18 The Interrogation
Setelah lengan Laurence ditangani, ditemukan sebilah benda tajam
tersembunyi di balik rangka tempat tidur. Randian yang paling terguncang
melihat keberadaan benda tersebut, karena menurut pengakuannya, dia tak
menanamkan benda seberbahaya itu di dalam furnitur.
Namun Pamungkas terlanjur memojokkan Randian. “Jangan-jangan Randian
adalah mata-matanya. Dia yang tahu persis setiap ruangan sampai ke
ukuran-ukurannya. Dia bisa bergerak bebas dan hafal ke mana saja kabel layar
tersambung.”
Informasi itu memang benar. Namun Randian tetap mengaku dirinya tidak
tahu-menahu soal benda tajam tersebut. Setelah tuduhan dilayangkan, pencarian
benda-benda berbahaya lain dilakukan. Dalam sepuluh menit, setiap orang dapat
menemukan benda-benda tajam tersembunyi di berbagai perabot.
Ada satu pisau tajam diletakkan di satu sofa yang selalu diduduki
Pamungkas. Duri-duri tajam di salah satu kompartemen kosong jejeran B.
Jarum-jarum kecil di kamar tidur yang kebetulan kosong, tak ada yang menempati.
Dan beberapa benda tajam lain di balik meja, di bawah karpet, di ruang kerja.
Bahkan, satu pisau ditemukan di sofa yang menampung jasad Mora. Untung Moranya
sudah tak bernyawa, jadi dia tak merasakan apa-apa (mungkin karena Mora diam
kaku, tak ada gerakan, jadi tak ada goresan di tubuh Mora). Namun tetap saja,
kalau Mora tidak disimpan di sana, seseorang akan menggunakan sofa dan mungkin
akan terluka.
Sebuah pisau lipat kecil bersembunyi di balik kotak tisu salah satu
toilet yang jarang digunakan oleh yang lain. Harry sampai terluka ketika memeriksanya.
Atas cacat desain itu, terlepas dari apakah Randian mata-mata atau
bukan, arsitek itu diborgol juga bersama Kristian. Keduanya duduk berdampingan
dengan borgol terikat ke masing-masing, tetapi dikaitkan ke kaki meja. Sehingga,
mereka enggak bisa ke mana-mana.
“Apa ini perlu?” tanya Jordan tak terima. “Kalau Mas Randian yang
dituduh, bebaskan Kristian dong. Sama kayak kita bebasin Laurence ketika
Maulana dituduh, atau pas Kristian yang dituduh.”
“Belum ada bukti kuat Kristian bukan mata-matanya,” tegas Pamungkas.
“Jadi dia masih tersangka. Masih ditahan.”
“Tapi gimana kalau Mas Randian betulan mata-matanya? Bapak tega
ngebiarin Kristian duduk di sebelah mata-matanya berjam-jam? Gimana kalau Mas
Randian nyimpan pisau di bajunya, terus Kristian dibunuh?! Kayak Mora dibunuh?”
“Atau, bisa jadi mereka berkomplot,” ungkap Pamungkas sambil mengusap
dagu.
Jordan mendengus tak percaya. “Kan, pembajaknya bilang cuma satu orang
yang jadi mata-mata. Kalau berkomplot, sih, sekalian aja semua berkomplot.
Jangan-jangan semua kru terbang ini berkomplot!” tuduh Jordan kesal.
“Berkomplot membuat penumpang kelihatan buruk.”
“Tapi apa yang membuktikan Kristian bukan mata-mata?” balas Pamungkas.
“Sudah jelas dari semua foto yang tersebar, hanya foto dia yang enggak ada.”
“Mas Randian lebih membahayakan dibandingkan Kristian. Dia literally nyimpan benda-benda tajam di
seluruh pesawat, karena memang hanya dia yang bisa melakukannya, dia yang punya
akses, dia yang tahu desainnya. Siapa tahu dia juga yang meletakkan bom di roda
pesawat. Memangnya fakta itu enggak cukup buat membebaskan Kristian? Bisa jadi
Mas Randian sengaja enggak memasukkan foto Kristian pas insiden tadi. Tujuannya
supaya Kristian, lah yang dijebak!”
“Mas Jordan ini ngotot banget, ya? Jangan-jangan, sebenarnya Mas
mata-matanya!” balas Pamungkas.
Manager marketing itu sudah
depresi sedari tadi. Frustrasi menerima beban yang sangat berat gara-gara
pembajakan. Pamungkas sudah tak peduli lagi pada sifat-sifat buruknya yang
keluar. Kalau harus mendorong orang lain ke jurang agar dirinya bisa selamat,
kemungkinan besar Pamungkas akan melakukannya.
Apa pun suasana hati Pamungkas, keputusan menahan Randian sudah bulat.
Pamungkas adalah pihak yang memegang kunci dan pistol. Secara teknis, semua orang
tunduk kepadanya. Termasuk sang kapten.
Jadi, sepanjang jalan, Jordan merasa gusar. Tak peduli Jordan cemburu
atas kedekatan Kristian dengan Harry, tetapi rasa cintanya kepada Kristian
membuatnya ingin membela sang kekasih. Apalagi Jordan yakin betul Kristian
bukanlah pelakunya. Enggak mungkin banget,
batin Jordan.
Bagi Jordan, Pamungkas lah tersangka utamanya. Dia menjadi mata-mata,
memegang kunci borgol dan pistol agar dia bisa tetap mengendalikan situasi di
dalam kabin. Kelitannya saat tak mau meminta bantuan karena menghindari media, terdengar
mengada-ada. Justru bagi Jordan, Pamungkas seperti ingin mengulur-ulur waktu.
Pasti ada sesuatu yang disembunyikan Pamungkas.
Dan, Jordan tak bisa tinggal diam.
Ketika pesawat akan keluar wilayah udara Taiwan, Jordan punya ide. Dia
akan mencari tahu melalui Maulana. Bagaimana pun, pramugara itu dekat banget
sama Pamungkas. Saking dekatnya, ketika diborgol pun sempat disetubuhi oleh
sang manager. (Di mana Jordan semakin yakin Pamungkas pelakunya, karena dia malah
menodai tersangka.)
Namun Jordan harus bertindak cerdik. Dia harus memosisikan Maulana dalam
situasi di mana pramugara itu akan berkata jujur. Bukan ditodong dengan
serentetan pertanyaan seperti interview.
Bisa-bisa Maulana berbohong.
Dus, setelah situasi antara Jordan dan Pamungkas mereda beberapa belas
menit, Jordan menunggu di lobi depan. Dari posisinya, dia bisa melihat Kristian
dan Randian sedang mengobrol di dalam ruang meeting
kecil, mendiskusikan betapa brengseknya Pamungkas menuduh dan menahan mereka
berdua. Jordan berniat menghampiri pramugara yang sedang mendapat gilirannya
menunggu kokpit bersama Laurence.
Pamungkas duduk bersama Harry di common
room. Mereka berdua berantem antara sugar
daddy dan sugar baby, entah apa
yang dibahas. Mike dan Andre beristirahat. Keduanya muncul beberapa saat
kemudian, masuk ke dalam kokpit karena sesi istirahat mereka berakhir. Ketika
Laurence dan Maulana keluar dari kokpit, Jordan menghampiri sang pramugara.
“Boleh aku bicara sebentar?” tanyanya.
Maulana menoleh ke arah Laurence yang sudah berjalan menjauh. “Boleh.
Ada apa?”
Jordan memastikan Laurence sudah menghilang di koridor. Dia pun
berbisik, agar Kristian dan Randian yang sedang mengobrol tak mendengarnya.
“Aku kena serangan panik.”
“Mas butuh obat penenang?” tanya Maulana.
Jordan menggeleng. “Aku butuh seks.”
* * *
Maulana menolak, pada awalnya. Namun Jordan menjanjikan sejumlah uang.
“Jujur, aku aja belum yakin gimana kita bisa survive,” kata Maulana.
“Bukannya kita sudah melakukan semua prosedur keamanan? Di luar, kita
sudah dibuntuti sama jet fighter,
kan? Sebentar lagi gantian sama militer Filipina?”
“Iya. Tapi aku, kan enggak tahu apa yang terjadi setelah ini. Entah sama
aku, sama perusahaan. Sebab apa yang dikatakan Pak Mungkas itu benar. Kalau media
sampai tahu hal-hal rahasia dari perusahaan, bisa-bisa maskapai ini bangkrut.
Nanti aku jadi enggak punya kerjaan.”
“Well, that’s the point,” ujar
Jordan. “Aku butuh sesuatu untuk menenangkan kepanikanku, yaitu seks. Dan aku
punya uang untuk bayar kamu. Yang berarti, pahit-pahitnya perusahaan bangkrut
lalu kamu jobless, kamu bakal punya
bekal. Iya enggak, sih?”
“Tapi Mas tadi bukannya ngebelain banget Mas Kristian? Pacarnya, kan?”
“Well, aku sih penginnya ML
ama dia. Tapi masa iya ML di ruang meeting
kecil dengan satu orang hidup dan satu orang mati nemenin. Lebih masuk akal aku
sama kamu.”
Maulana pun menghela napas. “Oke, di kamar tidur belakang aja, ya. Tapi
kita cek dulu apakah ada benda tajam atau enggak.”
“Oke.”
Kamar yang digunakan adalah kamar Jordan. Setiap bagian tempat tidur
dibongkar dan dicek. Bahkan selimut diremas-remas untuk mengecek apakah ada
benda tajam di dalamnya. Setelah semua aman, dan tidak ada kamera terpasang, Maulana
pun mulai melepaskan kemejanya.
Dada Jordan kembali berdebar. Sebenarnya, seks enggak akan menenangkan
rasa panik. Itu hanya alasan saja untuk membuat Maulana dalam posisi yang
sangat nyaman. Siapa tahu kalau Maulana sama-sama enak, dia bersedia jujur atau
keceplosan menyebutkan rahasia.
“Aku juga … aku mau belajar jadi top,”
ungkap Jordan, melepas kaus dan celananya.
Maulana tersenyum. “Bagus, Mas.”
“Jadi, mohon maklum kalau aku belum jago.”
Maulana terkekeh. “Enggak apa-apa. Kalau Mas pengin aku bantuin, aku
bisa bantuin, kok.”
Secara teknis, badan Maulana lebih besar dibandingkan badan Jordan. Otot
Maulana lebih basah seperti pernah melampaui obesitas, kemudian melakukan
fitnes hingga tubuhnya bulky berotot
seperti sekarang. Tinggi badan pun di atas Jordan beberapa senti. Yang Jordan
amati, tubuh Maulana lebih lebar dari dirinya. Baik itu bahu, dada, maupun
perutnya. Tak ada facial hair di
wajahnya, tetapi bekas cukuran jambang, kumis, dan janggut itu bisa terlihat
dari dekat.
Tubuh Maulana mulus, seolah-olah melakukan skincare dari ubun-ubun sampai ke ujung kaki. Warna kulitnya
cokelat muda memesona, dengan rambut-rambut tubuh yang hanya tumbuh di ketiak
dan sekitaran kemaluan, tidak tumbuh di tempat lain. Dipadu dengan wajah
manisnya, sosok telanjang Maulana langsung mengundang aliran darah yang
berdesir di batang kemaluan Jordan.
“Mas di atas kasur aja,” saran Maulana.
“O-oke.” Jordan melompat ke atas tempat tidur, lalu duduk dengan
canggung. Dia enggak pernah menjadi top.
Dia enggak tahu apa yang harus dilakukan. Biasanya, Jordan akan menggerayangi
Kristian hingga kekasihnya keenakan, tahu-tahu Kristian menjilati lubang
pantatnya, tahu-tahu kemaluan itu masuk ke dalam. Sudah. Begitu terus setiap
waktu.
Kalau menjadi top dia harus
diam membiarkan bottom menggerayangi,
Jordan akan sangat bingung.
Maulana memanjat ke atas tempat tidur dan mulai mengendus paha Jordan,
dari lutut hingga ke kemaluan. Kemudian, maulana mengecup batang penis Jordan
dengan bibirnya yang lembut. Jordan sampai memelotot karena merasa aneh. (Juga
senang, sih.) Seorang laki-laki berbadan muscle,
ganteng, manis, bugil pula, mengendus selangkangannya. Jordan belum pernah
merasakan ini sebelumnya. Dan, ini begitu mendebarkan.
Bisa-bisa Jordan lupa pada misinya menginterogasi Maulana.
Jordan menarik napas dan memulai pertanyaan pertama. “Jadi sebenarnya
Pak Pamungkas itu—aaaaaahhh …!”
Jordan terentak sambil mendesah kencang, merasakan sensasi geli luar biasa
secara tiba-tiba. Maulana memasukkan kemaluan Jordan yang keras ke dalam mulutnya.
Jordan merasakan kehangatan, geli di bawah kepala penis, dan setruman yang
membuat tubuhnya bergetar.
Kok, enak, ya? batin
Jordan tak percaya. Mengapa ketika Maulana melahap kemaluan Jordan hingga masuk
penuh ke dalam mulutnya, rasanya enak? Jordan sering kok dioral oleh Kristian.
Tapi enggak seenak ini. Malah, kadang Jordan enggak suka karena sering kena
gigi Kristian. Namun kuluman Maulana ini lembut, menggelitik setiap inci batang
kelaminnya, licin dan nyaman, dengan kedua tangan Maulana merambat di atas
perut Jordan membuat penulis itu merasakan sensasi surga yang tak pernah
dirasakannya sebelumnya.
“Aaaaaahhh ….” Jordan
tak sanggup berkata-kata. Dia hanya sanggup mendesah.
Mungkin lima menit lagi saja
bertanyanya, pikir Jordan. Begitu
sensasi nikmat ini lewat.
Masuk menit ketiga, kuluman Maulana terasa semakin enak. Jordan sampai
meringkuk mencoba menahan rasa nikmat itu agar tidak menguasai kontrol dirinya.
Namun Jordan malah melengkungkan tubuh seperti ulat, mencengkram seprai dengan
kuat, dan terus mendesah.
Jordan menggelengkan kepala. Sesuatu terasa berkumpul di pangkal
kemaluannya. “Enggak bisa. Jangan.”
“Ya?” Maulana melepas kemaluan Jordan dari mulut. Senyum pramugara itu
begitu menggoda.
“Stop dulu, please. Aku jadi pengin keluar,” ungkap
Jordan jujur.
Maulana terkekeh kecil dan dengan jail mengulum lagi tiga kali sampai
akhirnya Jordan menjerit dan menarik kepala itu menjauh.
“Jangan ….” Jordan hampir menangis karena keenakan.
Dia enggak mau sesi sensual ini berakhir begitu saja. Kan tujuannya
bukan seks. Tujuannya untuk interogasi!
Jordan mengatur napasnya yang memburu. Ngos-ngosan karena keenakan.
Tangannya bahkan masih menjambak kepala Maulana, mencegahnya dari mengulum lagi
penis Jordan yang sekarang snut-snutan minta menyembur.
“Jangan …,” desah Jordan. Sekarang, Jordan merasa malu. Kalau responsnya
saja begini, mana bisa dia menjadi top.
Baru dikulum saja sudah mau K.O.
“Oke.” Maulana pun bangkit dan melompat ke samping Jordan, berbaring di
sampingnya. “Mau mainin badan aku dulu?”
Jordan merasa itu ide bagus. “Oke. Aku mainin dulu, ya.”
Maulana mengangkat tangan agar bisa merangkul tubuh Jordan ke dalam
pelukannya. Kepala Jordan bersandar di bisep lengan Maulana, menghirup aroma
kulitnya yang khas. (Jordan punya fetish
terhadap bisep, tetapi dia malu mengakuinya di depan Maulana. Inginnya, sih Jordan
menciumi dulu bisep-bisep Maulana yang keras ini.) Jordan menarik kepalanya
untuk mengisap puting susu Maulana.
Ini gawat, sih, pikir
Jordan. Seumur hidup dia enggak akan pernah memuaskan siapa pun kalau gampang
K.O seperti barusan. Apa Maulana pakai susuk, ya sampai kulumannya terasa
begitu nikmat? Ya memang, belum banyak laki-laki yang pernah melumat penis
Jordan. Namun Jordan kira semuanya akan sama saja. Tidak akan semenakjubkan
kuluman Maulana.
Untuk itukah Maulana laku sebagai gigolo?
Sambil mengisap puting Maulana seperti bayi, Jordan mulai memikirkan
strategi menyusupkan pertanyaan-pertanyaan. Hal utama yang ingin dia tanyakan
adalah orang-orang yang mencurigakan. Siapa tahu Maulana mengenal seseorang.
Tapi, sebentar, ini teteknya enak
banget, batin Jordan. Jadi selama beberapa menit, Jordan
hanya menyusui ke puting Maulana. Puting itu seperti pas untuk dikenyut. Puncak
putingnya bisa Jordan gelitiki dengan lidah, membuat Maulana mendesah-desah
kecil beberapa kali. Ketika Jordan menggigitnya pun, kenyalnya pas.
Setelah agak puas, Jordan mengangkat kepala, “Siapa aja nih yang pernah ngenyot ini?” Jordan mengecup puting
Maulana untuk menunjukkan maksudnya apa.
“Hah?” Maulana menunduk dan terkekeh. “Rahaisa perusahaan, dong. Masa
aku sebarin info klien.”
“Yang di dalam pesawat ini, deh.”
“Kenapa emangnya?”
Jordan sempat menahan diri. Enggak mungkin dia jawab, “Karena aku kepo.” (Meski sebenarnya Jordan kepo banget, seperti jutaan Pisces di
luar sana.) Jadi, dengan menggoda dan sok-sok intim, Jordan menghampiri
kemaluan Maulana yang setengah ereksi dan menggigitnya kecil. “Karena kalau
enggak dijawab, aku gigit ini. Rrrrrr …!”
Maulana terkekeh. “Jangan, dong. Entar putus.”
“Kristian pernah enggak?” tanya Jordan, kemudian mulai memasukkan penis
Maulana ke dalam mulutnya. Meski sedang mengulum, Jordan tetap memandang wajah
Maulana di ujung sana.
“Rahasia, lah,” kukuh Maulana.
Jordan pun menggigit batang penis Maulana dengan lembut, sambil mulutnya
menggeram dengan gemas. “Ayolaaah ….”
Maulana menggeleng kepala sambil tersenyum sangat lebar. Namun, tak
merespons apa-apa.
“Aku pengin tahu apa kamu …,” mengulum dulu penis Maulana dua kali, “… apa
kamu mata-mata atau bukan. Kalau kamu pernah ama semua orang, berarti kamu
bukan mata-mata.”
Maulana mengerutkan alisnya. “Bukannya kalau aku pernah sama semua
orang, aku lebih mencurigakan, ya? Aku lebih kenal sama semuanya. Logikanya sih
gitu.”
Jordan berhenti mengulum. “Oh, iya ya.”
“Kristian enggak pernah, kok,” jawab Maulana pada akhirnya. “Tapi Kristian
sama Harry, aku minta maaf karena ngasih tahu ini ke Mas, mereka pernah
begituan. Kebetulan, aku tahu.”
Agak sakit mendengar itu. Namun melihat apa yang Jordan lakukan saat ini
dengan laki-laki lain, Jordan enggak punya alasan untuk mengamuk atas perselingkuhan
Kristian. Dirinya saja tidak suci. Dia bahkan tidak sesuci siapa pun di dalam
pesawat ini.
Setelah mengulum penis Maulana beberapa kali, Jordan kembali bicara,
“Karena dari perhitunganku …. Cowok-cowok di sini pernah sama at least satu cowok lainnya.”
“Masa sih?” Maulana meletakkan tangannya di belakang kepala, memamerkan
bisep, trisep, dan rambut ketiaknya yang enggak banyak-banyak amat itu. Dadanya
jadi tertarik ke atas, mengembang.
Jordan mengangguk. “Malah sebenernya mungkin dua kali.”
“Contohnya?” tantang Maulana.
“Contohnya, aku pernah sama kamu, dan jelas sama Kristian. Kristian
pernah sama aku, dan kalau emang bener dia selingkuh sama Harry, ya sama Harry.
Nah, Harry juga berarti dua termasuk Pak Pamungkas. Meski tadi fotonya agak weird, sih, masa Pak Pamungkas jongkok
ke atas jempolnya Harry? Yang sugar daddy
yang mana sebenernya?”
Maulana tertawa. “Usia, kan enggak menentukan siapa top siapa bottom, Mas.
Misal Mas jadi masukin titit ke pantat saya sekarang, Mas itu lebih muda lima
tahun dari saya, lho.”
“Iya, sih.” Jordan mengulum lagi penis Maulana, menghirup aromanya yang
khas, lalu berbicara kembali. “Lalu, Pak Pamungkas. Dia pernah sama Harry dan
sama kamu. Kamu, pernah sama aku juga, berarti udah dua orang. Terus Randian …
dia pernah sama Andre dan Mike. Aku enggak tahu apakah Laurence sama Andre itu
punya hubungan istimewa atau enggak, kayak foto di lobi hotel itu. Misal mereka
bercinta, berarti Andre udah dua. Yang berarti, Laurence pun sama-sama dua,
karena dia kepergok begituan sama Harry barusan. Di mana sekarang Harry udah
tiga, melebihi yang lainnya. Enggak heran sih kalau Harry ama banyak orang.
Ganjen dia.”
“Bener banget, Mas. Ganjen banget tuh anak,” sambut Maulana. Dari nada
suaranya, Jordan merasa kata-kata Maulana itu diucapkan dari lubuk hati yang
paling dalam.
“Karena dia sama Pak Pamungkas?”
Maulana hanya tersenyum.
Jordan jadi tertarik mendengarnya. Sebagai Pisces, dia enggak mungkin
melewatkan gosip. Jadi, Jordan merangkak naik hingga telungkup di atas tubuh
Maulana dan menatap wajah cowok itu. Kedua kelamin mereka beradu di bawah sana.
Maulana membetulkan posisinya dengan menurunkan penis Jordan ke bawah
selangkangannya, lalu Maulana merapatkan paha.
Jordan sampai mendesah sejenak ketika merasakan kemaluannya dikepit oleh
paha Maulana.
“Iya, dia sama Pak Mungkas,” jawab Maulana sambil memainkan puting susu
Jordan.
Dan pilinan puting itu benar-benar enak.
Anjay …, fiks, lah, di
tubuh Maulana ada susuknya. Apa pun yang
Maulana sentuh, rasanya enak banget, batin Jordan. Namun penulis itu
mencoba menguasai dirinya sendiri, menarik napas, dan mengabaikan pilinan
puting, yang—
Aaaaaahhh … ya Tuhan.
Ini betulan The Flying Paradise.
Tubuh Jordan bergetar keenakan. Mana batang penisnya dijepit, jadinya semakin
geli.
Jordan pun dengan berat hati melepaskan pilinan nikmat itu. Rasanya
seperti baru kehilangan sesuatu yang disayang. Namun dia harus tegar dan sadar.
“Jadi kamu sayang sama Pak Pamungkas?”
Maulana mengangguk sambil tersenyum. “Aku sayang banget, Mas. Tapi
sayang, Pak Mungkas udah punya keluarga, dan punya berondong juga. Aku cuma
pelarian terakhir. Tapi aku tahu, Pak Mungkas juga sayang sama aku. Dia enggak
ngasih barang-barang mahal untuk bikin aku tetap cinta sama dia. Dia ngasih aku
cinta itu sendiri. Ngasih perhatian, ngasih kasih sayang, ngasih waktunya ….”
“Terus dia tahu soal profesi kamu?”
“Enggak, lah.” Maulana mulai membelai punggung Jordan yang menindihnya.
Belaian itu pun, sama seperti kuluman dan pilinan puting tadi, terasa berbeda
dari belaian cowok mana pun yang pernah membelai Jordan. Termasuk belaian
Kristian.
Seolah-olah, Maulana tahu dalam jarak berapa milimeter ke permukaan
kulit si telapak tangannya harus menyentuh, sehingga menciptakan sensasi
geli-geli nikmat diiringi aliran listrik yang membuat merinding.
“Kok, kamu bisa tegar, sih ngelihat orang yang dicintai ama orang lain?
Khususnya ama Harry.”
“Karena aku tahu, Pak Mungkas sama Harry enggak ada apa-apanya. Hanya
seks aja.”
“Tapi tetep aja, Pak Pamungkas enggak bisa sepenuhnya milik kamu.”
“Alah, dia aja secara legal milik istrinya, kok. Aku cuma pelakor, Mas.” Maulana mulai membelai
pantat Jordan dan menyentuh sekitaran lubang pantat penulis itu. Rasanya nikmat
sekali sampai Jordan mendesah keras, kemudian dia teringat bahwa dirinya harus
menjadi top dalam sesi ini.
Harus kuat, harus kuat, harus kuat, batin
Jordan menyemangati dirinya sendiri. Top, top, top.
“Di dunia kayak begini,” lanjut Maulana. Bibirnya nyosor ke leher
Jordan, mengendusnya dengan lembut, “Harus banyak-banyak ikhlas. Harus paham
bahwa kita enggak bisa mendapatkan cinta sejati.”
“Aaaaaahhh ….” Jordan
ingin sekali memerintahkan jemari Maulana agar masuk ke lubang pantatnya. Namun
dia harus menahan diri. (Padahal tangan Maulana sudah di sekitar pantat, ya
Tuhan … tinggal masuk saja sebenarnya!)
Setelah menikmati belaian di pantat yang membuat dada Jordan berdebar,
penulis itu pun mencoba berbicara lagi. “Jujur aja, aku takut banget sama
pembajakan ini. Aku pengin banget tahu siapa mata-matanya. Tapi aku enggak
begitu kenal orang-orang di sini—aaahhh
….” Please, please, please, masuk aja
jari tengahnya, please, jerit Jordan dalam hati. Namun jemari Maulana hanya
bermain-main di sekitar kerutan lubang pantat itu.
“Yang pasti, aku bukan mata-mata,” ungkap Maulana, menegaskan dengan
serius.
Sebenarnya, Jordan percaya, sih. Apa alasannya Maulana menjadi mata-mata?
Cowok itu hanya seorang pramugara ganteng yang bertahan hidup menjadi gigolo.
Kalau dia ingin uang 9 juta dolar, dia tinggal memeras Pamungkas tanpa perlu
melibatkan dirinya dalam pembajakan (melibatkan kemungkinan dia meledak dalam
pesawat).
“Tapi aku juga enggak tahu siapa yang jadi mata-mata. Aku kenal semua
kru terbang dan Pak Mungkas. Jujur aja, Mas, bukannya aku enggak percaya Mas.
Kalau aku harus curiga seseorang punya motif jahat, aku bakal pilih Mas dan Mas
Kristian karena aku enggak kenal.”
“Dipahami, kok,” jawab Jordan sambil tersenyum. Dan merem melek saat
jemari itu lagi-lagi membuat pantat Jordan terasa geli. “Kalau berdasarkan
kenal enggak kenal, aku hanya akan percaya pacarku, Mas, dan somehow Harry. Sisanya aku betulan
enggak kenal. Aku enggak tahu mereka punya niat jahat apa sama yang lain. Malah
meski Harry itu nyebelin, aku lebih percaya dia bukan mata-mata.”
Maulana terkekeh. “Iya, aku juga. Aku yakin Harry enggak mungkin jadi
mata-mata. Tapi aku pengin banget dia jadi mata-mata pembajak, supaya aku ada
alasan mampusin dia.”
Wow. Sependendam itu Maulana ternyata, batin
Jordan. Apa ya zodiaknya dia?
Tapi emang iya, enggak sih? Kehadiran Harry itu enggak penting. Kenapa
bukan Harry aja yang mati di awal? Kenapa malah Mora yang tampak innocent?
“Aku setuju, sih,” ungkap Jordan. “Kalau nanti kita bisa nuduh Harry
sebagai mata-mata, kita kompakan, ya?”
Maulana tertawa sambil meremas pantat Jordan kuat-kuat, menjauhkan kedua
pipi pantat itu hingga lubang pantat Jordan terekspos. “Huft!” Jordan menahan
napas karena perlakuan tersebut terasa sangat nikmat. Sudah lama pantatnya
tidak diekspos ke udara seperti itu.
“Oke!” jawab Maulana. “Kita kompakan jeblosin Harry jadi mata-mata.”
Mereka berdua cekikikan sambil kemudian mengecup dan saling melumat
bibir.
“Tapi aku enggak kenal Mas Randian,” kata Jordan. “Mas kenal, ya?”
Maulana mengangguk. “Aku pernah sama dia.”
Jordan membelalak. “Pernah juga?”
“Ya udah aku ngaku. Aku pernah sama … Mas Randian, sama Andre … Mike?”
“Wow. Aku iri, lho. Sumpah.”
“Kalau Mas ada di posisi aku, Mas enggak akan iri. Menjual diri enggak
pernah membanggakan, kok.”
Benar juga, batin
Jordan. Dia terdiam sambil merasakan pantatnya, yang masih ditarik Maulana agar
terekspos, digelitiki udara dingin ruangan.
“Tapi, ngomong-ngomong, mereka enggak ada yang mencurigakan, gitu?”
Maulana mengangkat bahu. “Aku beneran enggak tahu, misal di antara
teman-temanku pembajaknya, apa alasan mereka melakukan itu?”
“Kalau aku punya hipotesa,” sela Jordan, “bahwa pelakunya bukan aku,
Kristian, sama Harry, masuk akal enggak? Maksudnya, kami bertiga ini yang
paling-paling enggak paham soal pesawat. Waktu Pamungkas jelasin soal bom di
roda, aku enggak paham mengapa kita enggak bisa pergi ke rodanya, ambil bomnya,
terus buang lewat jendela. Butuh waktu lama buatku paham bahwa itu enggak
mungkin dilakukan, apalagi dalam penerbangan begini. Sementara kalian, kan tahu
betul soal pesawat.”
“Hm … bisa aja, sih,” ujar Maulana. “Tapi, menurut aku itu enggak
menjamin Mas, sama Mas Kristian dan Harry, enggak menjadi mata-mata. Kan,
pembajaknya bisa jadi tahu soal pesawat dan cuma nyuruh Mas melakukan tugas di
dalam penerbangan. Ya enggak, Mas?”
Jordan menghela napas. “Iya juga, sih.” Jordan mengecup dulu bibir
Maulana sebelum bertanya lebih lanjut. “Kira-kira, Andre itu berpotensi besar
enggak?”
Maulana terdiam sejenak, melepas tangannya dari pantat Jordan dan
memilih memeluk punggung penulis itu. “Andre orang baik,” mulai Jordan. “Aku enggak
percaya dia punya motif kuat untuk menjadi pembajaknya.”
“Ini hanya perkiraanku aja, tapi kok malah berpikir justru dia, ya
mata-matanya.”
“Kenapa Mas punya pikiran begitu?”
“Pertama, dia teknisi. Dia tahu segalanya tentang pesawat ini. Dia tahu
caranya ngoperasiin TV buat kirim pesan.”
Maulana terkekeh. “Itu doang mah
aku, Pak Mungkas, sama Mas Randian juga bisa, Mas. Ada satu komputer yang
terintegrasi ke semua layar.”
“Oh, oke. Terus soal ngecek roda pesawat tadi? Waktu kita bahas soal
nengok roda pesawat dari dalam, katanya cuma Andre yang bisa ngelakuinnya.”
Maulana mengerutkan alis. “Ah, aku juga bisa, kok. Semua kru terbang
dilatih untuk bisa ngecek roda pesawat kalau-kalau ada masalah sebelum landing. Aku malah kaget pacar Mas bisa
mengambil semua foto itu bahkan nge-print
di printer ruang kerja.”
Jordan menghela napas. “Aku masih enggak percaya itu dia, sih. Tapi
sejauh ini dia yang paling memungkinkan melakukannya. Mana kamera dia tertanam
di mana-mana.”
“Kecuali kita bisa tahu motif setiap orang,” ungkap Maulana. “Coba Mas
interogasi satu per satu. Siapa tahu Mas bisa dapat benang merah. Mas, kan
penulis.”
Jordan menatap mata Maulana dengan binar gembira. “Oh, iya, ya.”
Maulana mengangguk. “Orang pasti setuju, kok kalau Mas yang
melakukannya. Maksudku, alasannya kuat mengapa harus Mas yang interogasi, meskipun
Mas belum 100% bebas dari kemungkinan.”
“Ya, ya, aku paham maksud kamu.”
“Tinggal bilang aja sama Pak Mungkas bahwa Mas mau interogasi
orang-orang. Mau tahu motif setiap orang sehingga bisa dipetakan mana aja yang
berpotensi melakukan pembajakan.”
“Tapi pembajaknya bakal mau emang nyebutin motifnya?”
“Ya jangan sebutin Mas mau interogasi, dong. Pake alasan lain. Mas, kan
penulis. Pasti tahu caranya.”
Jordan merasa lebih bersemangat sekarang. Sebuah dorongan positif
menggelegak di dalam dadanya. Beberapa rencana cemerlang melintas di dalam
kepala Jordan. Saking bergairahnya, Jordan bangkit dan mulai berlutut di depan
Maulana. Diangkatnya kedua kaki Maulana. “Aku pengin masukin!”
“Oke.”
Kondom dan pelicin dikeluarkan. Mungkin adrenalin begitu tinggi, sampai-sampai
Jordan dengan lancar memasang kondom. Padahal itu adalah pengalaman pertamanya
mengenakan kondom. Jordan, dengan kilat melumuri batang penis berkondomnya
dengan gel. Kemudian, dia memasukkannya ke dalam pantat Maulana.
Mungkin karena pantat Maulana sering mendapat kunjungan, penis Jordan
masuk dengan mudah. Sayangnya, proses itu, terlalu nikmat bagi Jordan. Sumpah deh ini ada susuknya, batin
Jordan. Karena ini enggak mungkin banget! Jadi ketika penisnya masuk, rasanya
begitu menggelitik nikmat. Sampai-sampai Jordan mengentakkan badan dan
menggelinjang.
Ya. Jordan betulan cemen urusan menjadi top. Baru saja masuk sekali, belum digoyang, penisnya sudah
menyembur. Crot! Crot! Crot! Tubuh Jordan
sampai jatuh menindih Maulana, menggelepar seperti ikan dikeluarkan dari dalam
air. Ini adalah pengalaman orgasme terenak dalam hidup Jordan. Napasnya sampai
habis, keringatnya merembes basah, bahkan penisnya memuntahkan sperma
berkali-kali.
“Maaf,” bisik Jordan malu.
“Gapapa. Mungkin karena aku udah godain dari tadi, jadi Mas udah enggak
tahan lagi.”
Atau memang akunya enggak bakat jadi top,
batin Jordan. Penulis itu mengeluarkan penisnya yang masih saja keras dan
berdenyut-denyut dari pantat Maulana. Betapa kagetnya Jordan saat menemukan
spermanya tidak berada di dalam kondom.
“Bocor, ya?” gumam Jordan.
Maulana bangkit untuk melihatnya. “Lagi?”
Jordan mengerutkan alis. “Apa maksudnya ‘lagi’?”
Maulana menghela napas sambil membaringkan tubuhnya ke atas tempat
tidur. “Karena kondom Pak Mungkas juga bocor. Semua persediaan kondomnya
bolong-bolong ditusuk jarum pentul. Enggak kelihatan sih, tapi bolongnya
lumayan, lah. Bisa empat atau lima bolong.”
Dengan panik Jordan mengecek koleksi kondom yang dimilikinya. Semua
kondom itu …
… bolong-bolong kecil ditusuk jarum.
To be continued ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar