Senin, 03 Mei 2021

The Flying Paradise 17

17 The Cut

 



Di tengah kekhawatiran akan foto-foto yang tersebar, masalah lain muncul. Kali ini masalah APU.

APU singkatan dari Auxiliary Power Unit, atau unit tenaga tambahan. Digunakan saat di darat, untuk mengalirkan listrik, AC, bahkan sistem hidrolik. Jadi, ketika mesin pesawat sedang tidak bekerja dengan optimal (misalnya saat parkir dan boarding di terminal), maka listrik, AC, dan kebutuhan tenaga yang lain tidak bisa tersedia. Hadirlah APU untuk membantu semua tersedia. Bentuknya seperti turbin kecil yang terletak di buntut pesawat paling ujung (pernah melihat buntut pesawat yang bolong itu? Nah, itu APU.) Atau lihat contohnya di bawah ini.




Pada saat pesawat terbang, mesin pesawat yang besar itu sanggup menyediakan pasokan tenaga seperti listrik dan AC, sehingga APU tak dibutuhkan. Namun dalam beberapa kasus, kalau mesin jet dibutuhkan untuk keperluan lain, APU bisa dinyalakan dalam penerbangan sebagai penghematan.

Contohnya, menghemat bahan bakar.

Setelah keputusan bersama bahwa pesawat akan reroute langsung ke Indonesia, tanpa melakukan transit di Shanghai, maka Mike menghubungi bandara tujuan dan memberikan laporan terkini perihal pembajakan di pesawat. Atas dasar keadaan darurat, ditambah konfirmasi teknisi bahwa bom secara visual berada di roda pesawat, maka DV999 diperbolehkan membatalkan kedatangan di Shanghai Pudong, menggantinya ke bandara lain yang dirasa lebih sesuai untuk merespons situasi.

Dalam hal ini, wilayah udara Indonesia. Lebih spesifik lagi, The Flying Paradise akan mendarat di Jakarta, Halim Perdanakusuma. Mike sudah menghubungi maskapai, dan maskapai sudah mengajukan keadaan darurat kepada negara. Basis militer Indonesia di Tarakan Kalimantan Utara siap meng-assist The Flying Paradise begitu pesawat memasuki wilayah Indonesia. Segala persiapan di Halim akan disiapkan. Di antaranya: menutup bandara satu jam sebelum kedatangan The Flying Paradise, menyiapkan ambulans dan pemadam kebakaran di setiap taxiway, menyemprot seluruh landasan dengan foam untuk mengurangi percikan api, menutup lalu lintas mobil di sekitar Jakarta Timur, termasuk mengevakuasi warga sekitar.

Maskapai memutuskan untuk tidak memenuhi permintaan pembajak. Pesawat tetap akan mendarat dengan aman tanpa menggunakan roda belakang. Seseorang di maskapai sudah mengkalkulasi kerugian yang terjadi jika mesin dan perut pesawat hancur gara-gara belly landing. Nilainya masih lebih kecil dibandingkan rahasia besar yang disembunyikan maskapai.




Oke, kedengarannya sudah aman. Di bandara tujuan, akan ada banyak pihak yang membantu penumpang The Flying Paradise untuk menyelamatkan diri saat pendaratan. Seharusnya tak masalah.

Bagaimana bahan bakar? Penerbangan sebenarnya, kan Seattle – Shanghai. Yang berarti, bahan bakar hanya diisi untuk penerbangan sejarak itu saja. Ini bukan motor matic yang isi bahan bakar full tank lalu motor tinggal melaju ke mana pun sampai habis. Maskapai perlu mempertimbangkan banyaknya bahan bakar dalam penerbangan disesuaikan dengan jarak penerbangan.

Penerbangan Jakarta – Semarang akan menggunakan jumlah bahan bakar untuk Jakarta – Semarang saja, bukan untuk Jakara – Jayapura. Karena kalau kebanyakan bahan bakar, pesawat akan menjadi berat. Kalau pesawat terlalu berat, malah bisa menghabiskan bahan bakar. (Makanya bagasi kelebihan 1 kg saja kita kena charge. Karena beban pesawat itu: penting!)

Jadi, The Flying Paradise hanya mengisi bahan bakar untuk Seattle ke Shanghai saja, bukan ke Jakarta. Tentu saja, pesawat diisi oleh bahan bakar cadangan. Yang, setelah dihitung-hitung, masih cukup untuk digunakan hingga ke Jakarta. Namun menurut perhitungan Laurence, bahan bakar itu hanya cukup untuk sekali go around.

Apalagi, sih go around? Ini adalah istilah untuk pesawat yang gagal mendarat. Ketika sedang akan mendarat, lalu ada masalah dengan pendaratan, pesawat harus terbang kembali, berputar sekali di sekitar bandara, dan mencoba mendarat lagi.

Jika perhitungan Laurence benar, sebisa mungkin The Flying Paradise tidak melakukan go around. Kalau harus go around pada percobaan pertama, maka percobaan kedua harus mendarat. Enggak bisa enggak.

Okelah, masih aman kan ya sejauh ini?

Nah, perhitungan Laurence itu perhitungan maksimal jika dan hanya jika suplai tenaga pesawat tidak diambil dari mesin lagi.

Masih ingat soal APU di atas? Tepat sekali. Untuk menghemat bahan bakar, mesin harus fokus menerbangkan pesawat. Jangan sampai mesin ikutan menyuplai listrik, AC, dan lain-lain—nanti bahan bakar cepat habis. Maka dari itu, tugas menyuplai tenaga dialihkan kepada APU.

Di sinilah problem-nya muncul:

APU tidak bekerja.

“It’s not working,” ujar Laurence setelah mengecek berkali-kali.

“Oke. Buka daftar ceklis,” titah Mike.

Setiap kokpit akan diberikan satu buku manual tentang hal-hal yang perlu dilakukan pada segala jenis situasi, termasuk keadaan darurat. Melalui buku manual tersebut, pilot akan melakukan ceklis dan memperbaiki situasi.

Setelah Mike dan Laurence mengikuti setiap ceklis APU yang terdaftar, alat tersebut masih belum mau berfungsi. Andre dipanggil dan diminta mengecek kondisi APU dari panel sentral. Lima belas menit kemudian, ketika pesawat memasuki wilayah udara Jepang Selatan, siap terbang di atas Bandara Naha, Andre menemukan problem-nya.

“Seseorang mencabut kabel APU di bawah,” ujar Andre sambil masuk ke dalam kokpit. “Sudah saya pasang lagi. Coba, dinyalakan.”

Laurence menyalakan lagi APU. Kali ini unit tersebut dapat menyala dengan baik. Listrik, AC, dan beberapa sistem pesawat mulai menggunakan APU. Sudah bukan menggunakan generator yang dihasilkan mesin pesawat terbang. Yang berarti, The Flying Paradise dapat menghemat bahan bakar agar bisa mencapai Jakarta dengan selamat.

Laurence mengusap mukanya setelah mengambil napas panjang. Tubuhnya agak menggigil, jantungnya berdebar kencang.

“Wow …,” desah Laurence, menatap ke luar. Langit masih menampilkan lembayung di atas Jepang. Kegelapan malam mengejar-ngejar di belakang pesawat.

Mike menoleh dan tersenyum. “Please be patient.”

Laurence melihat senyum itu. Hatinya menggelora lagi. Sialan, batinnya. Setelah dia yakin ada secercah masa depan dengan Andre di belakangnya, sekarang Mike tampil menawan lagi. Laurence benar-benar ingin melupakan pilot itu. Namun semakin sini godaannya semakin besar.

Pertama, ternyata Mike tertarik juga kepada laki-laki. Bayangkan itu! Selama ini, Laurence tak mengira Mike bisa tertarik kepada laki-laki. Gara-gara insiden ini, foto Mike bersama Maulana dan Randian menunjukkan ada kesempatan bagi dirinya bersama Mike. Ada peluang Laurence mencoba pendekatan romantis bersama Mike dan mendapatkannya ke dalam pelukan.

Namun, bagaimana dengan Andre?

Baru saja semalam teknisi itu menyatakan cinta. Baru saja barusan Laurence tahu, hubungannya bersama Andre terasa lebih nyata. Bahkan, surat yang dibuat Andre beberapa saat lalu menggugah hati Laurence. Dia tahu rasa cinta Andre jauh lebih tulus, dibandingkan Mike yang belum tentu memiliki perasaan yang sama kepadanya.

Ini benar-benar membingungkan.

Melelahkan.

Meski modafinil membuatnya terjaga, tetapi tenaga Laurence sudah terkuras habis. Selama satu jam terakhir, kedua pilot berkoordinasi cukup banyak dengan petugas darat, salah satunya jet fighter dari militer Jepang yang kini meng-assist The Flying Paradise hingga masuk ke wilayah udara Taiwan, Filipina, lalu akhirnya dipindahkan ke militer Indonesia.

Rangkaian komunikasi itu benar-benar melelahkan. Seharusnya, kedua pilot itu beristirahat sejak tiga jam yang lalu.

Mike tiba-tiba mengulurkan tangannya. “Hold my hands,” katanya.

Laurence menurut saja. Dia memegang tangan Mike. Genggaman tangan Mike terasa solid, melindungi, memberikan perasaan aman.

Pilot ganteng itu kemudian bilang, “Kalau saya harus milih first officer mana untuk menghadapi pembajakan ini, sudah jelas jawabannya kamu.”

Shit.

Kan ….

Kan, kan, kan ….

Laurence langsung melepaskan genggaman tangan itu sambil tersenyum. Dia benar-benar bingung dengan hatinya. Lelah oleh pembajakan, lelah oleh perasaannya sendiri. Andre masih ada di belakangnya sekarang. Duduk di kokpit karena sesekali dibutuhkan selama masa penanganan situasi darurat ini. Dua orang yang Laurence ingin rengkuh saat ini, ada dalam ruangan yang sama.

Laurence harus pergi dari sini. Laurence harus beristirahat.

Beristirahat dari dilema.

“Bolehkah aku mengistirahat diri?” tanya Laurence.

Mike menoleh dan mengangguk, “Harus,” jawabnya tegas. “Ini sudah di luar kapasitas kita. Tapi karena saya pun harus beristirahat. Saya usul, setiap satu jam sekali, kita akan bergantian menjaga kokpit, Andre dan Maulana juga akan bergantian. Bagaimana?”

Laurence mengangguk. “Oke, aku menyetujukan. Aku akan mengistirahat diri sekarang.”

“Pakai kamar tamu aja. Lebih nyaman di sana.”

“Enggak apa-apa?”

“It’s my order,” jawab Mike. “Saya kapten di sini. Kamu harus beristirahat dengan nyaman. Tell Maulana this order.

“Terima kasih.” Laurence melepaskan sabuk pengamannya lalu berdiri. Ketika memutar tubuh, Andre menunduk di kursinya. Andre melirik sejenak, seperti baru saja tersakiti.

Apa Andre melihat genggaman tangan itu? Apa Andre cemburu?

Laurence tak sanggup membayangkan jawabannya. Tidak dalam kondisi hatinya diombang-ambing oleh dua orang di kokpit. Laurence pun pergi, melemaskan sendi-sendi tubuhnya yang pegal, meregangkan otot, lalu berjalan ke tengah kabin.

Di ruang meeting kecil, dia melihat Kristian sedang tidur sambil memeluk lututnya. Bersandar ke sofa dan tampak harmless. Jujur saja, Laurence yakin Kristian bukan mata-matanya. Malah, mungkin foto-foto itu sengaja tidak menampilkan sosok Kristian agar semua orang terkecoh. Pelakunya masih ada di luar sana. Bisa jadi Maulana, bisa jadi siapa pun yang belum diborgol seperti dirinya.

Ketika melewati common room, ada Pamungkas sedang duduk bersama Maulana. Pamungkas tampak kacau. Apalagi setelah videonya bersama Maulana diputar langsung di seluruh layar, Pamungkas tak bisa berbicara banyak. Laurence tahu Pamungkas sudah menghancurkan kamera yang merekamnya. Namun tak ada jaminan sang pembajak menyimpan kopiannya.

Laurence menghampiri Maulana untuk mengatakan rencana terbaru. Pada saat yang sama, Maulana baru selesai me-report setiap postingan dari akun Twitter pembajak itu.

“Done,” ujar Maulana. “Saya sudah report semua foto yang ada di Twitter itu.”

Pamungkas membalasnya dengan helaan napas panjang. Dia sudah tak bisa berkomentar lagi. Tidak ada jaminan bahwa si pembajak tidak akan membuat akun baru dan mengunggah lagi foto-foto itu. Pamungkas sudah menyerah.

“Nanti saya cek yang lain. Kalau yang lain sudah selesai me-report akun itu, siapa tahu Twitter-nya notice.”

Laurence tahu, beberapa saat lalu Wi-Fi kembali dinyalakan agar setiap orang di dalam pesawat bisa me-report unggahan akun Twitter tersebut. Namun tampaknya mereka melakukan itu di kamar masing-masing.

“Maulana?” sapa Laurence. Pramugara itu menoleh. “Kita mem-perform-kan satu jam satu jam mengistirahat diri. Aku akan mengistirahat satu jam gantian-gantian dengan Mike. Sekarang Andre sedang menjagakan kokpit mewakili aku. Setelah satu jam kamu akan menjagakan kokpit bersama aku.”

“Oke.” Maulana mengacungkan jempolnya.

Pamungkas tak merespons, Laurence pun tak peduli.

Laurence berjalan ke kabin belakang, melewati kabin penumpang, menuju satu per satu kamar tamu yang ada di depan master bedroom.

Dua kamar di depan terisi. Kamar yang di kiri diisi Randian, yang sedang berbaring di atas tempat tidur sambil menggulir sesuatu di ponselnya.

“Maaf.”

“That’s okay,” jawab Randian.

Kamar di seberangnya ada Jordan, duduk di depan laptopnya sambil mengetik. Penulis itu tak menyadari Laurence membuka pintu, jadi Laurence menutup lagi rapat-rapat pintu kamar.

Laurence memasuki kamar satunya lagi. Ketika masuk, Harry sedang ada di dalam, bertelanjang dada, merekam sesuatu dari ponsel. “Sorry,” ujar Laurence.

“No. Come in!” sahut Harry, melompat dari tempat tidur ke pintu, mencegahnya tertutup. “Please, di sini aja.”

Ada satu kamar yang pasti kosong tak diisi siapa pun. Namun Laurence merasa dia bukan hanya ingin beristirahat. Dia ingin curhat. Tak mungkin dia melakukannya dengan Maulana apalagi Pamungkas. Tak mungkin juga Randian dan Jordan, karena Laurence tak mengenalnya dengan baik. Harry sebenarnya pilihan yang sangat tepat. Selain mereka berdua pernah dua kali bercinta pada masa lampau, pun karena Harry teman yang menyenangkan.

Terlebih lagi, Harry sering lupa apa yang diceritakan. Yang menjadikannya bagus untuk diinvestasikan sebuah curhatan. Pun karena Harry, kalau ada kesempatan berdua dengan Laurence, sering curhat juga.

“Aku ingin beristirahat,” ujar Laurence. “Tak apa-apakah kalau aku berada di sini?”

“Eeehhh …, justru gue ngajak lo masuk! Sini! Temenin bikin konten.”

Laurence tak ingin bikin konten. Namun Laurence tahu Harry enggak akan memaksanya aneh-aneh kalau dia enggak berkenan. Berada di satu ruangan dengan salah satu makhluk paling indah di Planet Bumi tampaknya bukan ide buruk. Harry memamerkan otot-otot tubuhnya yang sempurna, hanya bercelana pendek saja seperti anak muda.

“Oke. Namun aku hanya ingin bertiduran saja.”

“Iyeee …!” Harry menarik Laurence masuk lalu mengecup bibirnya sesaat sambil menutup pintu. Harry pun menguncinya. “Gue lagi bikin konten buat YouTube. Detik-detik mengharukan pendaratan darurat The Flying Paradise. Pasti viral!”

Laurence melonggarkan dasi seragamnya. Dia melepaskan dasi itu, menggantungnya, lalu melepas dua kancing kemeja teratas. “Dan kamu tidak mempakai baju?”

“Enggak, lah. Kalau pengin di-like ama banyak orang, harus bugil! Itu rahasia utama TikTok. Akun yang banyak subscriber-nya yang videonya kebanyakan shirtless.” Namun Harry tahu Laurence sedang tidak mood untuk membuat konten. Jadi, Harry membantu Laurence membuka seluruh kancing kemejanya.

“Apa yang kamu melakukan ini?” tanya Laurence bingung, tetapi tidak menghentikan juga.

“Berisik, ah. Kita cuddle-an pokoknya. I know you need one.”

Laurence mengangguk. Dia pun bertelanjang dada sekarang. Hanya mengenakan celana panjang hitam dan kaus kaki. Harry membuka selimut dan membiarkan kedua kaki mereka menyusup masuk ke dalamnya. Lalu, seperti seorang kakak yang perhatian, padahal Laurence lebih tua darinya, Harry membiarkan Laurence membenamkan wajah di bawah ketiaknya. Membiarkan Laurence bergelung dalam kehangatan yang aman dan nyaman.




“Better?”

“Very.”

“Now sleep.” Harry menepuk-nepuk punggung Laurence dengan lembut.

“Perasaan aku sedang kebingungan,” bisik Laurence, mengendus aroma tubuh Harry yang wangi, sambil membelai perut model itu yang rata berpetak-petak.

“Mike?” tanya Harry.

“Salah satu faktornya.”

Hubungan Laurence dengan Harry benar-benar kasual. Kalau ada kesempatan untuk bercengkrama, mereka akan bercengkrama. Kalau enggak ada, ya sudah. Mungkin bisa dibilang teman dekat, meski kadang menjadi teman mesra. Dan karena mereka saling memahami bahwa mereka tak akan saling mencintai, keduanya sering curhat masalah pribadi.

Malah, mereka punya satu kesamaan.

Sama-sama mencintai Mike.

“Berarti kita masih berkompetisi?” tanya Harry.

Laurence tertawa. “Nyaris tidak mengkompetisi. Dan di sinilah aku merasakan membingungkan itu.”

Pada kali kedua Laurence dan Harry bercinta, sebuah obrolan menjuruskan mereka pada kesimpulan yang sama. Bahwa keduanya mencintai Mike. Dan, keduanya tak berani mengungkapkan perasaan itu. Harry lebih advanced, sebenarnya. Harry rajin memberi hadiah kepada Mike. Namun Laurence hanya sanggup menatap dari jauh dan berdoa mendapat jadwal terbang bersama Mike. Apa pun cara yang mereka lakukan untuk menikmati romansa kepada Mike, tak satu pun dari mereka mau mengakui perasaan ke orangnya langsung.

“Kenapa nyaris?” Harry terkekeh.

“Karena kukira aku menyerah.” Laurence mendesah. “Aku mengirakan aku bisa mengejar cinta yang lebih nyata.”

“Siapa cinta yang lebih nyata?”

“Andre,” jawab Laurence tanpa pikir panjang. “Dia mencintai aku. Dan aku merasakan dia orang yang membaik hati. Dia hanya ingin aku mengetahuikan perasaannya.”

“Bagus kalau gitu. Saingan gue berkurang.”

Laurence mencubit puting susu Harry dengan bercanda. Sang model menjerit sambil terbahak-bahak. Dengan kesal Harry mengepit kepala Laurence di ketiaknya, membuat wajah pilot itu terbenam dalam kepitannya.

“Rasain, nih! Rasain!” ujar Harry bercanda sambil wajahnya ditampar-tampar oleh Laurence.

“Lepaskan!” Laurence terbatuk-batuk ketika Harry melepaskan kepitannya. Laurence mendongak dan mencubit hidung Harry. “Untung ketiak kamu aromanya enak.”

“Mau jilat?” Harry mengangkat kedua tangannya.

“Tidak.” Laurence menarik beberapa helai rambut ketiak Harry hingga sang model meringis kesakitan. Kemudian, dia menidurkan lagi kepalanya ke atas dada. “Aku hanya ingin mendapatkan peluk.”

“Sini gue peluk!” Harry memeluk Laurence beberapa saat. Sangat erat sampai membuat Laurence merasa terlalu nyaman, tak mau keluar.

“Aku hanya mempunyai satu jam untuk istirahat. Aku ingin sekali menidurkan diri.”

“Gue nyanyiin lullaby.”

“Tidak memerlukan,” sergah Laurence. “Kamu hanya diam saja sudah mencukupi.”

Selama sepuluh menit berikutnya, kamar itu tenang tanpa suara. Harry memeluk Laurence seperti kakak memeluk adiknya. Laurence mengeratkan pelukan itu di atas perut Harry, seolah-olah tak ingin melepasnya. Mungkin karena kedua kulit mereka bersentuhan, kehangatan tubuh menggelitik satu sama lain, terlebih hidung Laurence berada tepat di atas puting Harry, membuat sang supermodel terangsang ….

“Gue jadi horny,” ungkap Harry.

“Tidak,” jawab Laurence. “Aku hanya ingin memeluk.”

“Iya. Tapi gue jadi horny. Elo bikin gue horny. Napas elo di tetek gue bikin gue sange.”

“Aku sedang berdilema. Aku sedang ingin melamunkan Mike dan Andre.”

Harry tak kehilangan ide. “Oke, gue dengerin elo cerita soal dilema elo. Gue kasih saran seperti biasa. Terus gue tusuk elo.”

Laurence mendengus. “Oke,” katanya. “Jadi … pas di kokpit tadi ….”

Laurence pun menceritakan dengan detail semua yang dirasakannya. Mulai dari pertemuannya yang penuh gairah di hotel bersama Andre, hingga manisnya sikap Mike di kokpit tadi. Harry tak menyela, karena Laurence benci disela. Setelah Laurence selesai menceritakan semuanya berputar-putar penuh emosi, Harry pun menanggapi.

“Mike udah punya istri, punya anak,” ujar Harry. “Meski dia ada bukti gituan sama Randian, tapi dia enggak akan milikin elo, atau kita. Enggak ada masa depan di Mike.”

“I know,” desah Laurence.

“Andre lebih punya masa depan bareng elo.”

“Namun ada gambar Andre bersama Randian yang disebarkan teroris tadi,” sergah Laurence. “Apakah mereka berpacaran?”

Harry menaikkan bahunya. “Kagak tahu. Lu tanya aja ke Andrenya. Tapi misal iya pun, elo tinggal dorongin Randian ke laut pas ketinggian pesawat 1.000 kaki. Selesai deh masalahnya. Yang berarti, Randian juga enggak akan godain Mike. Win win solution.”

Laurence mencubit lagi puting susu Harry. “Jangan menjadikan diri orang jahat, Harry.”

“Demi cinta, gue mau jahat!” Harry menjulurkan lidahnya. Kemudian, karena gemas, Harry mengecup kening Laurence dan mereka kembali tenggelam dalam keheningan selama lima menit. “Udah sejam belum, sih?”

“Aku tidak mau mengetahui,” jawab Laurence.

“Ya udah berarti ngewe?”

“Ck!” Laurence sebenarnya ingin tidur. Namun Harry sudah sangat baik mendengarkan dilemanya, jadi Laurence pun bangkit. “Iya, iya.”




Laurence tak memiliki peran seksual sebanyak Harry. Laurence selalu menjadi bottom dan selalu bisa menikmatinya. Harry, di lain sisi, tampak bisa melakukan peran mana pun. Jadi, setiap Laurence melakukannya bersama Harry, dia akan menyerahkan lubangnya untuk Harry. Dan karena peran bottom lebih submisif, maka Laurence yang akan membuka celana Harry hingga model itu telanjang bulat.

Setelah dipelorotkan, tampak kemaluan yang siap tempur. Besar, keras, berurat, belum disunat. “Memangnya kamu belum berseks?”

“Udah. Ama dua orang di pesawat. Tapi kalau ada elo, ya gue pengin lagi, lah. Kan gue bisa nyodok elo.”

Laurence memulai sesi seksi mereka seperti kebanyakan pasangan gay melakukannya. Oral seks, memainkan puting susu, bercumbu bibir ke bibir, menjilati tubuh yang lain penuh nafsu, lalu melakukannya bergantian. Namun bagi Harry, rutinitasnya ditambah dengan rimming, yaitu menjilati lubang pantat Laurence.

Tak ada hal-hal aneh yang bisa diceritakan dari sesi mereka itu. Semua tampak normal. Setelah Harry menjilati tubuh Laurence dengan nikmat, dia memelorotkan celana Laurence, lalu mulai menikmati lubang Laurence. Setelah puas, penis Harry langsung melakukan kunjungan.

Karena ukurannya agak-agak di luar standar, prosesnya cukup lama. Melibatkan banyak pelicin, percobaan, erangan kesakitan dari Laurence, lalu jeda sejenak agar Laurence bisa mengambil napas. Begitu kemaluan Harry berhasil masuk dan membuat Laurence merasa nyaman, proses genjotan pun terjadi. Dan itu pun normal seperti yang lain.

Yang membuat sesi itu berbeda adalah kejadian tak terduga yang mereka alami.

Karena Harry begitu bernafsu menggagahi Laurence, sodokan sang model sangatlah kuat seperti mesin bor menghancurkan bebatuan di bawah tanah. Tubuh Laurence bergerak ke sana kemari karena hantaman tubuh Harry. Maka Laurence pun berpegangan ke sana kemari untuk menjaga tubuhnya tetap seimbang. Tangannya memegang ke sini, tangan yang satu memegang ke sana, lalu kakinya pindah ke sini, lalu ke sana, lalu kepalanya berputar …

… dan satu momen, lengan Laurence tergores hingga menghasilkan luka.

“Argh!” Darah segar mengucur ke atas tempat tidur.

Harry berhenti. “Fuck me dead!” Harry membelalak.

Laurence mengecek lengannya. Ada satu goresan panjang yang kini merembeskan darah.

Harry mengeluarkan penisnya dari dalam pantat Laurence, mengelapnya sembarangan, kemudian mengamati luka Laurence. “Ini serius! Elo bisa pake baju sendiri?”

Laurence mengangguk. Dia meringis, karena rasa perih itu mulai terasa.

Harry keluar dari kamar untuk mencari Maulana dan kotak pertolongan pertama.

Dua puluh menit kemudian, Randian diborgol bersama Kristian di dalam ruang meeting kecil.



To be continued ....


<<< Part 16  |  The Flying Paradise  |  Part 18 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Nude 33

  ssendrawkwA emitefiL .33     Pada suatu pagi lima tahun lalu, Miza bangun lebih pagi dari biasanya meski semalaman tak bisa tidur. D...