20 The Motives
Jordan tak perlu mencari alasan apa pun untuk menginterogasi setiap
orang. Ketika pesan ketiga itu muncul di layar, dia langsung menekan Pamungkas
untuk mengadakan sesi sepuluh menit bersama delapan orang yang ada di dalam
pesawat. Semua yang masih hidup.
Pamungkas mulai gila. Dia menyesap terlalu banyak minuman, mabuk, dan
menabrak sebuah sofa hingga terguling-guling di lantai. “Ya! Ya! Terserah!” Apalagi
pihak maskapai tidak merespons baik permintaan pembajak.
Seseorang dari maskapai memberi tahu Pamungkas bahwa, “Kami tidak akan mengeluarkan 9 juta,
mengganti struktur organisasi, bahkan memberi tahu rahasia perusahaan ke
publik. Sebaiknya pesawat itu meledak saja!”
Karena Pamungkas mengeraskan suara telepon, semua orang dapat
mendengarnya. Tak ada yang peduli lagi di bawah sana. Bahkan, perusahaan
sebesar Yavadvipa Jet lebih memilih meledakkan pesawat 395 juta dolar
dibandingkan rahasia perusahaan terbongkar. Jordan tak tahu sebesar apa rahasia
itu sampai-sampai nilainya lebih tinggi dari 395 juta dolar.
“Pertama, pesawat ini ada asuransi,” ujar Pamungkas lemas, di depan
semua orang yang mengitarinya di common
room. “Kalau meledak pun, masih akan ada uang yang kembali. Apalagi
alasannya pembajakan. Kedua … rahasia perusahaan ini memang lebih mahal dari
pesawat ini.”
“Jadi kita dibiarkan mati seperti cecunguk?!” jerit Harry dengan napas
memburu. “Jadi mereka enggak akan membantu?!”
“Mereka tetap membantu sampai kita mendarat darurat di Halim. Tapi
mereka enggak akan memenuhi satu pun permintaan itu,” jawab Pamungkas,
bersender di sofa dan nyaris melorot ke lantai.
Harry yang sedari tadi melakukan live IG melalui ponselnya, mulai membuat
konten baru yang dia namakan doomsday.
Dia bertelanjang dada sambil bercerita dengan panik bahwa pesawat dalam keadaan
genting. Bahkan, Harry membual bahwa ada ular di dalam pesawat. Bahwa
suasananya mirip Final Destination
sekarang.
“Beberapa politisi besar punya sejarah kotor dengan maskapai,” gumam
Pamungkas. “Pasti maskapai dapat sponsor dari para politisi ini untuk mengganti
harga pesawat yang meledak.”
“Jangan putus asa dulu.” Jordan menarik napas. “Hadirnya pesan di TV mengindikasikan
bahwa Kristian … dan juga Mas Randian, bukanlah mata-matanya. Atau bisa jadi
mata-mata, tapi kayaknya enggak ngaruh juga misal diborgol.”
“Tapi kita belum mengecek lima orang lain ketika diborgol,” ujar Maulana
tiba-tiba. “Maksud saya, ketika saya, Laurence, Mas Kristian, dan Mas Randian
diborgol, pesan tetap muncul. Apakah pesan yang lain akan muncul ketika misal
Mas Jordan, Pak Pamungkas, Harry, Kapten Mike, sama Andre diborgol? Bukankah
ini cara bagus untuk mengurangi dugaan?”
Jordan sedikit banyak setuju dengan ide itu. “Tapi pesan apa lagi yang
dia inginkan?” ujar Jordan. “Saya enggak tahu apa bakal ada permintaan keempat.
Karena di permintaan ketiga itu, dia sudah siap menangani bomnya. Yang berarti,
udah enggak akan ada lagi, bukan sih?”
“Informasi cara mematikan bom mungkin?” Maulana mengangkat bahu.
“Itu, kan kalau kita udah menuhin permintaan dia.”
“Ya bilang aja kita udah transfer uangnya,” sahut Harry, sambil
melemas-tegangkan otot dadanya yang besar, seperti berkedut-kedut. Jordan
memutar bola mata. “Bilang aja kena kliring. Jadi baru nyampe tiga hari lagi.
Tapi kita bilang udah kirim. Bikin bukti transfer palsu! Ya! Kristian kan
fotografer, pasti bisa Photoshop.”
“Enggak ada jaminan dia pengin ditransfer,” ujar Jordan. “Bisa jadi
pembajaknya pengin uang tunai.”
“Dan pembajaknya pasti sudah tahu apa rencana kita di sini. Orang ada
mata-mata di sini.”
“Fuck me dead,” gumam
Harry sambil menepuk jidatnya. Dia menatap layar ponselnya lalu membelalak.
“Yang penting kita udah viral! Lihat, nih! Lihat!” Harry menunjukkan layar
ponselnya, tetapi tak satu pun dari orang di common room itu sudi melirik untuk melihat. “Banyak yang support kita. Hashtag #saveharry trending di Twitter peringkat tujuh.
Kita bisa minta bantuan fans gue buat
nyumbang di Gofundme! Wait, gue bikin
akunnya dulu.”
Pamungkas bahkan sudah tak peduli dengan Wi-Fi. Kalau Harry mau
mengumbar-umbar soal insiden ini, silakan.
“Oke, karena hidup kita ada di tangan kita sendiri,” ujar Jordan,
berdiri dari sofanya, “izinkan saya menginterogasi semua orang di ruangan ini.”
“Ya! Ya! Terserah!” jawab Pamungkas malas.
“Kalau Mas nyebut interogasi, entar mata-matanya bisa berbohong dong?”
tanya Maulana.
“Tinggal lihat aja, siapa yang bohongnya paling masuk akal. Siapa yang
enggak. Apalagi kalau mata-matanya sudah dengar maskapai enggak akan memenuhi
permintaan, dia pasti kelabakan. Iya, enggak, sih?”
* * *
Mike
“Hanya sepuluh menit,” ujar Jordan. “Saya janji.”
“Apa pun untuk membantu Mas.”
Jordan menarik napas. “Saya enggak akan basa-basi. Saya mencari motif yang
kuat di sini. Dan meskipun seseorang bisa berbohong, saya tetap akan
menganalisisnya dengan kemampuan saya membaca karakter. Saya lulusan psikologi
dan mendalami pendalaman karakter dalam literatur.”
Bukan. Jordan bukan lulusan psikologi. Namun kalau tidak berkata seperti
itu, mereka tak akan percaya.
“Saya juga menonton serial TV Amerika Lie To Me sebanyak tiga season,”
tambah Jordan. “Itu serial yang mengajarkan cara mengetahui apakah seseorang
berbohong atau enggak. Saya nonton tiga season
karena tugas kuliah. Kayak misalnya, kalau kita lihat ke kanan pas lagi mikir, berarti
yang dipikirkannya fantasi atau imajinasi. Karena itu berkaitan dengan otak
kanan, yaitu art. Kalau matanya ke
kiri, berarti pakai otak kiri, yang berarti logika dan memory. Kalau lihat ke kanan, berarti sedang berbohong, karena
otaknya sedang merangkai sebuah plot yang sifatnya imajinasi, bukan ingatan.”
“Oke.” Mike mengangguk-angguk kecil. Sejenak, Mike menggaruk-garuk
selangkangannya.
“Apa pendapat Kapten, soal Pak Pamungkas?”
Mike mengerutkan alisnya. “Itu pertanyaannya?”
Jordan mengangguk. “Dan masih banyak lagi.” Jordan menunjukkan dengan
kilat daftar pertanyaan yang sebenarnya coretan tak berguna yang akan dia
tanyakan secara random kepada semua
orang. “Justru kadang, misteri terungkap dari pertanyaan enggak penting kayak
begitu, lho. Apa pendapat Kapten, soal Pak Pamungkas?”
Mike menarik napas panjang lalu memutar matanya ke kiri. Tanda
kejujuran. “A dick?”
Jordan ingin sekali berseru untuk setuju, tetapi dia harus menguasai
dirinya sendiri. “Why?”
Mike mengangkat bahunya. “Karena dia enggak menghormati saya sebagai
kapten penerbangan? Seluruh keputusan harusnya di tangan saya, bukan di tangan
beliau. Tapi beliau merasa beliaulah yang pantas membuat keputusan. Wait, is this off the record?”
Jordan mengangguk sambil mengetik laptop. “Of course. Makanya kita melakukannya di ruang kerja, ruang
tertutup. Hanya saya aja yang bisa akses data ini. Okay, next question.” Jordan merapikan kertas. “Kalau Kapten hanya
punya satu kesempatan menyelamatkan satu orang, siapa yang bakal Kapten pilih.”
“What the fuck?”
respons Mike sambil terkekeh. “Untuk apa sih pertanyaan itu?”
Jordan mengangkat bahu. “Ini sebenarnya pertanyaan moral ethics. Kayak misalnya, dalam situasi genting atau survival, psikolog pengin tahu individu
semacam apa yang akan diselamatkan dari bahaya. Atau istilahnya, the trolley dilemma. Ketika kita punya
kuasa atas sebuah kereta yang melaju, tapi enggak ada remnya, lalu ada dua
jalur di depan. Satu jalur isinya satu orang, satu jalur lima orang. Mau nabrak
yang mana?”
Sekali lagi, Jordan bukan psikolog. Apalagi profesor etika moral. Dia
kebetulan tamat menonton empat season
serial TV Amerika The Good Place,
jadi dia dipapari berbagai ilmu soal etika moral. (Sudah disebutkan belum sih
kalau Pisces suka drama?)
Mike mengerutkan alisnya. “Itu enggak sama,” jawabnya. “The trolley problem punya pilihan untuk
selamatkan satu atau lima orang. Pertanyaan Mas ini disuruh milih satu yang
prioritas.”
“Sama, kok. Ada ilmu psikologinya.” Jordan sama sekali tidak tahu apa
yang dia sendiri katakan. Yang penting dia bisa mencapai pertanyaan itu.
Mike menghela napas. Dia mulai memutar bola ke kanan, mencari jawaban.
“Saya nyelamatin Mas aja, deh.” Terdengar jelas, Mike malas-malasan menjawab
pertanyaan itu. Dan Jordan menyadari penuh.
“Bukan Mas Randian?”
“Enggak, lah,” sergah Mike buru-buru. Seolah-olah itu jawaban jelas.
“Mas Maulana?”
Jeda sejenak sebelum Mike menjawab, “Enggak juga.” Mike berdeham. Jordan
merasakan lantai kabin bergoyang-goyang sedikit. Ketika Jordan menengok ke
bawah, tumit Mike mengetuk-ngetuk lantai. “Ada lagi?”
Menarik, batin Jordan.
“Nah, kalau semua orang sudah mati, termasuk saya. Sisa menyelamatkan Mas
Maulana atau pesawat ini …, mau menyelamatkan siapa?”
“Maulana,” jawab Mike.
Oke, ini menarik. Karena ketika mengatakan Maulana pun Mike masih
mengetuk tumitnya ke lantai. “Bahkan meski Kapten dapat bonus dua milyar karena
menyelamatkan pesawat, Kapten akan menyelamatkan Mas Maulana?”
Jeda lagi selama sekitar empat detik. Lalu Mike menjawab, “Ya. Maulana.”
“Boleh saya tahu mobil Kapten di rumah merek dan tipe apa?”
Dengan cepat Mike menjawab, “Porsche Boxter.” Dan tumitnya tak mengetuk
lantai.
* * *
Laurence
“Pamungkas?”
“Don’t care.”
“Maulana?”
“Skip.”
“Randian?”
Laurence terkekeh meremehkan. Meski begitu, tatapan matanya tak lepas
dari memandang mata Jordan. Seolah-olah Laurence tak pernah berkedip sejak
masuk ke ruangan dan mendengarkan Jordan menjelaskan soal gelar palsunya di
psikologi dan serial Lie To Me.
“Andre?”
Jeda sejenak. Kemudian menggeleng pelan. “He’s just … just an engineer. Nope. Apakah kita hanya akan
memperbicarakan satu orang yang akan aku menyelamatkan?”
Jordan mengangguk yakin sambil mengetik sesuatu di laptopnya.
Sejujurnya, Jordan agak terintimidasi oleh tatapan mata Laurence yang intens
langsung menatap ke matanya. Belum lagi wajahnya bule-bule ganteng mediterania
bermata cokelat terang.
“Gimana dengan Mike?” tanya Jordan melanjutkan. “Apakah Mas Laurence mau
menyelamatkan Mike.”
Laurence menelan ludah—Jordan bisa melihat dengan jelas kerongkongan itu
bergerak di balik kulit lehernya. Meski tatapan mata Laurence tak pernah padam
memandang Jordan. “Nope,” jawab
Laurence kukuh. “I will not save anyone.
Even you.”
Jawaban Laurence agak-agak seram sebenarnya. Jordan bisa saja menuduh
Laurence pembajak secara langsung. Namun Jordan tahu, Laurence hanya sekadar
malas mengikuti interview ini.
Makanya Laurence menatap terus-menerus mata Jordan.
Jordan membetulkan kacamatanya. “Oke. Next question. Karena kita semua terlanjur melihat foto Mas dengan
seseorang di tempat tersembunyi, entah di mana, dan entah transaksi apa—tapi
saya yakin itu transaksi. Saya mau nanya—”
“Not your business,” jawab
Laurence tegas.
Jordan menutup mulutnya lagi. Tiga detik kemudian mengatakan, “Oke.”
Jordan menarik napas panjang. “Sebenci apa Mas sama Pak Pamungkas.”
“You don’t wanna know.” Kali
ini Laurence terkekeh kecil. Kekehan meremehkan, kepada Pamungkas.
“I know,” jawab Jordan.
“Saya cuma mau lihat pendapat Mas Laurence aja soal Pak Pamungkas. Gini, saya
ada kecurigaan ini semua dilakukan Pak Pamungkas. Kalau Mas bisa ngasih tahu
saya alasan-alasan mengapa Pak Pamungkas begitu antagonis dalam penerbangan ini
….”
“Dia hanya memikirkan dirinya sendiri saja,” jawab Laurence lancar. “Dia
hanya memikirkan kariernya untuk menjadi berposisi CEO. Tapi dia hanya
mengetahui bersenang-senang. Dia tidak tahu bagaimana caranya memposisikan CEO.
Jadi, dia menyikut ke sini ke sana, menganggap semua karyawan rendah dan
budaknya.”
Jordan mengetik dengan cepat informasi itu. “Terima kasih jawabannya.
Kalau Mike?”
Laurence mengerutkan alis. “Apa maksudkah kamu dengan Mike?”
“Mengapa Mike minum-minum sambil bekerja?”
“I don’t know.”
“Kamu mencintai Mike?”
Jeda sejenak. Tatapan mata Laurence semakin intens, seperti menusuk
menatap mata Jordan. Ada satu kerutan di sudut matanya yang menunjukkan
informasi yang disembunyikan. “Tidak,” akunya. Namun Jordan yakin itu bohong.
“Mas, saya menonton Lie To Me
tiga season. Saya tahu ketika seseorang menyembunyikan informasi. Dan menurut
pendataan Mas tadi, Mas ini Scorpio. Jadi—”
“Aku sudah tidak mencintainya,” potong Laurence dengan kedutan di sudut
mata yang sama.
Informasi ini pun bohong, pikir
Jordan. Namun setidaknya Jordan tahu, Laurence pernah atau masih mencintainya.
“Karena sudah ada Andre?”
“Bisa kita mengganti pertanyaan?” Mata Laurence berkaca-kaca. (Dan ya,
masih saja menatap Jordan dengan sangat intens. Seperti mengajak berantem.) Dia
menggaruk selangkangannya, kemudian duduk dengan lebih nyaman.
“Memangnya apa yang dialami Mike?”
Laurence memberikan jeda yang cukup panjang. Mungkin tak percaya mengapa
Jordan terus mendesaknya memberikan pendapat soal Mike. Jordan tak mau pindah
dari pertanyaan itu. Karena itu pertanyaan penting. “You know what, it’s not your business either.”
“So you know what happened to Mike
lately?”
Laurence tak menjawab.
“Kalau Mike adalah pembajaknya,” lanjut Jordan, “maka itu bisa menjadi
motif Mike untuk membunuh saya dan Mas dan yang lainnya. Yang berarti, itu
menjadi urusan saya. Dan mungkin urusan banyak pihak karena pesawat 400 jutaan
dolar ini bukan pesawat kecil.”
Laurence tampak ingin menangis. Matanya berair. Dasar Scorpio, batin Jordan. Sebelum wawancara dimulai, Jordan
menanyakan dulu zodiak setiap orang. Meski penilaian berdasarkan astrologi
sangat tidak valid, tetapi bagi Jordan zodiak membantunya mengotak-ngotakkan
kepribadian dasar.
Mike yang Aries dan Laurence yang Scorpio sudah sangat mewakili sifat
dasar masing-masing. Tatapan intens mata Laurence adalah tatapan intens setiap
Scorpio di seluruh dunia.
“Oke, kalau Mas keberatan menceritakannya,” ujar Jordan, “kita lanjut ke
pertanyaan—”
“Baiklah,” penggal Laurence tiba-tiba. “Tapi ini harus bersifat off the record ….”
* * *
Maulana
“Jadi kita sama-sama zodiak air?” Maulana membelalak. “Sama-sama emotion-oriented?”
“Iya, dong!” Jordan mengacungkan tangan untuk mengajak tos. Namun
Maulana hanya diam saja, duduk dengan tegas dan sempurna. Seperti semua
pramugara saat bertugas. Padahal, Jordan berharap Maulana bisa santai saja. Ya
sudah, Jordan menarik lagi tangannya. “Oke, pertanyaan pertama, apa pendapat
Mas soal Pak Pamungkas?”
Maulana memutar matanya ke kiri, mengingat-ingat. “Dia pekerja keras,”
jawabnya pendek. Memberi jeda untuk berpikir lagi. “Dia tahu apa yang dia mau.
Dia berusaha agar keinginannya tercapai, membuat strategi terbaik, lalu
mendapatkan apa pun yang dia mau. Semua selalu berhasil.”
“Pasti dia Capricorn!” tebak Jordan.
“Bukan. Pak Mungkas Gemini. Lahir awal Juni.”
“Oh.”
Oke. Mungkin moon sign-nya ada di Capricorn, batin Jordan.
Agak mengejutkan juga seorang Gemini punya sifat “pekerja keras, tahu apa yang
dimau, berhasil mendapatkan apa yang dimau”. Gemini representasi komunikasi,
kebebasan, dan perjalanan pendek. Zodiak paling gampang bosan dibandingkan
zodiak lain.
Tampaknya kesaksian Laurence tadi lebih tepat? Yang berarti, Maulana
hanya melebih-lebihkannya saja? Kalau begitu, mengapa Maulana melakukannya? Apa
karena dia mencintai Pamungkas? Dari caranya cemburu kepada Harry sih begitu.
“Kalau Harry?” tanya Jordan.
“Lonte,” jawab Maulana.
Jordan terkikik setuju. Setelah mengetik lonte di laptopnya, Jordan
bertanya lagi, “Tapi menurut kamu apa yang membuat Harry menarik?”
“Harry menarik?” Maulana terkekeh. Dia menggaruk selangkangannya, kemudian
berkata, “Biasa aja.”
Sesebal-sebalnya Jordan kepada Harry, menurut Jordan Harry menarik.
Jadi, misal Harry diketahui sudah bercinta dengan semua orang di pesawat
(seperti Maulana), Jordan enggak akan kaget. Harry itu cowok campuran lokal dan
ras kaukasia. Wajahnya tegas, rahangnya tegas, matanya agak kebiruan, kalau
rambutnya dicat menjadi pirang, orang akan langsung menganggap Harry bule.
Badan Harry? Enggak akan cukup mendeskripsikan kesempurnaannya.
Jadi, untuk ukuran gay yang
sudah bersama segala jenis manusia karena profesinya gigolo, agak aneh ketika
Maulana menganggap Harry “biasa saja”. Namun Jordan paham, ini pasti karena
rasa cemburu.
“Kalau Harry sama Kristian, cakepan siapa?” tanya Jordan.
“Kristian.”
“Harry sama Laurence?”
“Laurence.”
Kemungkinan besar, segala jenis perbandingan yang dilontarkan Jordan
tentang Harry, Maulana tak akan pernah menjawab Harry. Mungkin kalau Jordan
bertanya, “Gantengan mana? Harry atau Kekeyi?” Maulana akan menjawab gantengan
Kekeyi. Saking enggak mau menjawab Harry.
Sebesar itukah rasa benci Maulana kepada Harry? Tapi kok enggak
kelihatan kayak yang benci. Biasa saja. Maksudnya, kalau Jordan cemburu banget
sama kehadiran Harry, sebisa mungkin Jordan akan menyindir Harry untuk
menjatuhkannya. Namun Maulana bersikap biasa saja padahal Pamungkas jelas-jelas
ada foto sedang jongkok dan pantatnya diobok-obok oleh jempol kaki Harry.
Apa karena Maulana seorang Cancer sehingga bisa menampilkan cangkang
yang kuat padahal isi di dalamnya rapuh?
Atau … ada alasan lain?
“Oke, kita ganti topik. Aku mau tahu … di perusahaan tuh kesejahteraan
karyawan enggak dipikirkan, ya?”
“Dipikirkan, kok. Kenapa Mas pikir begitu?”
Jordan mengangkat bahu. “Yah, aku dapat gosip katanya gaji di Yavadvipa
lumayan kecil. Tapi karena maskapai masih beroperasi di tengah pandemi kemarin,
makanya orang tetap bertahan di maskapai ini. Sementara di maskapai lain,
nasibnya belum tentu sama. We know,
lah. Semua maskapai berjadwal seluruh dunia pada awal 2020 kena imbas Covid-19.
Banyak karyawan maskapai dipecat, sementara Yavadvipa Jet kabarnya tetap
terbang.”
Maulana terdiam sejenak mencerna pertanyaan Jordan. Duduknya masih tegak
sempurna seperti pramugara yang sedang bertugas. “Enggak, kok Mas,” jawabnya.
“Kami semua dibayar dengan sejahtera.”
Saking sejahteranya kamu jadi gigolo
sebagai hobi? tanya Jordan dalam hati. Jordan tak menanyakan
pertanyaan itu keras-keras. Dia hanya menulis dalam laptop dan mulai mendeteksi
semua kejanggalan.
“Kalau kekerasan seksual?” lanjut Jordan. “Pembajak bilang soal kekerasan
seksual. Siapa memangnya yang mendapat kekerasan seksual?”
Maulana tersenyum rapi. “Enggak ada kekerasan seksual di maskapai.”
“Kalau Andre sama Mas Randian itu?” bisik Jordan.
“Bapak Randian bukan pegawai perusahaan.”
* * *
Pamungkas
“Saya hanya mencintai istri dan dua anak saya,” tegas Pamungkas, setelah
Jordan mendesaknya memilih antara Maulana atau Harry. “Saya enggak ada hubungan
apa-apa sama dua orang itu.”
Enggak ada hubungan apa-apa, tapi bukti medianya sudah tersebar di
Twitter. (Kalau video Pamungkas di-rimming Maulana di ruang meeting kecil itu dijual, pasti ada yang mau beli,
kok, pikir Jordan.) Jordan lanjut ke pertanyaan berikutnya. “Yang ada di
foto itu, mengapa pembajak menggunakan itu untuk memeras Bapak?”
“Itu foto editan! Hahaha …!” Tawa Pamungkas keras sekali. Seolah-olah
menutupi sesuatu. “Itu foto editan. Kan sekarang zamannya teknologi canggih.
Sama seperti pesawat ini, supercanggih. Seseorang mengedit wajah saya di dalam
kargo pesawat. Digabungin sama isi kargo pesawat. Mungkin dari Google. Entah.
Mungkin pengin bikin image saya ini
nyelundupin kendaraan mewah kayak kasus Garuda. Hahaha. Itu foto editan!”
“Jadi itu bukan foto Bapak?”
“Bukan. Itu foto editan.”
“Jadi di bawah kita ini enggak ada kargo seperti yang dimaksud dalam
foto?”
“Enggak, lah! Ini, kan ferry
flight. Enggak boleh bawa kargo.”
Jordan berhenti mengetik sejenak, sebelum kemudian melanjutkan. Jordan
sudah meng-googling soal
penyelundupan barang mewah yang dilakukan Garuda Indonesia beberapa bulan lalu.
Tidak ada keterangan bahwa penerbangan feri tidak boleh bawa kargo. Kasus itu
mencuat karena adanya manifest barang yang tidak jelas didaftarkan kepada
siapa, dan tidak dideklarasikan di bea cukai.
“Itu cuma foto editan. Alah. Gambar saya sama Harry aja editan,” tambah
Pamungkas tanpa ditanya. Di tangannya ada bir, yang ditenggaknya ditemani
desahan lega dan sendawa. “Nih, saya lagi mabuk. Saya pasti jujur! Itu cuma
foto editan.”
Jordan mendongak sejenak, lalu kembali mengetik. “Kalau gambar sama Harry
editan, video sama Mas Maulana betulan dong?”
Pamungkas memberi jeda sejenak, tampak ketakutan menjawab dengan salah.
“Ya … saya dijebak. Yang pasti saya masih mencintai istri saya dan keluarga
saya. Si Maulana itu kan pelacur! Dia godain saya supaya ngewe ama dia.”
Wow. Kisah cinta yang menarik untuk dijadikan lagu. Kucintai omku sepenuh hati, tetapi Om mengatakanku seorang pelacur.
Jordan kepikiran untuk membuat novel dengan jalan cerita seperti Pamungkas dan
Maulana. (Dan mungkin akan ada tokoh Harry, di mana ending-nya Harry digilas roda pesawat sampai rata.)
“Oke, saya konfirmasi lagi. Foto di dalam kargo adalah editan.”
“Ya. Itu editan!” sahut Pamungkas, menenggak bir dari botolnya. Juga
menggaruk selangkangan berkali-kali. Setelah menenggak bir, selangkangan digaruk.
Selalu seperti itu.(Bir, yang kalau Jordan ingat, tak masuk ke dalam label
aman, karena baunya agak-agak seperti almon.)
“Foto bersama Harry juga editan.”
“Ya. Itu editan juga!” balas Pamungkas segera.
“Meskipun bentuk tubuh Bapak di foto sama persis dengan yang di video—”
“Ah, itu mah si editornya aja yang jago ngedit,” sergah Pamungkas.
“Dicari-cari badan yang mirip ama badan saya, terus dia pasangin kepala saya,
terus edit sama Harry. Itu, kan foto. Foto editan.”
“Iya, sih. Keren banget kalau ngeditnya sampe tahu badan Bapak pas
telanjang gimana. Oke.” Jordan mencatat lagi. Dan tentunya mengetahui bahwa
Pamungkas berbohong. “Sekarang saya mau nanya tentang seseorang. Gimana dengan
Mas Randian?”
Pamungkas tertawa. “Arsitek enggak berbakat. Bikin airport aja enggak becus.”
Jordan tertarik. “Maksudnya?”
“Banyak banget tender dia sama Yavadvipa Jet yang gagal! Hahaha ….”
Pamungkas tertawa keras. Entah efek minuman beralkohol, entah sedang curhat.
“Tender interior cabin Embraer Legacy
sama Phenom, terus apa lagi …. Cessna Citation Mustang kami yang 2018 kemarin
dari semua tender yang si Randian ikutin, gagal semua itu. Belum interior
kantor, tender lounge airport, station
…. Tahun depan Yavadvipa Jet mau ngembangin Bandara Pondok Cabe sebagai bandara
eksklusif VIP dan pesawat pribadi. Si Randian gagal lagi, tuh menangin
tendernya. Hahaha ….”
“Selalu gagal?” ulang Jordan.
“Ya enggak juga. Kadang dia berhasil kerja sama ama kita, lah. Beberapa lounge di airport kecil yang jadi basis
kami, dia dapatin tendernya. Tapi paling … cuma 20% dia menang tender dari
semua tender yang dia ikutin di Yavadvipa Jet.”
“Dan untuk mendesain The Flying
Paradise, dia menang tender ini?”
“Harus, dong. Kan proses pengadaan jasa desain harus lewat lelang, Mas.”
“Dan Mas Randian menang?”
“Karena enggak ada lagi yang ikutan! Hahaha …!” Pamungkas tertawa dengan
puas.
“Lho, kenapa?”
“Enggak tahu. Enggak ada yang mau. Dia satu-satunya yang ikutan, melawan
arsitek sama firma indie yang enggak punya experience,
ya dia menang, lah! Saingan dia di tender-tender sebelumnya enggak ada yang submit. Hahaha ….”
Jordan mencatat dalam laptopnya. Meski sepele, itu tetap merupakan
motif. “Oke, sekarang … saya tertarik untuk membahas tentang … Maulana.”
“Pelacur.” Pamungkas mendengus. “Saya enggak cinta dia. Saya cintanya
istri saya!”
Jordan menyipitkan mata dan mencoba menganalisa gestur Pamungkas yang
ini. Mengapa Jordan punya perasaan bahwa Pamungkas hanya menutupi perasaan yang
sebenarnya? Mengulang-ulang sebuah informasi menjadi ciri bahwa ada informasi
lain yang tidak ingin dikeluarkan. “Oke,” jawab Jordan, “aku mau tahu kenapa
Bapak nyebut Mas Maulana pelacur.”
“Lah. Dia juga udah ngewe sama
Mas, kan? Hahaha …. Mas harus bayar, kan? Hahaha …!”
Jordan hanya tersenyum tanpa menunjukkan gigi. “Emang ama siapa aja Mas
Maulana pernah dibayar?”
“Semua homo di dunia kali. Hahaha …! Dulu pernah satu konglomerat dari
Timur Tengah juga pake jasa dia, namanya Mahmud Aidil. Langganan maskapai,
karena si Mahmud suka banget ngentot Maulana. Jadi setiap pesawat disewa ama
itu raja minyak, si Arab ngentotin Maul sepanjang perjalanan. Dia harus jadi
budak si raja minyak sepanjang pesawat dipake.”
“Pasti dibayar mahal?”
“Ya kagak, lah! Hahaha …! Kan, itu bagian dari servis Yavadvipa Jet.”
Jordan mengerutkan alisnya. “Jadi selain pesawat pribadi, sebenarnya,
Yavadvipa Jet juga menyediakan fasilitas laki-laki untuk digunakan secara
seksual.”
Dengan sangat jujur Pamungkas mengangguk. Jordan tahu, itu betulan jujur.
“Dan, perempuan juga.”
To be continued ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar