa
saat lalu melewati Hokkaido, tetapi masalah belum terpecahkan. Kondisi
terakhir, Maulana menjadi tersangka.
Tak ada yang bisa terlelap dalam penerbangan itu. (Kecuali Harry,
tentu.) Setiap orang berkumpul di common
room dan berseteru dengan Pamungkas yang bersikukuh tak meminta bantuan.
Mike melamun menatap langit di depannya yang terus-menerus lembayung.
“Maaf,” ujar Mike pelan. Kata-kata itu ditujukan kepada Laurence yang
kini sudah duduk di sebelahnya. “Saya hanya merasa … merasa perlu menyalahkan
seseorang.”
Laurence tak menjawab.
“Mungkin karena saya tertekan, hal sekecil apa pun membuat saya curiga,”
lanjut Mike. “Kamu enggak pantas diperlakukan seperti itu hanya karena dugaan
saya semata. Dugaan yang belum terbukti.”
Laurence masih tak menjawab.
Tak lama berselang, panggilan akses masuk menyala. Seseorang ingin masuk
ke dalam kokpit. Karena dalam penerbangan ini semua orang bisa jadi penjahat,
Mike tak repot-repot menanyakan siapa yang ada di balik pintu. Dia membukanya,
menoleh, dan menemukan Randian berdiri di sana sambil tersenyum. Sebagai
arsitek yang mendesain interior kabin, Randian memang tahu cara memohon akses
masuk ke dalam kokpit.
“Boleh bicara sebentar?” tanyanya.
“Silakan masuk,” balas Mike.
“Empat mata.” Randian meremas selangkangannya sendiri.
Mike menghela napas dan menimang-nimang. Setelahnya, dia menekan tombol
PA (public announcement) untuk
mengumumkan, “Flight engineer is required in the cockpit. Thank you.”
Setelah Andre muncul, Mike pun berdiri dari kursinya. Mike keluar dari
kokpit, membiarkan Andre menjadi kru yang menemani Laurence. Randian sempat
berbisik, “Kok, kamu nyuruh dia yang jaga?”
Mike mengerutkan alisnya. “Siapa lagi harusnya? Pamungkas?”
“Penumpang lain enggak bisa?”
“Enggak, lah. Harus kru terbang. Kalau Maulana diborgol, ya tinggal
Andre. Kenapa emangnya?”
Randian berdecak. “Oke, aku ceritain nanti. Tapi kita harus bicara di
tempat tertutup.”
Mike menarik napas panjang dan memutuskan membawa Randian ke ruang kru.
Sebuah ruangan yang berada tepat di bawah lobi. Dari samping lavatory depan, ada akses ke bagian
bawah kabin di mana terdapat tempat tidur dan penyimpanan peralatan pribadi
kru. Tidak ada siapa-siapa di sana. Sengaja Mike bawa ke sini karena dia tahu
mengapa Randian memanggilnya.
Setelah menutup pintu, Mike pun mengecup bibir Randian sekali dan duduk
di atas salah satu tempat tidur. “Apa? Sange?”
Randian terkekeh. “Bener. Tapi ada hal yang mau kubicarain, sih.”
“Alah. Untuk apa saya dengerin? Whatsapp dari saya aja enggak digubris,”
balas Mike.
“Kan udah saya bilang, Mas. Saya lagi ada sesuatu kemarin. Toh, saya
akhirnya muncul kan semalam buat nemenin kamu?”
“Iya. Setelah tiga hari saya ajak ketemuan, tapi ditolak terus.
Sampai-sampai saya coli sendirian.
Maulana enggak mau datang. Kamu enggak mau datang.”
Randian menghela napas sambil menghampiri Mike dan mengecup keningnya.
“Iya, maaf. Saya beneran ada kegiatan tiga hari terakhir. Ada proyek. Seperti
yang saya jelaskan ke kamu malam kemarin.”
Randian adalah laki-laki lain yang secara berkala bercinta dengan Mike.
Hubungan Mike dan Randian sebatas sanggama semata. Tidak ada cinta terlibat di
dalamnya. Mike tahu Randian mencintai seseorang. Mike pun hanya mencintai
istrinya meski dia keluyuran dengan laki-laki lain. Ketika dirinya tiba di
Amerika dan mengetahui Randian maupun Maulana ada di sana, dia pikir perjalanan
dinas kali ini akan menyenangkan. Ternyata dua-duanya tak mengunjungi kamar
Mike untuk bersetubuh.
Randian muncul pada malam terakhir, bertengkar dengan Mike karena
dirinya menghilang, lalu mereka berciuman. Sayangnya, karena terlalu lelah, tak
ada penetrasi seksual hingga pagi. Karena sebal, Mike mengurung kemaluan
Randian dalam sebuah penis cage
berbahan silikon yang keras. Meski Randian berotot besar dan tampak sangat
maskulin, perjanjian di antara mereka jelas: Mike boleh menghukum Randian
sesuka hati.
“Mas juga jahat, ngurung kontol saya pas saya tidur,” bisik Randian
dengan suara dalam, sambil melumat bibir Mike beberapa saat.
“Itu hukuman buat kamu yang enggak muasin saya.” Mike memegang rahang
Randian dengan kokoh, lalu membalas lumatan itu. Setelah tekanan yang
didapatnya selama penerbangan, ciuman penuh gairah itu membuat suasana hati
Mike lebih baik. Untuk sejenak, Mike juga ingin bersenang-senang sebelum
kembali pusing memikirkan cara selamat dari pembajakan.
Randian meraba selangkangan Mike dan menemukan pilot itu sudah ereksi.
“Tuh, kan curang.” Dia lalu memelorotkan celananya dan menunjukkan kelamin yang
terkurung oleh silikon. Randian juga ingin ereksi, tetapi chastity menahannya. “Bukain dong, Mas.”
“Malas,” jawab Mike sambil melengos.
“Please, lah. Hari ini lumayan
banyak berondong lucu yang bikin saya sange,
tapi saya enggak bisa ngaceng
gara-gara Mas ngurung kontol saya. Come
on.”
“Itu, kan hukuman kamu!” Mike mendengus. “Saya buka pas kita mendarat.”
“Waduh, Mas jahat banget, sih ….” Randian mundur dan berkacak pinggang.
Tungkainya masih tak dibalut celana, kemaluannya masih berkedut-kedut minta
dibebaskan. “Tadi pas saya keracunan dan diare, saya sampe nusuk-nusuk pantat
saya pake jari biar bisa ngeluarin semua. Tahu enggak apa yang terjadi?”
“Apa?”
“Saya keenakan, Mas!” Randian geleng-geleng kepala. “Saya malah jadi
nusuk-nusuk pantat pake jari, horny,
tapi kontol saya dikurung sama Mas. Ayolah, Mas …. Saya kasih lubang, deh. Sama
saya kasih informasi soal orang yang patut dicurigai.”
Mike tidak begitu peduli pada informasi itu. Matanya fokus pada kemaluan
Randian yang terkurung. Tak adanya sentuhan seksual selama di Amerika, membuat
Mike mendambakan seks. Mendambakan menggenjot tubuh seseorang dengan
kemaluannya.
Mike menatap arlojinya. “Lima menit, ya. Karena saya harus kembali ke flight deck.”
“Tapi setelah itu dibuka, ya?”
Mike mengangguk.
Kedua orang di dalam kabin istirahat kru itu bukanlah gay. Keduanya biseksual yang enggak
mementingkan sesi foreplay romantis
seperti sering dilakukan pasangan gay.
Kalau tujuannya bersetebuh, ya bersetebuh saja. Tidak perlu menjilati ini-itu
penuh nafsu untuk membangkitkan gairah. Setiap mereka bertemu, penis Mike
selalu langsung berkunjung ke pantat Randian begitu celana dibuka.
“Bugil!” titah Mike seraya dirinya mengambil koper dan mengeluarkan
kondom maupun gel. Ketika Mike berbalik, Randian sudah tak dibalut oleh sehelai
benang pun. Satu-satunya yang masih dikenakan adalah kurungan penis itu.
“Buka?” tanya Randian.
“Enggak, lah,” jawab Mike sambil terkekeh kecil. “Nanti aja.”
“Yaaahhh ….”
Mike mendorong tubuh Randian ke atas tempat tidur mungil dan sempit,
yang sebenarnya hanya ranjang tipis seukuran 2 meter saja. Dia menarik Randian
ke tepi tempat tidur, mengangkat kedua kakinya ke bahu, dan mulai melepaskan
celana. Penis Mike langsung teracung tegak dan keras, dikelilingi jembut yang
dipotong rapi. Mike mengenakan kondom dan membaluri batang penisnya itu dengan
gel. Kemudian, Mike menusukkan penisnya ke lubang pantat Randian.
“Aaaaaargh …!” Randian melolong sambil membelalak. “Fuck! Anjing! Enak! Argh!” Randian sampai mengulurkan tangannya
memegang tubuh Mike, agar pilot itu terus menggenjotnya tanpa henti.
Seperti yang sudah-sudah, tak ada adegan panas yang mereka lakukan
kecuali aktivitas seksual persis di film porno. Mike menggenjot Randian.
Randian memainkan puting Mike untuk memberikan stimulasi. Begitu terus selama
lima menit genjotan berlangsung.
Bedanya kali ini, Mike mulai kepikiran dengan informasi yang ingin
disampaikan Randian.
“Apa informasinya?” tanya Mike, masih dalam posisi menggenjot.
Randian yang sedang asyik menggigit bibir dan memilin-milin puting Mike,
membuka matanya. Dada Randian yang besar dan berotot bergerak naik turun
mengikuti irama. “Informasi?”
“Kamu bilang ada informasi.”
“Aaahhh ….” Randian mendesah terlebih dahulu sebelum lanjut berkata, “Ya
…. Ya …. Ada. Aaahhh …. Andre itu pelakunya.”
Mike berhenti sejenak dari menggenjot. Dia mengerutkan alis. “Andre?”
Plak! Randian menampar
dada Mike. “Enggak usah berhenti, Mas! Lanjut!”
Perlahan-lahan, Mike menggenjot Randian kembali. “Kenapa Andre?”
“Aaahhh …. Dia …. dia mencurigakan.” Randian menjatuhkan tangannya
melewati kepala, berhenti memilin puting Mike dan memilih menikmati saja
genjotan itu. Ketika matanya terbuka, Randian melanjutkan, “Dia nyembunyiin
sesuatu.”
“Maksudnya?”
Plok! Plok! Plok!
“Saya …. Saya coba ngajak dia ngobrol tadi. Tapi … tapi dia enggak jawab
semua pertanyaan saya.”
“Itu bukan bukti.”
“Dan dia teknisi.” Randian mendongak sambil tersenyum lebar. Dadanya
masih bergelayut naik turun. “Siapa lagi di pesawat ini yang tahu tentang
pesawat selain dia?”
“Saya tahu banyak hal tentang pesawat. Bukan berarti saya membajaknya.”
“Tapi Mas kan di kokpit terus. Gimana caranya ngawasin situasi kalau
sepanjang jalan di dalam kokpit? Harus penumpang dong. Makanya Laurence sudah
pasti bukan pelakunya.” Randian kembali merebahkan tubuhnya ke atas ranjang,
melengkungkan punggung menikmati hantaman Mike di dalam tubuhnya.
Mike membiarkan jeda mengisi udara di sekitarnya, memberikannya waktu
untuk berpikir. Namun tetap saja, itu bukan bukti kuat. Siapa pun tetap bisa membajak
pesawat ini. Mike tahu dia tidak boleh membatasi kemungkinan.
“Aaahhh …. Karena saya di common
room terus, Mas,” lanjut Randian, “saya ngeh kok dia sering enggak ada di
ruangan. Entah dia lagi di mana.”
“Teknisi memang harusnya enggak bareng penumpang.”
“Lah, terus ke mana?” tanya Randian. “Menyusun strategi? Mengeksekusi
rencana? Mengirimkan pesan-pesan? Dia kan tahu cara ngotak-ngatik TV. Saya
lihat dia ngebenerin satu TV pas awal penerbangan.”
Genjotan Mike memelan karena kini kepalanya berpusar lagi pada masalah
penerbangan. Namun Mike tak berhenti menggenjot pantat Randian.
“Andre adalah orang pertama yang minum obat penawar itu,” lanjut
Randian. “Itu karena dia tahu, memang itulah obatnya.”
Mike belum dapat memercayai kata-kata Randian. Sejauh ini, Maulana masih
menjadi tersangka kuat mata-mata pembajak. Berspekulasi tanpa bukti tidak akan
membawa mereka kepada jawaban. Yang ada malah mereka mengulur-ulur waktu.
Akhirnya, Mike menggenjot pantat Randian lebih cepat sekarang.
“Anjing … anjing … ah … ah … ah … Mas. Jangan cepat-cepat! Aaahhh … saya
jadi mau … aaahhh … keluar.”
Memang itu tujuannya, batin
Mike. Pun supaya dirinya bisa orgasme juga.
“Anjing! Saya mau keluar! Bukain, Mas. Bukain!”
Mike tidak membuka kurungan itu. Randian sudah menggoyang-goyang
kelaminnya yang terkurung, yang tak bisa ereksi karena kurungan itu sempit,
hanya cukup mewadahi penis ketika layu.
Plok-plok-plok-plok-plok-plok!
“Anjing! Mas! Ini keenakan, Mas! MAS!”
Lalu sperma Randian merembes keluar dari penis cage. Randian orgasme dalam kondisi ereksi tertahan,
terkurung, dan tidak diberikan stimulan. Namun Randian tetap menggelinjang
keenakan sampai meremas ranjang kru dengan kuat. Lolongan keenakannya seperti
lolongan serigala.
Mike menggunakan kesempatan itu untuk orgasme juga. Mike orgasme di
dalam pantat Randian karena dia tahu dirinya mengenakan kondom. Tubuh Mike
bergetar seperti kesetrum sambil melesakkan kemaluannya lebih dalam ke tubuh
Randian.
Setelah kenikmatan itu tersalurkan, perlahan-lahan Mike mengeluarkan
penisnya dari pantat Randian. Betapa kagetnya sang pilot saat melihat kondom
itu terkoyak-koyak. Bahkan, spermanya tidak berada di dalam kondom. Sperma itu
sudah berceceran keluar. Ke dalam lubang rektum Randian.
“Kenapa?” tanya Randian, melihat wajah cemas Mike.
Mike tidak menjawabnya. Dia langsung melompat ke kopernya dan mengecek
persediaan kondom yang disimpannya di saku paling atas. Mata Mike membelalak
saat dia menemukan satu keanehan.
“Kenapa, sih?” Randian menghampiri Mike.
Sebanyak lima bungkus kondom yang Mike miliki … semuanya berlubang.
Setidaknya empat atau lima lubang seukuran jarum. Dan Mike tidak menyadari itu
sedikit pun.
* * *
Atas dasar desakan semua orang, Pamungkas pun menyerah. Dia sudah terpojok
di common room, diancam ini-itu,
bahkan disiram segelas sampanye oleh Harry yang ngamuk-ngamuk, “Tahu enggak gue
tadi lihat ular kadut di langit-langit?!”
Tepat ketika Randian kembali entah dari mana (wajahnya seperti
ketakutan), Pamungkas pun berkata, “Oke, saya akan melakukan prosedur keadaan
darurat.”
Selama Randian tak berada di common
room, tiga orang penumpang mendesak Pamungkas untuk meminta bantuan
otoritas terkait. Yang namanya Jordan itu ngotot. Kristian juga menyerang
Pamungkas dengan berbagai fakta yang dia ketahui, membuat posisi Pamungkas
sulit. Belum lagi Harry.
Pamungkas sayang kepada Harry. Melihatnya gusar dan ketakutan dalam
penerbangan, membuat Pamungkas bersimpati.
Sebelum Randian yang baru bergabung itu ikutan mencecarnya, Pamungkas
memutuskan untuk mengesampingkan egonya. Mungkin dia bisa memikirkan cara lain
untuk publikasi insiden ini. Sesuatu yang tidak akan membuat buruk nama
perusahaan. Dan mungkin, dia bisa berkoordinasi dengan entah siapa agar kargo
terlarang di pesawat ini tetap berada di bawah radar.
“Jadi apa yang akan kita lakukan?” tanya Jordan, bersiap menulis di
laptopnya.
“Bisa tolong jangan ditulis?” tanya Pamungkas. “Berat bagi saya untuk
mengesampingkan ego menyelamatkan image
perusahaan. Kalian juga paham perjuangan saya untuk mengambil keputusan ini.
Jadi, tolong, jangan ubah pikiran saya hanya karena Bapak mencatatnya.”
Jordan menghela napas pasrah dan menutup laptopnya. “Oke.”
“Karena kita akan landing di
Cina, maka kita akan meminta pendampingan dari militer Cina,” mulai Pamungkas.
“Pilot akan meminta bantuan kepada otoritas agar ada yang mengawasi penerbangan
ini hingga mendarat. Kalau saya bisa melobi mereka agar ini tetap confidential, that would be good. Kalau enggak pun, ya sudah. Biarkan itu menjadi
urusan saya.”
“Lalu gimana dengan pembajaknya?” tanya Jordan.
“Kita, kan sudah memborgol mata-matanya di ruang meeting,” balas Pamungkas. “Kita semua sudah sepakat semua
ciri-ciri mengarah ke Maulana. Saya tentang pun, kalian tetap menuduhnya. Ya sudah,
berarti mata-matanya sudah kita tahan, toh?”
Pamungkas tak menyukai fakta Maulana diborgol di dalam ruang meeting. Dalam diskusi alot beberapa
saat lalu, Pamungkas berusaha membela Maulana. Namun semua bukti tampak
memberatkannya. Bahkan Pamungkas tak bisa menutup mata pada kemungkinan Maulana
membuka switch masker oksigen. Memang
sih bisa jadi Laurence yang melakukannya, tetapi sekarang semua tuduhan terlalu
berat ke Maulana dibandingkan Laurence. Sementara, borgol hanya ada satu
pasang.
“Maksud saya, sembilan juta dolarnya,” ungkap Jordan. “Perusahaan mau
ngasih?”
“Seperti yang saya bilang, misal perusahaan mau ngasih pun, belum ada
informasi lanjutan dari pembajaknya.”
“Karena mata-matanya sudah kita tangkap, ya kita kasih tahu aja bahwa
kita mau ngasih uangnya. Dia enggak perlu tahu perusahaan Bapak bakal ngasih
uangnya atau enggak. Yang penting Maulana bisa ngirim pesan ke si pembajak.
Nyalakan Wi-Fi lima menit, biarin dia kirim pesan, matiin lagi Wi-Fi-nya,” usul
Jordan.
Mendengar kata Wi-Fi, air muka Harry berubah gembira. “Wi-Fi!” serunya.
“Setengah jam aja. Gue mau bikin story
pesan kematian di IG. Please.”
“Kita tidak akan menyalakan Wi-Fi!” tegas Pamungkas. “Kalau Wi-Fi adalah
caranya berkomunikasi dengan si pembajak, sekalian saja kita putus dan kita
desak Maulana mau mereka apa.”
“Gimana dengan bom?” Randian nimbrung dalam percakapan. “Sudah dicek
belum bomnya ada atau enggak di bawah?”
“Ada,” dusta Pamungkas.
Jordan mengerutkan alisnya. “Kapan ngeceknya?”
“Tadi.” Pamungkas mengangkat bahu. “Tadi sempat ngecek, kok. Sebelum
ribut-ribut ini terjadi. Memang ada.”
Lalu, pada saat bersamaan, Andre masuk ke dalam common room. Kokpit sudah dihuni oleh Mike, sehingga Andre bisa
meninggalkannya. Teknisi itu duduk di kursi paling jauh di common room. Sambil melipat tangan di depan dada, Andre berkata,
“Oh, ya? Caranya gimana, Pak?”
Semua orang menoleh.
“Salut saya kalau Bapak bisa ngecek.” Andre tersenyum. “Prosedurnya
rumit, udah gitu wheel well-nya
gelap, dan saya sih enggak merasa sudah ngecek ke bawah. Pilotnya aja enggak sempat
mengecek wheel well dari dalam, tapi
manager marketing sudah melakukannya.”
Sekarang semua pandangan beralih ke arah Pamungkas. Manager marketing itu menelan ludah.
“Oke, oke. Setelah ini saya akan ngecek!” tegas Pamungkas sambil berdiri
dan menuang segelas anggur. Rahangnya mengeras, pandangannya kesal, dia teguk
anggur sekali telan. “Setelah saya ke kokpit untuk mengizinkan pilot meminta
bantuan, saya akan ke bawah bersama Andre untuk mengecek wheel well. Puas?”
“Saya ikut!” ujar Kristian. “Saya mau ambil foto.”
“Hanya yang berwenang!” tegas Pamungkas. Dia menuang lagi anggur lain
dan meneguknya dengan kilat. “And stop
taking pictures, for fuck sake!” Pamungkas terdengar murka. Kristian sampai
mengelak karena kaget. “Ini sudah bukan waktunya interview. Stop taking
pictures. Stop writing. Okay?!”
Pamungkas pun pergi ke toilet.
Sejak kembali pulih dari keracunan makanan (ya, obat itu memang obat
penawar) Kristian tak berhenti mengambil gambar. Dengan situasi di mana
langit-langit dipenuhi masker oksigen, The
Flying Paradise lebih kelihatan seperti … The Flying Hell.
“Oke. Saya mau nyimpan kamera dulu,” desah Kristian sambil membereskan
lagi kamera dan lensanya ke dalam tas. Kemudian, Kristian berdiri.
“Nitip simpan di kamar.” Jordan menyerahkan laptopnya.
Harry menyipitkan mata. “Jadi kita enggak akan nyalain Wi-Fi?”
Tak ada yang menjawab pertanyaan Harry. Pada saat yang sama, Andre pun
berlalu dari common room menuju ruang
meeting kecil. Beberapa peralatan
yang bisa digunakan untuk mengecek wheel
well ada di sana.
* * *
Obrolan itu hanya beberapa menit. Bagi Andre, obrolan itu sangat
berarti.
Ketika Mike memintanya menemani Laurence di kokpit, Andre senang bukan
main. Dia duduk di jumpseat dan
menatap tengkuk Laurence dari belakang. Pilot muda itu, yang awalnya berwajah
pahit karena sempat dituduh mata-mata, akhirnya tersenyum sambil menoleh ke
belakang.
“What?” sergahnya sambil
terkekeh.
Andre menggelengkan kepala. “Gapapa. Udah, lihat ke depan aja.”
“Untuk apa?” Laurence malah memutar tubuhnya ke belakang. “Pesawatnya autopilot. Aku hanya memerlukan untuk
melaporkan setiap waypoint. Bagaimana kabar kamu? Masihkah menyakit perut?”
Andre menggeleng sambil tersenyum. “Lebih baik.”
“Penerbangan ini menggila,” ujar Laurence. “Dan aku bisakan mempahami
perasaan kamu. Apalagi dengan kehadirannya si brengsek itu, pasti
memberatkanmu. Namun kamu harus mempersabar diri. Begitu kita mendaratkan di
Shanghai, aku menginginkan kamu ada di kamar aku.”
“Kenapa?”
“Untuk memelukkan kamu dan membilang semua akan baik-baik saja.”
Tak pernah Andre se-GR itu seumur hidupnya. Seolah-olah Andre kembali ke
masa SMA di mana setiap gebetannya mengajak ngobrol: perutnya mulas dan mukanya
memerah. Campuran antara senang, gembira, jatuh cinta, berdebar-debar, dan
gugup menjadi satu. Andre enggak berani menatap Laurence. Dia
mengepal-ngepalkan tangan menghilangkan gugup sambil menatap panel di antara
pilot. Karena dia tahu Laurence masih menatapnya, Andre tak berani membalas
pandangan mata itu.
“Terima kasih atas suratnya. It is
beautiful,” ujar Laurence.
“Terima kasih atas suratmu,” balas Andre, merujuk pada tulisan pendek di
atas kertas cokelat yang diberikan Laurence kepadanya di bawah pesawat. “It is powerful.”
“You are powerful. You can face
this.”
Iya, sama kamu, batin
Andre.
Begitu Mike kembali ke kokpit, suasana hati Andre melonjak gembira.
Bahkan, dia tidak takut pada apa pun. Tidak takut pada pembajak, tidak takut
pada bom, tidak takut pada Pamungkas …, dan tidak takut pada Randian. Kalau
Andre harus tersenyum untuk Laurence, dia akan melakukannya.
Itulah alasan Andre berani menantang Pamungkas ketika semua orang sedang
berdiskusi di common room. Toh,
memang kenyataannya Pamungkas belum mengecek, kok. Di pesawat ini, hanya Andre
yang tahu caranya mengecek wheel well.
Maulana ditahan. Mora sudah almarhum. Apa, sih yang Pamungkas pahami soal
teknis pesawat? Minggu lalu saja, Pamungkas mengatakan buntut pesawat yang
mengacung tinggi itu fungsinya untuk marketing.
Untuk menyimpan logo maskapai, beriklan, membuat identitas banner supaya ketahuan itu pesawatnya siapa.
Itu namanya vertical
stabilizer, anjing! Fungsinya untuk
menstabilkan orientasi pesawat kanan dan kiri dalam penerbangan.
Saking berbunga-bunganya hati Andre, ketika Pamungkas menentukan Andre
dan manager itu yang turun ke bawah, Andre tak masalah. Ya sudah, lah. Pada
beberapa kesempatan, Andre akan menjadi orang paling dibutuhkan dalam
penerbangan ini. Mora sudah mati. Kalau Andre mati juga, bisa mampus satu
pesawat pas masalah-masalah teknis bermunculan.
Andre menghampiri ruang meeting
kecil. Di sana, terdapat beberapa tools
yang sengaja Andre simpan agar bisa dijangkau dengan mudah kalau ada apa-apa.
Ada perkakas, senter, tuas, dan lain sebagainya. Andre membuka ruang meeting kecil dan menemukan Maulana
sedang duduk, mengunyah sebungkus roti. Roti yang disajikan oleh Andre tadi
karena Maulana belum makan.
Maulana mendongak dan merasa lega karena seseorang masuk.
“Andre!” sahutnya, ingin berdiri, tetapi satu tangannya terborgol ke
meja. “Aku bukan mata-matanya, Ndre!”
Andre mengangkat bahu. “Bukan kuasaku, Kak Maul. Yang pegang kunci Pak
Mungkas.”
“Tapi aku bukan mata-matanya!” sentak Maulana, nyaris menangis. “Untuk
apa aku jadi mata-matanya, hah? Apa tujuanku melakukan itu? Cuma karena aku
enggak keracunan, terus aku jadi tersangkanya?”
Andre menghela napas. “Aku cuma bicara jujur aja, Kak. Kan, aku memang
enggak lihat Kakak nyicipin makanannya sebelum aku. Tahu-tahu Kak Maul datang
dan nyuruh aku nyobain.”
“Tapi aku enggak ngelakuin apa-apa, Andre!”
Andre enggak mendengarkan. Hatinya sedang fokus berbunga-bunga karena
Laurence, dan tugas dia adalah mengambil perkakas. Dia akan fokus ke sana saja.
“Permisi, aku mau ngambil tools di
sana.”
“Kalau kamu enggak bantuin aku, kubocorin ke orang-orang kalau kamu gay.”
“Percuma. Semua orang udah tahu setiap manusia di pesawat ini homo, Kak.
Satu-satunya straight di pesawat udah
almarhum.” Andre melirik sejenak ke arah Mora yang masih terbujur kaku dalam
posisi sama, diselimuti selimut di seluruh tubuhnya.
“Tapi seluruh teman-teman kamu belum tahu, kan? Atau ibu kamu?”
Andre mengernyitkan kening. Enggak percaya Maulana akan memerasnya
seperti itu.
Ya, pada suatu waktu, Andre pernah menggunakan jasa Maulana untuk
memuaskan hasrat seksualnya. Reputasi Maulana sebagai “kucing” di dunia gay lumayan tersohor. Bahkan reputasi
Maulana sebagai kru kabin yang “bisa dijamah” terkenal di antara para pelanggan
homo. Dalam beberapa penerbangan, Andre menemukan Maulana sedang digilir oleh
tamu yang menyewa pesawat. Maka dari itu, Andre berani mengumpulkan uang untuk
bisa menikmati Maulana semalaman, merasakan kenikmatan dari tubuh seorang
laki-laki menarik.
Karena, gini … Andre bukan tipe Aquarius yang bertualang ke sana kemari
urusan seks. Dia jenis Aquarius yang fokus menjadi orang pintar, kutu buku,
memperbanyak network untuk
kepentingan sendiri, dan mempertahankan pride
bahwa dia orang terbaik di ruangan. Prestasinya banyak. Termasuk, menurut
Andre, dipilih sebagai teknisi senior (ketika umurnya baru 26 tahun) sebuah
Boeing 777 untuk diwawancara dalam penerbangan feri.
Urusan seks? Nihil.
Ada, sih. Tapi sama sekali enggak membanggakan, jadi Andre enggak pernah
menghitungnya. Dia betulan ingin memiliki seorang laki-laki untuk dirinya
sendiri. Kalau dia membayar jasa itu, dia bisa melakukan apa pun kepada barang
beliannya. Maulanalah yang dia pilih karena memang wajah Maulana manis, imut,
ganteng, badannya bagus, dan ketika Maulana melihat Andre, tiba-tiba pramugara
itu memberikan diskon. Katanya, Andre imut.
Malam bersama Maulana adalah malam yang tak bisa Andre lupakan.
Semalaman dia boleh menjilat dan mengendus tubuh Maulana. Atau, memainkan
kemaluan Maulana sesuka hati. Atau memeluknya sambil tidur. Atau berciuman.
Pokoknya, Andre pulang dengan perasaan sangat gembira.
Namun itu hanya terjadi sekali. Setelah itu, Randian masuk ke dalam
sejarah hidupnya. Dan kehidupan seks Andre berubah.
Makanya, ketika Mora bilang bahwa Maulana bersaksi Laurence gay, Andre percaya 100%.
Sayangnya, saat ini, Andre sedang tak mau terlibat drama. Dia hanya
ingin mengambil tools untuk mengecek wheel well, dan hanya itu.
Suasana hatinya yang sangat baik tak ingin dikacaukan lagi. Dalam
kepalanya hanya ada Laurence, Laurence, dan Laurence. Misal Maulana mau memberi
tahu semua orang soal dia gay?
Silakan. Dipecat dari perusahaan gara-gara dia homo? Silakan. Toh Andre ingin
meninggalkan maskapai ini sejak lama.
Setelah obrolan manis dengan Laurence di kokpit tadi, Andre merasa
tujuan hidupnya sudah terpenuhi.
Jadi, Andre hanya tersenyum dan bilang, “Permisi.” Kemudian Andre
membungkuk di atas tubuh Maulana, menggapai sekotak tools yang berada di bawah kursi itu.
“Andre, please,” pelas Maulana. “Aku bukan mata-mata.”
Andre mengambil tools-nya dan
pergi dari ruangan.
Laurence, Laurence, Laurence.
To be continued ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar