Senin, 03 Mei 2021

The Flying Paradise 20

20 The Motives

 



Jordan tak perlu mencari alasan apa pun untuk menginterogasi setiap orang. Ketika pesan ketiga itu muncul di layar, dia langsung menekan Pamungkas untuk mengadakan sesi sepuluh menit bersama delapan orang yang ada di dalam pesawat. Semua yang masih hidup.

Pamungkas mulai gila. Dia menyesap terlalu banyak minuman, mabuk, dan menabrak sebuah sofa hingga terguling-guling di lantai. “Ya! Ya! Terserah!” Apalagi pihak maskapai tidak merespons baik permintaan pembajak.

Seseorang dari maskapai memberi tahu Pamungkas bahwa, “Kami tidak akan mengeluarkan 9 juta, mengganti struktur organisasi, bahkan memberi tahu rahasia perusahaan ke publik. Sebaiknya pesawat itu meledak saja!”

Karena Pamungkas mengeraskan suara telepon, semua orang dapat mendengarnya. Tak ada yang peduli lagi di bawah sana. Bahkan, perusahaan sebesar Yavadvipa Jet lebih memilih meledakkan pesawat 395 juta dolar dibandingkan rahasia perusahaan terbongkar. Jordan tak tahu sebesar apa rahasia itu sampai-sampai nilainya lebih tinggi dari 395 juta dolar.

“Pertama, pesawat ini ada asuransi,” ujar Pamungkas lemas, di depan semua orang yang mengitarinya di common room. “Kalau meledak pun, masih akan ada uang yang kembali. Apalagi alasannya pembajakan. Kedua … rahasia perusahaan ini memang lebih mahal dari pesawat ini.”

“Jadi kita dibiarkan mati seperti cecunguk?!” jerit Harry dengan napas memburu. “Jadi mereka enggak akan membantu?!”

“Mereka tetap membantu sampai kita mendarat darurat di Halim. Tapi mereka enggak akan memenuhi satu pun permintaan itu,” jawab Pamungkas, bersender di sofa dan nyaris melorot ke lantai.

Harry yang sedari tadi melakukan live IG melalui ponselnya, mulai membuat konten baru yang dia namakan doomsday. Dia bertelanjang dada sambil bercerita dengan panik bahwa pesawat dalam keadaan genting. Bahkan, Harry membual bahwa ada ular di dalam pesawat. Bahwa suasananya mirip Final Destination sekarang.




“Beberapa politisi besar punya sejarah kotor dengan maskapai,” gumam Pamungkas. “Pasti maskapai dapat sponsor dari para politisi ini untuk mengganti harga pesawat yang meledak.”

“Jangan putus asa dulu.” Jordan menarik napas. “Hadirnya pesan di TV mengindikasikan bahwa Kristian … dan juga Mas Randian, bukanlah mata-matanya. Atau bisa jadi mata-mata, tapi kayaknya enggak ngaruh juga misal diborgol.”

“Tapi kita belum mengecek lima orang lain ketika diborgol,” ujar Maulana tiba-tiba. “Maksud saya, ketika saya, Laurence, Mas Kristian, dan Mas Randian diborgol, pesan tetap muncul. Apakah pesan yang lain akan muncul ketika misal Mas Jordan, Pak Pamungkas, Harry, Kapten Mike, sama Andre diborgol? Bukankah ini cara bagus untuk mengurangi dugaan?”

Jordan sedikit banyak setuju dengan ide itu. “Tapi pesan apa lagi yang dia inginkan?” ujar Jordan. “Saya enggak tahu apa bakal ada permintaan keempat. Karena di permintaan ketiga itu, dia sudah siap menangani bomnya. Yang berarti, udah enggak akan ada lagi, bukan sih?”

“Informasi cara mematikan bom mungkin?” Maulana mengangkat bahu.

“Itu, kan kalau kita udah menuhin permintaan dia.”

“Ya bilang aja kita udah transfer uangnya,” sahut Harry, sambil melemas-tegangkan otot dadanya yang besar, seperti berkedut-kedut. Jordan memutar bola mata. “Bilang aja kena kliring. Jadi baru nyampe tiga hari lagi. Tapi kita bilang udah kirim. Bikin bukti transfer palsu! Ya! Kristian kan fotografer, pasti bisa Photoshop.”

“Enggak ada jaminan dia pengin ditransfer,” ujar Jordan. “Bisa jadi pembajaknya pengin uang tunai.”

“Dan pembajaknya pasti sudah tahu apa rencana kita di sini. Orang ada mata-mata di sini.”

“Fuck me dead,” gumam Harry sambil menepuk jidatnya. Dia menatap layar ponselnya lalu membelalak. “Yang penting kita udah viral! Lihat, nih! Lihat!” Harry menunjukkan layar ponselnya, tetapi tak satu pun dari orang di common room itu sudi melirik untuk melihat. “Banyak yang support kita. Hashtag #saveharry trending di Twitter peringkat tujuh. Kita bisa minta bantuan fans gue buat nyumbang di Gofundme! Wait, gue bikin akunnya dulu.”

Pamungkas bahkan sudah tak peduli dengan Wi-Fi. Kalau Harry mau mengumbar-umbar soal insiden ini, silakan.

“Oke, karena hidup kita ada di tangan kita sendiri,” ujar Jordan, berdiri dari sofanya, “izinkan saya menginterogasi semua orang di ruangan ini.”

“Ya! Ya! Terserah!” jawab Pamungkas malas.

“Kalau Mas nyebut interogasi, entar mata-matanya bisa berbohong dong?” tanya Maulana.

“Tinggal lihat aja, siapa yang bohongnya paling masuk akal. Siapa yang enggak. Apalagi kalau mata-matanya sudah dengar maskapai enggak akan memenuhi permintaan, dia pasti kelabakan. Iya, enggak, sih?”

*  *  *

Mike



“Hanya sepuluh menit,” ujar Jordan. “Saya janji.”

“Apa pun untuk membantu Mas.”

Jordan menarik napas. “Saya enggak akan basa-basi. Saya mencari motif yang kuat di sini. Dan meskipun seseorang bisa berbohong, saya tetap akan menganalisisnya dengan kemampuan saya membaca karakter. Saya lulusan psikologi dan mendalami pendalaman karakter dalam literatur.”

Bukan. Jordan bukan lulusan psikologi. Namun kalau tidak berkata seperti itu, mereka tak akan percaya.

“Saya juga menonton serial TV Amerika Lie To Me sebanyak tiga season,” tambah Jordan. “Itu serial yang mengajarkan cara mengetahui apakah seseorang berbohong atau enggak. Saya nonton tiga season karena tugas kuliah. Kayak misalnya, kalau kita lihat ke kanan pas lagi mikir, berarti yang dipikirkannya fantasi atau imajinasi. Karena itu berkaitan dengan otak kanan, yaitu art. Kalau matanya ke kiri, berarti pakai otak kiri, yang berarti logika dan memory. Kalau lihat ke kanan, berarti sedang berbohong, karena otaknya sedang merangkai sebuah plot yang sifatnya imajinasi, bukan ingatan.”

“Oke.” Mike mengangguk-angguk kecil. Sejenak, Mike menggaruk-garuk selangkangannya.

“Apa pendapat Kapten, soal Pak Pamungkas?”

Mike mengerutkan alisnya. “Itu pertanyaannya?”

Jordan mengangguk. “Dan masih banyak lagi.” Jordan menunjukkan dengan kilat daftar pertanyaan yang sebenarnya coretan tak berguna yang akan dia tanyakan secara random kepada semua orang. “Justru kadang, misteri terungkap dari pertanyaan enggak penting kayak begitu, lho. Apa pendapat Kapten, soal Pak Pamungkas?”

Mike menarik napas panjang lalu memutar matanya ke kiri. Tanda kejujuran. “A dick?”

Jordan ingin sekali berseru untuk setuju, tetapi dia harus menguasai dirinya sendiri. “Why?”

Mike mengangkat bahunya. “Karena dia enggak menghormati saya sebagai kapten penerbangan? Seluruh keputusan harusnya di tangan saya, bukan di tangan beliau. Tapi beliau merasa beliaulah yang pantas membuat keputusan. Wait, is this off the record?

Jordan mengangguk sambil mengetik laptop. “Of course. Makanya kita melakukannya di ruang kerja, ruang tertutup. Hanya saya aja yang bisa akses data ini. Okay, next question.” Jordan merapikan kertas. “Kalau Kapten hanya punya satu kesempatan menyelamatkan satu orang, siapa yang bakal Kapten pilih.”

“What the fuck?” respons Mike sambil terkekeh. “Untuk apa sih pertanyaan itu?”

Jordan mengangkat bahu. “Ini sebenarnya pertanyaan moral ethics. Kayak misalnya, dalam situasi genting atau survival, psikolog pengin tahu individu semacam apa yang akan diselamatkan dari bahaya. Atau istilahnya, the trolley dilemma. Ketika kita punya kuasa atas sebuah kereta yang melaju, tapi enggak ada remnya, lalu ada dua jalur di depan. Satu jalur isinya satu orang, satu jalur lima orang. Mau nabrak yang mana?”

Sekali lagi, Jordan bukan psikolog. Apalagi profesor etika moral. Dia kebetulan tamat menonton empat season serial TV Amerika The Good Place, jadi dia dipapari berbagai ilmu soal etika moral. (Sudah disebutkan belum sih kalau Pisces suka drama?)

Mike mengerutkan alisnya. “Itu enggak sama,” jawabnya. “The trolley problem punya pilihan untuk selamatkan satu atau lima orang. Pertanyaan Mas ini disuruh milih satu yang prioritas.”

“Sama, kok. Ada ilmu psikologinya.” Jordan sama sekali tidak tahu apa yang dia sendiri katakan. Yang penting dia bisa mencapai pertanyaan itu.

Mike menghela napas. Dia mulai memutar bola ke kanan, mencari jawaban. “Saya nyelamatin Mas aja, deh.” Terdengar jelas, Mike malas-malasan menjawab pertanyaan itu. Dan Jordan menyadari penuh.

“Bukan Mas Randian?”

“Enggak, lah,” sergah Mike buru-buru. Seolah-olah itu jawaban jelas.

“Mas Maulana?”

Jeda sejenak sebelum Mike menjawab, “Enggak juga.” Mike berdeham. Jordan merasakan lantai kabin bergoyang-goyang sedikit. Ketika Jordan menengok ke bawah, tumit Mike mengetuk-ngetuk lantai. “Ada lagi?”

Menarik, batin Jordan. “Nah, kalau semua orang sudah mati, termasuk saya. Sisa menyelamatkan Mas Maulana atau pesawat ini …, mau menyelamatkan siapa?”

“Maulana,” jawab Mike.

Oke, ini menarik. Karena ketika mengatakan Maulana pun Mike masih mengetuk tumitnya ke lantai. “Bahkan meski Kapten dapat bonus dua milyar karena menyelamatkan pesawat, Kapten akan menyelamatkan Mas Maulana?”

Jeda lagi selama sekitar empat detik. Lalu Mike menjawab, “Ya. Maulana.”

“Boleh saya tahu mobil Kapten di rumah merek dan tipe apa?”

Dengan cepat Mike menjawab, “Porsche Boxter.” Dan tumitnya tak mengetuk lantai.

*  *  *

Laurence



“Pamungkas?”

“Don’t care.”

“Maulana?”

“Skip.”

“Randian?”

Laurence terkekeh meremehkan. Meski begitu, tatapan matanya tak lepas dari memandang mata Jordan. Seolah-olah Laurence tak pernah berkedip sejak masuk ke ruangan dan mendengarkan Jordan menjelaskan soal gelar palsunya di psikologi dan serial Lie To Me.

“Andre?”

Jeda sejenak. Kemudian menggeleng pelan. “He’s just … just an engineer. Nope. Apakah kita hanya akan memperbicarakan satu orang yang akan aku menyelamatkan?”

Jordan mengangguk yakin sambil mengetik sesuatu di laptopnya. Sejujurnya, Jordan agak terintimidasi oleh tatapan mata Laurence yang intens langsung menatap ke matanya. Belum lagi wajahnya bule-bule ganteng mediterania bermata cokelat terang.

“Gimana dengan Mike?” tanya Jordan melanjutkan. “Apakah Mas Laurence mau menyelamatkan Mike.”

Laurence menelan ludah—Jordan bisa melihat dengan jelas kerongkongan itu bergerak di balik kulit lehernya. Meski tatapan mata Laurence tak pernah padam memandang Jordan. “Nope,” jawab Laurence kukuh. “I will not save anyone. Even you.”

Jawaban Laurence agak-agak seram sebenarnya. Jordan bisa saja menuduh Laurence pembajak secara langsung. Namun Jordan tahu, Laurence hanya sekadar malas mengikuti interview ini. Makanya Laurence menatap terus-menerus mata Jordan.

Jordan membetulkan kacamatanya. “Oke. Next question. Karena kita semua terlanjur melihat foto Mas dengan seseorang di tempat tersembunyi, entah di mana, dan entah transaksi apa—tapi saya yakin itu transaksi. Saya mau nanya—”

“Not your business,” jawab Laurence tegas.

Jordan menutup mulutnya lagi. Tiga detik kemudian mengatakan, “Oke.” Jordan menarik napas panjang. “Sebenci apa Mas sama Pak Pamungkas.”

“You don’t wanna know.” Kali ini Laurence terkekeh kecil. Kekehan meremehkan, kepada Pamungkas.

“I know,” jawab Jordan. “Saya cuma mau lihat pendapat Mas Laurence aja soal Pak Pamungkas. Gini, saya ada kecurigaan ini semua dilakukan Pak Pamungkas. Kalau Mas bisa ngasih tahu saya alasan-alasan mengapa Pak Pamungkas begitu antagonis dalam penerbangan ini ….”

“Dia hanya memikirkan dirinya sendiri saja,” jawab Laurence lancar. “Dia hanya memikirkan kariernya untuk menjadi berposisi CEO. Tapi dia hanya mengetahui bersenang-senang. Dia tidak tahu bagaimana caranya memposisikan CEO. Jadi, dia menyikut ke sini ke sana, menganggap semua karyawan rendah dan budaknya.”

Jordan mengetik dengan cepat informasi itu. “Terima kasih jawabannya. Kalau Mike?”

Laurence mengerutkan alis. “Apa maksudkah kamu dengan Mike?”

“Mengapa Mike minum-minum sambil bekerja?”

“I don’t know.”

“Kamu mencintai Mike?”

Jeda sejenak. Tatapan mata Laurence semakin intens, seperti menusuk menatap mata Jordan. Ada satu kerutan di sudut matanya yang menunjukkan informasi yang disembunyikan. “Tidak,” akunya. Namun Jordan yakin itu bohong.

“Mas, saya menonton Lie To Me tiga season. Saya tahu ketika seseorang menyembunyikan informasi. Dan menurut pendataan Mas tadi, Mas ini Scorpio. Jadi—”

“Aku sudah tidak mencintainya,” potong Laurence dengan kedutan di sudut mata yang sama.

Informasi ini pun bohong, pikir Jordan. Namun setidaknya Jordan tahu, Laurence pernah atau masih mencintainya. “Karena sudah ada Andre?”

“Bisa kita mengganti pertanyaan?” Mata Laurence berkaca-kaca. (Dan ya, masih saja menatap Jordan dengan sangat intens. Seperti mengajak berantem.) Dia menggaruk selangkangannya, kemudian duduk dengan lebih nyaman.

“Memangnya apa yang dialami Mike?”

Laurence memberikan jeda yang cukup panjang. Mungkin tak percaya mengapa Jordan terus mendesaknya memberikan pendapat soal Mike. Jordan tak mau pindah dari pertanyaan itu. Karena itu pertanyaan penting. “You know what, it’s not your business either.”

“So you know what happened to Mike lately?”

Laurence tak menjawab.

“Kalau Mike adalah pembajaknya,” lanjut Jordan, “maka itu bisa menjadi motif Mike untuk membunuh saya dan Mas dan yang lainnya. Yang berarti, itu menjadi urusan saya. Dan mungkin urusan banyak pihak karena pesawat 400 jutaan dolar ini bukan pesawat kecil.”

Laurence tampak ingin menangis. Matanya berair. Dasar Scorpio, batin Jordan. Sebelum wawancara dimulai, Jordan menanyakan dulu zodiak setiap orang. Meski penilaian berdasarkan astrologi sangat tidak valid, tetapi bagi Jordan zodiak membantunya mengotak-ngotakkan kepribadian dasar.

Mike yang Aries dan Laurence yang Scorpio sudah sangat mewakili sifat dasar masing-masing. Tatapan intens mata Laurence adalah tatapan intens setiap Scorpio di seluruh dunia.

“Oke, kalau Mas keberatan menceritakannya,” ujar Jordan, “kita lanjut ke pertanyaan—”

“Baiklah,” penggal Laurence tiba-tiba. “Tapi ini harus bersifat off the record ….”

*  *  *

Maulana



“Jadi kita sama-sama zodiak air?” Maulana membelalak. “Sama-sama emotion-oriented?”

“Iya, dong!” Jordan mengacungkan tangan untuk mengajak tos. Namun Maulana hanya diam saja, duduk dengan tegas dan sempurna. Seperti semua pramugara saat bertugas. Padahal, Jordan berharap Maulana bisa santai saja. Ya sudah, Jordan menarik lagi tangannya. “Oke, pertanyaan pertama, apa pendapat Mas soal Pak Pamungkas?”

Maulana memutar matanya ke kiri, mengingat-ingat. “Dia pekerja keras,” jawabnya pendek. Memberi jeda untuk berpikir lagi. “Dia tahu apa yang dia mau. Dia berusaha agar keinginannya tercapai, membuat strategi terbaik, lalu mendapatkan apa pun yang dia mau. Semua selalu berhasil.”

“Pasti dia Capricorn!” tebak Jordan.

“Bukan. Pak Mungkas Gemini. Lahir awal Juni.”

“Oh.”

Oke. Mungkin moon sign-nya ada di Capricorn, batin Jordan. Agak mengejutkan juga seorang Gemini punya sifat “pekerja keras, tahu apa yang dimau, berhasil mendapatkan apa yang dimau”. Gemini representasi komunikasi, kebebasan, dan perjalanan pendek. Zodiak paling gampang bosan dibandingkan zodiak lain.

Tampaknya kesaksian Laurence tadi lebih tepat? Yang berarti, Maulana hanya melebih-lebihkannya saja? Kalau begitu, mengapa Maulana melakukannya? Apa karena dia mencintai Pamungkas? Dari caranya cemburu kepada Harry sih begitu.

“Kalau Harry?” tanya Jordan.

“Lonte,” jawab Maulana.

Jordan terkikik setuju. Setelah mengetik lonte di laptopnya, Jordan bertanya lagi, “Tapi menurut kamu apa yang membuat Harry menarik?”

“Harry menarik?” Maulana terkekeh. Dia menggaruk selangkangannya, kemudian berkata, “Biasa aja.”

Sesebal-sebalnya Jordan kepada Harry, menurut Jordan Harry menarik. Jadi, misal Harry diketahui sudah bercinta dengan semua orang di pesawat (seperti Maulana), Jordan enggak akan kaget. Harry itu cowok campuran lokal dan ras kaukasia. Wajahnya tegas, rahangnya tegas, matanya agak kebiruan, kalau rambutnya dicat menjadi pirang, orang akan langsung menganggap Harry bule. Badan Harry? Enggak akan cukup mendeskripsikan kesempurnaannya.

Jadi, untuk ukuran gay yang sudah bersama segala jenis manusia karena profesinya gigolo, agak aneh ketika Maulana menganggap Harry “biasa saja”. Namun Jordan paham, ini pasti karena rasa cemburu.

“Kalau Harry sama Kristian, cakepan siapa?” tanya Jordan.

“Kristian.”

“Harry sama Laurence?”

“Laurence.”

Kemungkinan besar, segala jenis perbandingan yang dilontarkan Jordan tentang Harry, Maulana tak akan pernah menjawab Harry. Mungkin kalau Jordan bertanya, “Gantengan mana? Harry atau Kekeyi?” Maulana akan menjawab gantengan Kekeyi. Saking enggak mau menjawab Harry.

Sebesar itukah rasa benci Maulana kepada Harry? Tapi kok enggak kelihatan kayak yang benci. Biasa saja. Maksudnya, kalau Jordan cemburu banget sama kehadiran Harry, sebisa mungkin Jordan akan menyindir Harry untuk menjatuhkannya. Namun Maulana bersikap biasa saja padahal Pamungkas jelas-jelas ada foto sedang jongkok dan pantatnya diobok-obok oleh jempol kaki Harry.

Apa karena Maulana seorang Cancer sehingga bisa menampilkan cangkang yang kuat padahal isi di dalamnya rapuh?

Atau … ada alasan lain?

“Oke, kita ganti topik. Aku mau tahu … di perusahaan tuh kesejahteraan karyawan enggak dipikirkan, ya?”

“Dipikirkan, kok. Kenapa Mas pikir begitu?”

Jordan mengangkat bahu. “Yah, aku dapat gosip katanya gaji di Yavadvipa lumayan kecil. Tapi karena maskapai masih beroperasi di tengah pandemi kemarin, makanya orang tetap bertahan di maskapai ini. Sementara di maskapai lain, nasibnya belum tentu sama. We know, lah. Semua maskapai berjadwal seluruh dunia pada awal 2020 kena imbas Covid-19. Banyak karyawan maskapai dipecat, sementara Yavadvipa Jet kabarnya tetap terbang.”

Maulana terdiam sejenak mencerna pertanyaan Jordan. Duduknya masih tegak sempurna seperti pramugara yang sedang bertugas. “Enggak, kok Mas,” jawabnya. “Kami semua dibayar dengan sejahtera.”

Saking sejahteranya kamu jadi gigolo sebagai hobi? tanya Jordan dalam hati. Jordan tak menanyakan pertanyaan itu keras-keras. Dia hanya menulis dalam laptop dan mulai mendeteksi semua kejanggalan.

“Kalau kekerasan seksual?” lanjut Jordan. “Pembajak bilang soal kekerasan seksual. Siapa memangnya yang mendapat kekerasan seksual?”

Maulana tersenyum rapi. “Enggak ada kekerasan seksual di maskapai.”

“Kalau Andre sama Mas Randian itu?” bisik Jordan.

“Bapak Randian bukan pegawai perusahaan.”

*  *  *

Pamungkas



“Saya hanya mencintai istri dan dua anak saya,” tegas Pamungkas, setelah Jordan mendesaknya memilih antara Maulana atau Harry. “Saya enggak ada hubungan apa-apa sama dua orang itu.”

Enggak ada hubungan apa-apa, tapi bukti medianya sudah tersebar di Twitter. (Kalau video Pamungkas di-rimming Maulana di ruang meeting kecil itu dijual, pasti ada yang mau beli, kok, pikir Jordan.) Jordan lanjut ke pertanyaan berikutnya. “Yang ada di foto itu, mengapa pembajak menggunakan itu untuk memeras Bapak?”

“Itu foto editan! Hahaha …!” Tawa Pamungkas keras sekali. Seolah-olah menutupi sesuatu. “Itu foto editan. Kan sekarang zamannya teknologi canggih. Sama seperti pesawat ini, supercanggih. Seseorang mengedit wajah saya di dalam kargo pesawat. Digabungin sama isi kargo pesawat. Mungkin dari Google. Entah. Mungkin pengin bikin image saya ini nyelundupin kendaraan mewah kayak kasus Garuda. Hahaha. Itu foto editan!”

“Jadi itu bukan foto Bapak?”

“Bukan. Itu foto editan.”

“Jadi di bawah kita ini enggak ada kargo seperti yang dimaksud dalam foto?”

“Enggak, lah! Ini, kan ferry flight. Enggak boleh bawa kargo.”

Jordan berhenti mengetik sejenak, sebelum kemudian melanjutkan. Jordan sudah meng-googling soal penyelundupan barang mewah yang dilakukan Garuda Indonesia beberapa bulan lalu. Tidak ada keterangan bahwa penerbangan feri tidak boleh bawa kargo. Kasus itu mencuat karena adanya manifest barang yang tidak jelas didaftarkan kepada siapa, dan tidak dideklarasikan di bea cukai.

“Itu cuma foto editan. Alah. Gambar saya sama Harry aja editan,” tambah Pamungkas tanpa ditanya. Di tangannya ada bir, yang ditenggaknya ditemani desahan lega dan sendawa. “Nih, saya lagi mabuk. Saya pasti jujur! Itu cuma foto editan.”

Jordan mendongak sejenak, lalu kembali mengetik. “Kalau gambar sama Harry editan, video sama Mas Maulana betulan dong?”

Pamungkas memberi jeda sejenak, tampak ketakutan menjawab dengan salah. “Ya … saya dijebak. Yang pasti saya masih mencintai istri saya dan keluarga saya. Si Maulana itu kan pelacur! Dia godain saya supaya ngewe ama dia.”

Wow. Kisah cinta yang menarik untuk dijadikan lagu. Kucintai omku sepenuh hati, tetapi Om mengatakanku seorang pelacur. Jordan kepikiran untuk membuat novel dengan jalan cerita seperti Pamungkas dan Maulana. (Dan mungkin akan ada tokoh Harry, di mana ending-nya Harry digilas roda pesawat sampai rata.)

“Oke, saya konfirmasi lagi. Foto di dalam kargo adalah editan.”

“Ya. Itu editan!” sahut Pamungkas, menenggak bir dari botolnya. Juga menggaruk selangkangan berkali-kali. Setelah menenggak bir, selangkangan digaruk. Selalu seperti itu.(Bir, yang kalau Jordan ingat, tak masuk ke dalam label aman, karena baunya agak-agak seperti almon.)

“Foto bersama Harry juga editan.”

“Ya. Itu editan juga!” balas Pamungkas segera.

“Meskipun bentuk tubuh Bapak di foto sama persis dengan yang di video—”

“Ah, itu mah si editornya aja yang jago ngedit,” sergah Pamungkas. “Dicari-cari badan yang mirip ama badan saya, terus dia pasangin kepala saya, terus edit sama Harry. Itu, kan foto. Foto editan.”

“Iya, sih. Keren banget kalau ngeditnya sampe tahu badan Bapak pas telanjang gimana. Oke.” Jordan mencatat lagi. Dan tentunya mengetahui bahwa Pamungkas berbohong. “Sekarang saya mau nanya tentang seseorang. Gimana dengan Mas Randian?”

Pamungkas tertawa. “Arsitek enggak berbakat. Bikin airport aja enggak becus.”

Jordan tertarik. “Maksudnya?”

“Banyak banget tender dia sama Yavadvipa Jet yang gagal! Hahaha ….” Pamungkas tertawa keras. Entah efek minuman beralkohol, entah sedang curhat. “Tender interior cabin Embraer Legacy sama Phenom, terus apa lagi …. Cessna Citation Mustang kami yang 2018 kemarin dari semua tender yang si Randian ikutin, gagal semua itu. Belum interior kantor, tender lounge airport, station …. Tahun depan Yavadvipa Jet mau ngembangin Bandara Pondok Cabe sebagai bandara eksklusif VIP dan pesawat pribadi. Si Randian gagal lagi, tuh menangin tendernya. Hahaha ….”

“Selalu gagal?” ulang Jordan.

“Ya enggak juga. Kadang dia berhasil kerja sama ama kita, lah. Beberapa lounge di airport kecil yang jadi basis kami, dia dapatin tendernya. Tapi paling … cuma 20% dia menang tender dari semua tender yang dia ikutin di Yavadvipa Jet.”

“Dan untuk mendesain The Flying Paradise, dia menang tender ini?”

“Harus, dong. Kan proses pengadaan jasa desain harus lewat lelang, Mas.”

“Dan Mas Randian menang?”

“Karena enggak ada lagi yang ikutan! Hahaha …!” Pamungkas tertawa dengan puas.

“Lho, kenapa?”

“Enggak tahu. Enggak ada yang mau. Dia satu-satunya yang ikutan, melawan arsitek sama firma indie yang enggak punya experience, ya dia menang, lah! Saingan dia di tender-tender sebelumnya enggak ada yang submit. Hahaha ….”

Jordan mencatat dalam laptopnya. Meski sepele, itu tetap merupakan motif. “Oke, sekarang … saya tertarik untuk membahas tentang … Maulana.”

“Pelacur.” Pamungkas mendengus. “Saya enggak cinta dia. Saya cintanya istri saya!”

Jordan menyipitkan mata dan mencoba menganalisa gestur Pamungkas yang ini. Mengapa Jordan punya perasaan bahwa Pamungkas hanya menutupi perasaan yang sebenarnya? Mengulang-ulang sebuah informasi menjadi ciri bahwa ada informasi lain yang tidak ingin dikeluarkan. “Oke,” jawab Jordan, “aku mau tahu kenapa Bapak nyebut Mas Maulana pelacur.”

“Lah. Dia juga udah ngewe sama Mas, kan? Hahaha …. Mas harus bayar, kan? Hahaha …!”

Jordan hanya tersenyum tanpa menunjukkan gigi. “Emang ama siapa aja Mas Maulana pernah dibayar?”

“Semua homo di dunia kali. Hahaha …! Dulu pernah satu konglomerat dari Timur Tengah juga pake jasa dia, namanya Mahmud Aidil. Langganan maskapai, karena si Mahmud suka banget ngentot Maulana. Jadi setiap pesawat disewa ama itu raja minyak, si Arab ngentotin Maul sepanjang perjalanan. Dia harus jadi budak si raja minyak sepanjang pesawat dipake.”

“Pasti dibayar mahal?”

“Ya kagak, lah! Hahaha …! Kan, itu bagian dari servis Yavadvipa Jet.”

Jordan mengerutkan alisnya. “Jadi selain pesawat pribadi, sebenarnya, Yavadvipa Jet juga menyediakan fasilitas laki-laki untuk digunakan secara seksual.”

Dengan sangat jujur Pamungkas mengangguk. Jordan tahu, itu betulan jujur.

“Dan, perempuan juga.”



To be continued ....


<<< Part 19  |  The Flying Paradise  |  Part 21 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Nude 33

  ssendrawkwA emitefiL .33     Pada suatu pagi lima tahun lalu, Miza bangun lebih pagi dari biasanya meski semalaman tak bisa tidur. D...